Share

BAB 7

Penulis: Duo Sul Enjelika
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

“Apa, Mas Arman hanya anak angkat?” Rasanya bagai disambar petir di siang bolong. Entah aku kaget ingin menangis atau gembira, dia yang menjadi suamiku saat ini bukanlah anak kandung dari mertua yang membenciku selama ini.

“ Mas, tidak bercanda kan?” tanyaku dengan penuh serius.

“Ma-maaf Sin, selama ini Mas belum bisa jujur. Mas takut, kamu tidak menerima keadaanku yang sebenarnya." Sekali lagi di hapus nya air matanya kemudian melanjutkan pembicaraannya.

“Mas takut kamu tidak menerima lamaran Mas dulunya, Jika kamu mengetahui yang sebenarnya. Sehingga dalam waktu sebulan mengenalmu aku berusaha cepat melamar mu Sin,” lanjutnya.

“ Kenapa Mas Arman tidak jujur dari dulu. Aku tetap menerima diri Mas Arman , meskipun aku tahu yang sebenarnya,” aku tetap berusaha menyemangatinya agar tidak kecewa.

“Terima kasih Sin! seharusnya status aku kamu ketahui dari sebelum kita menikah. Sekarang untuk membalas budi kepada mereka, aku tetap membantu usaha milik Ayah dan juga harus memberikan Kesya dan Bang Junet jatah bulanan.”

Sekarang aku baru tahu kenapa Mas Arman berusaha menyenangkan mereka yang terus saja menghinaku.

Jatah bulanan untuk saudaranya dan Ibu selalu diberikan bagai air mengalir kapan mereka butuh selalu ada Mas Arman beri tanpa peduli aku sebagai Istri yang wajib Mas Arman nafkahi.

Sekarang bagiku tidak ada balas budi jika diriku yang nantinya akan tertindas menderita. Bukan maksudku membuat Mas Arman jadi anak durhaka pada ibu, tapi jika mereka butuh nafkah dari Mas Arman harus menghargai aku sebagai Istrinya. Karena penghasilan suami adalah milik Istri. Aku juga berhak mengetahui berapa jumlah yang diberi untuk mereka.

***

Seperti biasa pagi hari sebelum pergi beraktivitas aku selalu menyediakan sarapan pagi.

Bagi wanita yang mempunyai kerja di luar rumah seperti aku, menyediakan sarapan pagi buat suami sangat penting.

Menurutku tidak punya alasan karena sibuk dan tidak punya waktu. Karena Ibuku selalu mengajarkan aku menjadi wanita yang mandiri dari sejak kecil.

Kebiasaan bangun pagi sekali kemudian masak di dapur sudah menjadi kegiatan rutinku setiap pagi dari sejak duduk di bangku SD. Jadi, setelah aku menikah dengan Mas Arman, sarapan pagi Mas Arman selalu ada kusiapkan sebelum berangkat kerja.

Bagiku sarapan pagi di rumah itu lebih penting dari pada beli sarapan di luar. Karena, kebersihan dan sehatnya makanan bagiku itu jauh lebih penting.

“Sin, menurut kamu...kapan kita pergi pamit ke Ayah dan Ibu. Aku mau pamit buat usaha sendiri saja meskipun usaha kecil-kecilan.” Sambil memasukkan makanan ke dalam mulutnya.

“ Aku saja yang pamit langsung ke rumah Ibu Mas. Kamu fokus saja dengan kerja di toko bantu-bantu Ayah.”

“ Kamu yakin bisa pergi pamit ke Ibu sendiri, kamu tidak takut dapat hinaan dari Ibuku lagi,”

“ Kenapa harus takut,? Bagiku hinaan dari saudaramu dan Ibumu itu hal yang sudah biasa aku alami sejak sah menjadi istrimu.” Dengan penuh percaya diri aku meyakinkan Mas Arman.

“ Oke! Aku serahkan penuh semuanya sama Ibu Guruku tersayang menghadapi Ibu hehehehe." Dicubitnya pipiku kemudian menyudahi sarapannya.

***

Seperti yang sudah kusepakati dengan Mas Arman, sepulang dari sekolah aku akan pergi pamit ke Ibu.

“Assalamualaikum,”

Lama tak terdengar jawaban Ibu dari dalam aku mengulang salamku lagi.

“Assalamualaikum,”

Kemudian tampak sosok yang sangat ku kenali melangkah keluar menghampiriku

“Waalaikumsalam,”

“Ya elah, kukira kedatangan menantuku yang miskin ini adalah orang yang datang minta-minta sumbangan ke rumah-rumah.” Diliriknya penampilanku dengan wajah sinis

Aku yang tak mau kalah dengannya kali ini mulai menguatkan diri untuk tidak terlihat lemah.

