"Tidak! Aku tidak mau mendengar penjelasan kamu lagi. Semua sudah jelas, kamu selingkuh di belakangku.” Kini Mas Arman berulah lagi layaknya orang kesurupan“Mas, ini tidak seperti yang kamu pikirkan, tolong dengarkan aku dulu Mas!" Aku yang berusaha menenangkannya lalu dihalangi oleh Ibu mertuaku. “Sudahlah! Tak ada gunanya kami mendengar penjelasan kamu lagi. Sekarang sudah jelas tujuan kamu, mau menikah dengan Arman hanya butuh harta kami kan?” lagi – lagi kalimat hinaan yang dilontarkan Ibu membuat aku sakit hati. “Ma-maaf ini tidak seperti yang kalian bayangkan! Kami... kami hanya berteman. Lagi pula, hari ini hari ulang tahun Sinta, seharusnya dirimu sebagai suamilah yang lebih dulu tahu.” Mas Heri yang berusaha membelaku kemudian melirik ke kue ulang tahun yang ada di atas meja kemudian menatap wajah Mas Arman.“Mas, jangan turuti emosi kamu tanpa mencari tahu lebih dulu! Seharusnya, sebagai suami Kamulah yang lebih peka,” Aku yang berusaha menenangkan Mas Arman. “Ha! Te
Kesya, satu kata lagi kau berani menghina Sinta akan ku blokir semua ATM pemberianku.” Mas Arman tiba – tiba muncul dari belakangku. Segera diambilnya Handphone di tanganku kemudian dia yang melanjutkan pembicaraan dengan Kesya.“Kak, aku ini adikmu. Kenapa dirimu tega lebih membela dia yang baru beberapa bulan hidup denganmu dari pada adik kandungmu sendiri yang tumbuh bersama dari kecil. Salahkah, jika aku lebih membela Ibu,” jawab Kesya dari seberang sana. “Mengenai cincin yang kau berikan ke aku sebagai sumbanganmu di pernikahanku, akan kuganti. Aku tidak menyangka hal ini akan diungkit olehmu,” Mas Arman mulai emosi. “Saya ingin rumah tanggaku dan Sinta aman, mungkin dengan kami cari kontrakan Ibu perlahan – lahan membuka hati untuk Sinta," lanjut Mas Arman. “Kak, tapi aku lebih percaya Ibu dibanding Sinta yang baru menjadi bagian dari keluarga kami. Jadi, tak perlu mendengar langsung darimu lagi. Semua sudah kudengar dari Ibu.” “Terserah apa tanggapanmu, lagi pula, aku te
Kata orang aku cantik. Kulit yang berwarna kuning langsat, dan mempunyai bodi yang tinggi semampai membuat orang-orang betah memandang. Gigi yang tersusun rapi dan mempunyai lesung di kedua pipi menambah daya tarik senyumanku. Tapi, entah kenapa diriku lebih suka berpenampilan sederhana dibanding dengan tampil gaya yang berlebihan. Dari kecil aku sudah bisa mencari penghasilan sendiri. Keahlian dalam membuat jajanan kue bisa membantu mencari jajan tambahan. Ibu sangat bangga padaku di usia belia anak seusiaku sudah bisa membeli perlengkapan sekolah dari hasil keringat sendiri. Teman-teman sebayaku sebagian besar sudah menggunakan ponsel android sementara saat duduk di bangku SMP diriku masih menggunakan ponsel adul komuniketer alias Handphone yang bisa komunikasi dan senter. Tapi, aku tak mau membebani ibu untuk segera punya ponsel android, entah ide dari mana yang muncul di benakku tiba-tiba ingin membuat kacang goreng balado kemudian aku titip di warung-warung. Awalnya ti
