Share

BAB 6

Author: Duo Sul Enjelika
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Kata orang aku cantik. Kulit yang berwarna kuning langsat, dan mempunyai bodi yang tinggi semampai membuat orang-orang betah memandang.

Gigi yang tersusun rapi dan mempunyai lesung di kedua pipi menambah daya tarik senyumanku.

Tapi, entah kenapa diriku lebih suka berpenampilan sederhana dibanding dengan tampil gaya yang berlebihan.

Dari kecil aku sudah bisa mencari penghasilan sendiri. Keahlian dalam membuat jajanan kue bisa membantu mencari jajan tambahan. Ibu sangat bangga padaku di usia belia anak seusiaku sudah bisa membeli perlengkapan sekolah dari hasil keringat sendiri.

Teman-teman sebayaku sebagian besar sudah menggunakan ponsel android sementara saat duduk di bangku SMP diriku masih menggunakan ponsel adul komuniketer alias Handphone yang bisa komunikasi dan senter.

Tapi, aku tak mau membebani ibu untuk segera punya ponsel android, entah ide dari mana yang muncul di benakku tiba-tiba ingin membuat kacang goreng balado kemudian aku titip di warung-warung.

Awalnya tiap warung ku titipkan tiga puluh bungkus dalam waktu dua hari jualanku habis di borong anak-anak. Kata pemilik warung, jualan aku gurih pas di lidah dan bisa bertahan lama hingga sebulan masih tetap awet.

Kemudian mereka minta dititipkan lagi jajanan itu, semakin lama jualanku semakin banyak peminatnya. Sehingga, aku semakin semangat setiap pulang sekolah harus buat jajanan kacang balado kemudian dititip di warung-warung.

Dalam waktu enam bulan usaha kecil-kecilan berkembang pesat. Awalnya, Bi Uni adik dari Ibu yang mempromosikan daganganku kepada teman-temannya di luar kota, akhirnya mereka sangat suka dengan rasanya yang gurih pas di lidah.

Kemudian ,mereka pesan lagi dan sampai sekarang pelangganku dari hari ke hari makin bertambah. Di usia Empat belas tahun saat duduk di bangku kelas dua SMP bukan Cuma uang jajan yang aku punya. Tapi, bisa membeli ponsel bahkan juga bisa membeli laptop dengan uang sendiri.

Mungkin anak seusiaku aat itu lebih banyak meluangkan waktu buat kumpul dengan teman-temannya. Karena aku tahu betul bagaimana rasanya mencari uang itu susah, sehingga lebih memilih berpenampilan sederhana dibanding bergaya berlebihan.

Lebih baik uang yang aku punya, diberikan kepada orang yang lebih butuh dibanding dengan bergaya layaknya anak orang berada.

Usaha kecil-kecilan aku jalani bukan hanya waktu duduk di bangku SMP, tetapi berlanjut sampai duduk di bangku SMA bahkan berlanjut hingga sampai duduk di bangku kuliah di perguruan tinggi, semakin hari semakin banyak perkembangan.

Untuk mempertahankan usaha ini, aku membeli sebuah rumah di wilayah perkotaan kemudian melanjutkan usahaku di tempat itu. Agar tak kualahan dalam mengurus semuanya, maka aku merekrut Mbah Novita sebagai orang kepercayaan dalam mengelola usaha dan mengawasi karyawan yang kerja di usahaku.

Kuberi dirinya upah setiap bulannya dengan jumlah hampir setara dengan gaji seorang ASN. Sampai saat ini usahaku itu masih banyak peminatnya.

Tapi, melihat kelakuan Ibu Mertua padaku, tak memiliki niat memberitahukan kepada mereka bahwa menantu yang mereka pandang sebelah mata ini adalah seorang kepala sekolah dan mempunyai usaha sendiri.

Sebelum menikah dengan Mas Arman, aku juga membeli beberapa lahan yang berada di dekat perkotaan dan kontrakan.

Tanpa sepengetahuan Mas Arman, aku menyuruh orang kepercayaanku untuk menawarkan kepadanya ada kontrakan kosong yang siap huni dengan harga terjangkau.

Itu dia, kontrakan milikku, yang selama ini kami tinggali berdua dengan Mas Arman. Dirinya hanya mengetahui bahwa kontrakan itu milik temannya.

