Raut wajahnya berubah kemerahan melihat kedatanganku mendekatinya. Ibu! Ibu... kenapa bisa kembali lagi?” Tatapannya yang heran ke arahku“Tadi, Ibu tak sengaja melihatmu. Jadi, Ibu kesini sekalian memperjelas sertifikat tanah yang kamu berikan ke Ibu.” Kuperlihatkan padanya sertifikat tanah miliknya itu“ Apa! Berikan? Sejak kapan aku memberikan sertifikat tanah pada Ibu," tanyanya dengan mengelak. “Loh! Sin, bukannya kamu yang memberikan Ibu sertifikat tanah ini?” “ Ibu...Ibu memang orang tua dari suamiku. Tapi, aku tidak pernah memberikan sertifikat tanah ini padamu, yang ada Ibu yang memaksa agar aku menyimpannya pada Ibu.” Didekatinya diriku dan berbicara dengan nada yang keras sehingga orang-orang yang ada di situ pandangannya tertuju padaku. “ Tapi...tapi Sin, bukankah Ibu sudah pamit padamu untuk menggunakannya mengambil pinjaman di Bank?” “ Iya Ibu pamit. Tapi, aku mengiyakannya dalam keadaan terpaksa.” Selama ini kusalah menilainya ternyata menantuku ini adalah wanita y
Karena terlalu banyak pikiran aku sampai tak fokus melihat ke lantai yang kulewati licin. Tak sengaja kakiku terpeleset dan jatuh . Rasanya sangat sakit, kepala mulai terasa pusing darah segar mulai mengalir ke lantai dan aku mulai tak sadarkan diri.Beberapa saat kemudian aku bangun dan sadarkan diri. Tampak di sekelilingku terlihat ruangan yang asing. Mas Arman dengan setia menemani sambil memainkan gawainya .“Akhirnya kamu sudah sadar Sin." Dipegangnya telapak tanganku sambil mengelus kepalaku .“Aku...aku di mana Mas." Sambil melihat di sekeliling“ Kamu...kamu di rumah sakit Sin, tadi kamu jatuh di lantai kamar mandi sekolah.” “ Siapa yang antarkan aku kemari Mas? Gawaiku sama tasku mana?” tanyaku padanya dengan tidak sabar“ Tenang sayang. Gawai sama tas kamu ada di pada Ibu katanya simpan sama dia jauh lebih aman.” “ Apa? Aku tidak mau Mas. Aku tidak percaya pada Ibumu. Di mana dia sekarang?” Aku berusaha bangkit meskipun bagian bawahku masih terasa sakit“Eh,Sin! Kamu...
Baru saja aku merasakan pembelaan dari Mas Arman namun kali ini dia tidak ada di pihak ku lagi. Sakit yang baru kualami ketika mengalami keguguran tak, sebanding dengan rasa sakit ketika Mas Arman mempermalukan aku dengan cara seperti ini. “Maaf Bu, kali ini waktunya kurang Pas. Jadi, saya harap jika Ibu mau ambil pinjaman di Bank segera menghubungi kami kembali. “ Kemudian kedua orang itu meninggalkan kami bertiga yang masih meredam amarah. “ Apa...?” Ibu mau ambil uang pinjaman di bank untuk apa.” Mas Arman berbalik ke arah Ibu“ Untuk selingkuhan Ibu kan? Tidak usah bohong semua sudah jelas.” Aku berusaha berdiri menghadapi keduanya. Ku beranikan diri ini untuk tetap kuat dan tegar“Sinta...! Tutup mulutmu. Siapa yang selingkuh?” Tatapan Ibu ke arahku“ Tidak usah bohong Bu. Meskipun saat ini aku belum tahu semuanya. Tapi, Sinta yakin Salah satu diantara kedua lelaki tempo hari adalah selingkuhan Ibu.” “Apa-apaan ini. Sinta, sejak kapan kamu berani dengan Ibu?“ Mas Arman tetap
