Langit perbatasan masih dipenuhi dengan hawa pertempuran yang mencekam. Tubuh Drakar terkapar di tanah, napasnya tersengal-sengal, sementara Arka berdiri tegak dengan tatapan tajam. Para tentara yang menyaksikan pertarungan itu belum sepenuhnya tenang, tetapi ada sedikit kelegaan di wajah mereka.
Namun, sebelum mereka bisa menarik napas panjang, suara langkah kaki bergema di tengah keheningan. "Bagus sekali. Kau berhasil mengalahkan tiga orangku," suara itu dalam dan penuh keangkuhan. Arka dan para tentara menoleh. Dari balik kabut, seorang pria dengan jubah hitam panjang melangkah maju. Wajahnya dingin, matanya tajam seperti elang yang mengamati mangsanya. "Siapa kau?" Arka bertanya dengan nada waspada. Pria itu tersenyum kecil. "Aku?" Ia mengangkat dagunya. "Namaku adalah Kurogane. Dan aku bukan sekadar ahli bela diri yang dikirim untuk menguji kekuatanmu." Arka mengernyit. "Maksudmu?"BAB 113: PERMAINAN PARA PENGUSAHA Arka duduk di ruang kantornya yang luas, menatap layar monitor yang menampilkan berbagai laporan keuangan. Ia baru saja kembali dari perbatasan, dan kini saatnya fokus kembali pada bisnisnya. Raka duduk di seberangnya, memeriksa dokumen terkait ekspansi bisnis mereka. "Arka, kita harus segera mengeksekusi rencana pengembangan ini," ujar Raka sambil meletakkan dokumen di meja. "Pasar internasional mulai terbuka untuk kita, dan ini adalah peluang besar." Arka mengangguk. "Aku setuju. Tapi kita harus tetap waspada. Aku mendengar ada beberapa pengusaha yang mencoba menjegal langkah kita." Raka mendesah. "Aku juga mendengar kabar itu. Mereka tidak suka melihat kita berkembang terlalu cepat." Arka tersenyum tipis. "Mereka boleh mencoba, tapi mereka tidak akan bisa menghentikan kita." Di sisi lain, para pengusaha besar yang merasa tersaingi oleh Arka mulai bergerak. M
Malam itu, di sebuah gedung pertemuan rahasia, seorang pria bertubuh besar dengan sorot mata tajam menatap laporan yang ada di tangannya. Namanya Viktor, seorang pebisnis sekaligus dalang di balik berbagai konspirasi dunia bisnis dan kriminal. “Arka… Kau memang tidak mudah dijatuhkan,” gumamnya sambil tersenyum sinis. Seorang pria berjas hitam yang berdiri di sampingnya berbicara dengan nada hormat. “Tuan Viktor, semua trik bisnis yang kita lakukan untuk menghancurkan perusahaan Arka sejauh ini gagal. Mereka selalu menemukan cara untuk bertahan.” Viktor meletakkan laporannya, lalu berdiri. “Aku tidak suka kekalahan. Jika serangan bisnis tidak cukup, kita akan meningkatkan intensitas serangan kita.” “Apa rencana Anda, Tuan?” Viktor tersenyum dingin. “Gunakan koneksi kita di luar negeri. Kirim orang-orang terbaik untuk menyingkirkan Arka. Aku ingin kepalanya.” Di sisi lain, Arka dan Raka sedang b
