Jam makan siang hampir berakhir saat dua orang pria masuk ke kedai kopi berpayung hijau yang berada di area perkantoran. Salah satunya duduk di kursi sambil mengamati ponsel, sementara lainnya memesan minuman dingin di kasir.
“Dua Americano, satu Caramel Macchiato,” katanya.
Kasir itu mengangguk. Setelah menerima pembayaran, ia pun memproses pesanan itu.
“Kamu sama denganku, ‘kan, Ga?” tanyanya pada pria yang duduk di sana. “Aku sudah memesannya.”
“Yup.”
Tak lama, pria itu sudah membawa tiga gelas minuman di tangan dan meletakkannya di meja.
“Kok tiga, Ri?” tanya Saga. Arion sudah meminum Americano-nya, sementara masih ada dua gelas lain di depannya.
“Titip buat Val. Aku mau ke suatu tempat dulu," kata Arion lalu berdiri.
"Eh, yang ini? Val?" tanya Saga tidak yakin. Ia menunjuk gelas yang berisi cairan berwarna coklat muda itu.
"Iya. Kenapa?"
Val membeku di tempat dengan Arion memeluk pinggangnya erat hingga tubuh mereka saling menempel. Kebingungan melandanya. Apa yang harus ia lakukan sekarang?Ragu-ragu tangan gadis itu terangkat. Ia ingin memberi penghiburan pada laki-laki yang telah berbuat banyak untuknya. Paling tidak, ia mampu membalas pelukan itu atau sekadar memberi usapan lembut padanya. Namun, yang ia lakukan malah mengusap punggung lebar itu dengan canggung.Kesunyian memenuhi ruangan itu. Arion tidak berkata apa-apa. Ia hanya diam dengan mata terpejam. Yang ia butuhkan saat ini adalah ketenangan dari wanita itu. Ia ingin Val melakukan hal yang sama dengan yang telah ia lakukan selama ini. Ia benar-benar membutuhkannya.Lama dengan posisi seperti itu, Arion bisa merasakan kecanggungan pada diri Val. Ia tahu, gadis itu ingin membalas perlakuannya, tapi tidak bisa. Gerakan kaku pada jarinya menunjukkan kebenaran yang selama ini tertutup dan tidak disadarinya.Bukan ini yang Arion ha
Saga termenung di sofa apartemennya dengan laptop menyala di atas meja. Sebuah naskah dari media online yang ia baca terpampang di layarnya. Ia sudah membacanya berkali-kali dan setiap kali mencerna isi tulisan itu, dahinya berkerut tajam.Dilihat dari sudut pandang mana pun, ia merasa familier dengan cerita dan gaya penulisannya. Meski telah dibumbui dan didramatisasi sedemikian rupa, ia merasa tidak asing. Seperti dia telah atau pernah membacanya entah di mana. Atau bahkan, dia merasa sudah mengenal sosok penulis yang menggunakan nama pena “cutiepie”.Nggak mungkin hanya kebetulan saja, ‘kan? Kedua alis Saga bertaut. Sejak tadi ia sudah mencari jati diri si penulis, tapi tidak menemukan petunjuk. Sekarang, ia gelisah. Rasa penasaran itu seolah menggerogoti tubuhnya secara perlahan.Arion dan Val. Saga menyebut nama mereka dalam hati.Ada rasa senang sekaligus sakit yang menyeruak saat membayangkan kejadian sore tadi.
Kepala Saga menoleh cepat saat mendapat pertanyaan yang lebih mirip tuduhan itu.“Kaira menceritakannya padaku,” jawab Arion mengartikan pandangan Saga yang kemudian berdecih.“Dasar bocah itu. Untuk apa dia mengatakannya padamu?”“Aku yang memaksa. Setelah penolakan itu, aku menghubunginya. Sejak mengetahui Val adalah teman sekolahmu, aku sudah memikirkan hal itu. Aku sudah menduganya, tapi pura-pura masa bodoh dan percaya saja dengan ocehanmu. Meski begitu, tetap saja rasanya sakit.”Saga tertawa sengau. “Sama. Aku juga sakit saat melihatnya bersamamu.”“Jadi … kapan kamu akan bilang padanya?” todong Arion.Saga menggeleng. “Aku nggak yakin. Dia nggak mungkin─”“Apa pun kesalahan atau masalahmu dulu dengan Val, sekarang saatnya kamu memperbaiki dan menyelesaikannya. Dia sedang kebingungan sekarang.”Kepala Saga menunduk dalam menatap la
Dering ponsel mengalihkan pandangan Saga sejenak dari jalan raya. Ia segera menekan tombol hijau dan pengeras suara.“Halo?”“Bim, kamu di mana?” Suara di seberang langsung menyahut.“Di jalan.”“Kaira sudah bicara padamu?”“Iya. Ini perjalanan ke sana. Mami tunggu saja dengan manis. Oke?”Terdengar kikik geli dari ujung telepon. “Tentu dong. Mami akan menunggu dengan setia, Sayangku.”Ganti Saga yang tertawa sebelum menutup telepon. Ia pun kembali fokus mengemudi dan sampai di sebuah rumah bergaya mediterania.Seorang wanita anggun menyambutnya. “Bima Sayang! Kau makin tampan saja!”Saga menggosok hidungnya dengan bangga. “Siapa dulu maminya,” balas Saga sambil memeluk sang ibu.Wanita bernama Diana itu memang masih cantik di usianya yang sudah kepala lima. Tubuhnya tetap langsing seperti seo
