Val terbangun dengan rasa nyeri di kepala. Ia membuka mata perlahan, tapi pandangannya kabur oleh asap dan sorot senter yang ada di luar. Samar-samar telinganya menangkap suara panik dan perintah dari petugas di depan mobil yang ia naiki. Ia ingat tadi sedang mengobrol dengan Arion.
“Arion ….” Val menoleh ke samping. Kepala Arion tergeletak di atas kemudi. Pelipisnya berdarah.
Perlahan Val melepas sabuk pengamannya dan mendekati Arion. “Rion! Arion!” panggil Val sembari menepuk-nepuk pipi Arion. Laki-laki itu bergeming.
Di saat rasa panik melanda, kaca jendela penumpang diketuk dari luar. Val segera membukanya dan berkata lemah,” To-tolong … dia berdarah ….”
Petugas itu mengangguk paham dan segera memanggil rekannya untuk membantu mengeluarkan Val dan Arion dari dalam mobil.
Suasana di luar mobil lebih riuh daripada yang Val lihat dari dalam. Para petugas berlalu-lalang mengatur lalu lintas y
Pagi-pagi sekali Val sudah terbangun. Langit bahkan masih gelap saat ia membuka tirai jendela. Pemandangan gedung apartemen Saga ada di depan matanya. Suasananya tampak suram dengan lampu-lampu yang masih menyala, menandakan bahwa penghuninya masih berada di alam mimpi.Netranya yang terasa berat menoleh pada jam mungil di atas nakas yang masih menunjukkan pukul lima kurang sedikit. Kembali ia duduk di tempat tidur, merenungi apa yang telah terjadi hari sebelumnya. Sesungguhnya ia tidak benar-benar bisa tidur semalaman. Pikirannya kacau oleh kecelakaan yang membuat Arion harus dirawat di rumah sakit. Perasaan bersalah itu kembali menyusupi hatinya.“Kalau saja aku nggak menolak ajakannya ….” Ingatannya kembali saat Arion menyarankan untuk menginap saja di vila dan beristirahat di sana. Val menolak dengan alasan tidak membawa baju ganti. Alasan sepele memang, karena Arion bisa saja mencari atau membelikannya, tidak hanya sekadar pakaian, tapi semua ke
“Hah? Apa?” Kaira menoleh kaget.“Ah, maaf, nggak usah dijawab kalau nggak berkenan,” ucap Val buru-buru. Ia jadi salah tingkah karena sudah mengajukan pertanyaan bodoh. Oh, sial! Kenapa aku nggak bisa menahan diri? Kenapa aku harus menanyakannya terang-terangan?Kaira lalu tertawa dan membuat Val semakin heran.“Kelihatan seperti itu, ya?” Kaira balas bertanya setelah tawanya berhenti.Kedua alis Val saling bertaut menandakan tanda tanya cukup besar dalam kepalanya. Kenapa dia malah bertanya padaku? Bukannya tinggal menjawab ‘iya’ kalau memang pacarnya?Sekali lagi Kaira hanya tersenyum sebelum berkata lagi, “Aku sudah lama mengenalnya, jauh sebelum ini.”“Oh.” Hanya itu yang keluar dari bibir Val dan membuat kesimpulan sendiri terhadap kalimat Kaira. Teman masa kecil rupanya.“Kenapa?” Kaira menatap Val. Pandangannya menyel
Kaira melirik Saga yang tertidur di samping tempat duduknya. Sudut bibirnya tertarik ke samping sambil tetap fokus mengemudi.“Dasar bodoh!” gumamnya. Ia membiarkan laki-laki itu tidur hingga tiba di area parkir Tower B.“Sudah sampai?” tanya Saga sambil membuka mata perlahan. Ia meregangkan tubuh dan memijat-mijat lehernya. “Sudah dari tadi?”Kaira yang sedang memainkan ponselnya, melirik sekilas. “Nggak juga. Aku sengaja nggak bangunin. Kau terlihat lelah sekali,” jawab Kaira.“Oh. Thank’s.” Saga merapikan pakaiannya lalu bersiap turun.“Kau naik dulu. Aku akan membeli bahan makanan untukmu,” kata Kaira yang dijawab dengan anggukan pelan Saga.Yang laki-laki itu inginkan saat ini hanyalah tidur, sehingga ia langsung merebahkan diri ketika sampai di kamarnya. Saga sudah terlelap dengan dengkuran pelan ketika Kaira masuk ke kamarnya.“Untung s