Secepat inikah Mas Arman mendapatkan penggantiku. Kali ini Tuhan menguji kesabaran ku lagi. Hati mana yang tak sakit, tak dapat pembelaan dari suami. Bahkan dengan cepat dirinya mendapatkan penggantiku. “Kenapa? Kaget. Jangan berpikir Mas Arman akan tergila-gila padamu dan akan bertahan denganmu.” Jari telunjuknya tepat mengenai dadaku. “ Aku yakin ini bukan mau dari Mas Arman. Ini pasti cuma, sandiwaramu saja," jawabku untuk meyakinkan dirinya“ Terserah, apa tanggapanmu. Kakak iparku yang pelit. Jadi mulai sekarang kamu tak bisa mengancamku lagi.” Diambilnya koper Mas Arman kemudian bergegas menuju mobil wanita tapi mirip pria itu. Diriku masih berdiri mematung menatap keduanya pergi. Ingin rasanya aku menghubungi Mas Arman menantikan jawabannya. Tapi, rasanya kurang pas jika saat ini aku menghubunginya. Kulihat Jam di gawaiku menunjukkan pukul lima lewat sepuluh menit. Masih ada waktu untuk menunaikan ibadah salat asar. Segera kumenuju dapur mengambil air wudu kemudian bersiap
POV GayatriSejak aku mengenal Ibu Arman yang bodoh itu dari si Tedi selingkuhannya entah kenapa wanita ini terlihat sangat mudah dibodohi. Dia ingin aku menikahi anaknya yang berstatus suami orang. Aku sih oke saja. Selagi Bunda cantik ini bisa menghasilkan uang untukku. zaman sekarang siap sih yang tidak mau uang. Apa lagi... hanya melakukan pekerjaan untuk membodohi wanita tua ini. Pagi ini kucoba datang ke rumah Ibunya Arman untuk membawakan sarapan pagi yang sudah ku pesan khusus. Tak lupa pula makanan untuk si Tante kutaruh sedikit bumbu mantra agar dirinya semakin terpikat padaku. “Assalamu’alaikum, Bunda cantik!" Sudah kebiasaan aku dengan Ibu Arman jika bertemu cipika cipiki dulu biar lebih akrab. “Wa’alaikumussalam, eh Gayatri. Makin cantik saja.” “Tadi, kebetulan lewat Bu! Jadi, sekalian saja aku mampir untuk bawakan ini ke Yayang Arman. “ Ku berikan makanan dalam sebuah kantong kresek berisi bumbu mantra. “ Oh, terima kasih sekali. Ayo mampir dulu cantik. Kita mak
Betapa sakitnya hati ini ketika Mas Arman lebih memilih untuk membela Wanita ondel- ondel itu dibandingkan aku istrinya. “ Mbak Nov, ayo kita pulang! Perasaanku semakin risih di sini.” Kutarik tangan Mbak Novita kemudian bergegas meninggalkan tempat itu. Mungkin kali ini mata Mas Arman sudah dibutakan oleh uang. Terlihat jelas wanita tadi menggunakan, rambut palsu untuk menutupi kepalanya agar terlihat mirip wanita tulen. Ingin secepatnya cerai dirinya. Namun, uangku belum dikembalikan akibat ulah Ibunya. “ Sin, kita mau ke mana? “ Mbak Novita bertanya padaku namun aku pura-pura tak mendengar“ Sin, jangan cepat- cepat jalannya! Aku tak kuat mengejar langkahmu.” Kali ini Mbak Novita semakin membesarkan suaranya namun lagi- lagi aku tak menghiraukannya. “ Auh...! Sakit. Sin, tolong aku!” Kakinya terkilir.” Mbak Novita tiba-tiba jatuh terperosok ke lubang jalan. Bagian lututnya mengeluarkan darah. Aku menoleh kemudian menolongnya untuk berdiri. Segera kumembawanya ke puskesmas t
“Jangan...Jangan kotori tanganmu untuk menyakiti mereka Yang.” Di gandengnya tangan Gayatri untuk keluar dari tempat ituMereka menuju jalan pulang. Sepanjang jalan mereka lebih memilih banyak diam. Tiba di persimpangan jalan, Arman yang menyetir mobil Gayatri segera berbelok menuju rumahnya. “Yang, jangan lupa bilang ke Ibu kamu! Aku boleh pinjam sertifikat rumahnya akan kugadaikan ke Bank. Gayatri janji akan mengembalikan secepatnya ditambah utang Ibu ke Sinta dua kali lipat juga akan ku bayarkan," bujuk Gayatri“Iya sayang, aku janji akan meminjamnya ke Ibu.” Dirangkul nya tangan Gayatri“Eh satu lagi Yang, kapan kamu ceraikan istri kamu yang sombong itu?“ “ Aku janji sayang secepatnya akan kuceraikan dia. Tapi...kamu harus bayar utang Ibu dulu.” “ Menurutku, ceraikan saja dulu dia. Biar kita bebas ke mana saja yang kita mau.” Bujuk Gayatri yang semakin menjadi. “Betul juga katamu! Oke sampai di rumah akan kubicarakan pada Ibu.” Mobil yang mereka naiki telah sampai di depan ru
