Share

BAB 2

Author: Duo Sul Enjelika
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

"Ah...!" Sebuah mobil berwarna putih barusan hampir saja menabrakku.

Bersyukur yang kena hanya koperku yang berisi pakaian di dalamnya. Kini koperku tepat berada di tengah jalan.

Dari dalam mobil itu terlihat seorang lelaki bertubuh tegap memakai baju seragam polisi menuju ke arahku dan mengambilkan koper milikku yang tergeletak di tengah jalan.

“Apakah Ibu tidak apa-apa?” tanya lelaki berseragam polisi itu Padaku.

"Ma-maaf ya, aku tidak sengaja," lanjutnya lagi.

“ Ti -tidak apa Pak, hanya...kaki saya sedikit terkilir di aspal,” jawabku dengan memegang mata kakiku yang tergores aspal.

“Kalau begitu, aku bawa ke puskesmas terdekat ya Bu, Kaki ibu lagi sakit." Pak Polisi tersebut berusaha menawarkan agar aku tetap baik – baik saja.

Lama diperhatikannya diriku. Aku yang berusaha menahan sakit sehingga tak memperhatikan pandangan Pak Polisi tersebut kepadaku.

“Ma-maaf, Ibu ini Sinta Dewi kan?" tanyanya sekedar untuk memastikan .

“I – Iya, kenapa? Apa, Bapak kenal saya?" tanyaku sedikit penasaran.

“Kamu, anak kelas IPA di SMA (...) alumni tahun (...)Kan?"

“I – Iya, Pak?" jawabku sambil memegang mata kakiku yang masih sakit sakit .

“Aku, Heri! kita dulu seletting. Aku anak IPS, dulu waktu masih sekolah SMA aku sering membacanya hasil karya kamu yang ditempel di mading sekolah," jawabnya sambil tersenyum.

Tampak terlihat giginya yang tersusun rapi, dengan jelas lesung pipi menghiasi kedua pipinya. Betul – betul pria sempurna menurutku.

“Aku, bawa kamu ke puskesmas ya! Aku takut kamu kenapa – kenapa,” Dia yang sebelumnya panggil aku Ibu kini digantinya dengan sebutan kamu ketika mengetahui aku teman lettingnya.

Segera diulurkan tangannya untuk menggotong aku masuk ke dalam mobilnya.

“I – iya Mas,” Aku pun demikian sebelumnya panggil dia dengan sebutan Bapak setelah mengetahui dia adalah teman sekolahku kini panggilan berubah jadi Mas. Aku hanya bisa mengangguk sebagai tanda mengiyakannya.

Aku berusaha berdiri dan masuk ke dalam mobil Heri. Mas Arman yang pada saat itu merasa bersalah dengan kepergianku dari rumah segera mengejarku dari belakang untuk membujukku kembali ke rumahnya.

Dalam waktu yang bersamaan dilihatnya diriku bersiap masuk ke mobil Heri.

“Sin, tunggu! Mas mohon, kembalilah ke rumah. Mas janji, tidak akan mengulanginya lagi.” Tangan Mas Arman yang menahan di lenganku. Kemudian aku berbalik ke arahnya.

“Mas! Selesaikan dulu urusanmu dengan orang tuamu. Jika uang aku sudah diganti oleh Ibumu baru aku mau balik lagi ke rumah orang tua kamu, " jawabku kemudian masuk ke dalam mobil Heri.

“Sin, siapa lelaki ini? Apakah dia selingkuhan kamu?” Mas Arman yang bersiap dengan tinjunya ke arah Heri.

“Hentikan Mas! Sudah cukup apa yang kamu lakukan padaku. Pulanglah, dan urus saja Ibumu itu,”

“Sin, awas ya kamu berani macam-macam di belakangku. Akan aku ce..,”

“ He! Istri secantik Sinta sampean mau ceraikan, tanpa mau cari tahu dulu jangan sampai menyesal Bro.” segera ditepisnya tangan Mas Arman yang memegang kerak bajunya kemudian masuk ke dalam mobil.

Saat ini aku sudah berada di dalam mobil Heri tepat duduk di sampingnya yang lagi mengemudi.

Diriku hanya duduk terdiam melihat tingkah Mas Arman. Rasa sakit di kaki ini tak sebanding dengan sakit yang kurasakan jika membayangkan kata-kata hinaan dari mulut Ibu mertuaku.