Di sebuah ruang pertemuan mewah di pusat kota, Viktor duduk di sebuah kursi besar dengan ekspresi tenang, namun penuh perhitungan. Di hadapannya, seorang pria paruh baya berjas rapi duduk sambil menyesap tehnya. Ia adalah seorang petinggi negara yang memiliki hubungan lama dengan Viktor. "Viktor, aku sudah mengingatkanmu sebelumnya," ucap pria itu dengan nada berat. "Jangan main-main dengan Arka. Ini bukan sekadar urusan bisnis atau pertarungan antar praktisi bela diri. Kau sedang bermain api." Viktor menyeringai, menyesuaikan posisi duduknya. "Aku tidak takut padanya. Orang yang kau sebut-sebut sebagai sosok tak terkalahkan itu hanya manusia biasa. Aku sendiri seorang petarung ulung, dan aku yakin kekuatanku lebih dari cukup untuk menjatuhkannya." Petinggi negara itu menatap Viktor dengan tajam, lalu menggelengkan kepala. "Viktor… Kau benar-benar tidak tahu siapa yang kau hadapi. Bahkan kami yang ada di pemerintahan tidak berani mengusik
Suara ledakan yang menggema di luar gedung mengguncang seisi ruangan. Arka segera menoleh ke arah jendela, melihat kepulan asap hitam membubung tinggi ke langit. Tatapannya menyipit, menyadari bahwa ini bukan kebetulan. Di seberangnya, Viktor mulai bangkit dengan napas tersengal, tetapi senyuman licik tetap menghiasi wajahnya. "Aku sudah memprediksi ini, Arka," ujar Viktor seraya mengusap sudut bibirnya yang berdarah. "Jika pertarungan di dalam ruangan ini tidak menguntungkanku, maka kita akan melanjutkannya di luar." Arka tetap berdiri tegak, tanpa ekspresi takut atau terkejut. "Kau merencanakan ini dari awal?" Viktor tertawa kecil. "Tentu saja. Aku tidak bodoh untuk bertarung di tempat yang bisa membatasi gerakanku. Di luar, aku bisa menggunakan kekuatanku sepenuhnya." Arka menatapnya tajam, lalu berjalan ke arah jendela. Dengan satu lompatan ringan, ia melayang keluar menuju atap gedung yang lebih rendah.
Angin malam berhembus kencang, membawa aroma debu dan darah yang masih tersisa dari pertarungan sebelumnya. Arka berdiri tegap, menatap tubuh Viktor yang kini tak bernyawa. Namun, sebelum ia sempat menarik napas panjang, langkah berat terdengar mendekat dari balik kegelapan. Sosok pria bertubuh tegap muncul di bawah cahaya bulan. Matanya yang tajam menatap Arka dengan penuh kebencian. Wajahnya mirip dengan Viktor, namun ada aura lebih menekan yang mengelilinginya. "Jadi, kau yang membunuh saudaraku." Arka menatap pria itu tanpa ekspresi. "Dia yang menantangku. Aku hanya membalasnya dengan setimpal." Pria itu terkekeh, lalu mengencangkan ikatan sarung tangannya. "Namaku Gregor. Aku saudara Viktor, dan aku datang untuk membalas kematiannya." Dari kejauhan, suara tegas terdengar. "Hentikan, Gregor!" Arka menoleh ke arah suara itu dan melihat guru Viktor berdiri di atap gedung yang l
Mentari pagi bersinar terang, menyinari gedung perkantoran tempat Arka dan Raka menjalankan bisnis mereka. Setelah berbagai pertempuran sengit melawan musuh-musuhnya, kini Arka kembali fokus pada dunia usaha. Raka dengan sigap mengatur pertemuan, memantau laporan keuangan, serta memastikan bahwa tidak ada celah bagi lawan untuk menghancurkan mereka. Namun, di tengah kesibukannya, perhatian Arka tetap saja tertuju pada hal lain. Ia sadar bahwa musuh yang lebih kuat pasti akan datang, dan kekuatannya harus terus berkembang. Kiara, yang sejak awal selalu mendukung Arka, tak pernah berhenti menunjukkan perhatiannya. "Arka, kau tidak bisa terus-terusan membebani dirimu sendiri," ujar Kiara saat mereka sedang makan siang di sebuah restoran mewah. "Aku tahu kau kuat, tapi kau juga manusia. Kau butuh istirahat, butuh seseorang di sisimu." Arka meletakkan sendoknya dan menatap Kiara dengan tatapan tenang. "Aku tahu niatmu baik, Kiar