Berakting di depannya dan keluarganya dengan status menjadi guru honorer, penghasilan tidak seberapa, bagiku itu adalah hal yang paling menantang untuk menguji cinta Mas Arman.

Berusaha mengetahui watak asli dari saudara Mas Arman dan Ibunya. Rasanya sudah hampir lelah bertahan di zona ini.

Tapi, aku tak mau kalah aku harus kuat menghadapi, sampai mereka mengetahui siapa menantu yang mereka pandang sebelah mata ini.

***

“Dia Istriku, pernikahan kami sudah empat bulan,” Mas Arman berjalan mendekati dan merangkul tanganku.

Terlihat jelas wajah wanita cantik itu kurang suka atas perlakuan Mas Arman padaku. Sebagai istrinya aku membalas rangkulannya.

“ Iya, tapi dirinya adalah menantu yang masih kurang dianggap oleh kami. Karena, kami sama sekali belum mengenal dirinya sebelum menikah dengan Kak Arman. kenalnya saja cuma sebulan kemudian nikah," Kesya segera berlalu disusul gadis itu meninggalkan aku dan Mas Arman yang berdiri di depan pintu.

“Kamu yang sabar ya Sin, semoga...mereka semua bisa menerima kamu menjadi menantu di rumah ini.” Mas Arman berusaha membelaku namun rasa di hati ini tetap sakit mendengar perkataan dari Kesya. masih saja diriku menjadi menantu yang tidak dianggap olehnya.

Tiba waktunya makan malam, diriku mendapatkan perintah dari Ibu untuk mengatur makan malam di meja. Tetap berusaha kuat dan tegar dari perlakuan mereka dengan menjadikan aku layaknya pembantu ketika keluarga dari Ayah mertua berkunjung kemari

“ Sinta, mana ikan bakar yang sudah Ibu suruh tadi. Itu makanan kesukaan Nayla,” sambil menaruhkan nasi di piring gadis itu.

segera kumenuju lemari makanan dan mengambil ikan itu kemudian menaruhkan di atas meja. Terlihat hubungan Ibu mertuaku dan gadis yang bernama Nayla itu sangat akrab.

Wajah ibu yang biasanya garang terhadapku, tapi di depan Nayla dia terlihat menebar pesona selalu memperlihatkan senyumannya.

Selama menikah dengan Mas Arman, sekalipun tak pernah Ibu memperlakukanku dengan baik, apalagi sampai menaruh nasi ke piringku. Seperti yang dilakukannya pada Nayla.

Sakit? Jangan di tanya. Rasanya sungguh sakit, jadi menantu yang tak di anggap. Mereka menganggap aku layaknya patung hidup bisa disuruh kapan saja harus bisa.

Ingin rasanya aku bergabung makan dengan mereka di meja Makan dan duduk di samping Mas Arman.

Namun lagi-agi Ibu tak mengizinkanku. Aku hanya berdiam diri, di sudut ruang makan menunggu mereka sampai selesai.

Kali ini, gadis yang bernama Nayla lebih banyak memilih diam ketika Mas Arman telah mengatakan aku adalah Istrinya. Padahal, tadi dirinya sibuk kebanyakan aksi untuk menarik perhatian dari Mas Arman.

Bicara berdekatan dengan Mas Arman, sesekali dirangkulnya tangan suamiku. Rasa sakit, ya pasti sakit. Apalagi di usia pernikahan kami yang baru seumur jagung.

Harusnya menikmati indahnya masa pengantin baru. Namun, kali ini aku harus menahan sikapku untuk tidak berulah di hadapan keluarga Mas Arman.

“Eh, Jeng... Pembantu kamu tadi mana? Terdengar jelas di telingaku Ibunya Nayla menganggapku sebagai pembantu.

“Iya ada apa ya Jeng? Jika mau tambah nanti aku panggilkan pembantuku.” Mata Ibu mertuaku segera melirik ke arahku.

“I-Ibu punya pembantu? Mana pembantu Ibu sejak tadi tak kelihatan? Perasaan dari tadi yang bantu-bantu di sini Cuma Sinta.”

“Tuh, yang di belakang kita duduk menunggu siapa? Memang itu bukan pembantu kita.” Jawaban Kesya sungguh keterlaluan.