Apalagi ketika dia berani mengambil uang milikku. Kedua orang tuaku sangat berbeda dengan orang tua Mas Arman. Jika mereka butuh uang mereka malu untuk mengakui, tapi, aku sebagai anak selalu merasa peka terhadap apa yang dirasakan oleh orang tuaku.

Jika orang tua Mas Arman tidak meremehkanku, aku bisa membantu mereka jika mereka butuh bantuan dari segi materi. Tapi, bukan dengan cara bertindak seperti tadi, menurutku itu sangat tidak sopan.

Rasanya tidak enak di pandang hina oleh keluarga suami. Diriku sering melihat wanita di luar sana yang menyandang status janda. Mereka sering berbagi pengalaman cerita hidup denganku.

Aku sering mendengar kisah dari mereka bercerai, salah satunya karena di pandang remeh oleh keluarga suami dan mertua.

Tidak semua mertua itu baik, seperti yang di film. Bersyukurlah mereka yang mempunyai mertua tidak seperti mertuaku.

Kadang juga ada mertua yang berusaha mengambil hati anaknya agar tetap baik di mata anaknya, ketika anak mereka sudah tidak di rumah barulah mereka berulah pada menantu.

Mobil Mas Heri kini menuju ke puskesmas terdekat. Sepanjang jalan aku banyak memilih diam. Aku tak berani memulai pembicaraan lebih dulu pada Mas Heri. Apalagi, aku tak begitu akrab dengannya.

Suasana hening mulai terasa ketika selama di perjalanan kami lebih banyak memilih diam. Kikuk, rasanya jika bersama dengan orang yang kurang akrab berdua di dalam mobil.

“Sin, sudah berapa lama menikah,? tanyanya memulai pembicaraan kami.

“Kurang lebih empat bulan Mas,”

“ Berarti, kamu masih menikmati masa – masa pengantin baru dong!" Mas Heri mulai tersenyum padaku.

“ Biasa saja Mas, boleh tau Mas sendiri sudah menikah?" tanyaku hanya sekedar memastikan.

“Aku belum menikah, entah di mana jodoh ini berada,” jawabnya cekikikan sambil fokus menyetir mobil.

“Kenapa?” tanyaku lagi.

“belum ada yang pas, " jawabnya.

Beberapa saat kemudian mobil Mas Heri berhenti di depan puskesmas. Segera dirinya membuka pintu mobil untukku.

kemudian dia membawaku untuk mengobati luka di kakiku ini.

***

Setelah dari puskesmas, Mas Heri segera mengantarku ke rumah yang kubeli sebelum aku menikah dengan Mas Arman.

Seperti biasa kali ini aku dapati Mbak Novita bersih-bersih di halaman rumah. Bunga- bunga yang ada ditatanya dengan rapi sehingga menambah suasana keindahan rumahku itu.

Mobil Rush berwarna putih, terpampang di garasi samping rumah. Bagian kaca depannya terlihat tulisan kecil ada namaku Sinta Taurus karena zodiakku adalah Taurus.

Jika aku sedang suntuk di rumah inilah aku menghabiskan waktu luangku. Meskipun rumah ini kurang besar hanya mempunyai tiga kamar tidur, satu kamar mandi dan satu ruang salat tapi, aku merasa puas bisa membeli sesuatu dengan uangku sendiri.

Segera kuturun dari mobil Mas Heri kemudian berjalan pelan menuju teras rumah. Mbak Novita yang melihatku berjalan dengan kaki sedikit pincang segera menghampiriku.

Mas Heri yang berjalan tepat di belakangku segera membawakan koperku. Ku persilahkan Mas Heri duduk di teras samping rumah.

Kemudian, segera melanjutkan obrolan kami yang tertunda.

“Ayo, duduk Mas. Maaf, sudah merepotkan Mas Heri sampai rela mengantarku kemari.” Segera kudekatkan bokongku untuk duduk di kursi kayu yang dibuat oleh Ayahku.

Meskipun hasilnya kurang rapi seperti yang dibuat oleh tukang mebel yang lebih ahli tapi aku sangat bersyukur dan berterima kasih atas perhatian Ayah padaku.