“Alhamdulillah Bu Mertuaku yang cantik, wanita yang mirip dengan orang minta sumbangan ini adalah menantu anda hehehe,” raut wajahnya berubah menjadi merah ketika aku membalas cemoohannya yang tidak seperti biasa.

“Oh iya, Ibu mertuaku yang cantik! Bolehkah aku masuk dan duduk bicara seperti biasa denganmu?" Sesekali kulirik ke dalam siapa tahu saja ada Kesya yang menguping pembicaraan kami.

Tanpa dipersilahkan masuk aku tetap memaksa masuk dan duduk di ruang tamu. Ibu mendekatiku kemudian mendekatkan telapak tangannya ke jidatku.

“Sin, kamu masih menantu aku kan? Kamu tidak kesurupan kan?” segera kuberbalik arah meliriknya untuk meyakinkan bahwa aku ini masih menantunya yang selama ini dibencinya.

“ Kenapa Bu? Ada yang salah dengan kedatanganku hari ini?” Kemudian aku mengajaknya lagi untuk duduk mendekatiku.

“Sini Bu, ayo duduk dekat aku. Masa sih, Ibu tidak mau duduk dekat menantu." Segera kutarik pergelangan tangannya kemudian duduk di sampingku

“ I-iya, Sin. I-bu duduk." Didekatkan bokongnya untuk duduk di sampingku.

“Maaf Bu, kedatangan aku kemari Cuma mau mewakili Mas Arman untuk pamit. Bahwa mulai besok, Mas Arman tidak akan kerja di toko milik Bapak lagi.”

“Maksud kamu apa Sinta? Apa yang kamu lakukan sehingga Arman tidak kerja di toko lagi?"

“Hmm, aku tidak melakukan apa-apa. Aku hanya memberikan sedikit modal dari hasil uang tabunganku untuk membantu Mas Arman untuk buka usaha sendiri.” Terlihat jelas wajah Ibu mulai menahan amarah.

“Jangan ambil keputusan secepat itu kamu perempuan miskin. Aku tahu jelas Arman anakku tidak bisa menghasilkan uang jika dia keluar kerja dari usaha milik Ayahnya." Dengan penuh percaya diri Ibu masih saja menghinaku dan menunjukkan jari telunjuknya ke arahku.

“Kayaknya Mas Arman tidak membutuhkan bantuan dalam hal materi. Tapi, kami hanya butuh dukungan dan doa dari Ibu. Semoga tabungan aku dan Mas Arman bisa mencukupi untuk modal awal." Pandanganku ke arahnya tak mau kalah.

Kali ini aku mengumpulkan keberanian untuk menjawab segala perkataan dari Ibu.

“Oke, kita buktikan apakah kalian punya cukup uang untuk modal Arman? Jika tidak berhasil jangan harap Arman bisa kembali kerja dengan Ayahnya lagi.”

“Andaikan Mas Arman berhasil , tanggapan Ibu bagaimana ?” Tiba – tiba saja pertanyaan ini terlontar begitu saja keluar dari mulutku.

“ Jika kalian berhasil dalam membangun usaha, bisa kupastikan Kesya dan Junet tidak akan meminta nafkah bulanan dari Arman lagi, tapi andaikan kalian jatuh bangkrut aku ingin kamu segera bercerai dengan Arman. Karena sejak kehadiran kamu , Arman anakku sudah banyak perubahan. Aku yakin itu semua Karena ulahmu.” Di tunjukkan jari telunjuknya tepat di depan wajahku.

“ Insya Allah Bu, aku tidak akan menyusahkan Ibu. Lagi pula...aku sebagai istri Mas Arman harus bisa memberikan dia semangat agar tidak dipandang sebelah mata."

“Apa yang bisa kamu banggakan? Penghasilanmu saja tidak cukup membiayai kebutuhan hidupmu sendiri."Lagi – lagi kalimat itu yang kudengar dari mulut Ibu.

“ kalau begitu aku pamit, semoga Kesya dan Bang Junet bisa membantu Bapak dalam usaha dagangnya ya, Bu.” Ku mendekatkan diri padanya untuk salaman namun kali ini tanganku ditepisnya.

“Baru tinggal di kontrakan saja sudah sombong.”

Aku segera pergi meninggalkan Ibu, kata-katanya barusan tidak membuatku kecewa karena bagiku itu sudah biasa terlontar dari mulutnya.