“Memangnya aku anak kecil yang bisa ketinggalan?” Val memajukan bibirnya.Saga tergelak. “Siapa yang tahu, kalau kau melamun di tengah jalan seperti itu?”“Aku nggak melamun!” bantah Val dengan wajah merah.“Kalau bukan melamun, apa namanya sampai kau nggak sadar di bawahmu ada tangga?”“A-apa?” Val menatap sebelah kakinya yang menggantung. Sementara itu, kedua tangan Saga mencengkeram bahunya untuk menahan supaya berhenti melangkah.Pria itu berdecak kecil. “Lihat?”Val memperbaiki posisi tubuhnya dan melepaskan pegangan Saga. “Thank’s.” Ia lalu menuruni tangga kecil itu mendahului Saga dengan wajah yang panas. Apa sih yang aku lamunkan? rutuknya kesal.Saga hanya tersenyum melihatnya, sementara Val kebingungan sendiri dengan apa yang ada di pikirannya.Selama Arion dirawat, Saga-lah yang menjemput dan mengantar Val, bai
“Rion!” Begitu sampai di kantor di hari Senin berikutnya, Saga langsung menghambur masuk ke ruangan kaca dan berteriak.Val yang datang bersama Saga kebingungan mengapa Saga bersikap seperti itu. Ia tadi memang melihat mobil Arion terparkir di tempat biasanya. Tidak disangkanya Saga akan bersikap seperti ini.Jadi, Arion sudah bekerja kembali, pikir Val. Ia berjalan mendekati ruangan kaca yang tertutup itu setelah meletakkan tas di meja.Val mencuri dengar dari pintu yang terbuka sedikit. Hanya ada mereka bertiga di sini, sehingga apa yang diucapkan Saga terdengar jelas.“Rion! Kenapa kau sudah masuk? Apa kau sudah gila? Bahumu belum sembuh benar! Kau nggak dengar apa kata dokter? Harusnya kau belum masuk secepat ini!” Saga mengomel panjang lebar.“Tenang, Ga, tenang dulu,” kata Arion berusaha menenangkan Saga.“Bagaimana bisa tenang? Kalau ada apa-apa lagi denganmu, anak itu pasti kepikiran
Acara syukuran itu berakhir dua jam setelah Saga pergi. Rara, Dewi, dan Sandy bergantian pamit pada Arion dan Val, sebelum mereka sendiri masuk ke mobil yang dikemudikan sopir.“Saga kenapa, ya?” Tiba-tiba Val bertanya beberapa saat setelah kendaraan melaju menuju apartemennya. Dahinya berkerut menunjukkan keheranan.Arion yang duduk di sebelahnya melirik sekilas. Bibirnya tersenyum tipis. “Kenapa memangnya?”“Seperti bukan Saga yang biasanya.”“Kadang anak itu nggak bisa ditebak maunya apa. Kecuali soal pekerjaan.”“Aneh saja sih. Biasanya ‘kan dia bakal mengomel atau apalah yang bikin orang lain kesal.”“Kamu ‘kan tahu dia nggak setuju dengan acara ini, tapi kalah suara.”Val mengangguk. “Benar juga sih.”“Apa kamu khawatir dengannya?”“Siapa?”“Saga.”Sebelah alis Val terang
Apa ini? Nomornya sama dengan nomor kamarku? Val terkejut bukan main. Bergantian ia memandang kartu di tangannya yang bergetar, dan Saga yang masih tidak menyadari berada di tempat yang salah. Bahkan lelaki itu tidak mengenalinya.Val mendekati Saga yang masih meracau. Berusaha menatap manik matanya yang tidak fokus. “Ga! Saga! Kamu dengar aku?” Ia menepuk kedua pipi Saga. Kini, mata merah itu memandang Val.“Oh!” Pupil Saga melebar. Jarinya menunjuk hidung Val seraya mulutnya membentuk huruf O yang lebih lebar. “Oh! Val? Valerie!”Sekarang, laki-laki itu tertawa secara berlebihan sambil menunjuk-nunjuk Val. “Pak! Ini Val! Val, temanku, ada di sini!”Petugas itu hanya menggelengkan kepala sambil berusaha menopang berat tubuh Saga.“Saga!” Val memanggil keras. “Ini benar kartumu?” tanyanya. Ia memastikan Saga membaca kartu yang acungkan di depan matanya.Sa
Saga membuka mata karena sakit kepala hebat yang menyerangnya. Ia bangun dengan susah payah dan menyadari dirinya ada di tempat tidur. Spontan ia memijat-mijat dahi dan samar-samar kejadian semalam terbayang di benaknya. Dirinya yang mabuk dan meracau tidak jelas, juga sosok Val yang mengantarnya ke sini.Ia masih ingat Val menatapnya dengan pandangan iba karena bisa-bisanya ia menyasar ke apartemen sebelah. Saga juga teringat penyebab dia mabuk seperti itu. Pemandangan yang tidak ingin dia lihat, menari-nari dalam kepalanya. Walau sudah sering melihat keintiman itu, masih saja rasa perih itu menggores hatinya.“Apa yang kau pikirkan, Ga? Seharusnya kau nggak boleh begini!” Saga berkata pada dirinya sendiri. Tangannya menggaruk kepala dengan kasar, berharap sakit di dalam sana tergantikan oleh sakitnya rambut yang tertarik.“Duuuh! Malu-maluin saja, Ga! Bodoh!” Lagi, ia merutuki kebodohannya.Segera ia bangkit ke kamar mandi dan me