Mas Arman yang mendengar jawaban Kesya, menganggap aku layaknya pembantu di rumah Ibunya, segera berdiri tanpa menghabiskan makanannya kemudian menarik pergelangan tanganku keluar.

“Ayo kita pulang. Tak ada gunanya kita berlama -lama di sini.” Kemudian aku mengikuti Mas Arman tanpa pamit dengan mereka yang lagi makan.

“Arman mau ke mana kamu. Jangan berlagak tidak sopan, di sini masih ada Nayla gadis yang mau di jodohkan denganmu.” Ibu ikut berdiri meninggalkan meja makan, dan berjalan mengikuti arah kami.

Mas Arman yang melihat Ibu mendekat ke arah kami segera memerintahkan aku naik ke atas motor kemudian menghidupkan mesin motornya.

Kami pergi meninggalkan rumah tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Di perjalanan pulang Mas Arman lebih banyak diam, bingung mulai pembicaraan dari mana.

Aku takut salah bicara, takut menyakiti hati Mas Arman. Diam- diam aku memperhatikan wajah Mas Arman dari belakang di kaca spion motor, ternyata Mas Arman menangis .

Mas Arman yang selama ini aku kenal adalah pria yang tegar akhirnya bisa menangis melihat diriku diperlakukan layaknya pembantu oleh keluarganya.

Sesampainya di kontrakan, Mas Arman memelukku sambil menangis sejadi-jadinya. Aku yang masih dalam posisi diam mematung hanya bisa membalas pelukannya agar dirinya tetap tabah melihat tingkah keluarganya terhadapku.

“ Sin, maafkan Mas, tidak bisa membelamu. Aku tak punya daya melawan Ibu, “

“ Tidak apa-apa Mas, aku mengerti dengan posisimu,” kemudian melepaskan pelukannya.

“Apa? Jadi kamu sudah tahu posisi aku di rumah itu sebenarnya? Apakah kamu sudah mengetahui semuanya Sin?”

“I-Iya aku tahu Kok Mas, aku tahu semuanya." Aku memandang wajahnya dengan serius

“Tak perlu Mas Arman menyembunyikan sesuatu yang seharusnya aku tahu,” lanjutku

Kemudian Mas Arman memandangku lagi dengan wajah yang lebih serius.

“Sin, sejak kapan kamu sudah mengetahui kalau aku ini hanya anak angkat di rumah itu?”

“Apa, Mas Arman hanya anak angkat... ." Aku kaget, bagai mendengar suara petir

Related chapters

  • Warisan Utang Mertua   BAB 7

    “Apa, Mas Arman hanya anak angkat?” Rasanya bagai disambar petir di siang bolong. Entah aku kaget ingin menangis atau gembira, dia yang menjadi suamiku saat ini bukanlah anak kandung dari mertua yang membenciku selama ini. “ Mas, tidak bercanda kan?” tanyaku dengan penuh serius. “Ma-maaf Sin, selama ini Mas belum bisa jujur. Mas takut, kamu tidak menerima keadaanku yang sebenarnya." Sekali lagi di hapus nya air matanya kemudian melanjutkan pembicaraannya. “Mas takut kamu tidak menerima lamaran Mas dulunya, Jika kamu mengetahui yang sebenarnya. Sehingga dalam waktu sebulan mengenalmu aku berusaha cepat melamar mu Sin,” lanjutnya. “ Kenapa Mas Arman tidak jujur dari dulu. Aku tetap menerima diri Mas Arman , meskipun aku tahu yang sebenarnya,” aku tetap berusaha menyemangatinya agar tidak kecewa. “Terima kasih Sin! seharusnya status aku kamu ketahui dari sebelum kita menikah. Sekarang untuk membalas budi kepada mereka, aku tetap membantu usaha milik Ayah dan juga harus memberikan K

