Share

BAB 5

last update Last Updated: 2023-11-13 11:24:41

Kesya, satu kata lagi kau berani menghina Sinta akan ku blokir semua ATM pemberianku.” Mas Arman tiba – tiba muncul dari belakangku.

Segera diambilnya Handphone di tanganku kemudian dia yang melanjutkan pembicaraan dengan Kesya.

“Kak, aku ini adikmu. Kenapa dirimu tega lebih membela dia yang baru beberapa bulan hidup denganmu dari pada adik kandungmu sendiri yang tumbuh bersama dari kecil. Salahkah, jika aku lebih membela Ibu,” jawab Kesya dari seberang sana.

“Mengenai cincin yang kau berikan ke aku sebagai sumbanganmu di pernikahanku, akan kuganti. Aku tidak menyangka hal ini akan diungkit olehmu,” Mas Arman mulai emosi.

“Saya ingin rumah tanggaku dan Sinta aman, mungkin dengan kami cari kontrakan Ibu perlahan – lahan membuka hati untuk Sinta," lanjut Mas Arman.

“Kak, tapi aku lebih percaya Ibu dibanding Sinta yang baru menjadi bagian dari keluarga kami. Jadi, tak perlu mendengar langsung darimu lagi. Semua sudah kudengar dari Ibu.”

“Terserah apa tanggapanmu, lagi pula, aku tetap berlaku adil untuk Ibu dan Sinta, assalamualaikum.” Mas Arman menutup telepon dari Kesya kemudian mengajakku masuk untuk beristirahat.

Keesokan harinya seperti biasa aku bangun subuh melaksanakan ibadah dua rakaat kemudian segera menyiapkan sarapan pagi. Pagi ini, Mas Arman mengantarku kemudian dia berangkat pergi ke tempat kerjanya.

“Mas, aku turun di sini saja ya.” Aku menghentikan sepeda motor milik Mas Arman.

“Loh! Apa ini tidak kejauhan Sin? Sekolah tempat kamu tugaskan sekitar dua ratus meter lagi dari sini. Kasihan, kamu jalan kaki sejauh ini sampai sekolah,” Mas Arman berusaha membujukku.

“ Tidak apa – apa Mas, sekali – sekali aku jalan kaki biar sekalian olahraga," Aku berusaha untuk meyakinkannya.

“Sin, maafkan adikku tentang masalah semalam ya. Aku janji, akan mengganti cincin yang disebut Kesya semalam.” Kemudian dia pamit.

“Mas, jangan sampai orang tuaku mendengar apa yang dikatakan Kesya semalam. Aku takut mereka akan kecewa pada dirimu, Mas.” Kemudian aku melangkah menuju Sekolah

Sengaja aku berjalan kaki, agar Mas Arman tidak mengetahui bahwa istri yang selalu dihina oleh Ibunya ini bukan hanya berstatus guru ASN, tapi juga berstatus sebagai kepala sekolah.

Setelah mengantarku, Mas Arman segera pergi ke toko emas untuk mencari cincin emas pengganti yang diungkit oleh Kesya semalam.

Rasanya tidak menyangka saja, cincin pernikahan diungkit lagi olehnya, setelah semua tamu undangan melihat cincin pernikahan itu dipakaikan dijari manisku.

Lagi pula, Mas Arman pernah bilang ke aku bahwa cincin pernikahan itu adalah uang pemberian dari Mas Arman ke Kesya kemudian dia minta tolong untuk dicarikan cincin pernikahan kami.

***

Pulang dari sekolah tak lupa aku pergi ke warung beli sayur untuk makan malam nanti. Setelah pulang dari warung, segera kumenuju sebuah toko pecah belah beli perlengkapan dapur yang masih kurang di kontrakan kami.

Setelah dari toko pecah belah aku pulang ke kontrakan, kemudian segera masuk ke dapur untuk memasak makan malam.

“Assalamualaikum," terdengar dari luar ada suara tamu.

“Waalaikumsalam.” Segera kumenuju pintu depan dan membukanya ternyata Ibu mertuaku yang datang.

“Eh Ibu, mari masuk! " Perlahan kubuka pintu depan.

“Tidak usah, cukup Ibu berdiri di sini saja. Tolong , kamu kasih tahu ke Arman Ibu lagi butuh uang buat bayar arisan.” Sambil melirik ke dalam kontrakan dengan tatapan sedikit risih.

“Ba-baik Bu, nanti aku beri tahu ke Mas Arman sebentar.”

"katakan pada Arman, Ibu butuh uangnya sore ini.”

“ Ibu butuh uang berapa? Biar aku beritahu Mas Arman.”

“Tanpa kamu tanya pasti Arman sudah tahu. Oh Iya, sekali-sekali kamu datang juga ke rumah Ibu bantu ibu bersih-bersih.” kemudian berlalu pergi tanpa pamit.

Rasanya seperti tak dianggap oleh Ibu pergi dengan cara seperti itu. Tapi tak apalah, yang terpenting aku sudah tidak serumah dengan Ibu. Kemudian aku menutup pintu dan melanjutkan pekerjaan di dapur.

