Saga membuka mata karena sakit kepala hebat yang menyerangnya. Ia bangun dengan susah payah dan menyadari dirinya ada di tempat tidur. Spontan ia memijat-mijat dahi dan samar-samar kejadian semalam terbayang di benaknya. Dirinya yang mabuk dan meracau tidak jelas, juga sosok Val yang mengantarnya ke sini.
Ia masih ingat Val menatapnya dengan pandangan iba karena bisa-bisanya ia menyasar ke apartemen sebelah. Saga juga teringat penyebab dia mabuk seperti itu. Pemandangan yang tidak ingin dia lihat, menari-nari dalam kepalanya. Walau sudah sering melihat keintiman itu, masih saja rasa perih itu menggores hatinya.
“Apa yang kau pikirkan, Ga? Seharusnya kau nggak boleh begini!” Saga berkata pada dirinya sendiri. Tangannya menggaruk kepala dengan kasar, berharap sakit di dalam sana tergantikan oleh sakitnya rambut yang tertarik.
“Duuuh! Malu-maluin saja, Ga! Bodoh!” Lagi, ia merutuki kebodohannya.
Segera ia bangkit ke kamar mandi dan me
Saga berdiri kikuk saat Val menatapnya. Ia mengalihkan pandang pada angka pada monitor lift yang berganti-ganti sesuai urutan."Oh, baiklah! Jangan biarkan masalah berlarut-larut. Nggak baik buat hubungan jangka panjang," tutup Val akhirnya."Iya, iya! Bawel amat sih! Sama kayak Kaira."Val merasa telinganya gatal saat dibandingkan dengan gadis itu. Tepat saat itu, pintu lift terbuka. "Semoga kalian lekas baikan,” katanya sambil berjalan menuju tempat duduk.Sebelum Saga sempat menjawab lagi, Arion memanggil dari ruangannya. Pria itu segera masuk ke ruangan kaca dan menutup pintunya.“Rupanya Arion sudah datang,” gumam Val. Ia meletakkan tasnya lalu duduk.Komputer pun dinyalakan dan Val siap mengerjakan tugasnya. Saking seriusnya bekerja, ia tidak menyadari tatapan teman-temannya dari seberang. Ia juga tidak menyadari Saga yang masih belum kembali dari ruangan Arion.Hingga jam makan siang, Val menoleh ke kursi Saga
Jam makan siang hampir berakhir saat dua orang pria masuk ke kedai kopi berpayung hijau yang berada di area perkantoran. Salah satunya duduk di kursi sambil mengamati ponsel, sementara lainnya memesan minuman dingin di kasir.“Dua Americano, satu Caramel Macchiato,” katanya.Kasir itu mengangguk. Setelah menerima pembayaran, ia pun memproses pesanan itu.“Kamu sama denganku, ‘kan, Ga?” tanyanya pada pria yang duduk di sana. “Aku sudah memesannya.”“Yup.”Tak lama, pria itu sudah membawa tiga gelas minuman di tangan dan meletakkannya di meja.“Kok tiga, Ri?” tanya Saga. Arion sudah meminum Americano-nya, sementara masih ada dua gelas lain di depannya.“Titip buat Val. Aku mau ke suatu tempat dulu," kata Arion lalu berdiri."Eh, yang ini? Val?" tanya Saga tidak yakin. Ia menunjuk gelas yang berisi cairan berwarna coklat muda itu."Iya. Kenapa?"