    Last Updated : 2024-10-29
  • Warisan Utang Mertua   BAB 8

    *POV IBU*“Sinta!" Wanita itu menoleh ke arah kami.“ Iya, kalian memanggil saya?” Didekatinya kami. “Kamu Sintakah? Kamu menantu Ibu kan?” Ku pegang seragamnya. “Tumben, Ibu mau mengakui kalau aku ini menantu. Ada perlu apa Bu kemari?”“I-ibu tadi kebetulan lewat kompleks sini jadi Ibu mampir di sekolah tempat menantu Ibu menjabat sebagai kepala sekolah.” Aku yang menahan kikuk. Semudah inikah aku mengakui bahwa dia menantuku. Penampilan Sinta hari ini, dengan riasan tipis di wajahnya membuat penampilannya terlihat lebih elegan tidak seperti biasanya.“Kepala sekolah? Mungkin Ibu salah informasi, aku hanya guru honorer di sekolah ini Bu. Tapi, mohon aminkan saja Bu, semoga suatu hari nanti jadi kenyataan menantu Ibu jadi kepala sekolah.”“ Ta-tapi, Bapak tadi mengatakan bahwa kamu adalah seorang kepala sekolah.” Kutunjuk Pak Satpam yang lagi berjaga di depan pintu gerbang sekolah. “Oh itu, dia belum lama menjadi satpam di sini. Jadi, dia belum banyak tahu tentang sekolah ini.”

    Last Updated : 2024-10-29
  • Warisan Utang Mertua   BAB 9

    Aku kaget melihat seseorang menuju anak tangga. Akhirnya aku kembali sembunyi di belakang kardus yang berada dekat situ. Syukurlah dia tidak menyadari keberadaan ku di sini. Wanita itu melangkah ke dalam dilihatnya dua orang lelaki itu tumbang karena ulahku. “Hei, apa yang terjadi dengan kalian?" seru wanita itu. “Ada seorang wanita yang berani mengambil gambar kami waktu bertransaksi Bu.” “Si-siapa dia. Apakah dia adalah orang yang kalian kenal?”“I- iya Bu. Sepertinya dia adalah menantu Ibu.” Lelaki bertubuh jangkung berdiri kemudian menggosok-gosok matanya yang sebelumnya dilempar dengan pasir. “Apa... Maksud kalian Sinta. Kenapa bisa dia ada di sini?” Ibu heran ketika nama Sinta disebut. “I-iya Bu, dia menantu Ibu selama ini terlihat lemah tapi sebenarnya dia kuat.” Pria bertubuh kekar itu mencoba meyakinkan Ibu. “Alah! Ngomong apa kalian. Menantuku itu tidak bisa berbuat apa. Dia itu hanya wanita lemah."Aku menyaksikan mereka berbicara dengan Ibu yang keluar dari tem

    Last Updated : 2024-10-29
  • Warisan Utang Mertua   BAB 10

    Melihat kondisi Ibu kepalanya bercucuran darah diriku panik. Pak Satpam Sekolah mengangkat Ibu untuk di bawa ke rumah sakit sesuai perintahku.“Bu Kepala Sekolah, semuanya sudah siap.” “I-iya Pak, ayo kita berangkat!” Ibu tertidur dalam pangkuanku. Rasa bersalah selalu menghantui. Pikiran tak karuan selama di perjalanan entah apa alasanku nanti jika Mas Arman mengetahui. “ Hati-hati di jalan Bu Kepala Sekolah. Semoga Ibu mertuanya segera sadar.” Bu Anik guru kelas satu mengingatkanku. “I-Iya Bu, terima kasih. Mohon kerja samanya dengan rekan Guru yang lain untuk memantau jaga keamanan sekolah ya Bu.” Mobil Rushku melaju ke rumah sakit. Suara Ibu terus memanggil namaku meskipun kepalanya dalam keadaan terluka.“Sinta, maafkan Ibu ya! Selama ini sering menyakiti kamu. Ibu belum mau mati, takut masuk neraka.” Semoga dia berubah menjadi lebih baik dan menerima Ku apa adanya karena selama ini sudah Capek jadi menantu yang sering sakit hati.“Sinta...dari dulu sudah maafkan Ibu! D