“Sudah seharusnya aku mengantarmu pulang Sin! Karena, kaki kamu sakit disebabkan aku, yang berkendara kurang hati – hati,” jawabnya sambil memberikan koper milikku.

Mbak Novita yang melihat kedatangan Mas Heri segera ke dapur untuk membuat air minum untuk kami. Mbak Novita adalah orang yang pernah kutolong karena mendapat KDRT dari suaminya dulu hingga bercerai.

Dulu dia bingung mau tinggal di mana akhirnya aku percayakan dia tinggal di rumahku sambil merawat rumah ini.

Beberapa saat kemudian Mbak Novita datang membawa dua gelas teh hangat dan cemilan ringan.

“Silahkan diminum Pak,” ajak Mbak Novita kemudian berlalu meninggalkan kami berdua.

“Hm! Ngomong-ngomong Mas Heri sendiri sebenarnya tugas kerjanya di mana?”tanyaku sambil meminum teh hangat buatan Mbak Novita.

“ Aku baru seminggu lebih di mutasi pindah tugas di daerah sini,”

“Oh, terus di sini tinggal sendiri ya Mas atau ada keluarga?”

“Di sini untuk sementara masih tinggal di kos, sambil cari-cari kontrakan? Terus, apakah kamu saat ini tinggal bersama mertua?” tanyanya kembali.

“I-Iya Mas, sebagai pengantin baru saat ini aku lebih memilih tinggal di rumah mertua aku tidak mau durhaka,” jelas ku padanya.

“ Ini adalah rumah singgah aku jika aku suntuk, aku menghabiskan waktu dan menyelesaikan kerjaku di sini," lanjutku.

Lama kami mengobrol hingga tak terasa waktu menunjukkan pukul dua belas siang.

Aku dan Mas Heri sesekali mengobrol masa lalu ketika duduk di bangku SMA. Meskipun saat itu aku kurang mengenalnya setidaknya bisa menambah keakraban kami setelah apa yang kualami dari kejadian tadi.

Sesekali Mbak Novita yang sedang menata bunga-bunga di taman melirik ke arah kami yang semakin akrab.

“ Oh, ya Sin! Aku belum terlalu paham daerah sekitar sini. Karena, aku masih baru, bisa ya kapan-kapan aku minta bantuan kamu?"

“Insya Allah aku siap Mas! Apalagi Mas adalah teman sekolahku dulu," jawabku agar tidak mengecewakannya.

“ Tidak boleh!” Segera kami berdua menoleh ke asal suara itu. Tampak di depan pintu pagar berdiri Mas Arman dan Ibu mertuaku dengan wajah garang.

“ Mas Arman, untuk apa kamu ke sini?” Aku yang merasa heran dengan kedatangan Mas Arman dan Ibu mertua ada di sini.

Mereka berjalan ke arahku. Heri yang duduk di kursi segera berdiri menyambut kedatangan Mas Arman dan Ibu.

“Plak!" Sebuah tamparan mendarat di pipiku.

Related chapters

  • Warisan Utang Mertua   BAB 3

    “ Plak!" Sebuah tamparan mendarat di pipiku. Malu rasanya ditampar langsung oleh Ibu mertuaku di hadapan Mas Heri. “Dasar wanita murahan, pergi dari rumah sebentar saja kamu sudah berani main hati dengan anakku ya,” dengan nada yang meninggi dimakinya diriku ini. Sehingga, membuat aku semakin malu di hadapan Mas Heri. Apalagi dia baru dekat denganku hari ini. “Ma-maaf Bu, saya dengan Sinta hanya sebatas teman. Lagi pula, kami baru bertemu hari ini.” Mas Heri yang berusaha membelaku. “ Berteman? Tapi, pergi berdua dalam mobil itu apa? Sinta, kamu masih istri Arman, dan kamu seorang polisi beraninya pergi dengan istri orang!” Ibu mertuaku yang makin menjadi – jadi. “ Ibu akan menyesal, jika menuduh menantu berbuat yang bukan-bukan." Mas Heri segera memasang badannya dan menyembunyikan aku di belakangnya. “Percuma kamu membela wanita miskin ini, dia Cuma guru honorer dengan gaji tidak seberapa . Polisi sepertimu sangat tidak cocok dengannya.” Hinaan Ibu mertuaku sudah terbiasa dite

