Sepanjang perjalanan Val hanya diam mematung di belakang hingga mobil Saga memasuki kawasan perumahan elit. Val membeliak saat dirinya melewati beberapa bangunan megah dan besar.
Arion tinggal di sini? Seharusnya aku nggak perlu heran. Kepalanya mengingatkan bahwa level Arion berada jauh di atasnya.
Di depan sebuah rumah mewah, mobil Saga berhenti. Arion keluar dan melambaikan tangan pada dua orang yang masih di dalam.
“Thank’s, Ga!” katanya. Ia juga melongok dari jendela depan dan menoleh pada Val yang masih diam di belakang. “Sampai besok, Val!”
“Ah, oh, i-iya … sampai besok.” Val semakin gugup melihat Arion masih tersenyum dan bersikap baik padanya.
Val hanya bisa menatap sosok Arion yang masuk ke rumah itu dari tempat duduknya. Rumahnya besar sekali. Butuh berapa asisten rumah tangga untuk membersihkannya? Atau mungkin aku bakal kesasar kalau tinggal di sana? Pikirannya
“Kenapa kau seperti mayat hidup?” tanya Saga.Val yang baru saja duduk di jok sampingnya langsung menyandarkan kepala dan memejamkan mata.“Kau masih ngantuk?” Pria itu bertanya lagi. “Sebentar.” Ia merogoh laci dashboard di sisi kirinya yang berhadapan dengan Val.Sontak gadis itu menahan napas saat tubuh Saga yang condong padanya, memancarkan aroma yang menyegarkan. “Ka-kamu ngapain sih?” tanyanya agak gugup.“Ini.” Saga menyerahkan sebungkus permen dari sana. “Biar nggak ngantuk.”Val memandang bergantian Saga dan bungkus permen mint di tangannya. “Makasih,” ucapnya kemudian.Sepanjang perjalanan ke kantor, suasana dalam mobil tampak tenang dan damai. Tidak ada ribut-ribut kecil atau ejekan yang terlontar. Seolah di dalam diri mereka ada kupu-kupu berterbangan dan membuat geli, bibir keduanya tak hentinya menyunggingkan senyum.Nam
Hari-hari Val berikutnya terasa ringan dan menyenangkan. Semenjak masalah perasaannya terselesaikan, ia jadi lebih semangat bekerja. Suasana canggung pun tidak terjadi, meski pada akhirnya ia jadi jarang berbicara dengan Arion karena kesibukan pria itu.Sebaliknya, hubungan Val dengan Saga menjadi jauh lebih baik dari sebelumnya. Ia teringat ucapan Arion dulu bahwa Saga akan menjadi seperti kucing jinak jika sudah mengenalnya. Dan, sudah terbukti.Sekali waktu, Val pernah memarahi Saga lagi karena terlambat menjemputnya di lobi. Memang hanya selisih lima menit dan mereka tidak terlambat masuk kantor, tetap saja gadis itu mengomelinya habis-habisan.“Saga! Sudah jam berapa ini?!” seru Val begitu memasuki mobil. “Kamu tahu nggak, sudah berapa lama aku nunggu di sini sampai berkeringat?!”Saga berjengit mendengar bentakan Val yang tiba-tiba. “Kau ‘kan bisa menunggu di dalam, lebih sejuk.” Ia memberi pembelaan sambil
Saga keluar dari bilik ATM dan mendapati Val sedang berbicara dengan orang asing. Gelagat orang itu mencurigakan. Saga yakin Val pasti tidak menyadarinya. Gadis itu terlalu lugu dan menjadi sasaran empuk bagi orang jahat.Ini nggak bisa dibiarkan! Saga segera mendekat dan berdiri di depan Val. Dia tidak memikirkan akibat dari ucapan yang baru saja terlontar dari mulutnya sehingga gadis itu terbelalak kaget mendengarnya.“Saya nggak ngapa-ngapain pacar anda. Saya hanya bertanya jam berapa sekarang.” Pemuda asing itu berkata tanpa gentar.“Iya, Ga, dia cuma tanya jam aja kok,” sahut Val. Ia menarik lengan Saga untuk menenangkannya, karena sepertinya Saga tampak marah. Ia tidak ingin ada keributan di sini hanya karena kesalahpahaman.Saga tersenyum sinis. “Itu cuma alasan aja, Val.”“Wah, anda jangan menuduh seenaknya saja, ya!” Wajah ramah pemuda asing itu berubah marah.“Kalau begitu, anda