***

Sore ini Mas Arman menuju ke rumah Kesya menggunakan sepeda motor. Rasanya kata-kata Kesya semalam sudah keterlaluan. Hingga membuat Mas Arman merasa tak sabar ingin mengembalikan cincin pernikahan itu namun aku tidak memberikannya.

Aku takut nantinya orang tuaku menanyakan cincin pernikahanku itu. Akhirnya Mas Arman mencari penggantinya di toko emas dengan cincin yang mirip .

Kurang lebih satu jam perjalanan akhirnya Mas Arman sampai di rumah Kesya.

“Assalamualaikum,”

“Waalaikumsalam, Kak Arman ayo masuk.”

Kesya segera keluar menghampiri Arman yang tengah berdiri di depan pintu.

“ Kebetulan uang bulanan kami semakin menipis. Kak Arman, tanpa aku hubungi ternyata sudah peka rupanya kesini,” lanjut Sinta.

“ Kedatanganku kemari, tak perlu berlama-lama. Bukankah kamu sudah punya usaha kecil-kecilan. Jadi, tidak perlu menunggu uang bulanan dariku lagi. Tujuanku hanya untuk mengembalikan cincin yang sudah kau ungkit semalam.” Dikeluarkannya cincin itu dari sakunya kemudian diberikannya cincin itu ke Kesya namun di tolaknya.

“Kak, aku tak mau menerima cincin ini! Semua ini aku lakukan karena Sinta sudah keterlaluan dengan Ibu." Ditolaknya cincin pengganti itu dan dikembalikan lagi ke Arman.

“Tapi, sikap kamu sudah keterlaluan. Kenapa harus cincin pernikahan itu yang kamu katakan pada Sinta,” suaranya yang meninggi membuat tubuh Kesya bergetar.

“ Seharusnya Kak Arman tanya dulu ke aku jangan hanya mendengar dari Kak Sinta saja. Bisa saja istrimu itu berbohong.” Segera ditinggalnya Arman duduk sendiri di ruang tamu. Kemudian Arman menyusul ke dalam.

“ Ambillah cincin ini, sebagai penggantinya.” Arman segera pulang setelah memberikan cincin itu kepada adiknya . Sebenarnya Arman juga tak tega memberikan cincin itu sebagai pengganti namun itu lebih baik untuk menjaga perasaan Sinta.

Sepulang dari rumah Kesya, Mas Arman tidak lupa mampir di rumah Ibu untuk menengoknya, terlihat Ibu lagi sibuk mengurus bunga – bunga yang ada di taman.

Dihampirinya Ibu, untuk memberikan uang nafkah bulanan.

“Assalamualaikum, Bu.” Segera disalami tangan Ibunya.

“Waalaikumsalam, mana Istrimu?”

“ Dia lagi dikontrakkan Bu, dan aku baru dari rumah Kesya.”

“ Sudah seharusnya, kamu memberikan nafkah bulanan ke Kesya. Karena dia punya hak atas usaha Bapakmu,” tangannya yang sibuk menggunting ujung bunga sama sibuknya dengan mulutnya yang sedikit cerewet.

“Kedatangan aku ke sana, bukan untuk memberi nafkah Bu, tapi mengganti cincin perkawinan yang diungkit oleh Kesya semalam. Aku kecewa dengan apa yang dilakukan Kesya ke Sinta, Bu.”

“Alah, pasti itu kelakuan Sinta yang suka bohong. Biar kamu tidak memberikan uang ke adik kamu lagi.” Kemudian disimpannya gunting dan mendekati Arman

“Ingat ya Arman, jika kamu masih ingin kerja di usaha milik Bapakmu, kamu harus rutin memberikan Ibu nafkah, memberikan Kesya nafkah, dan juga Si Junet Kakakmu.” Kemudian segera berlalu pergi meninggalkan Arman.

“ Tapi Bu, bagaimana dengan Sinta istriku. Sinta juga kewajiban aku menafkahi dia, Bu.” Sambil mengikuti Ibu dari belakang.

“Arman, Sinta itu Cuma istri kamu. Jika kamu bercerai dengannya berarti, dia adalah mantan Istrimu. Tapi, Kesya dan Junet adalah saudara kamu. Tidak ada namanya mantan saudara.” Suara Ibu yang meninggi membuat Arman kecewa.

Rasanya Ibu dan Kesya sama saja, tidak pernah berlaku adil dengan Sinta. Kedatangan Arman ke rumah Ibu rasanya sia-sia saja. Bukannya Ibu sebagai penengah malah menyalahkan Sinta. Segera dirinya pamit kemudian pulang ke kontrakan .

“Aku pamit Bu.” Segera menyalami tangan Ibu.

“ Eh, jangan dulu pulang! Ibu butuh uang arisan sepuluh juta, sore ini juga harus dibayar.”

“Maaf Bu, kali ini Arman tidak punya uang untuk bayar uang arisan. Ibu minta saja ke Ayah, lagi pula aku hanya dipercayakan untuk bantu mengelola usaha Bapak.” Kemudian bersiap meninggalkan Ibunya.