    Last Updated : 2024-10-29
  • Warisan Utang Mertua   BAB 4

    "Tidak! Aku tidak mau mendengar penjelasan kamu lagi. Semua sudah jelas, kamu selingkuh di belakangku.” Kini Mas Arman berulah lagi layaknya orang kesurupan“Mas, ini tidak seperti yang kamu pikirkan, tolong dengarkan aku dulu Mas!" Aku yang berusaha menenangkannya lalu dihalangi oleh Ibu mertuaku. “Sudahlah! Tak ada gunanya kami mendengar penjelasan kamu lagi. Sekarang sudah jelas tujuan kamu, mau menikah dengan Arman hanya butuh harta kami kan?” lagi – lagi kalimat hinaan yang dilontarkan Ibu membuat aku sakit hati. “Ma-maaf ini tidak seperti yang kalian bayangkan! Kami... kami hanya berteman. Lagi pula, hari ini hari ulang tahun Sinta, seharusnya dirimu sebagai suamilah yang lebih dulu tahu.” Mas Heri yang berusaha membelaku kemudian melirik ke kue ulang tahun yang ada di atas meja kemudian menatap wajah Mas Arman.“Mas, jangan turuti emosi kamu tanpa mencari tahu lebih dulu! Seharusnya, sebagai suami Kamulah yang lebih peka,” Aku yang berusaha menenangkan Mas Arman. “Ha! Te

    Last Updated : 2024-10-29
  • Warisan Utang Mertua   BAB 5

    Kesya, satu kata lagi kau berani menghina Sinta akan ku blokir semua ATM pemberianku.” Mas Arman tiba – tiba muncul dari belakangku. Segera diambilnya Handphone di tanganku kemudian dia yang melanjutkan pembicaraan dengan Kesya.“Kak, aku ini adikmu. Kenapa dirimu tega lebih membela dia yang baru beberapa bulan hidup denganmu dari pada adik kandungmu sendiri yang tumbuh bersama dari kecil. Salahkah, jika aku lebih membela Ibu,” jawab Kesya dari seberang sana. “Mengenai cincin yang kau berikan ke aku sebagai sumbanganmu di pernikahanku, akan kuganti. Aku tidak menyangka hal ini akan diungkit olehmu,” Mas Arman mulai emosi. “Saya ingin rumah tanggaku dan Sinta aman, mungkin dengan kami cari kontrakan Ibu perlahan – lahan membuka hati untuk Sinta," lanjut Mas Arman. “Kak, tapi aku lebih percaya Ibu dibanding Sinta yang baru menjadi bagian dari keluarga kami. Jadi, tak perlu mendengar langsung darimu lagi. Semua sudah kudengar dari Ibu.” “Terserah apa tanggapanmu, lagi pula, aku te

    Last Updated : 2024-10-29
  • Warisan Utang Mertua   BAB 6

    Kata orang aku cantik. Kulit yang berwarna kuning langsat, dan mempunyai bodi yang tinggi semampai membuat orang-orang betah memandang. Gigi yang tersusun rapi dan mempunyai lesung di kedua pipi menambah daya tarik senyumanku. Tapi, entah kenapa diriku lebih suka berpenampilan sederhana dibanding dengan tampil gaya yang berlebihan. Dari kecil aku sudah bisa mencari penghasilan sendiri. Keahlian dalam membuat jajanan kue bisa membantu mencari jajan tambahan. Ibu sangat bangga padaku di usia belia anak seusiaku sudah bisa membeli perlengkapan sekolah dari hasil keringat sendiri. Teman-teman sebayaku sebagian besar sudah menggunakan ponsel android sementara saat duduk di bangku SMP diriku masih menggunakan ponsel adul komuniketer alias Handphone yang bisa komunikasi dan senter. Tapi, aku tak mau membebani ibu untuk segera punya ponsel android, entah ide dari mana yang muncul di benakku tiba-tiba ingin membuat kacang goreng balado kemudian aku titip di warung-warung. Awalnya ti