Val membeku di tempat dengan Arion memeluk pinggangnya erat hingga tubuh mereka saling menempel. Kebingungan melandanya. Apa yang harus ia lakukan sekarang?Ragu-ragu tangan gadis itu terangkat. Ia ingin memberi penghiburan pada laki-laki yang telah berbuat banyak untuknya. Paling tidak, ia mampu membalas pelukan itu atau sekadar memberi usapan lembut padanya. Namun, yang ia lakukan malah mengusap punggung lebar itu dengan canggung.Kesunyian memenuhi ruangan itu. Arion tidak berkata apa-apa. Ia hanya diam dengan mata terpejam. Yang ia butuhkan saat ini adalah ketenangan dari wanita itu. Ia ingin Val melakukan hal yang sama dengan yang telah ia lakukan selama ini. Ia benar-benar membutuhkannya.Lama dengan posisi seperti itu, Arion bisa merasakan kecanggungan pada diri Val. Ia tahu, gadis itu ingin membalas perlakuannya, tapi tidak bisa. Gerakan kaku pada jarinya menunjukkan kebenaran yang selama ini tertutup dan tidak disadarinya.Bukan ini yang Arion ha
Saga termenung di sofa apartemennya dengan laptop menyala di atas meja. Sebuah naskah dari media online yang ia baca terpampang di layarnya. Ia sudah membacanya berkali-kali dan setiap kali mencerna isi tulisan itu, dahinya berkerut tajam.Dilihat dari sudut pandang mana pun, ia merasa familier dengan cerita dan gaya penulisannya. Meski telah dibumbui dan didramatisasi sedemikian rupa, ia merasa tidak asing. Seperti dia telah atau pernah membacanya entah di mana. Atau bahkan, dia merasa sudah mengenal sosok penulis yang menggunakan nama pena “cutiepie”.Nggak mungkin hanya kebetulan saja, ‘kan? Kedua alis Saga bertaut. Sejak tadi ia sudah mencari jati diri si penulis, tapi tidak menemukan petunjuk. Sekarang, ia gelisah. Rasa penasaran itu seolah menggerogoti tubuhnya secara perlahan.Arion dan Val. Saga menyebut nama mereka dalam hati.Ada rasa senang sekaligus sakit yang menyeruak saat membayangkan kejadian sore tadi.
Kepala Saga menoleh cepat saat mendapat pertanyaan yang lebih mirip tuduhan itu.“Kaira menceritakannya padaku,” jawab Arion mengartikan pandangan Saga yang kemudian berdecih.“Dasar bocah itu. Untuk apa dia mengatakannya padamu?”“Aku yang memaksa. Setelah penolakan itu, aku menghubunginya. Sejak mengetahui Val adalah teman sekolahmu, aku sudah memikirkan hal itu. Aku sudah menduganya, tapi pura-pura masa bodoh dan percaya saja dengan ocehanmu. Meski begitu, tetap saja rasanya sakit.”Saga tertawa sengau. “Sama. Aku juga sakit saat melihatnya bersamamu.”“Jadi … kapan kamu akan bilang padanya?” todong Arion.Saga menggeleng. “Aku nggak yakin. Dia nggak mungkin─”“Apa pun kesalahan atau masalahmu dulu dengan Val, sekarang saatnya kamu memperbaiki dan menyelesaikannya. Dia sedang kebingungan sekarang.”Kepala Saga menunduk dalam menatap la
Dering ponsel mengalihkan pandangan Saga sejenak dari jalan raya. Ia segera menekan tombol hijau dan pengeras suara.“Halo?”“Bim, kamu di mana?” Suara di seberang langsung menyahut.“Di jalan.”“Kaira sudah bicara padamu?”“Iya. Ini perjalanan ke sana. Mami tunggu saja dengan manis. Oke?”Terdengar kikik geli dari ujung telepon. “Tentu dong. Mami akan menunggu dengan setia, Sayangku.”Ganti Saga yang tertawa sebelum menutup telepon. Ia pun kembali fokus mengemudi dan sampai di sebuah rumah bergaya mediterania.Seorang wanita anggun menyambutnya. “Bima Sayang! Kau makin tampan saja!”Saga menggosok hidungnya dengan bangga. “Siapa dulu maminya,” balas Saga sambil memeluk sang ibu.Wanita bernama Diana itu memang masih cantik di usianya yang sudah kepala lima. Tubuhnya tetap langsing seperti seo