Tak lupa Nafkah sepuluh juta diberikannya ke Ibu dan berlalu pergi.

***

Sore ini Sinta masih sibuk mengatur barang yang belum sempat dirapikan. Kedatangan Ibu ke kontrakannya tadi membuat dirinya mengingat pandangan Ibu tertuju di barang yang masih berserakan di lantai.

Segera di aturnya barang-barang itu satu persatu agar terlihat rapi. Tampak dari kejauhan suara motor Mas Arman terdengar. Dirinya segera menyambut kedatangan suaminya.

Sebagai pasangan yang baru menikah tentu saja masih merasakan indahnya masa-masa pengantin baru. Meskipun saat ini, mereka tinggal dikontrakan kecil. Tapi, rasa cinta Sinta ke Arman tidak pernah sirna oleh bujukan Ibunya.

“Assalamualaikum,”

“Waalaikumsalam, Mas.” Segera dihampiri suaminya kemudian mengambil barang bawaannya.

“ Wah, Mas bau! Ayo, masuk kemudian mandi. Handuknya sudah kusediakan di situ ya, Mas.”

Setelah selesai mandi Arman menghampiri Sinta.

Kemudian Arman berbicara apa yang dialaminya ketika bertemu Kesya dan bertemu Ibu tadi.

“Sin, menurutmu bagaimana kalau berhenti saja bekerja diusaha dagang milik Ayahku.”

“Loh, kenapa Mas. Kamu sudah bosan kerja di tempat Ayah? Tangannya juga sibuk membersihkan sisa kotoran di lantai.

“ Aku ingin punya usaha sendiri saja. Menurutku, tabunganku selama ini sudah bisa dibuat modal buat buka usaha sendiri.” Sambil membuka tudung saji yang berada di atas meja.

“Loh, Mas! Kenapa tiba-tiba berubah pikiran? Apakah ada yang salah dengan mengelola usaha Ayah? Segera mendekatkan diri ke Mas Arman untuk menyemangatinya.

“Bukan Sin, kalau aku pikir-pikir Kesya dan Ibu sudah sangat keterlaluan meminta nafkah terus-terusan ke aku tanpa peduli ke kamu sebagai istriku,”

“ ya, aku tidak bisa berkata apa-apa Mas! Aku hanya bisa mendukung kamu jika itu menurutmu jalan yang baik.” Kemudian aku duduk di samping Mas Arman.

“Sin, menurut kamu, kita usaha apa ya?” sambil mengunyah makanannya.

“ Usaha sembako saja, Mas! Menurutku, sembako kan kebutuhan pokok tiap hari, Insya Allah orang-orang pasti suka.” Aku yang dengan semangat selalu mendukung apa kemauan Mas Arman selagi itu menurutku baik.

“ Oke, nanti aku bicara dengan Ibu dulu ya. Biar, nanti Bang Junet atau Kesya yang bantu-bantu usaha dagang campuran Ayah.”

***

Keesokan harinya aku dan Mas Arman pergi ke rumah Ibu mertuaku untuk membicarakan keinginan Mas Arman. Sesampainya di sana terlihat ada sebuah mobil Rush berwarna hitam parkir di halaman.

“Mas, rumah Ibu lagi ramai! Apakah, kita tunda dulu untuk membicarakan ini?”

“Iya, nanti besok baru aku mencoba bicara dengan Ibu lagi.” Kemudian memarkirkan sepeda motor di halaman rumah Ibu.

Aku dan Mas Arman segera masuk. Tampak di ruang tamu ada sanak keluarga dari Ayah mertuaku lagi kumpul.

“Assalamualaikum,”

“Waalaikumsalam,”

“ Eh, Nak Arman, sini masuk! Ternyata kamu sekarang makin tampan saja ya.” Seorang Ibu paruh baya mendekati Mas Arman dan memeluknya.

Sementara aku yang berdiri di samping Mas Arman tak mendapatkan respon sedikit pun darinya terlebih lagi Ibu dan Ayah mertuaku menatap kedatanganku dengan wajah yang biasa.

Dari sudut ruang tamu terlihat Kesya juga ikut bergabung. Aku yang menahan rasa kikuk karena tidak mendapatkan respon dari mereka segera mendekati Kesya yang ada di sana dan duduk di sampingnya. Kejadian kemarin dengannya, aku lupakan untuk saat ini.

“ Kak Arman, makin kelihatan dewasa dan tampan saja ya. Aku jadi ingat dulu Kak Arman suka bermain denganku kalau aku pulang ke sini,” terlihat seorang gadis cantik dengan lesung pipi di wajahnya menambah kecantikannya memuji suamiku.

“Iya, Tin andaikan saja kamu menikah dengan Arman . Pasti, Ibu bahagia melihat anak Ibu menikah dengan wanita seperti kamu. Masih muda, dan sukses membangun usaha di kota.” Ibu mertua yang duduk di samping gadis itu seakan-akan menyinggung statusku yang punya penghasilan seadanya.

Namun, aku tak menghiraukan apa yang dikatakannya itu. Aku mendekatkan diri dengan Kesya yang duduk dekat sudut ruang tamu.