    Last Updated : 2024-10-29
  • Warisan Utang Mertua   BAB 7

    “Apa, Mas Arman hanya anak angkat?” Rasanya bagai disambar petir di siang bolong. Entah aku kaget ingin menangis atau gembira, dia yang menjadi suamiku saat ini bukanlah anak kandung dari mertua yang membenciku selama ini. “ Mas, tidak bercanda kan?” tanyaku dengan penuh serius. “Ma-maaf Sin, selama ini Mas belum bisa jujur. Mas takut, kamu tidak menerima keadaanku yang sebenarnya." Sekali lagi di hapus nya air matanya kemudian melanjutkan pembicaraannya. “Mas takut kamu tidak menerima lamaran Mas dulunya, Jika kamu mengetahui yang sebenarnya. Sehingga dalam waktu sebulan mengenalmu aku berusaha cepat melamar mu Sin,” lanjutnya. “ Kenapa Mas Arman tidak jujur dari dulu. Aku tetap menerima diri Mas Arman , meskipun aku tahu yang sebenarnya,” aku tetap berusaha menyemangatinya agar tidak kecewa. “Terima kasih Sin! seharusnya status aku kamu ketahui dari sebelum kita menikah. Sekarang untuk membalas budi kepada mereka, aku tetap membantu usaha milik Ayah dan juga harus memberikan K

    Last Updated : 2024-10-29
  • Warisan Utang Mertua   BAB 8

    *POV IBU*“Sinta!" Wanita itu menoleh ke arah kami.“ Iya, kalian memanggil saya?” Didekatinya kami. “Kamu Sintakah? Kamu menantu Ibu kan?” Ku pegang seragamnya. “Tumben, Ibu mau mengakui kalau aku ini menantu. Ada perlu apa Bu kemari?”“I-ibu tadi kebetulan lewat kompleks sini jadi Ibu mampir di sekolah tempat menantu Ibu menjabat sebagai kepala sekolah.” Aku yang menahan kikuk. Semudah inikah aku mengakui bahwa dia menantuku. Penampilan Sinta hari ini, dengan riasan tipis di wajahnya membuat penampilannya terlihat lebih elegan tidak seperti biasanya.“Kepala sekolah? Mungkin Ibu salah informasi, aku hanya guru honorer di sekolah ini Bu. Tapi, mohon aminkan saja Bu, semoga suatu hari nanti jadi kenyataan menantu Ibu jadi kepala sekolah.”“ Ta-tapi, Bapak tadi mengatakan bahwa kamu adalah seorang kepala sekolah.” Kutunjuk Pak Satpam yang lagi berjaga di depan pintu gerbang sekolah. “Oh itu, dia belum lama menjadi satpam di sini. Jadi, dia belum banyak tahu tentang sekolah ini.”

    Last Updated : 2024-10-29
  • Warisan Utang Mertua   BAB 9

    Aku kaget melihat seseorang menuju anak tangga. Akhirnya aku kembali sembunyi di belakang kardus yang berada dekat situ. Syukurlah dia tidak menyadari keberadaan ku di sini. Wanita itu melangkah ke dalam dilihatnya dua orang lelaki itu tumbang karena ulahku. “Hei, apa yang terjadi dengan kalian?" seru wanita itu. “Ada seorang wanita yang berani mengambil gambar kami waktu bertransaksi Bu.” “Si-siapa dia. Apakah dia adalah orang yang kalian kenal?”“I- iya Bu. Sepertinya dia adalah menantu Ibu.” Lelaki bertubuh jangkung berdiri kemudian menggosok-gosok matanya yang sebelumnya dilempar dengan pasir. “Apa... Maksud kalian Sinta. Kenapa bisa dia ada di sini?” Ibu heran ketika nama Sinta disebut. “I-iya Bu, dia menantu Ibu selama ini terlihat lemah tapi sebenarnya dia kuat.” Pria bertubuh kekar itu mencoba meyakinkan Ibu. “Alah! Ngomong apa kalian. Menantuku itu tidak bisa berbuat apa. Dia itu hanya wanita lemah."Aku menyaksikan mereka berbicara dengan Ibu yang keluar dari tem