“Apa, Mas Arman hanya anak angkat?” Rasanya bagai disambar petir di siang bolong. Entah aku kaget ingin menangis atau gembira, dia yang menjadi suamiku saat ini bukanlah anak kandung dari mertua yang membenciku selama ini. “ Mas, tidak bercanda kan?” tanyaku dengan penuh serius. “Ma-maaf Sin, selama ini Mas belum bisa jujur. Mas takut, kamu tidak menerima keadaanku yang sebenarnya." Sekali lagi di hapus nya air matanya kemudian melanjutkan pembicaraannya. “Mas takut kamu tidak menerima lamaran Mas dulunya, Jika kamu mengetahui yang sebenarnya. Sehingga dalam waktu sebulan mengenalmu aku berusaha cepat melamar mu Sin,” lanjutnya. “ Kenapa Mas Arman tidak jujur dari dulu. Aku tetap menerima diri Mas Arman , meskipun aku tahu yang sebenarnya,” aku tetap berusaha menyemangatinya agar tidak kecewa. “Terima kasih Sin! seharusnya status aku kamu ketahui dari sebelum kita menikah. Sekarang untuk membalas budi kepada mereka, aku tetap membantu usaha milik Ayah dan juga harus memberikan K
*POV IBU*“Sinta!" Wanita itu menoleh ke arah kami.“ Iya, kalian memanggil saya?” Didekatinya kami. “Kamu Sintakah? Kamu menantu Ibu kan?” Ku pegang seragamnya. “Tumben, Ibu mau mengakui kalau aku ini menantu. Ada perlu apa Bu kemari?”“I-ibu tadi kebetulan lewat kompleks sini jadi Ibu mampir di sekolah tempat menantu Ibu menjabat sebagai kepala sekolah.” Aku yang menahan kikuk. Semudah inikah aku mengakui bahwa dia menantuku. Penampilan Sinta hari ini, dengan riasan tipis di wajahnya membuat penampilannya terlihat lebih elegan tidak seperti biasanya.“Kepala sekolah? Mungkin Ibu salah informasi, aku hanya guru honorer di sekolah ini Bu. Tapi, mohon aminkan saja Bu, semoga suatu hari nanti jadi kenyataan menantu Ibu jadi kepala sekolah.”“ Ta-tapi, Bapak tadi mengatakan bahwa kamu adalah seorang kepala sekolah.” Kutunjuk Pak Satpam yang lagi berjaga di depan pintu gerbang sekolah. “Oh itu, dia belum lama menjadi satpam di sini. Jadi, dia belum banyak tahu tentang sekolah ini.”
Aku kaget melihat seseorang menuju anak tangga. Akhirnya aku kembali sembunyi di belakang kardus yang berada dekat situ. Syukurlah dia tidak menyadari keberadaan ku di sini. Wanita itu melangkah ke dalam dilihatnya dua orang lelaki itu tumbang karena ulahku. “Hei, apa yang terjadi dengan kalian?" seru wanita itu. “Ada seorang wanita yang berani mengambil gambar kami waktu bertransaksi Bu.” “Si-siapa dia. Apakah dia adalah orang yang kalian kenal?”“I- iya Bu. Sepertinya dia adalah menantu Ibu.” Lelaki bertubuh jangkung berdiri kemudian menggosok-gosok matanya yang sebelumnya dilempar dengan pasir. “Apa... Maksud kalian Sinta. Kenapa bisa dia ada di sini?” Ibu heran ketika nama Sinta disebut. “I-iya Bu, dia menantu Ibu selama ini terlihat lemah tapi sebenarnya dia kuat.” Pria bertubuh kekar itu mencoba meyakinkan Ibu. “Alah! Ngomong apa kalian. Menantuku itu tidak bisa berbuat apa. Dia itu hanya wanita lemah."Aku menyaksikan mereka berbicara dengan Ibu yang keluar dari tem
Melihat kondisi Ibu kepalanya bercucuran darah diriku panik. Pak Satpam Sekolah mengangkat Ibu untuk di bawa ke rumah sakit sesuai perintahku.“Bu Kepala Sekolah, semuanya sudah siap.” “I-iya Pak, ayo kita berangkat!” Ibu tertidur dalam pangkuanku. Rasa bersalah selalu menghantui. Pikiran tak karuan selama di perjalanan entah apa alasanku nanti jika Mas Arman mengetahui. “ Hati-hati di jalan Bu Kepala Sekolah. Semoga Ibu mertuanya segera sadar.” Bu Anik guru kelas satu mengingatkanku. “I-Iya Bu, terima kasih. Mohon kerja samanya dengan rekan Guru yang lain untuk memantau jaga keamanan sekolah ya Bu.” Mobil Rushku melaju ke rumah sakit. Suara Ibu terus memanggil namaku meskipun kepalanya dalam keadaan terluka.“Sinta, maafkan Ibu ya! Selama ini sering menyakiti kamu. Ibu belum mau mati, takut masuk neraka.” Semoga dia berubah menjadi lebih baik dan menerima Ku apa adanya karena selama ini sudah Capek jadi menantu yang sering sakit hati.“Sinta...dari dulu sudah maafkan Ibu! D