“Yang, aku... aku pulang dulu ya. Masih banyak pekerjaan yang akan aku selesaikan!" Gayatri berdiri dan buru-buru ingin meninggal tempat itu. “ Oh iya, besok kita ke temuan lagi yang.” Arman memegang pergelangan tangan Gayatri. “ boleh Yang, tapi....tapi ada satu syarat.” Di palingkan wajahnya ke arah Arman. “Apa syaratnya Yang?" tanya Arman penasaran. “ Kamu jangan pernah memegang bagian wajahku, karena kita belum muhrim.” jawab Gayatri. “Loh, biasanya kan. Kita sering berpelukan aku juga kadang mencium kamu. Kenapa sekarang sudah berubah?" tanya Arman semakin heran. “ I-Iya setelah kupikir- pikir kita kan mau nikah. Gayatri tidak mau punya keturunan yang tidak baik. Jadi Gayatri ingin kita secepatnya merencanakan pernikahan demi menghindari zina, Yang.” Dilepasnya rangkulan Arman. “ Oke, jadi kapan aku datang melamar mu," tanya Arman dengan tak sabar. “ Nanti... nanti Gayatri berkabar ya.““Jangan lama- lama berpikir Yang. Ingat aku sudah sangat serius denganmu. Aku rela me
“A-aku kenapa?” tanya Sinta ketika tersadar dari pingsannya. Dilihatnya sekeliling ruangan dengan pandangan liar.“ Bu Sinta pingsan di ruangan. Sepertinya Ibu kelelahan. Sebaiknya Ibu pulang dan istirahat di rumah saja,” ujar salah satu guru wanita yang berdiri di hadapannya.“ Baiklah, sebaiknya mungkin seperti itu. Aku pamit ya Ibu-ibu,” balas Sinta seraya berdiri memakai sepatunya.Kemudian salah satu guru pria memberikan tas dan kunci mobilnya. Dirinya masih dalam keadaan sedikit pusing tetapi tetap berusaha menuju jalan pulang dengan mengendarai mobilnya.***“ Eh, Mbak Sinta! Kok pulang cepat?” tanya Mbak Novita ingin tahu. “Aku lagi kurang enak badan Mbak, jadi...lebih memilih pulang cepat,” ujarnya sambil melangkah ke kamarnya untuk beristirahat.Matanya seketika mulai terlelap ketika menjatuhkan diri di atas pembaringan. Dalam tidurnya sosok gadis kecil yang dilihatnya tadi muncul lagi dalam mimpinya. “ Bu, Ibu ayo ikut aku Bu. Di sini aku kedinginan, di ruangan gelap aku
Hari- hari dilalui Sinta dengan kesendirian rasanya mulai membosankan. Mas Heri yang dulu selalu membantu ketika dirinya mengalami kesusahan saat ini mulai menjauh darinya.Karena sudah menemukan sosok Ibu polwan calon pendamping yang sebentar lagi menikah dengannya. Berulang kali dirinya mencoba berani mengutarakan isi hatinya. Namun, Sinta selalu menolak dengan alasan di hatinya masih membekas sosok Arman. Sosok Arman begitu sulit untuk dilupakannya.Andaikan saja dulu Arman mau mendengarkan keluh kesahnya, mungkin dia tidak akan termakan oleh hasutan Ibu mertuanya yang ingin menguasai harta menantu. Bahkan hutang-hutang keluarga Arman tak perlu ditanggung olehnya.Seperti biasa disaat waktu subuh dirinya bersiap menghadap sang Halik. Ketika selesai sujud terakhir tiba-tiba dirinya dikagetkan dengan teriakan Mbak Novita dari arah depan.“ Aaakkhh! Tolong!” teriak Mbak Novita yang mencari pertolongan dari segala arah.“ Ke-kenapa Mbak Nov? Ada apa? Apa yang terjadi?” Sinta yang