“ Sepertinya firasatmu tajam juga ya, tanpa di kabari kamu akhirnya datang ke sini.” Kesya berbisik mendekati telingaku.

“ Tujuanku, memang kemari karena ingin menengok Ibu," jawabku dengan tak mau kalah darinya.

“Kamu tau gak, tampang kamu kemari mirip pembantu. Cocoknya kamu bantu aku untuk menyiapkan makanan untuk keluarga Ayah.” Ditariknya pergelanganku menuju dapur.

Aku yang tidak mempunyai kesempatan berbicara hanya bisa menuruti kemauan Kesya. Terlihat suasana dapur masih berantakan, piring kotor pun belum di cuci.

“ Kerjakan tugas yang layaknya jadi pekerjaanmu, dan siapkan makanan buat mereka. Eh, jangan lupa kalau sudah selesai segera kabari kami di luar.” Kemudian berlalu meninggalkanku.

Kali ini aku tidak bisa membantah, aku hanya bisa sabar mengerjakan semuanya. Di luar sana mereka sibuk tertawa sampai terbahak – bahak.

Mas Arman, ketika bertemu dengan keluarganya tampak sibuk meladeni mereka sampai lupa bahwa aku juga ada di sini.

Beberapa saat kemudian wanita cantik yang duduk di samping Ibu pergi ke dapur dan menuju ke kamar kecil. Tampak wajahnya biasa saja ketika melihat ke arahku. Setelah keluar dari kamar kecil dia menghampiriku.

“ Sudah berapa lama Mbak kerja jadi pembantu di rumah ini?”

Rasanya bagai di sambar Kilat mendengar pertanyaan darinya. Bagaimana mungkin dirinya mengira aku sebagai pembantu padahal jelas-jelas aku tadi datang kemari bersama Mas Arman.

“Dia sudah empat bulan kerja di sini sebagai pembantu rumah tangga yang membantu Ibu,” tiba-tiba Kesya muncul dari pintu tengah memotong pembicaraan diantara kami.

Belum sempat ku menjawab, Kesya segera mendekatiku dengan berwajah manis kemudian memegang kuat pergelangan tanganku hingga aku lupa bahwa aku menantu di rumah ini.

“Kesya! Apa yang kamu lakukan pada Sinta? ”

Aku menoleh ke samping, ternyata, Mas Arman mendengar pembinaan kami.

“Mas, dia siapa?” wanita itu mendekatkan diri pada Mas Arman.

“Dia istriku,” Mas Arman berusaha menjauh dari posisi wanita itu.

“Apa...? Istri Mas! Berarti selama ini sudah menikah.

Related chapters

  • Warisan Utang Mertua   BAB 6

    Kata orang aku cantik. Kulit yang berwarna kuning langsat, dan mempunyai bodi yang tinggi semampai membuat orang-orang betah memandang. Gigi yang tersusun rapi dan mempunyai lesung di kedua pipi menambah daya tarik senyumanku. Tapi, entah kenapa diriku lebih suka berpenampilan sederhana dibanding dengan tampil gaya yang berlebihan. Dari kecil aku sudah bisa mencari penghasilan sendiri. Keahlian dalam membuat jajanan kue bisa membantu mencari jajan tambahan. Ibu sangat bangga padaku di usia belia anak seusiaku sudah bisa membeli perlengkapan sekolah dari hasil keringat sendiri. Teman-teman sebayaku sebagian besar sudah menggunakan ponsel android sementara saat duduk di bangku SMP diriku masih menggunakan ponsel adul komuniketer alias Handphone yang bisa komunikasi dan senter. Tapi, aku tak mau membebani ibu untuk segera punya ponsel android, entah ide dari mana yang muncul di benakku tiba-tiba ingin membuat kacang goreng balado kemudian aku titip di warung-warung. Awalnya ti

    Last Updated : 2023-11-29
  • Warisan Utang Mertua   BAB 7

    “Apa, Mas Arman hanya anak angkat?” Rasanya bagai disambar petir di siang bolong. Entah aku kaget ingin menangis atau gembira, dia yang menjadi suamiku saat ini bukanlah anak kandung dari mertua yang membenciku selama ini. “ Mas, tidak bercanda kan?” tanyaku dengan penuh serius. “Ma-maaf Sin, selama ini Mas belum bisa jujur. Mas takut, kamu tidak menerima keadaanku yang sebenarnya." Sekali lagi di hapus nya air matanya kemudian melanjutkan pembicaraannya. “Mas takut kamu tidak menerima lamaran Mas dulunya, Jika kamu mengetahui yang sebenarnya. Sehingga dalam waktu sebulan mengenalmu aku berusaha cepat melamar mu Sin,” lanjutnya. “ Kenapa Mas Arman tidak jujur dari dulu. Aku tetap menerima diri Mas Arman , meskipun aku tahu yang sebenarnya,” aku tetap berusaha menyemangatinya agar tidak kecewa. “Terima kasih Sin! seharusnya status aku kamu ketahui dari sebelum kita menikah. Sekarang untuk membalas budi kepada mereka, aku tetap membantu usaha milik Ayah dan juga harus memberikan K