Val memejamkan mata saat bibir Saga yang lembut menyentuh miliknya. Ia merasakan sensasi aneh di sekujur tubuhnya. Hatinya melambung tinggi dan pikirannya terbang ke awang-awang.Apa yang sedang aku lakukan? Kenapa aku nggak menghindar seperti waktu itu? Val merasa aneh dengan dirinya. Ia bahkan tidak rela Saga telah melepaskan tautan bibir mereka. Ia belum sampai di batas langit kenikmatan dan kini sudah meluncur jauh ke bawah.Terhempas.Patah.Dan hancur.Saat membuka mata, Val melihat Saga sudah mundur selangkah. Hanya sesingkat ini? Mengapa dirinya menjadi sedih?Untuk beberapa saat keduanya saling memandang dalam diam. Tidak ada sumber suara lain selain detak jantung masing-masing yang saling bersahutan. Val menunggu dengan gelisah.Apa Saga mendengar detak jantungnya masih bertalu-talu di dalam sana? Rasanya berisik sekali hingga Val yakin Saga pasti mendengarnya dengan jelas. Mungkinkah Saga akan mentertawakannya sete
Saga tidak benar-benar bisa tidur semalaman. Ia masih memikirkan tindakan sembrononya pada Val. Meski gadis itu menerima ciumannya, tetap saja ia masih belum percaya. Bisa saja Val hanya terbawa perasaan, sama seperti dirinya.Tapi, apakah semua gadis seperti itu? Mau-mau saja dicium pria yang mungkin tidak disukainya. Bukannya itu sama dengan murahan? Dan, aku yakin Val bukan gadis seperti itu. Ia bahkan menolak Arion!Saga duduk termenung di sofa dengan pakaian yang sudah rapi dan siap berangkat ke kantor. Disesapnya kopi hitam yang sudah tidak mengepulkan asap karena sejak tadi dibiarkan tanpa disentuh.Jarum jam sudah menunjukkan pukul 07.20, waktu yang biasa ia gunakan untuk turun dan menjemput Val di lobi. Namun, pagi ini Saga tidak segera beranjak dari kursinya. Ia tahu, pasti gadis itu sudah menunggunya di lobi seperti biasa. Ia tahu gadis itu akan menelepon dan memarahinya karena terlambat. Karena itu, ia sengaja mematikan ponselnya.Sag
Val memandang kepergian dua sosok itu hingga menghilang di dalam lift. Kemudian ia terduduk lesu di kursinya. Matanya menatap meja kerja sebelah yang kosong tanpa penghuni sejak tadi pagi. Ada rasa sepi dan juga kecewa mengetahui pemiliknya tidak ada di sana. Berkali-kali ia membuang napas panjang ketika sedang makan siang.Teman-temannya saling berpandangan dengan heran. Terlebih ketika Val masih menyuap sendok ke dalam mulutnya, padahal kotak makannya sudah kosong.“Kamu kenapa, Val?” tanya Rara mendekatkan wajah dan melambaikan tangan di depan Val.Val mengerjap sebentar lalu menjawab, “Oh, apa?”“Val, kamu lagi ada masalah sama Pak Saga?” tebak Rara langsung. Ia menangkap sesuatu yang tidak beres di antara keduanya sejak tadi pagi.“Hah? Nggak. Nggak ada apa-apa kok,” jawab Val gugup sehingga suaranya terdengar berlebihan.“Kalau nggak ada apa-apa, kok diem-dieman gitu?” Tatapan
Ponsel Saga sudah berdering beberapa kali di atas meja, tapi empunya masih enggan beranjak. Dia lebih memilih berbaring di sofa dengan sebelah lengan menutupi mata.Akhirnya ponsel itu berhenti berbunyi setelah beberapa kali panggilan dan digantikan oleh bunyi pesan masuk. Dengan malas, Saga membacanya. Dari Arion.“Ga, aku di café bawah. Turunlah.”“Aku mau tidur.”“Masih sore, Ga. Ayo, turun. Aku butuh teman ngopi. Kutraktir.”Kalau bukan Arion yang memintanya, Saga akan tetap menolaknya. Karena ini adalah sahabatnya, ia pun turun. Baru saja hendak berbelok ke arah café, matanya menangkap sosok yang sudah dua hari ini ia hindari dengan sengaja. Dengan cepat ia mengirim pesan pada Arion.“Ke apartemenku saja. Bawakan kopiku.”Arion membaca pesan itu sambil menggelengkan kepalanya. Ia pun berdiri dan membelikan pesanan Saga lalu keluar. Benaknya terus bert