“Hei, bangun! Beraninya sama perempuan.” Serentak ketiga lelaki itu terbangun. Di hadapan mereka Sinta mulai geram atas apa yang mereka lakukan sebelumnya.“Maaf Mbak, kami...,”“Kami apa? Jangan pikir aku akan diam atas apa yang kalian lakukan ya.” “Mbak, kami hanya menuruti apa yang diperintahkan Gayatri,” jawab lelaki yang bertubuh kurus itu.“Diam! Saya tidak tanya. Apa yang ingin kalian harapkan padaku?” “ Hei, kamu banci! Kukira dirimu sudah mati. Ternyata nasibmu masih bisa bertemu lagi denganku ya.” Diangkatnya dagu Gayatri dengan jari telunjuknya itu.“Aku begini karena Anda yang dulunya berani menyiksaku,” bantahnya.“Dulu kamu mencoba bermain-main denganku. Dengan cara merusak rumah tanggaku. Sekarang, maumu apa?” “Aku hanya ingin membalaskan dendamku dan mengambil uangmu.”Tawa Sinta seketika meledak. Kalimat yang dilontarkan Gayatri membuatnya jadi merasa lucu.“ Kali ini kamu menangkap orang yang salah. Aku hanya seorang Sinta yang penghasilan setiap bulannya tidak se
Kini Sinta sudah tersadar kembali setelah beberapa lama dirinya sempat tak sadarkan diri akibat ulah Gayatri. Dilihatnya sekeliling tampak ruangan tertutup yang pengap udara dan sedikit gelap layaknya di dalam sebuah gudang yang sudah lama tidak terpakai .Baru saja mau menggerakkan kakinya namun terasa kaku karena lilitan tali yang mengikatnya.“ Ah! Sialan, berani macam-macam ke aku rupanya,” gumamnya dalam hati.Mulutnya yang ditutup dengan sebuah kain hitam Begitu juga dengan kaki dan tangannya membuat dirinya kesulitan dalam bergerak.“Siapa yang berani macam-macam denganku? Apakah itu memang Gayatri? Kalau memang dia kenapa dia masih hidup?” lanjutnya.Dirinya yang kini masih bertanya dalam hati seakan-akan ini suatu hal yang menjadi teka-teki bagi dirinya yang harus dipecahkan.“Oh Tuhan! Tolong aku. Semoga semuanya akan baik-baik saja,” lanjutnya memohon.Terdengar suara langkah kaki diluar membuat denyut jantungnya semakin kencang. Kini di pura-pura tidur kembali agar bisa
Sesampainya di rumah Sinta segera turun dari mobil tanpa menunggu Heri membukakan pintu.“Mas, aku turun. Maaf karena ulah Mas Arman makan malam kita kali ini jadi kacau.” Kemudian dia melangkah masuk ke rumahnya.“Sinta! Tunggu dulu,” ucapnya sambil menahan lengannya.“ Kenapa Mas?” Rianti berbalik.“Aku...aku...” Namun tak dilanjutkannya lagi.“Kenapa dengan Mas?” tanya Rianti penasaran.“Tidak jadi. Aku takut nanti kamu tersinggung,” balas Heri.“ Ya sudah. Rianti masuk dulu ya Mas.” Dirinya berbalik kemudian segera meninggalkan Dibaringkan tubuhnya di tempat pembaringan kemudian tidur terlelap.Keesokan harinya setelah pulang dari sekolah Sinta segera menuju ke sel tahanan menuju mantan Ibu mertuanya. Meskipun status mereka kini hanya mantan tapi, dirinya masih saja menganggap Ibunya sebagai mertuanya.“Maaf pak polisi kedatangan saya kemari ingin menengok Ibu Mertua saya. Apakah bisa?” tanya Sinta pada salah satu polisi yang kebetulan berjaga.“Atas nama Bu siapa mertua Anda.” po
Malam harinya Heri sudah bersiap menjemput Sinta untuk pergi ke tempat yang sudah mereka sepakati. Dress berwarna pink senada dengan warna jilbab yang dikenakannya membuat penampilan Sinta kali ini semakin cantik mempesona.“Yuk, Sin!” Dipersilahkannya Sinta masuk ke dalam mobilnya. Kali ini Sinta duduk di depan samping Heri mengemudi.Kali ini mobil yang mereka naiki segera melaju ke Cafe. Beberapa saat kemudian mereka telah sampai.Sebuah meja yang dihiasi dengan lilin dan musik yang menambah keindahan suasana Cafe malam itu. Sengaja Heri menyiapkan ini semua, karena dia ingin mengutarakan isi hatinya ke Sinta yang selama ini dipendamnya.“Mau...makan apa Sin?” Diperlihatkan menu yang tersedia.“Aku...mau makan yang seperti Mas Heri pesan,” jawabnya dengan senyum.“Sin, aku...aku mau bilang sesuatu sama kamu!” Dipegangnya hari Sinta yang terasa dingin itu.“Mau bilang apa Mas? Tumben Mas serius seperti ini. Biasanya...Mas Heri kebakaran bercanda.” Sambil sesekali melihat pemandang