    Last Updated : 2024-10-29
  • Warisan Utang Mertua   BAB 11

    Hai, Bos! Akhirnya kita bertemu di sini lagi," ku sapa mereka yang ada di situ. “Sinta...! Kenapa kamu di sini?” mata Kesya terbelalak melihat kedatanganku. “Kenapa? Kaget! Tidak menyangka ternyata wajah aslimu di belakang Mas Arman seperti ini.” Ku tarik sebuah kursi yang ada di situ kemudian duduk di dekatnya. “Aku..., aku di sini mau...” “Mau, apa? Selama ini kalian menjadikan Mas Arman sebagai bank berjalan. Ini yang kalian lakukan.” Kudekatkan wajahku di hadapannya. “Hentikan nada bicaramu yang sombong itu. Hei, wanita cantik.” Lelaki yang bertubuh gemuk itu berusaha memegang daguku namun gerakan tanganku lebih cepat untuk menepisnya.Kesya yang melihatku dengan wajah yang tegang karena dengan berani menentang bosnya. “Sin! Jangan berani kamu dia ini Bos yang disegani di sini," Kesya berbisik di telingaku.“Oh, Bos di sini. Baguslah! Mana cincin emas pernikahanku yang di berikan Mas Arman? Beraninya mengungkit barang yang tidak seharusnya diungkit.” “ Itu, itu... Aku beri

    Last Updated : 2024-10-29
  • Warisan Utang Mertua   BAB 12

    POV SINTASepertinya ulah Ibu makin menjadi- jadi. Kecelakaan tragis yang menimpanya kemarin rupanya tak membuat dirinya untuk berubah menjadi lebih baik. Setelah Mas Arman dijadikannya sebagai bank berjalan, sekarang giliranku yang akan dibuatnya seperti itu. Sertifikat rumah dan sertifikat tanah kontrakan ingin dipegangnya . padahal itu harta yang kupunya ketika aku belum mengenal Mas Arman. Segera ku menghubungi Mas Heri untuk bertemu. Diam – diam aku meminta tolong ke Mas Heri agar membantuku memalsukan sertifikat tanah palsu yang ngotot dipegang Ibu. Rasanya kali ini aku puas jika Ibu menyalah gunakan sertifikat palsu itu. Entah bagaimana cara Mas Heri agar bisa membantuku.“Bu, ini sertifikatnya yang Ibu bilang tempo hari.” Kuberikan sertifikat palsu itu kepadanya. Tampak jelas wajahnya sangat ceria ketika menerima dariku. “ Te-Terima kasih Sin! Ibu akan menjaganya dengan baik. Sekarang kamu fokus kerja saja ya.” Senyum Ibu makin mengembang ketika aku memberikan sertifikat p

    Last Updated : 2024-10-29
  • Warisan Utang Mertua   BAB 13

    Raut wajahnya berubah kemerahan melihat kedatanganku mendekatinya. Ibu! Ibu... kenapa bisa kembali lagi?” Tatapannya yang heran ke arahku“Tadi, Ibu tak sengaja melihatmu. Jadi, Ibu kesini sekalian memperjelas sertifikat tanah yang kamu berikan ke Ibu.” Kuperlihatkan padanya sertifikat tanah miliknya itu“ Apa! Berikan? Sejak kapan aku memberikan sertifikat tanah pada Ibu," tanyanya dengan mengelak. “Loh! Sin, bukannya kamu yang memberikan Ibu sertifikat tanah ini?” “ Ibu...Ibu memang orang tua dari suamiku. Tapi, aku tidak pernah memberikan sertifikat tanah ini padamu, yang ada Ibu yang memaksa agar aku menyimpannya pada Ibu.” Didekatinya diriku dan berbicara dengan nada yang keras sehingga orang-orang yang ada di situ pandangannya tertuju padaku. “ Tapi...tapi Sin, bukankah Ibu sudah pamit padamu untuk menggunakannya mengambil pinjaman di Bank?” “ Iya Ibu pamit. Tapi, aku mengiyakannya dalam keadaan terpaksa.” Selama ini kusalah menilainya ternyata menantuku ini adalah wanita y