Hai, Bos! Akhirnya kita bertemu di sini lagi," ku sapa mereka yang ada di situ. “Sinta...! Kenapa kamu di sini?” mata Kesya terbelalak melihat kedatanganku. “Kenapa? Kaget! Tidak menyangka ternyata wajah aslimu di belakang Mas Arman seperti ini.” Ku tarik sebuah kursi yang ada di situ kemudian duduk di dekatnya. “Aku..., aku di sini mau...” “Mau, apa? Selama ini kalian menjadikan Mas Arman sebagai bank berjalan. Ini yang kalian lakukan.” Kudekatkan wajahku di hadapannya. “Hentikan nada bicaramu yang sombong itu. Hei, wanita cantik.” Lelaki yang bertubuh gemuk itu berusaha memegang daguku namun gerakan tanganku lebih cepat untuk menepisnya.Kesya yang melihatku dengan wajah yang tegang karena dengan berani menentang bosnya. “Sin! Jangan berani kamu dia ini Bos yang disegani di sini," Kesya berbisik di telingaku.“Oh, Bos di sini. Baguslah! Mana cincin emas pernikahanku yang di berikan Mas Arman? Beraninya mengungkit barang yang tidak seharusnya diungkit.” “ Itu, itu... Aku beri
“A-aku kenapa?” tanya Sinta ketika tersadar dari pingsannya. Dilihatnya sekeliling ruangan dengan pandangan liar.“ Bu Sinta pingsan di ruangan. Sepertinya Ibu kelelahan. Sebaiknya Ibu pulang dan istirahat di rumah saja,” ujar salah satu guru wanita yang berdiri di hadapannya.“ Baiklah, sebaiknya mungkin seperti itu. Aku pamit ya Ibu-ibu,” balas Sinta seraya berdiri memakai sepatunya.Kemudian salah satu guru pria memberikan tas dan kunci mobilnya. Dirinya masih dalam keadaan sedikit pusing tetapi tetap berusaha menuju jalan pulang dengan mengendarai mobilnya.***“ Eh, Mbak Sinta! Kok pulang cepat?” tanya Mbak Novita ingin tahu. “Aku lagi kurang enak badan Mbak, jadi...lebih memilih pulang cepat,” ujarnya sambil melangkah ke kamarnya untuk beristirahat.Matanya seketika mulai terlelap ketika menjatuhkan diri di atas pembaringan. Dalam tidurnya sosok gadis kecil yang dilihatnya tadi muncul lagi dalam mimpinya. “ Bu, Ibu ayo ikut aku Bu. Di sini aku kedinginan, di ruangan gelap aku
Hari- hari dilalui Sinta dengan kesendirian rasanya mulai membosankan. Mas Heri yang dulu selalu membantu ketika dirinya mengalami kesusahan saat ini mulai menjauh darinya.Karena sudah menemukan sosok Ibu polwan calon pendamping yang sebentar lagi menikah dengannya. Berulang kali dirinya mencoba berani mengutarakan isi hatinya. Namun, Sinta selalu menolak dengan alasan di hatinya masih membekas sosok Arman. Sosok Arman begitu sulit untuk dilupakannya.Andaikan saja dulu Arman mau mendengarkan keluh kesahnya, mungkin dia tidak akan termakan oleh hasutan Ibu mertuanya yang ingin menguasai harta menantu. Bahkan hutang-hutang keluarga Arman tak perlu ditanggung olehnya.Seperti biasa disaat waktu subuh dirinya bersiap menghadap sang Halik. Ketika selesai sujud terakhir tiba-tiba dirinya dikagetkan dengan teriakan Mbak Novita dari arah depan.“ Aaakkhh! Tolong!” teriak Mbak Novita yang mencari pertolongan dari segala arah.“ Ke-kenapa Mbak Nov? Ada apa? Apa yang terjadi?” Sinta yang