“Sepeda air?” Val melongo menatap sepeda air berbentuk bebek mengapung di kolam di bawah kakinya. Seorang petugas menunggu di tepi.Saga terkekeh, lalu mendorong Val untuk turun. Ia juga membantu gadis berwajah cemberut itu menaiki sepeda air.“Apaan ini naik sepeda air segala? Memangnya anak kecil?” Val masih bersungut-sungut sambil berusaha mengayuh pedal di bawah.“Olahraga dong,” jawab Saga sekenanya. Ia ingin menggoda Val lagi dengan membiarkannya mengayuh sendiri.Val merasa sepeda air itu bergerak pelan sekali meski ia sudah mengayuhnya sekuat tenaga. Ia sudah kehabisan napas dan kakinya pegal, saat mendengar kikik geli di sebelahnya.“Cuma segitu kemampuanmu? Bukannya kau bilang sudah makan? Cepat sekali energimu menguap,” ejeknya.“Kayuh saja sendiri!” Val berhenti mengayuh dan melipat kedua tangan di dada.Saga terkekeh. “Hei, Val, naik sepeda air ini butuh ke
Dua hari tidak bertemu Arion, Val merasa sedikit lega. Apalagi ada Saga yang sempat mengisi satu hari di antaranya. Namun, ia tidak bisa menghindari bahwa di hari Senin, ia akan tetap bertemu pria yang ditolaknya.Setelah kejadian di ruangan kaca itu, Val masih belum tahu bagaimana harus bersikap di depan Arion. Kentara sekali Val merasa bersalah dan tidak enak setelah menggantung perasaan pria itu sekian lama. Ia telah menerima semua kebaikan dan ketulusan Arion, tapi apa yang ia berikan sebagai balasannya?Val sedih. Rasanya seperti jadi orang jahat. Cewek matre. Apa yang ada di pikiran Arion sekarang? Apa dia masih menganggapku temannya? Paling tidak, aku masih pegawainya di sana.Kakinya terasa berat saat berjalan keluar lobi. Ia menengok ke sana ke mari dan berkali-kali melirik jam di ponselnya. Sudah pukul setengah delapan dan dirinya masih belum berangkat.“Saga ke mana sih, jam segini belum datang? Padahal kalau aku terlambat sediki
“Ga …?” “Ah, apa …?” Saga baru tersadar ketika Val menggoyang-goyangkan lengan jasnya. Val menatap pria yang kini sudah menjadi suaminya. Ia lalu memandang arah yang tadi dilihat Saga, tetapi tidak menemukan ada yang aneh di sana. “Kenapa lihat ke sana terus? Sudah waktunya kita turun,” katanya. “Oh, ayo.” Saga menggandeng tangan Val dan membantunya turun dari panggung. Tak lama, Val dan Saga duduk bersama keluarga mereka. Menikmati jamuan makan malam yang disediakan. Obrolan ringan juga turut mewarnai kehangatan keluarga baru itu. Beberapa jam kemudian, acara selesai. Seluruh tamu undangan sudah meninggalkan gedung. Para keluarga sebagian meninggalkan gedung, sebagian lagi menginap di hotel yang sama dengan Val dan Saga. Mereka memang sengaja menyediakan kamar kosong untuk beberapa keluarga yang tinggal di luar kora, seperti Tante Icha dan Riska. Val dan Saga diantar Kaira dan Arion ke kamar hotel mereka. Kaira tampak bahagia dengan senyum yang tak pernah hilang dari wajahnya.
“Kamu sudah yakin, Val?” Rima bertanya pada putrinya karena sedikit khawatir. Val mengangguk dan tersenyum. “Iya. Masa sudah begini, masih ditanya lagi sih?” Rima tersenyum sedikit. “Kamu bisa bilang ke Mama, Val. Nanti Mama yang akan cari cara.” Kali ini Val menggeleng. “Nggak usah, Ma. Memangnya Mama berani bilang sama Tante Diana? Dia teman baik Mama, ‘kan?” Rima diam sejenak lalu menjawab, “Iya, tapi … Mama rasa dia akan mengerti, Val.” “Nggak usah, Ma. Val baik-baik saja kok. Mama juga sudah lihat sendiri, ‘kan?” Val memamerkan senyum terbaik dan tercantiknya. “Saga pasti juga begitu.” Rima menatap putrinya sekali lagi. Val pun mengangguk untuk meyakinkan sang ibu. “Baiklah kalau begitu. Mama keluar dulu. Tamu-tamu sudah banyak yang datang.” Rima berdiri lalu keluar dari ruangan itu. Val mengantarnya dengan senyum bahagia. Ketika pintu di depannya tertutup, senyumnya memudar. Sungguh merupakan keputusan yang sulit baginya, tapi ia harus melakukannya. Sementara itu, di rua