Angin dingin berhembus kencang di atas gunung. Arka dan lawannya berdiri berhadapan, mata mereka saling menatap tajam. Udara di sekitar mereka terasa berat, seperti akan meledak kapan saja. Lawan Arka, pria misterius yang datang dengan aura membunuh, menyeringai. "Kau lebih kuat dari yang kuduga," katanya, langkahnya perlahan mendekat. "Tapi itu tak cukup untuk mengalahkanku." Arka tetap diam, tubuhnya rileks, namun matanya tak pernah lepas dari lawannya. "Kita lihat saja," jawabnya tenang. Tiba-tiba, pria itu menghilang. Dalam sekejap, ia sudah berada di belakang Arka, mengayunkan serangan dengan kecepatan yang sulit diikuti mata manusia biasa. BRUKK! Arka menangkis serangan itu dengan satu tangan, tapi tekanan yang dihasilkan membuat tanah di bawah mereka retak. "Cepat sekali…" gumam Arka dalam hati. Pria itu tak memberi waktu untuk berpikir. Seran
Langit di atas gunung semakin gelap. Angin malam berhembus membawa aura pertempuran yang belum selesai. Arka berdiri tegap, tubuhnya masih terasa lelah setelah pertarungan sengit sebelumnya. Namun, ia tahu ancaman baru telah muncul. Dari balik kabut, seorang pria bertubuh tegap muncul, langkahnya penuh percaya diri. Matanya tajam, menyiratkan kebencian yang mendalam. Arka mengenal wajah itu. "Reza…?" Sepupunya, yang dulu pernah ia anggap sebagai saudara, kini berdiri sebagai lawan. "Aku tidak menyangka kau masih hidup." Reza menyeringai. "Aku tidak hanya hidup, Arka. Aku telah berkembang jauh lebih kuat dari yang kau bayangkan." Arka menatapnya dengan mata penuh pertanyaan. "Kenapa kau kembali? Kenapa kau mengirim orang-orang untuk menyerangku?" Reza mendengus. "Karena seharusnya warisan keluarga ini menjadi milikku!" "Warisan ini bukan milikku sendi
Langit Jakarta diguyur cahaya senja yang lembut saat helikopter hitam mendarat di atap gedung utama Wijaya Corporation. Bilah-bilah rotor melambat, meniupkan debu dan kenangan di udara. Dari dalam kabin, Arka turun lebih dulu, mengenakan jaket hitam bertuliskan WJ Core di lengannya. “Masih terasa aneh ya,” gumam Kiara di belakangnya. “Kita barusan keluar dari altar kehendak… dan sekarang berdiri di atap kantor pusat.” Genta menyeringai sambil menenteng tas data. “Aneh itu kalau kita tiba-tiba bangun di kebun belakang dengan piyama.” Raka menepuk bahunya. “Jangan beri semesta ide aneh, Gen.” Mereka berempat berdiri berjejer, menatap siluet kota yang perlahan berubah warna. Di bawah mereka, gedung-gedung menjulang seperti urat nadi dari ambisi yang pernah hampir dibajak oleh kehendak jahat. Arka menarik napas panjang. “Kita berhasil. Dunia masih berdiri.” “Dan kita masih satu,” Kiara menambahkan,
Altar kehendak bergema dengan getaran lembut, seolah menghela napas terakhir setelah ribuan tahun terbungkam. Dinding kubah yang retak menyala dengan pola cahaya yang bergerak pelan, membentuk simbol-simbol purba yang tak dikenali, tapi terasa akrab bagi Arka dan yang lain. “Tempat ini hidup,” bisik Genta, mengamati garis cahaya yang menjalar di sepanjang lantai. “Tapi bukan seperti teknologi. Ini… sesuatu yang lain.” Kiara menyentuh salah satu simbol, dan cahaya melesat cepat, menyusuri lengannya tanpa melukai. “Seolah-olah tempat ini mengenali kita.” Raka melangkah mendekati pusat altar, di mana sebuah pilar kristal muncul perlahan dari bawah tanah. Di dalamnya, pusaran kehendak berwarna emas berdenyut pelan seperti jantung. “Tunggu,” ucap Arka sambil menatap sekeliling. “Kalian dengar itu?” Detak. Lembut, tapi dalam. Seperti jantung raksasa yang berdetak dari dalam dunia itu sendiri. Kiara m