Hari-hari telah berlalu. Kesendirian Sinta mulai terasa sepi. Sosok Arman mantan suaminya selalu saja terngiang di ingatannya. “ Oh, Tuhan! Singkirkan perasaan bodohku ini pada mantan suami yang pernah menyakitiku,” gumamnya dalam hati.kali ini dirinya masih kurang fokus mengerjakan tugas administrasi kepala sekolah. karena di ingatannya sosok Arman selalu menghantui.Beberapa saat kemudian terdengar suara kurir yang mengantarkan paket di depan rumahnya.“Paket...Paket!” “Mbak Nov,! Mbak Nov! Di depan ada kurir Mbak. Siapa tahu yang diantar itu paket Mbak Nov,” ucapnya sambil menikmati makanan ringan yang ada di tangannya.Kemudian dicobanya lagi memanggil nama Mbak Novita.“Mbak Nov, paketnya datang! Namun, tak ada balasan dari Mbak Novita. Akhirnya Sinta memutuskan untuk keluar menghampiri kurir tersebut.“ I-iya sebentar,” balasnya dari dalam sambil menuju keluar.“ Paket dari siapa Pak? Perasaan saya tak punya Paket.” Kurir yang datang membawa paket menggunakan masker dan to
Hari ini sidang cerai Sinta dengan Mas Arman. Sebagai wanita yang pernah disakiti oleh suami dan keluarganya yang hanya memanfaatkannya, dirinya menjadikan ini sebagai pelajaran agar tidak salah pilih lagi dalam mencari pendamping hidup. Setelah perceraian mereka dinyatakan sah, hatinya lega ketika semua harus berakhir seperti ini. Meski bukan perceraian yang diinginkannya. Namun, niat dan tekadnya sudah bulat untuk memberikan pelajaran pada keluarga Arman. Setelah status mereka dinyatakan sah kini keduanya segera berjabatan tangan. Sinta, yang pada saat itu ditemani oleh kedua orang tuanya dan Heri juga ada di sana. “Maaf ya Sin, selama menjadi suami kamu...aku selalu menyakitimu. Sungguh aku memang pantas mendapatkan hukuman yang setimpal,” ucapnya sambil menjabat tangan Sinta. “Aku juga minta maaf, jika selama menjadi istri Mas mempunyai salah.” Dibalasnya jabatan tangan lelaki yang baru saja sah menjadi mantan suaminya itu. Hari itu Sinta menggunakan baju berwarna pink sen
Kali ini Sinta membawa pulang uang lima puluh juta tersebut dengan aman meskipun nyawa taruhannya. Bersyukur dirinya selamat dari serangan orang-orang Tedi. Keesokan harinya Sinta pergi bertemu Lani sahabatnya yang bekerja di salah satu bank tempat Arman menggadaikan SK rumahnya. “Lan, aku menuju ke situ ya! Aku akan menebus hutang Mas Arman setelah itu rumah tersebut akan menjadi milikmu seutuhnya,” ucapnya. “Oke! Aku menunggumu Sin. Eh, jangan lupa segera melengkapi persyaratannya. Biar perjalanan mulus.” Lani mengingatkan Sinta. “Oke, tenang saja. Semua sudah beres. Kamu menungguku dengan duduk manis.” Beberapa saat kemudian mobil Sinta berhenti di depan Bank tempat Lani bekerja. Dirinya segera melangkah masuk kemudian mengurus semua berkas yang dibutuhkan saat akan melunasi hutang Arman. “Terimakasih ya Lan, kamu... Sudah sangat membantuku. Kali ini tak sabar menunggu sertifikat rumah itu di tanganku.” Sambil memeluk sahabatnya itu. “Kamu yang sabar ya Sin, jika serti