“Aaah … capek juga ternyata bikin kue!” keluh Val sambil mengempaskan tubuh ke tempat tidur. Ia baru saja memasukkan dua loyang kue ke oven dan mengatur waktunya. Sambil menunggu, ia berniat beristirahat sebentar. Dari luar, Val bisa saja tertawa lepas seolah tidak ada yang mengusiknya. Namun, hatinya menjeritkan rindu yang sama pada seseorang. Berbagai kenangan bersama Saga mulai bermunculan, menggoda dirinya, dan membawanya kembali ke masa lalu yang jauh. Masa-masa di mana ia sama sekali tidak menyadari perhatian-perhatian kecil Saga padanya. “Aku mau ke kantin! Ada yang titip?” tanya Nita sambil berdiri. Saat itu, tim mading yang terdiri dari Saga, Val, Nita, Noah, dan Andi, sedang mengerjakan proyek minggu ini. Mereka berkumpul di ruang OSIS sepulang sekolah. Segera anak-anak menyebutkan pesanannya dan Nita pun berlalu. Val tidak pernah mengetahui bahwa saat itu Saga selalu memperhatikan gerak-geriknya. Apa pun yang ia lakukan, selalu mampu membuat senyum Saga mengembang. Namun
Val terbangun di Minggu pagi yang cerah. Sinar matahari sudah masuk dari jendela yang terbuka lebar. Kehangatannya memenuhi kamar dan tubuh Val yang masih memeluk guling, sambil mengejap-ngejapkan mata untuk menyesuaikan perubahan yang mendadak. Beberapa detik kemudian tubuh Val tegak di tempat tidur dengan rambut kusut dan wajah kusam. Samar-samar telinganya menangkap percakapan di luar. Ada suara ibunya dan suara lain yang tidak ia kenal. “Maaf, Bu Rima, sudah ganggu pagi-pagi.” “Oh, nggak apa-apa, Bu. Saya yang terima kasih karena sudah diberi ini.” “Itu cuma hasil kebun dari kampung, Bu. Kebetulan kemarin baru pulang dari sana.” “Pantesan kelihatan segar ini. Terima kasih banyak, Bu Nuri.” “Sama-sama, Bu. Baiklah, saya permisi dulu.” “Silakan.” “Siapa itu? Tetangga?” gumam Val lalu beringsut turun dari tempat tidur dan keluar. Baru saja ia menutup pintu di belakangnya, sang ibu muncul sambil membawa dua sisir pisang ambon di tangan. “Sudah bangun, Val?” sapa Rima. Val men
Hari pun berganti. Biasanya di akhir pekan banyak pasangan menghabiskan waktu bersama, termasuk Val dan Saga. Namun, kali ini berbeda. Pasangan yang dalam satu minggu ke depan akan melangsungkan pernikahan itu sedang ditimpa masalah. Masing-masing menghabiskan waktu di tempat yang berbeda dengan sikap yang berbeda pula. Saga seperti orang gila yang kehilangan sesuatu yang teramat berharga baginya. Telepon dari calon mertuanya membuatnya tersiksa sepanjang malam hingga tidak bisa tidur. Hari yang seharusnya cerah ini terasa begitu buruk bagi Saga. Sedari pagi, pria itu mondar-mandir di apartemennya. Seluruh penampilannya tampak berantakan. Botol-botol minuman berserak di meja dan lantai membuat ruangan itu sudah seperti kapal pecah. Bel pintu berbunyi. Buru-buru Saga membukanya dan langsung membentak. “Kai! Arion! kenapa kalian lama sekali?! Kenapa baru datang?!” Arion dan Kaira saling berpandangan lalu mengembuskan napas kesal. “Gimana bisa cepat kalau baru setengah jam lalu kau
Di ruang kerjanya, Arion mengamati layar ponsel yang berisi panggilan dari Val. Beberapa waktu lalu, gadis itu meneleponnya. Meminta izin tidak masuk hari ini. Ia sudah menduga ada sesuatu yang terjadi dengan dua sahabatnya itu. Tanpa mendapat jawaban yang sebenarnya, ia malah mendengar sesuatu yang tidak disangkanya sama sekali. Bentakan Saga, jeritan Val, ia mendengar semuanya dari ponsel yang tidak dimatikan dengan benar. Tidak tahan membayangkan apa yang terjadi di sana, Arion menekan tombol merah. “Apa yang kamu lakukan, Ga? Kenapa kamu begitu? Kenapa kalian seperti ini?” Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di kepala Arion. Andai saja ia bisa merebut gadis itu kembali, ia akan melarang Saga berbuat sesukanya. Sekarang ini, ia tidak berdaya untuk membantu apa pun. Itu sudah di luar kendalinya, bukan haknya. Arion mengangkat kepala ketika Saga muncul di ambang pintu ruangannya. Wajahnya tampak kacau dan ia sangat gugup. “Rion …,” katanya lirih. Arion berdiri dan mendekati Saga.