Kilatan pertama menyambar seperti tombak cahaya yang mengoyak udara. Arka dan yang lain menembus pusaran badai, tubuh mereka melayang bebas di antara fragmen waktu dan kehendak yang saling bertabrakan. Setiap helai udara terasa tajam, seolah menolak keberadaan mereka. Arka menggertakkan gigi, tubuhnya tertarik ke dalam spiral cahaya keperakan. “Tahan formasi! Jangan terpisah!” “Aku kehilangan gravitasi!” teriak Genta, tubuhnya terpental ke arah fragmentasi kota yang hancur di kejauhan. Kiara melompat, menyambar tangan Genta. “Aku dapat dia! Tapi ini… bukan ruang biasa. Waktunya loncat-loncat!” Raka berputar di udara, kakinya menjejak sebongkah memori masa depan yang padat, lalu meluncur ke arah Arka. “Kita harus sampai ke pusat! Di sanalah kehendak disimpul jadi satu!” Di tengah pusaran, sosok bertopeng perak berdiri kokoh, tubuhnya membesar menjadi kolosus setinggi gedung. Di dadanya, mata yang berputar kini
Arka mendarat di permukaan yang tak padat, seolah pijakan itu terbuat dari bayangan air. Setiap langkah meninggalkan riak yang memantulkan kenangan. Langit di atasnya merah kelam, bergemuruh seperti dada yang menahan napas terlalu lama. “Tempat ini… terasa seperti dalam mimpiku,” gumamnya, memandang sekitar. Kiara mendarat tak jauh darinya, tangannya terangkat, menjaga keseimbangan. “Tapi ini bukan mimpi. Ini ruang kehendak terdalam. Lapisan ketiga.” Dari balik kabut, siluet Raka muncul, tubuhnya bersimbah cahaya kehendak yang belum sepenuhnya stabil. “Aku lihat bayangan Ayah tadi… seperti nyata.” “Bukan bayangan,” sahut Genta yang menyusul, napasnya memburu. “Tempat ini menyerap ingatan paling kuat dalam diri kita. Dan memutarnya jadi senjata.” Angin bertiup pelan, namun membawa aroma darah dan logam. Lalu satu demi satu sosok muncul dari balik kabut—wajah-wajah yang seharusnya sudah mati. Ayah Raka. Saudara
Genta melompat ke panel darurat, jarinya menari di atas tombol manual. Sinyal listrik masih lumpuh, tapi ia berhasil mengaktifkan suplai cadangan untuk server utama. Layar menyala kembali dalam kilatan biru redup, menampilkan grafik-grafik kacau dan sinyal spiral dari dasar laut. “Gelombangnya meningkat,” gumamnya. “Ini bukan hanya sinyal… ini panggilan.” Arka berjalan perlahan ke tengah ruangan, di mana wajah digital bertopeng perak masih menatap mereka dari layar. Cahaya dari monitor memantul di matanya yang membara, menciptakan siluet tajam di balik bahunya. “Kau siapa sebenarnya?” tanya Arka, suaranya pelan tapi tegas. “Pertanyaan yang salah, Arka Wijaya,” suara itu mengalun seperti gema di dalam tengkorak. “Pertanyaannya adalah: berapa lama lagi kehendak manusia bisa menolak evolusi yang sudah kutawarkan?” Kiara menatap layar dengan rahang mengeras. “Kau menyebut dirimu ide. Tapi ide tidak lahir sendiri.