Val sudah bisa menduga bahwa Saga tidak akan muncul lagi pagi ini di depan lobi apartemennya. Karena itu, ia sudah memesan taksi yang sampai sekarang belum tiba.“Ini sudah hari ketiga dia menghindar. Awas saja kalau sampai dia berani muncul, aku akan menghabisinya!” geram Val. “Katanya, ada masalah itu harus dihadapi supaya bisa belajar! Huh! Dia sendiri lari dari masalah!”Kekesalan Val semakin memuncak saat taksi pesanannya belum datang sejak belasan menit yang lalu. Baru saja ia akan menelepon, kendaraan itu berhenti di depannya.“Maaf, terlambat. Tadi macet sekali di sana,” kata sang sopir sebelum Val menumpahkan kemarahannya.Val masuk tanpa bicara apa-apa dan tiba di kantor beberapa menit lebih lama dari seharusnya. Ia sampai di tempat duduknya dengan napas terengah karena berlari setelah turun dari taksi. Untung saja, Saga tidak ada sehingga ia aman dari omelannya yang menusuk.Sepanjang hari Val berusaha
“Ga …?” “Ah, apa …?” Saga baru tersadar ketika Val menggoyang-goyangkan lengan jasnya. Val menatap pria yang kini sudah menjadi suaminya. Ia lalu memandang arah yang tadi dilihat Saga, tetapi tidak menemukan ada yang aneh di sana. “Kenapa lihat ke sana terus? Sudah waktunya kita turun,” katanya. “Oh, ayo.” Saga menggandeng tangan Val dan membantunya turun dari panggung. Tak lama, Val dan Saga duduk bersama keluarga mereka. Menikmati jamuan makan malam yang disediakan. Obrolan ringan juga turut mewarnai kehangatan keluarga baru itu. Beberapa jam kemudian, acara selesai. Seluruh tamu undangan sudah meninggalkan gedung. Para keluarga sebagian meninggalkan gedung, sebagian lagi menginap di hotel yang sama dengan Val dan Saga. Mereka memang sengaja menyediakan kamar kosong untuk beberapa keluarga yang tinggal di luar kora, seperti Tante Icha dan Riska. Val dan Saga diantar Kaira dan Arion ke kamar hotel mereka. Kaira tampak bahagia dengan senyum yang tak pernah hilang dari wajahnya.
“Kamu sudah yakin, Val?” Rima bertanya pada putrinya karena sedikit khawatir. Val mengangguk dan tersenyum. “Iya. Masa sudah begini, masih ditanya lagi sih?” Rima tersenyum sedikit. “Kamu bisa bilang ke Mama, Val. Nanti Mama yang akan cari cara.” Kali ini Val menggeleng. “Nggak usah, Ma. Memangnya Mama berani bilang sama Tante Diana? Dia teman baik Mama, ‘kan?” Rima diam sejenak lalu menjawab, “Iya, tapi … Mama rasa dia akan mengerti, Val.” “Nggak usah, Ma. Val baik-baik saja kok. Mama juga sudah lihat sendiri, ‘kan?” Val memamerkan senyum terbaik dan tercantiknya. “Saga pasti juga begitu.” Rima menatap putrinya sekali lagi. Val pun mengangguk untuk meyakinkan sang ibu. “Baiklah kalau begitu. Mama keluar dulu. Tamu-tamu sudah banyak yang datang.” Rima berdiri lalu keluar dari ruangan itu. Val mengantarnya dengan senyum bahagia. Ketika pintu di depannya tertutup, senyumnya memudar. Sungguh merupakan keputusan yang sulit baginya, tapi ia harus melakukannya. Sementara itu, di rua