*POV IBU*

Pagi ini aku sudah sepakat dengan Kesya untuk pergi ke sekolah tempat Sinta sebagai guru.

Entah kenapa sejak kejadian kemarin sore aku mempunyai tekad untuk menyelidikinya.

Kemarin dia sangat percaya diri membantu Arman dalam membuka usaha baru. Seakan-akan dia sudah punya banyak uang untuk membantu Arman.

Bagiku, dia hanya seorang wanita yang kurang pantas dengan anakku Arman. Apa yang diandalkan darinya, penampilannya saja mirip dengan pembantu. Cantik sih iya, tapi kecantikannya tak pernah aku anggap jika dia tidak terbiasa memakai riasan makeup layaknya wanita lain.

Apalagi dia hanyalah seorang guru dengan status honorer. Aku sangat malu pada orang-orang ketika Arman salah dalam memilih pasangan. Pagi ini kami pergi ke sana memilih naik taksi.

“ Ayo Kesya! Kalau berjalan itu yang cepat, nanti keburu dilihat oleh Sinta."Kami berjalan dekat pagar sekolah dengan cara mengendap layaknya maling.

“Aduh Bu, jalannya jangan cepatcepat. Tunggu aku.”

“Kalau kamu lambat aku tinggal ya ke dalam.” Kemudian aku segera mendekati pintu pagar sekolah.

“ Siapa kalian, ada perlu apa?” Suara itu terdengar jelas di belakang kami.

“Eh, Pak Satpam! Anu pak. Kami...sedang mencari seseorang,” Kesya dengan segera menghampiri Pas Satpam yang bertugas menjaga pintu gerbang saat itu.

“Cari siapa?”

“Kami cari guru honorer yang ada di sini namanya Sinta eh maksudnya Ibu Sinta.”

“Di sini tidak ada seorang guru honorer yang bernama Sinta, kalian mungkin salah orang.” Kemudian Pak Satpam itu bersiap ingin menutup pintu gerbang sekolah.

“Eh pak tunggu...tunggu Pak! Ini aku perlihatkan fotonya, mana ya aku cari di Handphoneku dulu sabar.” Kesya dengan cepat mengambil gawai miliknya dari saku kemudian memperlihatkan wajah Sinta kepadanya.

“Oh ini, dia adalah kepala sekolah di sini. Namanya Bu Sinta Dewi, tapi...kami di sini memanggilnya dengan sebutan Bu Dewi," jelasnya.

“Apa,? Kepala sekolah tidak mungkin ini pasti tidak mungkin. Anda mungkin salah Pak dia ini hanya guru honorer di sini." Kemudian aku mengambil ponsel dalam saku memperlihatkan foto Sinta agar lebih yakin.

“ Jika Ibu kurang percaya sini aku ajak masuk ke ruangan Bu Dewi." Di ajaknya aku dan Kesya anakku segera menuju ke ruangan Sinta.

Ketika kami berjalan menuju ruangan kepala sekolah, tampak di belakang kami masuk sebuah mobil Rush putih mirip seperti mobil Rush yang terparkir di rumah Novita teman Sinta.

Mobil itu berhenti tidak jauh dari tempat kami. Aku yang makin penasaran, menghentikan langkah kakiku ingin melihat jelas ke arah wanita yang menyetir mobil itu.

Tampak di dalamnya seorang wanita yang tak asing si mataku. Tapi penampilannya kali ini begitu elegan, dengan wajah yang menggunakan riasan make up di tambah lagi menggunakan lipstik yang senada dengan warna kulitnya.

Kutunggu sampai wanita itu keluar dari mobil untuk memastikan.

“ Nah Bu, ini dia Ibu kepala sekolah kita yang Ibu cari ternyata dia sudah datang.” Pak Satpam yang berjalan mendampingi kami Segera mengarah ke wanita itu.

“ Pagi Bu Dewi." Pak satpam menyalami wanita itu ketika baru keluar dari mobilnya dan bersiap menuju ke ruangan kepala sekolah.

“Pagi pak,” dibalasnya salam Pak Satpam tersebut dengan santai diiringi senyuman yang tak asing di mataku.

Kesya dan Aku tiba-tiba bersamaan menyebut nama wanita yang selama ini kami anggap layaknya pembantu.