“Sepeda air?” Val melongo menatap sepeda air berbentuk bebek mengapung di kolam di bawah kakinya. Seorang petugas menunggu di tepi.Saga terkekeh, lalu mendorong Val untuk turun. Ia juga membantu gadis berwajah cemberut itu menaiki sepeda air.“Apaan ini naik sepeda air segala? Memangnya anak kecil?” Val masih bersungut-sungut sambil berusaha mengayuh pedal di bawah.“Olahraga dong,” jawab Saga sekenanya. Ia ingin menggoda Val lagi dengan membiarkannya mengayuh sendiri.Val merasa sepeda air itu bergerak pelan sekali meski ia sudah mengayuhnya sekuat tenaga. Ia sudah kehabisan napas dan kakinya pegal, saat mendengar kikik geli di sebelahnya.“Cuma segitu kemampuanmu? Bukannya kau bilang sudah makan? Cepat sekali energimu menguap,” ejeknya.“Kayuh saja sendiri!” Val berhenti mengayuh dan melipat kedua tangan di dada.Saga terkekeh. “Hei, Val, naik sepeda air ini butuh ke
Dua hari tidak bertemu Arion, Val merasa sedikit lega. Apalagi ada Saga yang sempat mengisi satu hari di antaranya. Namun, ia tidak bisa menghindari bahwa di hari Senin, ia akan tetap bertemu pria yang ditolaknya.Setelah kejadian di ruangan kaca itu, Val masih belum tahu bagaimana harus bersikap di depan Arion. Kentara sekali Val merasa bersalah dan tidak enak setelah menggantung perasaan pria itu sekian lama. Ia telah menerima semua kebaikan dan ketulusan Arion, tapi apa yang ia berikan sebagai balasannya?Val sedih. Rasanya seperti jadi orang jahat. Cewek matre. Apa yang ada di pikiran Arion sekarang? Apa dia masih menganggapku temannya? Paling tidak, aku masih pegawainya di sana.Kakinya terasa berat saat berjalan keluar lobi. Ia menengok ke sana ke mari dan berkali-kali melirik jam di ponselnya. Sudah pukul setengah delapan dan dirinya masih belum berangkat.“Saga ke mana sih, jam segini belum datang? Padahal kalau aku terlambat sediki
Keringat dingin menetes di dahi Val. Dengan tangan gemetar, ia menggerakkan tetikus dan membuka setiap bab tulisannya. Kenapa dia bisa membaca tulisanku di sini? Dan dia menyuruhku menghubungi penulisnya untuk dikontrak. Artinya dia nggak tahu ini tulisanku, ‘kan?Sudah beberapa waktu ini Val mengisi waktunya dengan menulis sebuah novel di salah satu media online. Ia sengaja tidak mengirimnya di laman perusahaan karena cerita yang ia tulis adalah kisahnya sendiri. Ia tidak mau Saga atau Arion atau yang lain mengetahuinya.Kenapa justru Saga yang menemukannya? Apa dia menyadarinya? Mata Val kembali menyusuri rangkaian kalimat yang ia buat. Cerita itu belum selesai karena kebingungan hatinya sendiri. Sudah lebih dari satu minggu ia tidak mengirim episode baru. Banyak komentar pembaca yang menanyakan kapan kelanjutan cerita itu akan muncul.Tentu saja Val sudah berusaha keras untuk melanjutkannya. Namun, setiap kali ia menghadap lapt
Sepanjang perjalanan Val hanya diam mematung di belakang hingga mobil Saga memasuki kawasan perumahan elit. Val membeliak saat dirinya melewati beberapa bangunan megah dan besar.Arion tinggal di sini? Seharusnya aku nggak perlu heran. Kepalanya mengingatkan bahwa level Arion berada jauh di atasnya.Di depan sebuah rumah mewah, mobil Saga berhenti. Arion keluar dan melambaikan tangan pada dua orang yang masih di dalam.“Thank’s, Ga!” katanya. Ia juga melongok dari jendela depan dan menoleh pada Val yang masih diam di belakang. “Sampai besok, Val!”“Ah, oh, i-iya … sampai besok.” Val semakin gugup melihat Arion masih tersenyum dan bersikap baik padanya.Val hanya bisa menatap sosok Arion yang masuk ke rumah itu dari tempat duduknya. Rumahnya besar sekali. Butuh berapa asisten rumah tangga untuk membersihkannya? Atau mungkin aku bakal kesasar kalau tinggal di sana? Pikirannya