“Aaah … capek juga ternyata bikin kue!” keluh Val sambil mengempaskan tubuh ke tempat tidur. Ia baru saja memasukkan dua loyang kue ke oven dan mengatur waktunya. Sambil menunggu, ia berniat beristirahat sebentar. Dari luar, Val bisa saja tertawa lepas seolah tidak ada yang mengusiknya. Namun, hatinya menjeritkan rindu yang sama pada seseorang. Berbagai kenangan bersama Saga mulai bermunculan, menggoda dirinya, dan membawanya kembali ke masa lalu yang jauh. Masa-masa di mana ia sama sekali tidak menyadari perhatian-perhatian kecil Saga padanya. “Aku mau ke kantin! Ada yang titip?” tanya Nita sambil berdiri. Saat itu, tim mading yang terdiri dari Saga, Val, Nita, Noah, dan Andi, sedang mengerjakan proyek minggu ini. Mereka berkumpul di ruang OSIS sepulang sekolah. Segera anak-anak menyebutkan pesanannya dan Nita pun berlalu. Val tidak pernah mengetahui bahwa saat itu Saga selalu memperhatikan gerak-geriknya. Apa pun yang ia lakukan, selalu mampu membuat senyum Saga mengembang. Namun
Val terbangun di Minggu pagi yang cerah. Sinar matahari sudah masuk dari jendela yang terbuka lebar. Kehangatannya memenuhi kamar dan tubuh Val yang masih memeluk guling, sambil mengejap-ngejapkan mata untuk menyesuaikan perubahan yang mendadak. Beberapa detik kemudian tubuh Val tegak di tempat tidur dengan rambut kusut dan wajah kusam. Samar-samar telinganya menangkap percakapan di luar. Ada suara ibunya dan suara lain yang tidak ia kenal. “Maaf, Bu Rima, sudah ganggu pagi-pagi.” “Oh, nggak apa-apa, Bu. Saya yang terima kasih karena sudah diberi ini.” “Itu cuma hasil kebun dari kampung, Bu. Kebetulan kemarin baru pulang dari sana.” “Pantesan kelihatan segar ini. Terima kasih banyak, Bu Nuri.” “Sama-sama, Bu. Baiklah, saya permisi dulu.” “Silakan.” “Siapa itu? Tetangga?” gumam Val lalu beringsut turun dari tempat tidur dan keluar. Baru saja ia menutup pintu di belakangnya, sang ibu muncul sambil membawa dua sisir pisang ambon di tangan. “Sudah bangun, Val?” sapa Rima. Val men
Hari pun berganti. Biasanya di akhir pekan banyak pasangan menghabiskan waktu bersama, termasuk Val dan Saga. Namun, kali ini berbeda. Pasangan yang dalam satu minggu ke depan akan melangsungkan pernikahan itu sedang ditimpa masalah. Masing-masing menghabiskan waktu di tempat yang berbeda dengan sikap yang berbeda pula. Saga seperti orang gila yang kehilangan sesuatu yang teramat berharga baginya. Telepon dari calon mertuanya membuatnya tersiksa sepanjang malam hingga tidak bisa tidur. Hari yang seharusnya cerah ini terasa begitu buruk bagi Saga. Sedari pagi, pria itu mondar-mandir di apartemennya. Seluruh penampilannya tampak berantakan. Botol-botol minuman berserak di meja dan lantai membuat ruangan itu sudah seperti kapal pecah. Bel pintu berbunyi. Buru-buru Saga membukanya dan langsung membentak. “Kai! Arion! kenapa kalian lama sekali?! Kenapa baru datang?!” Arion dan Kaira saling berpandangan lalu mengembuskan napas kesal. “Gimana bisa cepat kalau baru setengah jam lalu kau
Di ruang kerjanya, Arion mengamati layar ponsel yang berisi panggilan dari Val. Beberapa waktu lalu, gadis itu meneleponnya. Meminta izin tidak masuk hari ini. Ia sudah menduga ada sesuatu yang terjadi dengan dua sahabatnya itu. Tanpa mendapat jawaban yang sebenarnya, ia malah mendengar sesuatu yang tidak disangkanya sama sekali. Bentakan Saga, jeritan Val, ia mendengar semuanya dari ponsel yang tidak dimatikan dengan benar. Tidak tahan membayangkan apa yang terjadi di sana, Arion menekan tombol merah. “Apa yang kamu lakukan, Ga? Kenapa kamu begitu? Kenapa kalian seperti ini?” Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di kepala Arion. Andai saja ia bisa merebut gadis itu kembali, ia akan melarang Saga berbuat sesukanya. Sekarang ini, ia tidak berdaya untuk membantu apa pun. Itu sudah di luar kendalinya, bukan haknya. Arion mengangkat kepala ketika Saga muncul di ambang pintu ruangannya. Wajahnya tampak kacau dan ia sangat gugup. “Rion …,” katanya lirih. Arion berdiri dan mendekati Saga.