“Sinta!“

Wanita yang mirip Sinta itu menoleh ke arah kami

Bab terkait

  • Warisan Utang Mertua   BAB 8

    *POV IBU*“Sinta!" Wanita itu menoleh ke arah kami.“ Iya, kalian memanggil saya?” Didekatinya kami. “Kamu Sintakah? Kamu menantu Ibu kan?” Ku pegang seragamnya. “Tumben, Ibu mau mengakui kalau aku ini menantu. Ada perlu apa Bu kemari?”“I-ibu tadi kebetulan lewat kompleks sini jadi Ibu mampir di sekolah tempat menantu Ibu menjabat sebagai kepala sekolah.” Aku yang menahan kikuk. Semudah inikah aku mengakui bahwa dia menantuku. Penampilan Sinta hari ini, dengan riasan tipis di wajahnya membuat penampilannya terlihat lebih elegan tidak seperti biasanya.“Kepala sekolah? Mungkin Ibu salah informasi, aku hanya guru honorer di sekolah ini Bu. Tapi, mohon aminkan saja Bu, semoga suatu hari nanti jadi kenyataan menantu Ibu jadi kepala sekolah.”“ Ta-tapi, Bapak tadi mengatakan bahwa kamu adalah seorang kepala sekolah.” Kutunjuk Pak Satpam yang lagi berjaga di depan pintu gerbang sekolah. “Oh itu, dia belum lama menjadi satpam di sini. Jadi, dia belum banyak tahu tentang sekolah ini.”

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Warisan Utang Mertua   BAB 9

    Aku kaget melihat seseorang menuju anak tangga. Akhirnya aku kembali sembunyi di belakang kardus yang berada dekat situ. Syukurlah dia tidak menyadari keberadaan ku di sini. Wanita itu melangkah ke dalam dilihatnya dua orang lelaki itu tumbang karena ulahku. “Hei, apa yang terjadi dengan kalian?" seru wanita itu. “Ada seorang wanita yang berani mengambil gambar kami waktu bertransaksi Bu.” “Si-siapa dia. Apakah dia adalah orang yang kalian kenal?”“I- iya Bu. Sepertinya dia adalah menantu Ibu.” Lelaki bertubuh jangkung berdiri kemudian menggosok-gosok matanya yang sebelumnya dilempar dengan pasir. “Apa... Maksud kalian Sinta. Kenapa bisa dia ada di sini?” Ibu heran ketika nama Sinta disebut. “I-iya Bu, dia menantu Ibu selama ini terlihat lemah tapi sebenarnya dia kuat.” Pria bertubuh kekar itu mencoba meyakinkan Ibu. “Alah! Ngomong apa kalian. Menantuku itu tidak bisa berbuat apa. Dia itu hanya wanita lemah."Aku menyaksikan mereka berbicara dengan Ibu yang keluar dari tem

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Warisan Utang Mertua   BAB 10

    Melihat kondisi Ibu kepalanya bercucuran darah diriku panik. Pak Satpam Sekolah mengangkat Ibu untuk di bawa ke rumah sakit sesuai perintahku.“Bu Kepala Sekolah, semuanya sudah siap.” “I-iya Pak, ayo kita berangkat!” Ibu tertidur dalam pangkuanku. Rasa bersalah selalu menghantui. Pikiran tak karuan selama di perjalanan entah apa alasanku nanti jika Mas Arman mengetahui. “ Hati-hati di jalan Bu Kepala Sekolah. Semoga Ibu mertuanya segera sadar.” Bu Anik guru kelas satu mengingatkanku. “I-Iya Bu, terima kasih. Mohon kerja samanya dengan rekan Guru yang lain untuk memantau jaga keamanan sekolah ya Bu.” Mobil Rushku melaju ke rumah sakit. Suara Ibu terus memanggil namaku meskipun kepalanya dalam keadaan terluka.“Sinta, maafkan Ibu ya! Selama ini sering menyakiti kamu. Ibu belum mau mati, takut masuk neraka.” Semoga dia berubah menjadi lebih baik dan menerima Ku apa adanya karena selama ini sudah Capek jadi menantu yang sering sakit hati.“Sinta...dari dulu sudah maafkan Ibu! D

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Warisan Utang Mertua   BAB 11