    Last Updated : 2024-10-29
  • Warisan Utang Mertua   BAB 10

    Melihat kondisi Ibu kepalanya bercucuran darah diriku panik. Pak Satpam Sekolah mengangkat Ibu untuk di bawa ke rumah sakit sesuai perintahku.“Bu Kepala Sekolah, semuanya sudah siap.” “I-iya Pak, ayo kita berangkat!” Ibu tertidur dalam pangkuanku. Rasa bersalah selalu menghantui. Pikiran tak karuan selama di perjalanan entah apa alasanku nanti jika Mas Arman mengetahui. “ Hati-hati di jalan Bu Kepala Sekolah. Semoga Ibu mertuanya segera sadar.” Bu Anik guru kelas satu mengingatkanku. “I-Iya Bu, terima kasih. Mohon kerja samanya dengan rekan Guru yang lain untuk memantau jaga keamanan sekolah ya Bu.” Mobil Rushku melaju ke rumah sakit. Suara Ibu terus memanggil namaku meskipun kepalanya dalam keadaan terluka.“Sinta, maafkan Ibu ya! Selama ini sering menyakiti kamu. Ibu belum mau mati, takut masuk neraka.” Semoga dia berubah menjadi lebih baik dan menerima Ku apa adanya karena selama ini sudah Capek jadi menantu yang sering sakit hati.“Sinta...dari dulu sudah maafkan Ibu! D

    Last Updated : 2024-10-29

Latest chapter

  • Warisan Utang Mertua   BAB 43

    “A-aku kenapa?” tanya Sinta ketika tersadar dari pingsannya. Dilihatnya sekeliling ruangan dengan pandangan liar.“ Bu Sinta pingsan di ruangan. Sepertinya Ibu kelelahan. Sebaiknya Ibu pulang dan istirahat di rumah saja,” ujar salah satu guru wanita yang berdiri di hadapannya.“ Baiklah, sebaiknya mungkin seperti itu. Aku pamit ya Ibu-ibu,” balas Sinta seraya berdiri memakai sepatunya.Kemudian salah satu guru pria memberikan tas dan kunci mobilnya. Dirinya masih dalam keadaan sedikit pusing tetapi tetap berusaha menuju jalan pulang dengan mengendarai mobilnya.***“ Eh, Mbak Sinta! Kok pulang cepat?” tanya Mbak Novita ingin tahu. “Aku lagi kurang enak badan Mbak, jadi...lebih memilih pulang cepat,” ujarnya sambil melangkah ke kamarnya untuk beristirahat.Matanya seketika mulai terlelap ketika menjatuhkan diri di atas pembaringan. Dalam tidurnya sosok gadis kecil yang dilihatnya tadi muncul lagi dalam mimpinya. “ Bu, Ibu ayo ikut aku Bu. Di sini aku kedinginan, di ruangan gelap aku

  • Warisan Utang Mertua   BAB 42

    Hari- hari dilalui Sinta dengan kesendirian rasanya mulai membosankan. Mas Heri yang dulu selalu membantu ketika dirinya mengalami kesusahan saat ini mulai menjauh darinya.Karena sudah menemukan sosok Ibu polwan calon pendamping yang sebentar lagi menikah dengannya. Berulang kali dirinya mencoba berani mengutarakan isi hatinya. Namun, Sinta selalu menolak dengan alasan di hatinya masih membekas sosok Arman. Sosok Arman begitu sulit untuk dilupakannya.Andaikan saja dulu Arman mau mendengarkan keluh kesahnya, mungkin dia tidak akan termakan oleh hasutan Ibu mertuanya yang ingin menguasai harta menantu. Bahkan hutang-hutang keluarga Arman tak perlu ditanggung olehnya.Seperti biasa disaat waktu subuh dirinya bersiap menghadap sang Halik. Ketika selesai sujud terakhir tiba-tiba dirinya dikagetkan dengan teriakan Mbak Novita dari arah depan.“ Aaakkhh! Tolong!” teriak Mbak Novita yang mencari pertolongan dari segala arah.“ Ke-kenapa Mbak Nov? Ada apa? Apa yang terjadi?” Sinta yang