    Last Updated : 2023-12-01
  • Warisan Utang Mertua   BAB 8

    *POV IBU*“Sinta!" Wanita itu menoleh ke arah kami.“ Iya, kalian memanggil saya?” Didekatinya kami. “Kamu Sintakah? Kamu menantu Ibu kan?” Ku pegang seragamnya. “Tumben, Ibu mau mengakui kalau aku ini menantu. Ada perlu apa Bu kemari?”“I-ibu tadi kebetulan lewat kompleks sini jadi Ibu mampir di sekolah tempat menantu Ibu menjabat sebagai kepala sekolah.” Aku yang menahan kikuk. Semudah inikah aku mengakui bahwa dia menantuku. Penampilan Sinta hari ini, dengan riasan tipis di wajahnya membuat penampilannya terlihat lebih elegan tidak seperti biasanya.“Kepala sekolah? Mungkin Ibu salah informasi, aku hanya guru honorer di sekolah ini Bu. Tapi, mohon aminkan saja Bu, semoga suatu hari nanti jadi kenyataan menantu Ibu jadi kepala sekolah.”“ Ta-tapi, Bapak tadi mengatakan bahwa kamu adalah seorang kepala sekolah.” Kutunjuk Pak Satpam yang lagi berjaga di depan pintu gerbang sekolah. “Oh itu, dia belum lama menjadi satpam di sini. Jadi, dia belum banyak tahu tentang sekolah ini.”

    Last Updated : 2023-12-02
  • Warisan Utang Mertua   BAB 9

    Aku kaget melihat seseorang menuju anak tangga. Akhirnya aku kembali sembunyi di belakang kardus yang berada dekat situ. Syukurlah dia tidak menyadari keberadaan ku di sini. Wanita itu melangkah ke dalam dilihatnya dua orang lelaki itu tumbang karena ulahku. “Hei, apa yang terjadi dengan kalian?" seru wanita itu. “Ada seorang wanita yang berani mengambil gambar kami waktu bertransaksi Bu.” “Si-siapa dia. Apakah dia adalah orang yang kalian kenal?”“I- iya Bu. Sepertinya dia adalah menantu Ibu.” Lelaki bertubuh jangkung berdiri kemudian menggosok-gosok matanya yang sebelumnya dilempar dengan pasir. “Apa... Maksud kalian Sinta. Kenapa bisa dia ada di sini?” Ibu heran ketika nama Sinta disebut. “I-iya Bu, dia menantu Ibu selama ini terlihat lemah tapi sebenarnya dia kuat.” Pria bertubuh kekar itu mencoba meyakinkan Ibu. “Alah! Ngomong apa kalian. Menantuku itu tidak bisa berbuat apa. Dia itu hanya wanita lemah."Aku menyaksikan mereka berbicara dengan Ibu yang keluar dari tem

    Last Updated : 2023-12-03
  • Warisan Utang Mertua   BAB 10

    Melihat kondisi Ibu kepalanya bercucuran darah diriku panik. Pak Satpam Sekolah mengangkat Ibu untuk di bawa ke rumah sakit sesuai perintahku.“Bu Kepala Sekolah, semuanya sudah siap.” “I-iya Pak, ayo kita berangkat!” Ibu tertidur dalam pangkuanku. Rasa bersalah selalu menghantui. Pikiran tak karuan selama di perjalanan entah apa alasanku nanti jika Mas Arman mengetahui. “ Hati-hati di jalan Bu Kepala Sekolah. Semoga Ibu mertuanya segera sadar.” Bu Anik guru kelas satu mengingatkanku. “I-Iya Bu, terima kasih. Mohon kerja samanya dengan rekan Guru yang lain untuk memantau jaga keamanan sekolah ya Bu.” Mobil Rushku melaju ke rumah sakit. Suara Ibu terus memanggil namaku meskipun kepalanya dalam keadaan terluka.“Sinta, maafkan Ibu ya! Selama ini sering menyakiti kamu. Ibu belum mau mati, takut masuk neraka.” Semoga dia berubah menjadi lebih baik dan menerima Ku apa adanya karena selama ini sudah Capek jadi menantu yang sering sakit hati.“Sinta...dari dulu sudah maafkan Ibu! D

    Last Updated : 2023-12-04
  • Warisan Utang Mertua   BAB 11

    Hai, Bos! Akhirnya kita bertemu di sini lagi," ku sapa mereka yang ada di situ. “Sinta...! Kenapa kamu di sini?” mata Kesya terbelalak melihat kedatanganku. “Kenapa? Kaget! Tidak menyangka ternyata wajah aslimu di belakang Mas Arman seperti ini.” Ku tarik sebuah kursi yang ada di situ kemudian duduk di dekatnya. “Aku..., aku di sini mau...” “Mau, apa? Selama ini kalian menjadikan Mas Arman sebagai bank berjalan. Ini yang kalian lakukan.” Kudekatkan wajahku di hadapannya. “Hentikan nada bicaramu yang sombong itu. Hei, wanita cantik.” Lelaki yang bertubuh gemuk itu berusaha memegang daguku namun gerakan tanganku lebih cepat untuk menepisnya.Kesya yang melihatku dengan wajah yang tegang karena dengan berani menentang bosnya. “Sin! Jangan berani kamu dia ini Bos yang disegani di sini," Kesya berbisik di telingaku.“Oh, Bos di sini. Baguslah! Mana cincin emas pernikahanku yang di berikan Mas Arman? Beraninya mengungkit barang yang tidak seharusnya diungkit.” “ Itu, itu... Aku beri