    Hai, Bos! Akhirnya kita bertemu di sini lagi," ku sapa mereka yang ada di situ. “Sinta...! Kenapa kamu di sini?” mata Kesya terbelalak melihat kedatanganku. “Kenapa? Kaget! Tidak menyangka ternyata wajah aslimu di belakang Mas Arman seperti ini.” Ku tarik sebuah kursi yang ada di situ kemudian duduk di dekatnya. “Aku..., aku di sini mau...” “Mau, apa? Selama ini kalian menjadikan Mas Arman sebagai bank berjalan. Ini yang kalian lakukan.” Kudekatkan wajahku di hadapannya. “Hentikan nada bicaramu yang sombong itu. Hei, wanita cantik.” Lelaki yang bertubuh gemuk itu berusaha memegang daguku namun gerakan tanganku lebih cepat untuk menepisnya.Kesya yang melihatku dengan wajah yang tegang karena dengan berani menentang bosnya. “Sin! Jangan berani kamu dia ini Bos yang disegani di sini," Kesya berbisik di telingaku.“Oh, Bos di sini. Baguslah! Mana cincin emas pernikahanku yang di berikan Mas Arman? Beraninya mengungkit barang yang tidak seharusnya diungkit.” “ Itu, itu... Aku beri

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Warisan Utang Mertua   BAB 12

    POV SINTASepertinya ulah Ibu makin menjadi- jadi. Kecelakaan tragis yang menimpanya kemarin rupanya tak membuat dirinya untuk berubah menjadi lebih baik. Setelah Mas Arman dijadikannya sebagai bank berjalan, sekarang giliranku yang akan dibuatnya seperti itu. Sertifikat rumah dan sertifikat tanah kontrakan ingin dipegangnya . padahal itu harta yang kupunya ketika aku belum mengenal Mas Arman. Segera ku menghubungi Mas Heri untuk bertemu. Diam – diam aku meminta tolong ke Mas Heri agar membantuku memalsukan sertifikat tanah palsu yang ngotot dipegang Ibu. Rasanya kali ini aku puas jika Ibu menyalah gunakan sertifikat palsu itu. Entah bagaimana cara Mas Heri agar bisa membantuku.“Bu, ini sertifikatnya yang Ibu bilang tempo hari.” Kuberikan sertifikat palsu itu kepadanya. Tampak jelas wajahnya sangat ceria ketika menerima dariku. “ Te-Terima kasih Sin! Ibu akan menjaganya dengan baik. Sekarang kamu fokus kerja saja ya.” Senyum Ibu makin mengembang ketika aku memberikan sertifikat p

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Warisan Utang Mertua   BAB 13

    Raut wajahnya berubah kemerahan melihat kedatanganku mendekatinya. Ibu! Ibu... kenapa bisa kembali lagi?” Tatapannya yang heran ke arahku“Tadi, Ibu tak sengaja melihatmu. Jadi, Ibu kesini sekalian memperjelas sertifikat tanah yang kamu berikan ke Ibu.” Kuperlihatkan padanya sertifikat tanah miliknya itu“ Apa! Berikan? Sejak kapan aku memberikan sertifikat tanah pada Ibu," tanyanya dengan mengelak. “Loh! Sin, bukannya kamu yang memberikan Ibu sertifikat tanah ini?” “ Ibu...Ibu memang orang tua dari suamiku. Tapi, aku tidak pernah memberikan sertifikat tanah ini padamu, yang ada Ibu yang memaksa agar aku menyimpannya pada Ibu.” Didekatinya diriku dan berbicara dengan nada yang keras sehingga orang-orang yang ada di situ pandangannya tertuju padaku. “ Tapi...tapi Sin, bukankah Ibu sudah pamit padamu untuk menggunakannya mengambil pinjaman di Bank?” “ Iya Ibu pamit. Tapi, aku mengiyakannya dalam keadaan terpaksa.” Selama ini kusalah menilainya ternyata menantuku ini adalah wanita y

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Warisan Utang Mertua   BAB 14

    Karena terlalu banyak pikiran aku sampai tak fokus melihat ke lantai yang kulewati licin. Tak sengaja kakiku terpeleset dan jatuh . Rasanya sangat sakit, kepala mulai terasa pusing darah segar mulai mengalir ke lantai dan aku mulai tak sadarkan diri.Beberapa saat kemudian aku bangun dan sadarkan diri. Tampak di sekelilingku terlihat ruangan yang asing. Mas Arman dengan setia menemani sambil memainkan gawainya .“Akhirnya kamu sudah sadar Sin." Dipegangnya telapak tanganku sambil mengelus kepalaku .“Aku...aku di mana Mas." Sambil melihat di sekeliling“ Kamu...kamu di rumah sakit Sin, tadi kamu jatuh di lantai kamar mandi sekolah.” “ Siapa yang antarkan aku kemari Mas? Gawaiku sama tasku mana?” tanyaku padanya dengan tidak sabar“ Tenang sayang. Gawai sama tas kamu ada di pada Ibu katanya simpan sama dia jauh lebih aman.” “ Apa? Aku tidak mau Mas. Aku tidak percaya pada Ibumu. Di mana dia sekarang?” Aku berusaha bangkit meskipun bagian bawahku masih terasa sakit“Eh,Sin! Kamu...