    Last Updated : 2024-10-29
  • Warisan Utang Mertua   BAB 14

    Karena terlalu banyak pikiran aku sampai tak fokus melihat ke lantai yang kulewati licin. Tak sengaja kakiku terpeleset dan jatuh . Rasanya sangat sakit, kepala mulai terasa pusing darah segar mulai mengalir ke lantai dan aku mulai tak sadarkan diri.Beberapa saat kemudian aku bangun dan sadarkan diri. Tampak di sekelilingku terlihat ruangan yang asing. Mas Arman dengan setia menemani sambil memainkan gawainya .“Akhirnya kamu sudah sadar Sin." Dipegangnya telapak tanganku sambil mengelus kepalaku .“Aku...aku di mana Mas." Sambil melihat di sekeliling“ Kamu...kamu di rumah sakit Sin, tadi kamu jatuh di lantai kamar mandi sekolah.” “ Siapa yang antarkan aku kemari Mas? Gawaiku sama tasku mana?” tanyaku padanya dengan tidak sabar“ Tenang sayang. Gawai sama tas kamu ada di pada Ibu katanya simpan sama dia jauh lebih aman.” “ Apa? Aku tidak mau Mas. Aku tidak percaya pada Ibumu. Di mana dia sekarang?” Aku berusaha bangkit meskipun bagian bawahku masih terasa sakit“Eh,Sin! Kamu...

    Last Updated : 2024-10-29

Latest chapter

  • Warisan Utang Mertua   BAB 43

    “A-aku kenapa?” tanya Sinta ketika tersadar dari pingsannya. Dilihatnya sekeliling ruangan dengan pandangan liar.“ Bu Sinta pingsan di ruangan. Sepertinya Ibu kelelahan. Sebaiknya Ibu pulang dan istirahat di rumah saja,” ujar salah satu guru wanita yang berdiri di hadapannya.“ Baiklah, sebaiknya mungkin seperti itu. Aku pamit ya Ibu-ibu,” balas Sinta seraya berdiri memakai sepatunya.Kemudian salah satu guru pria memberikan tas dan kunci mobilnya. Dirinya masih dalam keadaan sedikit pusing tetapi tetap berusaha menuju jalan pulang dengan mengendarai mobilnya.***“ Eh, Mbak Sinta! Kok pulang cepat?” tanya Mbak Novita ingin tahu. “Aku lagi kurang enak badan Mbak, jadi...lebih memilih pulang cepat,” ujarnya sambil melangkah ke kamarnya untuk beristirahat.Matanya seketika mulai terlelap ketika menjatuhkan diri di atas pembaringan. Dalam tidurnya sosok gadis kecil yang dilihatnya tadi muncul lagi dalam mimpinya. “ Bu, Ibu ayo ikut aku Bu. Di sini aku kedinginan, di ruangan gelap aku

  • Warisan Utang Mertua   BAB 42

    Hari- hari dilalui Sinta dengan kesendirian rasanya mulai membosankan. Mas Heri yang dulu selalu membantu ketika dirinya mengalami kesusahan saat ini mulai menjauh darinya.Karena sudah menemukan sosok Ibu polwan calon pendamping yang sebentar lagi menikah dengannya. Berulang kali dirinya mencoba berani mengutarakan isi hatinya. Namun, Sinta selalu menolak dengan alasan di hatinya masih membekas sosok Arman. Sosok Arman begitu sulit untuk dilupakannya.Andaikan saja dulu Arman mau mendengarkan keluh kesahnya, mungkin dia tidak akan termakan oleh hasutan Ibu mertuanya yang ingin menguasai harta menantu. Bahkan hutang-hutang keluarga Arman tak perlu ditanggung olehnya.Seperti biasa disaat waktu subuh dirinya bersiap menghadap sang Halik. Ketika selesai sujud terakhir tiba-tiba dirinya dikagetkan dengan teriakan Mbak Novita dari arah depan.“ Aaakkhh! Tolong!” teriak Mbak Novita yang mencari pertolongan dari segala arah.“ Ke-kenapa Mbak Nov? Ada apa? Apa yang terjadi?” Sinta yang

  • Warisan Utang Mertua   BAB 41

    “Hei, bangun! Beraninya sama perempuan.” Serentak ketiga lelaki itu terbangun. Di hadapan mereka Sinta mulai geram atas apa yang mereka lakukan sebelumnya.“Maaf Mbak, kami...,”“Kami apa? Jangan pikir aku akan diam atas apa yang kalian lakukan ya.” “Mbak, kami hanya menuruti apa yang diperintahkan Gayatri,” jawab lelaki yang bertubuh kurus itu.“Diam! Saya tidak tanya. Apa yang ingin kalian harapkan padaku?” “ Hei, kamu banci! Kukira dirimu sudah mati. Ternyata nasibmu masih bisa bertemu lagi denganku ya.” Diangkatnya dagu Gayatri dengan jari telunjuknya itu.“Aku begini karena Anda yang dulunya berani menyiksaku,” bantahnya.“Dulu kamu mencoba bermain-main denganku. Dengan cara merusak rumah tanggaku. Sekarang, maumu apa?” “Aku hanya ingin membalaskan dendamku dan mengambil uangmu.”Tawa Sinta seketika meledak. Kalimat yang dilontarkan Gayatri membuatnya jadi merasa lucu.“ Kali ini kamu menangkap orang yang salah. Aku hanya seorang Sinta yang penghasilan setiap bulannya tidak se