  • Warisan Utang Mertua   BAB 41

    “Hei, bangun! Beraninya sama perempuan.” Serentak ketiga lelaki itu terbangun. Di hadapan mereka Sinta mulai geram atas apa yang mereka lakukan sebelumnya.“Maaf Mbak, kami...,”“Kami apa? Jangan pikir aku akan diam atas apa yang kalian lakukan ya.” “Mbak, kami hanya menuruti apa yang diperintahkan Gayatri,” jawab lelaki yang bertubuh kurus itu.“Diam! Saya tidak tanya. Apa yang ingin kalian harapkan padaku?” “ Hei, kamu banci! Kukira dirimu sudah mati. Ternyata nasibmu masih bisa bertemu lagi denganku ya.” Diangkatnya dagu Gayatri dengan jari telunjuknya itu.“Aku begini karena Anda yang dulunya berani menyiksaku,” bantahnya.“Dulu kamu mencoba bermain-main denganku. Dengan cara merusak rumah tanggaku. Sekarang, maumu apa?” “Aku hanya ingin membalaskan dendamku dan mengambil uangmu.”Tawa Sinta seketika meledak. Kalimat yang dilontarkan Gayatri membuatnya jadi merasa lucu.“ Kali ini kamu menangkap orang yang salah. Aku hanya seorang Sinta yang penghasilan setiap bulannya tidak se

  • Warisan Utang Mertua   BAB 40

    Kini Sinta sudah tersadar kembali setelah beberapa lama dirinya sempat tak sadarkan diri akibat ulah Gayatri. Dilihatnya sekeliling tampak ruangan tertutup yang pengap udara dan sedikit gelap layaknya di dalam sebuah gudang yang sudah lama tidak terpakai .Baru saja mau menggerakkan kakinya namun terasa kaku karena lilitan tali yang mengikatnya.“ Ah! Sialan, berani macam-macam ke aku rupanya,” gumamnya dalam hati.Mulutnya yang ditutup dengan sebuah kain hitam Begitu juga dengan kaki dan tangannya membuat dirinya kesulitan dalam bergerak.“Siapa yang berani macam-macam denganku? Apakah itu memang Gayatri? Kalau memang dia kenapa dia masih hidup?” lanjutnya.Dirinya yang kini masih bertanya dalam hati seakan-akan ini suatu hal yang menjadi teka-teki bagi dirinya yang harus dipecahkan.“Oh Tuhan! Tolong aku. Semoga semuanya akan baik-baik saja,” lanjutnya memohon.Terdengar suara langkah kaki diluar membuat denyut jantungnya semakin kencang. Kini di pura-pura tidur kembali agar bisa

  • Warisan Utang Mertua   BAB 39

    Sesampainya di rumah Sinta segera turun dari mobil tanpa menunggu Heri membukakan pintu.“Mas, aku turun. Maaf karena ulah Mas Arman makan malam kita kali ini jadi kacau.” Kemudian dia melangkah masuk ke rumahnya.“Sinta! Tunggu dulu,” ucapnya sambil menahan lengannya.“ Kenapa Mas?” Rianti berbalik.“Aku...aku...” Namun tak dilanjutkannya lagi.“Kenapa dengan Mas?” tanya Rianti penasaran.“Tidak jadi. Aku takut nanti kamu tersinggung,” balas Heri.“ Ya sudah. Rianti masuk dulu ya Mas.” Dirinya berbalik kemudian segera meninggalkan Dibaringkan tubuhnya di tempat pembaringan kemudian tidur terlelap.Keesokan harinya setelah pulang dari sekolah Sinta segera menuju ke sel tahanan menuju mantan Ibu mertuanya. Meskipun status mereka kini hanya mantan tapi, dirinya masih saja menganggap Ibunya sebagai mertuanya.“Maaf pak polisi kedatangan saya kemari ingin menengok Ibu Mertua saya. Apakah bisa?” tanya Sinta pada salah satu polisi yang kebetulan berjaga.“Atas nama Bu siapa mertua Anda.” po

  • Warisan Utang Mertua   BAB 38

    Malam harinya Heri sudah bersiap menjemput Sinta untuk pergi ke tempat yang sudah mereka sepakati. Dress berwarna pink senada dengan warna jilbab yang dikenakannya membuat penampilan Sinta kali ini semakin cantik mempesona.“Yuk, Sin!” Dipersilahkannya Sinta masuk ke dalam mobilnya. Kali ini Sinta duduk di depan samping Heri mengemudi.Kali ini mobil yang mereka naiki segera melaju ke Cafe. Beberapa saat kemudian mereka telah sampai.Sebuah meja yang dihiasi dengan lilin dan musik yang menambah keindahan suasana Cafe malam itu. Sengaja Heri menyiapkan ini semua, karena dia ingin mengutarakan isi hatinya ke Sinta yang selama ini dipendamnya.“Mau...makan apa Sin?” Diperlihatkan menu yang tersedia.“Aku...mau makan yang seperti Mas Heri pesan,” jawabnya dengan senyum.“Sin, aku...aku mau bilang sesuatu sama kamu!” Dipegangnya hari Sinta yang terasa dingin itu.“Mau bilang apa Mas? Tumben Mas serius seperti ini. Biasanya...Mas Heri kebakaran bercanda.” Sambil sesekali melihat pemandang