    Last Updated : 2023-12-05
  • Warisan Utang Mertua   BAB 12

    POV SINTASepertinya ulah Ibu makin menjadi- jadi. Kecelakaan tragis yang menimpanya kemarin rupanya tak membuat dirinya untuk berubah menjadi lebih baik. Setelah Mas Arman dijadikannya sebagai bank berjalan, sekarang giliranku yang akan dibuatnya seperti itu. Sertifikat rumah dan sertifikat tanah kontrakan ingin dipegangnya . padahal itu harta yang kupunya ketika aku belum mengenal Mas Arman. Segera ku menghubungi Mas Heri untuk bertemu. Diam – diam aku meminta tolong ke Mas Heri agar membantuku memalsukan sertifikat tanah palsu yang ngotot dipegang Ibu. Rasanya kali ini aku puas jika Ibu menyalah gunakan sertifikat palsu itu. Entah bagaimana cara Mas Heri agar bisa membantuku.“Bu, ini sertifikatnya yang Ibu bilang tempo hari.” Kuberikan sertifikat palsu itu kepadanya. Tampak jelas wajahnya sangat ceria ketika menerima dariku. “ Te-Terima kasih Sin! Ibu akan menjaganya dengan baik. Sekarang kamu fokus kerja saja ya.” Senyum Ibu makin mengembang ketika aku memberikan sertifikat p

    Last Updated : 2023-12-06
  • Warisan Utang Mertua   BAB 13

    Raut wajahnya berubah kemerahan melihat kedatanganku mendekatinya. Ibu! Ibu... kenapa bisa kembali lagi?” Tatapannya yang heran ke arahku“Tadi, Ibu tak sengaja melihatmu. Jadi, Ibu kesini sekalian memperjelas sertifikat tanah yang kamu berikan ke Ibu.” Kuperlihatkan padanya sertifikat tanah miliknya itu“ Apa! Berikan? Sejak kapan aku memberikan sertifikat tanah pada Ibu," tanyanya dengan mengelak. “Loh! Sin, bukannya kamu yang memberikan Ibu sertifikat tanah ini?” “ Ibu...Ibu memang orang tua dari suamiku. Tapi, aku tidak pernah memberikan sertifikat tanah ini padamu, yang ada Ibu yang memaksa agar aku menyimpannya pada Ibu.” Didekatinya diriku dan berbicara dengan nada yang keras sehingga orang-orang yang ada di situ pandangannya tertuju padaku. “ Tapi...tapi Sin, bukankah Ibu sudah pamit padamu untuk menggunakannya mengambil pinjaman di Bank?” “ Iya Ibu pamit. Tapi, aku mengiyakannya dalam keadaan terpaksa.” Selama ini kusalah menilainya ternyata menantuku ini adalah wanita y

    Last Updated : 2023-12-06

Latest chapter

  • Warisan Utang Mertua   BAB 43

    “A-aku kenapa?” tanya Sinta ketika tersadar dari pingsannya. Dilihatnya sekeliling ruangan dengan pandangan liar.“ Bu Sinta pingsan di ruangan. Sepertinya Ibu kelelahan. Sebaiknya Ibu pulang dan istirahat di rumah saja,” ujar salah satu guru wanita yang berdiri di hadapannya.“ Baiklah, sebaiknya mungkin seperti itu. Aku pamit ya Ibu-ibu,” balas Sinta seraya berdiri memakai sepatunya.Kemudian salah satu guru pria memberikan tas dan kunci mobilnya. Dirinya masih dalam keadaan sedikit pusing tetapi tetap berusaha menuju jalan pulang dengan mengendarai mobilnya.***“ Eh, Mbak Sinta! Kok pulang cepat?” tanya Mbak Novita ingin tahu. “Aku lagi kurang enak badan Mbak, jadi...lebih memilih pulang cepat,” ujarnya sambil melangkah ke kamarnya untuk beristirahat.Matanya seketika mulai terlelap ketika menjatuhkan diri di atas pembaringan. Dalam tidurnya sosok gadis kecil yang dilihatnya tadi muncul lagi dalam mimpinya. “ Bu, Ibu ayo ikut aku Bu. Di sini aku kedinginan, di ruangan gelap aku