  • Warisan Utang Mertua   BAB 40

    Kini Sinta sudah tersadar kembali setelah beberapa lama dirinya sempat tak sadarkan diri akibat ulah Gayatri. Dilihatnya sekeliling tampak ruangan tertutup yang pengap udara dan sedikit gelap layaknya di dalam sebuah gudang yang sudah lama tidak terpakai .Baru saja mau menggerakkan kakinya namun terasa kaku karena lilitan tali yang mengikatnya.“ Ah! Sialan, berani macam-macam ke aku rupanya,” gumamnya dalam hati.Mulutnya yang ditutup dengan sebuah kain hitam Begitu juga dengan kaki dan tangannya membuat dirinya kesulitan dalam bergerak.“Siapa yang berani macam-macam denganku? Apakah itu memang Gayatri? Kalau memang dia kenapa dia masih hidup?” lanjutnya.Dirinya yang kini masih bertanya dalam hati seakan-akan ini suatu hal yang menjadi teka-teki bagi dirinya yang harus dipecahkan.“Oh Tuhan! Tolong aku. Semoga semuanya akan baik-baik saja,” lanjutnya memohon.Terdengar suara langkah kaki diluar membuat denyut jantungnya semakin kencang. Kini di pura-pura tidur kembali agar bisa

  • Warisan Utang Mertua   BAB 39

    Sesampainya di rumah Sinta segera turun dari mobil tanpa menunggu Heri membukakan pintu.“Mas, aku turun. Maaf karena ulah Mas Arman makan malam kita kali ini jadi kacau.” Kemudian dia melangkah masuk ke rumahnya.“Sinta! Tunggu dulu,” ucapnya sambil menahan lengannya.“ Kenapa Mas?” Rianti berbalik.“Aku...aku...” Namun tak dilanjutkannya lagi.“Kenapa dengan Mas?” tanya Rianti penasaran.“Tidak jadi. Aku takut nanti kamu tersinggung,” balas Heri.“ Ya sudah. Rianti masuk dulu ya Mas.” Dirinya berbalik kemudian segera meninggalkan Dibaringkan tubuhnya di tempat pembaringan kemudian tidur terlelap.Keesokan harinya setelah pulang dari sekolah Sinta segera menuju ke sel tahanan menuju mantan Ibu mertuanya. Meskipun status mereka kini hanya mantan tapi, dirinya masih saja menganggap Ibunya sebagai mertuanya.“Maaf pak polisi kedatangan saya kemari ingin menengok Ibu Mertua saya. Apakah bisa?” tanya Sinta pada salah satu polisi yang kebetulan berjaga.“Atas nama Bu siapa mertua Anda.” po

  • Warisan Utang Mertua   BAB 38

    Malam harinya Heri sudah bersiap menjemput Sinta untuk pergi ke tempat yang sudah mereka sepakati. Dress berwarna pink senada dengan warna jilbab yang dikenakannya membuat penampilan Sinta kali ini semakin cantik mempesona.“Yuk, Sin!” Dipersilahkannya Sinta masuk ke dalam mobilnya. Kali ini Sinta duduk di depan samping Heri mengemudi.Kali ini mobil yang mereka naiki segera melaju ke Cafe. Beberapa saat kemudian mereka telah sampai.Sebuah meja yang dihiasi dengan lilin dan musik yang menambah keindahan suasana Cafe malam itu. Sengaja Heri menyiapkan ini semua, karena dia ingin mengutarakan isi hatinya ke Sinta yang selama ini dipendamnya.“Mau...makan apa Sin?” Diperlihatkan menu yang tersedia.“Aku...mau makan yang seperti Mas Heri pesan,” jawabnya dengan senyum.“Sin, aku...aku mau bilang sesuatu sama kamu!” Dipegangnya hari Sinta yang terasa dingin itu.“Mau bilang apa Mas? Tumben Mas serius seperti ini. Biasanya...Mas Heri kebakaran bercanda.” Sambil sesekali melihat pemandang