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Warisan Utang Mertua   BAB 15

    Baru saja aku merasakan pembelaan dari Mas Arman namun kali ini dia tidak ada di pihak ku lagi. Sakit yang baru kualami ketika mengalami keguguran tak, sebanding dengan rasa sakit ketika Mas Arman mempermalukan aku dengan cara seperti ini. “Maaf Bu, kali ini waktunya kurang Pas. Jadi, saya harap jika Ibu mau ambil pinjaman di Bank segera menghubungi kami kembali. “ Kemudian kedua orang itu meninggalkan kami bertiga yang masih meredam amarah. “ Apa...?” Ibu mau ambil uang pinjaman di bank untuk apa.” Mas Arman berbalik ke arah Ibu“ Untuk selingkuhan Ibu kan? Tidak usah bohong semua sudah jelas.” Aku berusaha berdiri menghadapi keduanya. Ku beranikan diri ini untuk tetap kuat dan tegar“Sinta...! Tutup mulutmu. Siapa yang selingkuh?” Tatapan Ibu ke arahku“ Tidak usah bohong Bu. Meskipun saat ini aku belum tahu semuanya. Tapi, Sinta yakin Salah satu diantara kedua lelaki tempo hari adalah selingkuhan Ibu.” “Apa-apaan ini. Sinta, sejak kapan kamu berani dengan Ibu?“ Mas Arman tetap

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29

Bab terbaru

  • Warisan Utang Mertua   BAB 43

    “A-aku kenapa?” tanya Sinta ketika tersadar dari pingsannya. Dilihatnya sekeliling ruangan dengan pandangan liar.“ Bu Sinta pingsan di ruangan. Sepertinya Ibu kelelahan. Sebaiknya Ibu pulang dan istirahat di rumah saja,” ujar salah satu guru wanita yang berdiri di hadapannya.“ Baiklah, sebaiknya mungkin seperti itu. Aku pamit ya Ibu-ibu,” balas Sinta seraya berdiri memakai sepatunya.Kemudian salah satu guru pria memberikan tas dan kunci mobilnya. Dirinya masih dalam keadaan sedikit pusing tetapi tetap berusaha menuju jalan pulang dengan mengendarai mobilnya.***“ Eh, Mbak Sinta! Kok pulang cepat?” tanya Mbak Novita ingin tahu. “Aku lagi kurang enak badan Mbak, jadi...lebih memilih pulang cepat,” ujarnya sambil melangkah ke kamarnya untuk beristirahat.Matanya seketika mulai terlelap ketika menjatuhkan diri di atas pembaringan. Dalam tidurnya sosok gadis kecil yang dilihatnya tadi muncul lagi dalam mimpinya. “ Bu, Ibu ayo ikut aku Bu. Di sini aku kedinginan, di ruangan gelap aku

  • Warisan Utang Mertua   BAB 42

    Hari- hari dilalui Sinta dengan kesendirian rasanya mulai membosankan. Mas Heri yang dulu selalu membantu ketika dirinya mengalami kesusahan saat ini mulai menjauh darinya.Karena sudah menemukan sosok Ibu polwan calon pendamping yang sebentar lagi menikah dengannya. Berulang kali dirinya mencoba berani mengutarakan isi hatinya. Namun, Sinta selalu menolak dengan alasan di hatinya masih membekas sosok Arman. Sosok Arman begitu sulit untuk dilupakannya.Andaikan saja dulu Arman mau mendengarkan keluh kesahnya, mungkin dia tidak akan termakan oleh hasutan Ibu mertuanya yang ingin menguasai harta menantu. Bahkan hutang-hutang keluarga Arman tak perlu ditanggung olehnya.Seperti biasa disaat waktu subuh dirinya bersiap menghadap sang Halik. Ketika selesai sujud terakhir tiba-tiba dirinya dikagetkan dengan teriakan Mbak Novita dari arah depan.“ Aaakkhh! Tolong!” teriak Mbak Novita yang mencari pertolongan dari segala arah.“ Ke-kenapa Mbak Nov? Ada apa? Apa yang terjadi?” Sinta yang