  • Warisan Utang Mertua   BAB 37

    Hari-hari telah berlalu. Kesendirian Sinta mulai terasa sepi. Sosok Arman mantan suaminya selalu saja terngiang di ingatannya. “ Oh, Tuhan! Singkirkan perasaan bodohku ini pada mantan suami yang pernah menyakitiku,” gumamnya dalam hati.kali ini dirinya masih kurang fokus mengerjakan tugas administrasi kepala sekolah. karena di ingatannya sosok Arman selalu menghantui.Beberapa saat kemudian terdengar suara kurir yang mengantarkan paket di depan rumahnya.“Paket...Paket!” “Mbak Nov,! Mbak Nov! Di depan ada kurir Mbak. Siapa tahu yang diantar itu paket Mbak Nov,” ucapnya sambil menikmati makanan ringan yang ada di tangannya.Kemudian dicobanya lagi memanggil nama Mbak Novita.“Mbak Nov, paketnya datang! Namun, tak ada balasan dari Mbak Novita. Akhirnya Sinta memutuskan untuk keluar menghampiri kurir tersebut.“ I-iya sebentar,” balasnya dari dalam sambil menuju keluar.“ Paket dari siapa Pak? Perasaan saya tak punya Paket.” Kurir yang datang membawa paket menggunakan masker dan to

  • Warisan Utang Mertua   BAB 36

    Hari ini sidang cerai Sinta dengan Mas Arman. Sebagai wanita yang pernah disakiti oleh suami dan keluarganya yang hanya memanfaatkannya, dirinya menjadikan ini sebagai pelajaran agar tidak salah pilih lagi dalam mencari pendamping hidup. Setelah perceraian mereka dinyatakan sah, hatinya lega ketika semua harus berakhir seperti ini. Meski bukan perceraian yang diinginkannya. Namun, niat dan tekadnya sudah bulat untuk memberikan pelajaran pada keluarga Arman. Setelah status mereka dinyatakan sah kini keduanya segera berjabatan tangan. Sinta, yang pada saat itu ditemani oleh kedua orang tuanya dan Heri juga ada di sana. “Maaf ya Sin, selama menjadi suami kamu...aku selalu menyakitimu. Sungguh aku memang pantas mendapatkan hukuman yang setimpal,” ucapnya sambil menjabat tangan Sinta. “Aku juga minta maaf, jika selama menjadi istri Mas mempunyai salah.” Dibalasnya jabatan tangan lelaki yang baru saja sah menjadi mantan suaminya itu. Hari itu Sinta menggunakan baju berwarna pink sen

  • Warisan Utang Mertua   BAB 35

    Kali ini Sinta membawa pulang uang lima puluh juta tersebut dengan aman meskipun nyawa taruhannya. Bersyukur dirinya selamat dari serangan orang-orang Tedi. Keesokan harinya Sinta pergi bertemu Lani sahabatnya yang bekerja di salah satu bank tempat Arman menggadaikan SK rumahnya. “Lan, aku menuju ke situ ya! Aku akan menebus hutang Mas Arman setelah itu rumah tersebut akan menjadi milikmu seutuhnya,” ucapnya. “Oke! Aku menunggumu Sin. Eh, jangan lupa segera melengkapi persyaratannya. Biar perjalanan mulus.” Lani mengingatkan Sinta. “Oke, tenang saja. Semua sudah beres. Kamu menungguku dengan duduk manis.” Beberapa saat kemudian mobil Sinta berhenti di depan Bank tempat Lani bekerja. Dirinya segera melangkah masuk kemudian mengurus semua berkas yang dibutuhkan saat akan melunasi hutang Arman. “Terimakasih ya Lan, kamu... Sudah sangat membantuku. Kali ini tak sabar menunggu sertifikat rumah itu di tanganku.” Sambil memeluk sahabatnya itu. “Kamu yang sabar ya Sin, jika serti

DMCA.com Protection Status