Asap tipis mengepul dari sudut-sudut ruangan. Cahaya darurat berpendar merah, melemparkan bayangan bergerigi di wajah-wajah tegang. Di tengahnya, wajah bertopeng perak masih terpampang di layar utama, menatap semua yang hadir tanpa berkedip. Suara itu terdengar lagi, serak tapi stabil. “Divisi Kehendak? Nama yang indah. Tapi sia-sia.” Raka maju dua langkah, belatinya bergetar oleh listrik statis dari medan proteksi yang belum sepenuhnya mati. “Kalau kau hanya bisa bicara dari balik layar, kau pengecut.” “Justru karena aku di balik layar, aku hidup lebih lama dari kalian semua,” jawab suara itu. “Aku bukan tubuh. Aku adalah algoritma keserakahan, rumus dominasi, strategi kolonialisme yang kalian warisi diam-diam.” Kiara menoleh ke Genta. “Apakah ini AI yang kita deteksi dari dasar laut?” Genta mengetik cepat, matanya tak lepas dari data baru yang masuk. “Tidak sepenuhnya. Ini semacam antarmuka. Tapi energinya…
Bayangan hitam yang mengambang di atas cakrawala makin jelas. Bukan retakan dimensi, bukan pula makhluk seperti Zerah—melainkan armada. Puluhan—tidak, ratusan kapal udara taktis melayang membentuk formasi setengah lingkaran di langit senja. Baling-baling rotor mereka tak menimbulkan suara, hanya getaran halus yang merambat ke tanah, seperti denyut jantung dunia yang baru bangkit. “Ini bukan invasi, kan?” bisik Raka sambil meraih senjata di pinggang. Genta menatap hasil pemindaian di alatnya. “Bukan. Ini… pasukan militer. Tanda pengenal mereka sah. Tapi mereka dalam mode siaga tinggi.” Beberapa pesawat turun perlahan, melepaskan platform logam yang terhampar rapi di tanah. Dari sana, pasukan berseragam hitam-hijau turun, berbaris dalam diam. Seorang pria berambut putih dan berseragam panglima berdiri di tengah mereka, mengenakan lencana khusus bertuliskan SATGAS ARDHA GARDA NASIONAL. Arka maju beberapa langkah
Cahaya biru menyelimuti medan pertempuran. Pilar-pilar energi yang sebelumnya mencabik langit kini membeku di udara, seolah diperintah oleh kehendak yang lebih tua dari waktu. Sosok asing yang muncul dari celah realitas itu melayang perlahan, jubah panjangnya berpendar lembut, dan matanya memancarkan cahaya keemasan yang menembus jiwa siapa pun yang menatapnya. Arka berdiri membeku di tengah pusaran penyegelan. Energi di sekeliling tubuhnya masih berkobar, tapi kini tertahan—seolah sebuah tangan tak kasatmata menggenggamnya. “Siapa… kau sebenarnya?” tanya Arka pelan. Sosok itu turun menyentuh tanah. “Aku adalah bagian dari darahmu. Dan engkau adalah bagian dari kehendakku yang tertinggal di dunia ini.” Raka terhuyung, menahan luka di lengannya, matanya terpaku pada simbol bercahaya di udara—tiga garis spiral yang saling berpotongan membentuk mata ketiga di tengah kehampaan. Kiara berbisik, “Simbol itu… mengik
Tanah terbelah. Awan menghitam. Dari tubuh Sakarat, sosok Zerah melayang perlahan—gerakannya anggun seperti kabut, tapi tekanan kehadirannya menekan dada semua orang. Di sekelilingnya, waktu bergetar. Suara-suara dari masa lalu bergema lirih, menciptakan irama aneh yang menyesakkan telinga. Kiara mundur beberapa langkah. “Itu… bukan makhluk biasa.” “Bukan,” desis Arka. “Dia bukan makhluk. Dia… adalah kehendak yang ditolak oleh alam semesta.” Zerah menatap ke arah mereka, topengnya berganti-ganti bentuk—wajah-wajah yang familiar muncul sekilas: wajah Raksa, wajah Nadira, bahkan wajah Reza. Setiap wajah muncul hanya untuk digantikan oleh kekosongan tanpa ekspresi. “Arka Wijaya,” suaranya terdengar seperti ribuan orang berbicara bersamaan. “Darahmu adalah kunci. Warisanmu adalah pengikat. Maka, akulah yang berhak menuntutnya.” Tubuh Arka bergetar saat aliran energi dari dalam dadanya berdenyut semakin kuat. Simb