  • Warisan Utang Mertua   BAB 41

    “Hei, bangun! Beraninya sama perempuan.” Serentak ketiga lelaki itu terbangun. Di hadapan mereka Sinta mulai geram atas apa yang mereka lakukan sebelumnya.“Maaf Mbak, kami...,”“Kami apa? Jangan pikir aku akan diam atas apa yang kalian lakukan ya.” “Mbak, kami hanya menuruti apa yang diperintahkan Gayatri,” jawab lelaki yang bertubuh kurus itu.“Diam! Saya tidak tanya. Apa yang ingin kalian harapkan padaku?” “ Hei, kamu banci! Kukira dirimu sudah mati. Ternyata nasibmu masih bisa bertemu lagi denganku ya.” Diangkatnya dagu Gayatri dengan jari telunjuknya itu.“Aku begini karena Anda yang dulunya berani menyiksaku,” bantahnya.“Dulu kamu mencoba bermain-main denganku. Dengan cara merusak rumah tanggaku. Sekarang, maumu apa?” “Aku hanya ingin membalaskan dendamku dan mengambil uangmu.”Tawa Sinta seketika meledak. Kalimat yang dilontarkan Gayatri membuatnya jadi merasa lucu.“ Kali ini kamu menangkap orang yang salah. Aku hanya seorang Sinta yang penghasilan setiap bulannya tidak se

  • Warisan Utang Mertua   BAB 40

    Kini Sinta sudah tersadar kembali setelah beberapa lama dirinya sempat tak sadarkan diri akibat ulah Gayatri. Dilihatnya sekeliling tampak ruangan tertutup yang pengap udara dan sedikit gelap layaknya di dalam sebuah gudang yang sudah lama tidak terpakai .Baru saja mau menggerakkan kakinya namun terasa kaku karena lilitan tali yang mengikatnya.“ Ah! Sialan, berani macam-macam ke aku rupanya,” gumamnya dalam hati.Mulutnya yang ditutup dengan sebuah kain hitam Begitu juga dengan kaki dan tangannya membuat dirinya kesulitan dalam bergerak.“Siapa yang berani macam-macam denganku? Apakah itu memang Gayatri? Kalau memang dia kenapa dia masih hidup?” lanjutnya.Dirinya yang kini masih bertanya dalam hati seakan-akan ini suatu hal yang menjadi teka-teki bagi dirinya yang harus dipecahkan.“Oh Tuhan! Tolong aku. Semoga semuanya akan baik-baik saja,” lanjutnya memohon.Terdengar suara langkah kaki diluar membuat denyut jantungnya semakin kencang. Kini di pura-pura tidur kembali agar bisa

  • Warisan Utang Mertua   BAB 39

    Sesampainya di rumah Sinta segera turun dari mobil tanpa menunggu Heri membukakan pintu.“Mas, aku turun. Maaf karena ulah Mas Arman makan malam kita kali ini jadi kacau.” Kemudian dia melangkah masuk ke rumahnya.“Sinta! Tunggu dulu,” ucapnya sambil menahan lengannya.“ Kenapa Mas?” Rianti berbalik.“Aku...aku...” Namun tak dilanjutkannya lagi.“Kenapa dengan Mas?” tanya Rianti penasaran.“Tidak jadi. Aku takut nanti kamu tersinggung,” balas Heri.“ Ya sudah. Rianti masuk dulu ya Mas.” Dirinya berbalik kemudian segera meninggalkan Dibaringkan tubuhnya di tempat pembaringan kemudian tidur terlelap.Keesokan harinya setelah pulang dari sekolah Sinta segera menuju ke sel tahanan menuju mantan Ibu mertuanya. Meskipun status mereka kini hanya mantan tapi, dirinya masih saja menganggap Ibunya sebagai mertuanya.“Maaf pak polisi kedatangan saya kemari ingin menengok Ibu Mertua saya. Apakah bisa?” tanya Sinta pada salah satu polisi yang kebetulan berjaga.“Atas nama Bu siapa mertua Anda.” po

  • Warisan Utang Mertua   BAB 38

    Malam harinya Heri sudah bersiap menjemput Sinta untuk pergi ke tempat yang sudah mereka sepakati. Dress berwarna pink senada dengan warna jilbab yang dikenakannya membuat penampilan Sinta kali ini semakin cantik mempesona.“Yuk, Sin!” Dipersilahkannya Sinta masuk ke dalam mobilnya. Kali ini Sinta duduk di depan samping Heri mengemudi.Kali ini mobil yang mereka naiki segera melaju ke Cafe. Beberapa saat kemudian mereka telah sampai.Sebuah meja yang dihiasi dengan lilin dan musik yang menambah keindahan suasana Cafe malam itu. Sengaja Heri menyiapkan ini semua, karena dia ingin mengutarakan isi hatinya ke Sinta yang selama ini dipendamnya.“Mau...makan apa Sin?” Diperlihatkan menu yang tersedia.“Aku...mau makan yang seperti Mas Heri pesan,” jawabnya dengan senyum.“Sin, aku...aku mau bilang sesuatu sama kamu!” Dipegangnya hari Sinta yang terasa dingin itu.“Mau bilang apa Mas? Tumben Mas serius seperti ini. Biasanya...Mas Heri kebakaran bercanda.” Sambil sesekali melihat pemandang