Val yang sangat merindukan kekasihnya itu membalas cumbuan Saga di bibirnya. Namun, beberapa detik kemudian ia mendorong pria itu menjauh. Wajahnya merah. “Kenapa?” Saga heran. “Ini nggak benar,” jawab Val. “Apanya yang nggak benar?” “Masalah ini, nggak semudah itu selesai.” Saga membawa wajah Val menatapnya. “Apanya yang belum selesai?” “Apa buktinya kalau wanita itu nggak akan menganggumu lagi?” “Aku sudah melarangnya. Aku sudah memintanya untuk nggak ganggu aku, kita. Apa lagi?” “Kamu yakin dia akan menurut begitu saja? Kulihat, dia orang yang selalu bisa mendapatkan keinginannya. Dia nggak semudah itu menyerah.” “Lalu, apa maumu, Val? Aku sudah nggak mau lagi berurusan dengannya.” Val masih menatap Saga mencari kebenaran di sana. “Begini saja, kalau sampai dia menghubungiku lagi, aku akan melaporkannya ke polisi. Bagaimana?” “Apa akan berhasil?” “Aku nggak tahu, tapi nggak ada
Setelah Erin pergi dengan wajah tak percaya dan tidak terima diperlakukan begitu, Saga terduduk di sofa dengan kepala sakit. Semua tampak berputar-putar di depan matanya. Bayangan wajah Val yang menangis membuatnya merasa jadi manusia paling bodoh di dunia. Ia merasa bersalah dan rasa itu lebih menyakitkan daripada saat Erin meninggalkannya. Tidak punya pilihan lain, Saga menghubungi seseorang yang ia percaya. “Aku butuh bantuanmu.” Sementara itu, Val menangis dalam diam di kamarnya. Ia ingin memercayai ucapan Saga, tapi apa yang dilihatnya tadi begitu menyakitkan. Sungguh ia tidak bisa membayangkan perjalanan cintanya akan sesulit ini. Pernikahan yang sudah di depan mata, bagaimana nasibnya, ia tidak tahu. Ponsel Val yang bergetar menghentikan isak tangisnya begitu melihat nama peneleponnya. Buru-buru ia menghapus sisa-sisa kesedihan dan mengatur napasnya, sebelum menjawab. “Val, kamu belum tidur?” Rima, ibunya menyapa. “Ah, Mama. Be
Val menatap gedung apartemen yang menjulang tinggi di depannya. Rasanya baru sebentar lalu ia berlari ke gedung sebelah ketika mendengar Saga sakit. Kini, menatapnya hanya menambah garam di atas lukanya. Ia teringat perkataan Noah bahwa Saga butuh waktu.Meski begitu, Val benar-benar merindukan Saga. Ia ingin bertemu dengannya. Ia juga telah membuat sebuah keputusan, dengan harapan itu akan membantu Saga menyelesaikan masalah ini.Kaki Val melangkah dengan mantap ke apartemen Saga. Ia sudah mempunyai kuncinya, jadi tidak ada masalah bila langsung mendatanginya, ‘kan? Ia akan menunggu jika Saga belum pulang dari urusannya, entah apa itu.Niat seringkali bertolak belakang dengan keberanian. Tangan Val bergetar ketika hendak memindai nomor kartu di pintu. Jantungnya berdegup kencang. Ia kemudian bimbang, apakah ini tindakan yang tepat? Namun, tekadnya sudah bulat. Ia pun membuka pintu itu. Sayangnya, apa yang ia lihat di dalam sana tidak sesuai dengan keingin