Val yang sangat merindukan kekasihnya itu membalas cumbuan Saga di bibirnya. Namun, beberapa detik kemudian ia mendorong pria itu menjauh. Wajahnya merah. “Kenapa?” Saga heran. “Ini nggak benar,” jawab Val. “Apanya yang nggak benar?” “Masalah ini, nggak semudah itu selesai.” Saga membawa wajah Val menatapnya. “Apanya yang belum selesai?” “Apa buktinya kalau wanita itu nggak akan menganggumu lagi?” “Aku sudah melarangnya. Aku sudah memintanya untuk nggak ganggu aku, kita. Apa lagi?” “Kamu yakin dia akan menurut begitu saja? Kulihat, dia orang yang selalu bisa mendapatkan keinginannya. Dia nggak semudah itu menyerah.” “Lalu, apa maumu, Val? Aku sudah nggak mau lagi berurusan dengannya.” Val masih menatap Saga mencari kebenaran di sana. “Begini saja, kalau sampai dia menghubungiku lagi, aku akan melaporkannya ke polisi. Bagaimana?” “Apa akan berhasil?” “Aku nggak tahu, tapi nggak ada
Setelah Erin pergi dengan wajah tak percaya dan tidak terima diperlakukan begitu, Saga terduduk di sofa dengan kepala sakit. Semua tampak berputar-putar di depan matanya. Bayangan wajah Val yang menangis membuatnya merasa jadi manusia paling bodoh di dunia. Ia merasa bersalah dan rasa itu lebih menyakitkan daripada saat Erin meninggalkannya. Tidak punya pilihan lain, Saga menghubungi seseorang yang ia percaya. “Aku butuh bantuanmu.” Sementara itu, Val menangis dalam diam di kamarnya. Ia ingin memercayai ucapan Saga, tapi apa yang dilihatnya tadi begitu menyakitkan. Sungguh ia tidak bisa membayangkan perjalanan cintanya akan sesulit ini. Pernikahan yang sudah di depan mata, bagaimana nasibnya, ia tidak tahu. Ponsel Val yang bergetar menghentikan isak tangisnya begitu melihat nama peneleponnya. Buru-buru ia menghapus sisa-sisa kesedihan dan mengatur napasnya, sebelum menjawab. “Val, kamu belum tidur?” Rima, ibunya menyapa. “Ah, Mama. Be
Val menatap gedung apartemen yang menjulang tinggi di depannya. Rasanya baru sebentar lalu ia berlari ke gedung sebelah ketika mendengar Saga sakit. Kini, menatapnya hanya menambah garam di atas lukanya. Ia teringat perkataan Noah bahwa Saga butuh waktu.Meski begitu, Val benar-benar merindukan Saga. Ia ingin bertemu dengannya. Ia juga telah membuat sebuah keputusan, dengan harapan itu akan membantu Saga menyelesaikan masalah ini.Kaki Val melangkah dengan mantap ke apartemen Saga. Ia sudah mempunyai kuncinya, jadi tidak ada masalah bila langsung mendatanginya, ‘kan? Ia akan menunggu jika Saga belum pulang dari urusannya, entah apa itu.Niat seringkali bertolak belakang dengan keberanian. Tangan Val bergetar ketika hendak memindai nomor kartu di pintu. Jantungnya berdegup kencang. Ia kemudian bimbang, apakah ini tindakan yang tepat? Namun, tekadnya sudah bulat. Ia pun membuka pintu itu. Sayangnya, apa yang ia lihat di dalam sana tidak sesuai dengan keingin