“Hei, bangun! Beraninya sama perempuan.” Serentak ketiga lelaki itu terbangun. Di hadapan mereka Sinta mulai geram atas apa yang mereka lakukan sebelumnya.“Maaf Mbak, kami...,”“Kami apa? Jangan pikir aku akan diam atas apa yang kalian lakukan ya.” “Mbak, kami hanya menuruti apa yang diperintahkan Gayatri,” jawab lelaki yang bertubuh kurus itu.“Diam! Saya tidak tanya. Apa yang ingin kalian harapkan padaku?” “ Hei, kamu banci! Kukira dirimu sudah mati. Ternyata nasibmu masih bisa bertemu lagi denganku ya.” Diangkatnya dagu Gayatri dengan jari telunjuknya itu.“Aku begini karena Anda yang dulunya berani menyiksaku,” bantahnya.“Dulu kamu mencoba bermain-main denganku. Dengan cara merusak rumah tanggaku. Sekarang, maumu apa?” “Aku hanya ingin membalaskan dendamku dan mengambil uangmu.”Tawa Sinta seketika meledak. Kalimat yang dilontarkan Gayatri membuatnya jadi merasa lucu.“ Kali ini kamu menangkap orang yang salah. Aku hanya seorang Sinta yang penghasilan setiap bulannya tidak se
Kini Sinta sudah tersadar kembali setelah beberapa lama dirinya sempat tak sadarkan diri akibat ulah Gayatri. Dilihatnya sekeliling tampak ruangan tertutup yang pengap udara dan sedikit gelap layaknya di dalam sebuah gudang yang sudah lama tidak terpakai .Baru saja mau menggerakkan kakinya namun terasa kaku karena lilitan tali yang mengikatnya.“ Ah! Sialan, berani macam-macam ke aku rupanya,” gumamnya dalam hati.Mulutnya yang ditutup dengan sebuah kain hitam Begitu juga dengan kaki dan tangannya membuat dirinya kesulitan dalam bergerak.“Siapa yang berani macam-macam denganku? Apakah itu memang Gayatri? Kalau memang dia kenapa dia masih hidup?” lanjutnya.Dirinya yang kini masih bertanya dalam hati seakan-akan ini suatu hal yang menjadi teka-teki bagi dirinya yang harus dipecahkan.“Oh Tuhan! Tolong aku. Semoga semuanya akan baik-baik saja,” lanjutnya memohon.Terdengar suara langkah kaki diluar membuat denyut jantungnya semakin kencang. Kini di pura-pura tidur kembali agar bisa
Sesampainya di rumah Sinta segera turun dari mobil tanpa menunggu Heri membukakan pintu.“Mas, aku turun. Maaf karena ulah Mas Arman makan malam kita kali ini jadi kacau.” Kemudian dia melangkah masuk ke rumahnya.“Sinta! Tunggu dulu,” ucapnya sambil menahan lengannya.“ Kenapa Mas?” Rianti berbalik.“Aku...aku...” Namun tak dilanjutkannya lagi.“Kenapa dengan Mas?” tanya Rianti penasaran.“Tidak jadi. Aku takut nanti kamu tersinggung,” balas Heri.“ Ya sudah. Rianti masuk dulu ya Mas.” Dirinya berbalik kemudian segera meninggalkan Dibaringkan tubuhnya di tempat pembaringan kemudian tidur terlelap.Keesokan harinya setelah pulang dari sekolah Sinta segera menuju ke sel tahanan menuju mantan Ibu mertuanya. Meskipun status mereka kini hanya mantan tapi, dirinya masih saja menganggap Ibunya sebagai mertuanya.“Maaf pak polisi kedatangan saya kemari ingin menengok Ibu Mertua saya. Apakah bisa?” tanya Sinta pada salah satu polisi yang kebetulan berjaga.“Atas nama Bu siapa mertua Anda.” po
Malam harinya Heri sudah bersiap menjemput Sinta untuk pergi ke tempat yang sudah mereka sepakati. Dress berwarna pink senada dengan warna jilbab yang dikenakannya membuat penampilan Sinta kali ini semakin cantik mempesona.“Yuk, Sin!” Dipersilahkannya Sinta masuk ke dalam mobilnya. Kali ini Sinta duduk di depan samping Heri mengemudi.Kali ini mobil yang mereka naiki segera melaju ke Cafe. Beberapa saat kemudian mereka telah sampai.Sebuah meja yang dihiasi dengan lilin dan musik yang menambah keindahan suasana Cafe malam itu. Sengaja Heri menyiapkan ini semua, karena dia ingin mengutarakan isi hatinya ke Sinta yang selama ini dipendamnya.“Mau...makan apa Sin?” Diperlihatkan menu yang tersedia.“Aku...mau makan yang seperti Mas Heri pesan,” jawabnya dengan senyum.“Sin, aku...aku mau bilang sesuatu sama kamu!” Dipegangnya hari Sinta yang terasa dingin itu.“Mau bilang apa Mas? Tumben Mas serius seperti ini. Biasanya...Mas Heri kebakaran bercanda.” Sambil sesekali melihat pemandang