  • Warisan Utang Mertua   BAB 42

    Hari- hari dilalui Sinta dengan kesendirian rasanya mulai membosankan. Mas Heri yang dulu selalu membantu ketika dirinya mengalami kesusahan saat ini mulai menjauh darinya.Karena sudah menemukan sosok Ibu polwan calon pendamping yang sebentar lagi menikah dengannya. Berulang kali dirinya mencoba berani mengutarakan isi hatinya. Namun, Sinta selalu menolak dengan alasan di hatinya masih membekas sosok Arman. Sosok Arman begitu sulit untuk dilupakannya.Andaikan saja dulu Arman mau mendengarkan keluh kesahnya, mungkin dia tidak akan termakan oleh hasutan Ibu mertuanya yang ingin menguasai harta menantu. Bahkan hutang-hutang keluarga Arman tak perlu ditanggung olehnya.Seperti biasa disaat waktu subuh dirinya bersiap menghadap sang Halik. Ketika selesai sujud terakhir tiba-tiba dirinya dikagetkan dengan teriakan Mbak Novita dari arah depan.“ Aaakkhh! Tolong!” teriak Mbak Novita yang mencari pertolongan dari segala arah.“ Ke-kenapa Mbak Nov? Ada apa? Apa yang terjadi?” Sinta yang

  • Warisan Utang Mertua   BAB 41

    “Hei, bangun! Beraninya sama perempuan.” Serentak ketiga lelaki itu terbangun. Di hadapan mereka Sinta mulai geram atas apa yang mereka lakukan sebelumnya.“Maaf Mbak, kami...,”“Kami apa? Jangan pikir aku akan diam atas apa yang kalian lakukan ya.” “Mbak, kami hanya menuruti apa yang diperintahkan Gayatri,” jawab lelaki yang bertubuh kurus itu.“Diam! Saya tidak tanya. Apa yang ingin kalian harapkan padaku?” “ Hei, kamu banci! Kukira dirimu sudah mati. Ternyata nasibmu masih bisa bertemu lagi denganku ya.” Diangkatnya dagu Gayatri dengan jari telunjuknya itu.“Aku begini karena Anda yang dulunya berani menyiksaku,” bantahnya.“Dulu kamu mencoba bermain-main denganku. Dengan cara merusak rumah tanggaku. Sekarang, maumu apa?” “Aku hanya ingin membalaskan dendamku dan mengambil uangmu.”Tawa Sinta seketika meledak. Kalimat yang dilontarkan Gayatri membuatnya jadi merasa lucu.“ Kali ini kamu menangkap orang yang salah. Aku hanya seorang Sinta yang penghasilan setiap bulannya tidak se

  • Warisan Utang Mertua   BAB 40

    Kini Sinta sudah tersadar kembali setelah beberapa lama dirinya sempat tak sadarkan diri akibat ulah Gayatri. Dilihatnya sekeliling tampak ruangan tertutup yang pengap udara dan sedikit gelap layaknya di dalam sebuah gudang yang sudah lama tidak terpakai .Baru saja mau menggerakkan kakinya namun terasa kaku karena lilitan tali yang mengikatnya.“ Ah! Sialan, berani macam-macam ke aku rupanya,” gumamnya dalam hati.Mulutnya yang ditutup dengan sebuah kain hitam Begitu juga dengan kaki dan tangannya membuat dirinya kesulitan dalam bergerak.“Siapa yang berani macam-macam denganku? Apakah itu memang Gayatri? Kalau memang dia kenapa dia masih hidup?” lanjutnya.Dirinya yang kini masih bertanya dalam hati seakan-akan ini suatu hal yang menjadi teka-teki bagi dirinya yang harus dipecahkan.“Oh Tuhan! Tolong aku. Semoga semuanya akan baik-baik saja,” lanjutnya memohon.Terdengar suara langkah kaki diluar membuat denyut jantungnya semakin kencang. Kini di pura-pura tidur kembali agar bisa

  • Warisan Utang Mertua   BAB 39

    Sesampainya di rumah Sinta segera turun dari mobil tanpa menunggu Heri membukakan pintu.“Mas, aku turun. Maaf karena ulah Mas Arman makan malam kita kali ini jadi kacau.” Kemudian dia melangkah masuk ke rumahnya.“Sinta! Tunggu dulu,” ucapnya sambil menahan lengannya.“ Kenapa Mas?” Rianti berbalik.“Aku...aku...” Namun tak dilanjutkannya lagi.“Kenapa dengan Mas?” tanya Rianti penasaran.“Tidak jadi. Aku takut nanti kamu tersinggung,” balas Heri.“ Ya sudah. Rianti masuk dulu ya Mas.” Dirinya berbalik kemudian segera meninggalkan Dibaringkan tubuhnya di tempat pembaringan kemudian tidur terlelap.Keesokan harinya setelah pulang dari sekolah Sinta segera menuju ke sel tahanan menuju mantan Ibu mertuanya. Meskipun status mereka kini hanya mantan tapi, dirinya masih saja menganggap Ibunya sebagai mertuanya.“Maaf pak polisi kedatangan saya kemari ingin menengok Ibu Mertua saya. Apakah bisa?” tanya Sinta pada salah satu polisi yang kebetulan berjaga.“Atas nama Bu siapa mertua Anda.” po