  • Warisan Utang Mertua   BAB 37

    Hari-hari telah berlalu. Kesendirian Sinta mulai terasa sepi. Sosok Arman mantan suaminya selalu saja terngiang di ingatannya. “ Oh, Tuhan! Singkirkan perasaan bodohku ini pada mantan suami yang pernah menyakitiku,” gumamnya dalam hati.kali ini dirinya masih kurang fokus mengerjakan tugas administrasi kepala sekolah. karena di ingatannya sosok Arman selalu menghantui.Beberapa saat kemudian terdengar suara kurir yang mengantarkan paket di depan rumahnya.“Paket...Paket!” “Mbak Nov,! Mbak Nov! Di depan ada kurir Mbak. Siapa tahu yang diantar itu paket Mbak Nov,” ucapnya sambil menikmati makanan ringan yang ada di tangannya.Kemudian dicobanya lagi memanggil nama Mbak Novita.“Mbak Nov, paketnya datang! Namun, tak ada balasan dari Mbak Novita. Akhirnya Sinta memutuskan untuk keluar menghampiri kurir tersebut.“ I-iya sebentar,” balasnya dari dalam sambil menuju keluar.“ Paket dari siapa Pak? Perasaan saya tak punya Paket.” Kurir yang datang membawa paket menggunakan masker dan to

  • Warisan Utang Mertua   BAB 36

    Hari ini sidang cerai Sinta dengan Mas Arman. Sebagai wanita yang pernah disakiti oleh suami dan keluarganya yang hanya memanfaatkannya, dirinya menjadikan ini sebagai pelajaran agar tidak salah pilih lagi dalam mencari pendamping hidup. Setelah perceraian mereka dinyatakan sah, hatinya lega ketika semua harus berakhir seperti ini. Meski bukan perceraian yang diinginkannya. Namun, niat dan tekadnya sudah bulat untuk memberikan pelajaran pada keluarga Arman. Setelah status mereka dinyatakan sah kini keduanya segera berjabatan tangan. Sinta, yang pada saat itu ditemani oleh kedua orang tuanya dan Heri juga ada di sana. “Maaf ya Sin, selama menjadi suami kamu...aku selalu menyakitimu. Sungguh aku memang pantas mendapatkan hukuman yang setimpal,” ucapnya sambil menjabat tangan Sinta. “Aku juga minta maaf, jika selama menjadi istri Mas mempunyai salah.” Dibalasnya jabatan tangan lelaki yang baru saja sah menjadi mantan suaminya itu. Hari itu Sinta menggunakan baju berwarna pink sen

  • Warisan Utang Mertua   BAB 35

    Kali ini Sinta membawa pulang uang lima puluh juta tersebut dengan aman meskipun nyawa taruhannya. Bersyukur dirinya selamat dari serangan orang-orang Tedi. Keesokan harinya Sinta pergi bertemu Lani sahabatnya yang bekerja di salah satu bank tempat Arman menggadaikan SK rumahnya. “Lan, aku menuju ke situ ya! Aku akan menebus hutang Mas Arman setelah itu rumah tersebut akan menjadi milikmu seutuhnya,” ucapnya. “Oke! Aku menunggumu Sin. Eh, jangan lupa segera melengkapi persyaratannya. Biar perjalanan mulus.” Lani mengingatkan Sinta. “Oke, tenang saja. Semua sudah beres. Kamu menungguku dengan duduk manis.” Beberapa saat kemudian mobil Sinta berhenti di depan Bank tempat Lani bekerja. Dirinya segera melangkah masuk kemudian mengurus semua berkas yang dibutuhkan saat akan melunasi hutang Arman. “Terimakasih ya Lan, kamu... Sudah sangat membantuku. Kali ini tak sabar menunggu sertifikat rumah itu di tanganku.” Sambil memeluk sahabatnya itu. “Kamu yang sabar ya Sin, jika serti

DMCA.com Protection Status