  • Warisan Utang Mertua   BAB 37

    Hari-hari telah berlalu. Kesendirian Sinta mulai terasa sepi. Sosok Arman mantan suaminya selalu saja terngiang di ingatannya. “ Oh, Tuhan! Singkirkan perasaan bodohku ini pada mantan suami yang pernah menyakitiku,” gumamnya dalam hati.kali ini dirinya masih kurang fokus mengerjakan tugas administrasi kepala sekolah. karena di ingatannya sosok Arman selalu menghantui.Beberapa saat kemudian terdengar suara kurir yang mengantarkan paket di depan rumahnya.“Paket...Paket!” “Mbak Nov,! Mbak Nov! Di depan ada kurir Mbak. Siapa tahu yang diantar itu paket Mbak Nov,” ucapnya sambil menikmati makanan ringan yang ada di tangannya.Kemudian dicobanya lagi memanggil nama Mbak Novita.“Mbak Nov, paketnya datang! Namun, tak ada balasan dari Mbak Novita. Akhirnya Sinta memutuskan untuk keluar menghampiri kurir tersebut.“ I-iya sebentar,” balasnya dari dalam sambil menuju keluar.“ Paket dari siapa Pak? Perasaan saya tak punya Paket.” Kurir yang datang membawa paket menggunakan masker dan to

  • Warisan Utang Mertua   BAB 36

    Hari ini sidang cerai Sinta dengan Mas Arman. Sebagai wanita yang pernah disakiti oleh suami dan keluarganya yang hanya memanfaatkannya, dirinya menjadikan ini sebagai pelajaran agar tidak salah pilih lagi dalam mencari pendamping hidup. Setelah perceraian mereka dinyatakan sah, hatinya lega ketika semua harus berakhir seperti ini. Meski bukan perceraian yang diinginkannya. Namun, niat dan tekadnya sudah bulat untuk memberikan pelajaran pada keluarga Arman. Setelah status mereka dinyatakan sah kini keduanya segera berjabatan tangan. Sinta, yang pada saat itu ditemani oleh kedua orang tuanya dan Heri juga ada di sana. “Maaf ya Sin, selama menjadi suami kamu...aku selalu menyakitimu. Sungguh aku memang pantas mendapatkan hukuman yang setimpal,” ucapnya sambil menjabat tangan Sinta. “Aku juga minta maaf, jika selama menjadi istri Mas mempunyai salah.” Dibalasnya jabatan tangan lelaki yang baru saja sah menjadi mantan suaminya itu. Hari itu Sinta menggunakan baju berwarna pink sen

  • Warisan Utang Mertua   BAB 35

    Kali ini Sinta membawa pulang uang lima puluh juta tersebut dengan aman meskipun nyawa taruhannya. Bersyukur dirinya selamat dari serangan orang-orang Tedi. Keesokan harinya Sinta pergi bertemu Lani sahabatnya yang bekerja di salah satu bank tempat Arman menggadaikan SK rumahnya. “Lan, aku menuju ke situ ya! Aku akan menebus hutang Mas Arman setelah itu rumah tersebut akan menjadi milikmu seutuhnya,” ucapnya. “Oke! Aku menunggumu Sin. Eh, jangan lupa segera melengkapi persyaratannya. Biar perjalanan mulus.” Lani mengingatkan Sinta. “Oke, tenang saja. Semua sudah beres. Kamu menungguku dengan duduk manis.” Beberapa saat kemudian mobil Sinta berhenti di depan Bank tempat Lani bekerja. Dirinya segera melangkah masuk kemudian mengurus semua berkas yang dibutuhkan saat akan melunasi hutang Arman. “Terimakasih ya Lan, kamu... Sudah sangat membantuku. Kali ini tak sabar menunggu sertifikat rumah itu di tanganku.” Sambil memeluk sahabatnya itu. “Kamu yang sabar ya Sin, jika serti

DMCA.com Protection Status