  • Warisan Utang Mertua   BAB 38

    Malam harinya Heri sudah bersiap menjemput Sinta untuk pergi ke tempat yang sudah mereka sepakati. Dress berwarna pink senada dengan warna jilbab yang dikenakannya membuat penampilan Sinta kali ini semakin cantik mempesona.“Yuk, Sin!” Dipersilahkannya Sinta masuk ke dalam mobilnya. Kali ini Sinta duduk di depan samping Heri mengemudi.Kali ini mobil yang mereka naiki segera melaju ke Cafe. Beberapa saat kemudian mereka telah sampai.Sebuah meja yang dihiasi dengan lilin dan musik yang menambah keindahan suasana Cafe malam itu. Sengaja Heri menyiapkan ini semua, karena dia ingin mengutarakan isi hatinya ke Sinta yang selama ini dipendamnya.“Mau...makan apa Sin?” Diperlihatkan menu yang tersedia.“Aku...mau makan yang seperti Mas Heri pesan,” jawabnya dengan senyum.“Sin, aku...aku mau bilang sesuatu sama kamu!” Dipegangnya hari Sinta yang terasa dingin itu.“Mau bilang apa Mas? Tumben Mas serius seperti ini. Biasanya...Mas Heri kebakaran bercanda.” Sambil sesekali melihat pemandang

  • Warisan Utang Mertua   BAB 37

    Hari-hari telah berlalu. Kesendirian Sinta mulai terasa sepi. Sosok Arman mantan suaminya selalu saja terngiang di ingatannya. “ Oh, Tuhan! Singkirkan perasaan bodohku ini pada mantan suami yang pernah menyakitiku,” gumamnya dalam hati.kali ini dirinya masih kurang fokus mengerjakan tugas administrasi kepala sekolah. karena di ingatannya sosok Arman selalu menghantui.Beberapa saat kemudian terdengar suara kurir yang mengantarkan paket di depan rumahnya.“Paket...Paket!” “Mbak Nov,! Mbak Nov! Di depan ada kurir Mbak. Siapa tahu yang diantar itu paket Mbak Nov,” ucapnya sambil menikmati makanan ringan yang ada di tangannya.Kemudian dicobanya lagi memanggil nama Mbak Novita.“Mbak Nov, paketnya datang! Namun, tak ada balasan dari Mbak Novita. Akhirnya Sinta memutuskan untuk keluar menghampiri kurir tersebut.“ I-iya sebentar,” balasnya dari dalam sambil menuju keluar.“ Paket dari siapa Pak? Perasaan saya tak punya Paket.” Kurir yang datang membawa paket menggunakan masker dan to

  • Warisan Utang Mertua   BAB 36

    Hari ini sidang cerai Sinta dengan Mas Arman. Sebagai wanita yang pernah disakiti oleh suami dan keluarganya yang hanya memanfaatkannya, dirinya menjadikan ini sebagai pelajaran agar tidak salah pilih lagi dalam mencari pendamping hidup. Setelah perceraian mereka dinyatakan sah, hatinya lega ketika semua harus berakhir seperti ini. Meski bukan perceraian yang diinginkannya. Namun, niat dan tekadnya sudah bulat untuk memberikan pelajaran pada keluarga Arman. Setelah status mereka dinyatakan sah kini keduanya segera berjabatan tangan. Sinta, yang pada saat itu ditemani oleh kedua orang tuanya dan Heri juga ada di sana. “Maaf ya Sin, selama menjadi suami kamu...aku selalu menyakitimu. Sungguh aku memang pantas mendapatkan hukuman yang setimpal,” ucapnya sambil menjabat tangan Sinta. “Aku juga minta maaf, jika selama menjadi istri Mas mempunyai salah.” Dibalasnya jabatan tangan lelaki yang baru saja sah menjadi mantan suaminya itu. Hari itu Sinta menggunakan baju berwarna pink sen

  • Warisan Utang Mertua   BAB 35

    Kali ini Sinta membawa pulang uang lima puluh juta tersebut dengan aman meskipun nyawa taruhannya. Bersyukur dirinya selamat dari serangan orang-orang Tedi. Keesokan harinya Sinta pergi bertemu Lani sahabatnya yang bekerja di salah satu bank tempat Arman menggadaikan SK rumahnya. “Lan, aku menuju ke situ ya! Aku akan menebus hutang Mas Arman setelah itu rumah tersebut akan menjadi milikmu seutuhnya,” ucapnya. “Oke! Aku menunggumu Sin. Eh, jangan lupa segera melengkapi persyaratannya. Biar perjalanan mulus.” Lani mengingatkan Sinta. “Oke, tenang saja. Semua sudah beres. Kamu menungguku dengan duduk manis.” Beberapa saat kemudian mobil Sinta berhenti di depan Bank tempat Lani bekerja. Dirinya segera melangkah masuk kemudian mengurus semua berkas yang dibutuhkan saat akan melunasi hutang Arman. “Terimakasih ya Lan, kamu... Sudah sangat membantuku. Kali ini tak sabar menunggu sertifikat rumah itu di tanganku.” Sambil memeluk sahabatnya itu. “Kamu yang sabar ya Sin, jika serti

DMCA.com Protection Status