Hari-hari telah berlalu. Kesendirian Sinta mulai terasa sepi. Sosok Arman mantan suaminya selalu saja terngiang di ingatannya. “ Oh, Tuhan! Singkirkan perasaan bodohku ini pada mantan suami yang pernah menyakitiku,” gumamnya dalam hati.kali ini dirinya masih kurang fokus mengerjakan tugas administrasi kepala sekolah. karena di ingatannya sosok Arman selalu menghantui.Beberapa saat kemudian terdengar suara kurir yang mengantarkan paket di depan rumahnya.“Paket...Paket!” “Mbak Nov,! Mbak Nov! Di depan ada kurir Mbak. Siapa tahu yang diantar itu paket Mbak Nov,” ucapnya sambil menikmati makanan ringan yang ada di tangannya.Kemudian dicobanya lagi memanggil nama Mbak Novita.“Mbak Nov, paketnya datang! Namun, tak ada balasan dari Mbak Novita. Akhirnya Sinta memutuskan untuk keluar menghampiri kurir tersebut.“ I-iya sebentar,” balasnya dari dalam sambil menuju keluar.“ Paket dari siapa Pak? Perasaan saya tak punya Paket.” Kurir yang datang membawa paket menggunakan masker dan to
Hari ini sidang cerai Sinta dengan Mas Arman. Sebagai wanita yang pernah disakiti oleh suami dan keluarganya yang hanya memanfaatkannya, dirinya menjadikan ini sebagai pelajaran agar tidak salah pilih lagi dalam mencari pendamping hidup. Setelah perceraian mereka dinyatakan sah, hatinya lega ketika semua harus berakhir seperti ini. Meski bukan perceraian yang diinginkannya. Namun, niat dan tekadnya sudah bulat untuk memberikan pelajaran pada keluarga Arman. Setelah status mereka dinyatakan sah kini keduanya segera berjabatan tangan. Sinta, yang pada saat itu ditemani oleh kedua orang tuanya dan Heri juga ada di sana. “Maaf ya Sin, selama menjadi suami kamu...aku selalu menyakitimu. Sungguh aku memang pantas mendapatkan hukuman yang setimpal,” ucapnya sambil menjabat tangan Sinta. “Aku juga minta maaf, jika selama menjadi istri Mas mempunyai salah.” Dibalasnya jabatan tangan lelaki yang baru saja sah menjadi mantan suaminya itu. Hari itu Sinta menggunakan baju berwarna pink sen
Kali ini Sinta membawa pulang uang lima puluh juta tersebut dengan aman meskipun nyawa taruhannya. Bersyukur dirinya selamat dari serangan orang-orang Tedi. Keesokan harinya Sinta pergi bertemu Lani sahabatnya yang bekerja di salah satu bank tempat Arman menggadaikan SK rumahnya. “Lan, aku menuju ke situ ya! Aku akan menebus hutang Mas Arman setelah itu rumah tersebut akan menjadi milikmu seutuhnya,” ucapnya. “Oke! Aku menunggumu Sin. Eh, jangan lupa segera melengkapi persyaratannya. Biar perjalanan mulus.” Lani mengingatkan Sinta. “Oke, tenang saja. Semua sudah beres. Kamu menungguku dengan duduk manis.” Beberapa saat kemudian mobil Sinta berhenti di depan Bank tempat Lani bekerja. Dirinya segera melangkah masuk kemudian mengurus semua berkas yang dibutuhkan saat akan melunasi hutang Arman. “Terimakasih ya Lan, kamu... Sudah sangat membantuku. Kali ini tak sabar menunggu sertifikat rumah itu di tanganku.” Sambil memeluk sahabatnya itu. “Kamu yang sabar ya Sin, jika serti