Angin malam berhembus kencang, membawa aroma debu dan darah yang masih tersisa dari pertarungan sebelumnya. Arka berdiri tegap, menatap tubuh Viktor yang kini tak bernyawa. Namun, sebelum ia sempat menarik napas panjang, langkah berat terdengar mendekat dari balik kegelapan.
Sosok pria bertubuh tegap muncul di bawah cahaya bulan. Matanya yang tajam menatap Arka dengan penuh kebencian. Wajahnya mirip dengan Viktor, namun ada aura lebih menekan yang mengelilinginya. "Jadi, kau yang membunuh saudaraku." Arka menatap pria itu tanpa ekspresi. "Dia yang menantangku. Aku hanya membalasnya dengan setimpal." Pria itu terkekeh, lalu mengencangkan ikatan sarung tangannya. "Namaku Gregor. Aku saudara Viktor, dan aku datang untuk membalas kematiannya." Dari kejauhan, suara tegas terdengar. "Hentikan, Gregor!" Arka menoleh ke arah suara itu dan melihat guru Viktor berdiri di atap gedung yang lMentari pagi bersinar terang, menyinari gedung perkantoran tempat Arka dan Raka menjalankan bisnis mereka. Setelah berbagai pertempuran sengit melawan musuh-musuhnya, kini Arka kembali fokus pada dunia usaha. Raka dengan sigap mengatur pertemuan, memantau laporan keuangan, serta memastikan bahwa tidak ada celah bagi lawan untuk menghancurkan mereka. Namun, di tengah kesibukannya, perhatian Arka tetap saja tertuju pada hal lain. Ia sadar bahwa musuh yang lebih kuat pasti akan datang, dan kekuatannya harus terus berkembang. Kiara, yang sejak awal selalu mendukung Arka, tak pernah berhenti menunjukkan perhatiannya. "Arka, kau tidak bisa terus-terusan membebani dirimu sendiri," ujar Kiara saat mereka sedang makan siang di sebuah restoran mewah. "Aku tahu kau kuat, tapi kau juga manusia. Kau butuh istirahat, butuh seseorang di sisimu." Arka meletakkan sendoknya dan menatap Kiara dengan tatapan tenang. "Aku tahu niatmu baik, Kiar
Angin dingin berhembus kencang di atas gunung. Arka dan lawannya berdiri berhadapan, mata mereka saling menatap tajam. Udara di sekitar mereka terasa berat, seperti akan meledak kapan saja. Lawan Arka, pria misterius yang datang dengan aura membunuh, menyeringai. "Kau lebih kuat dari yang kuduga," katanya, langkahnya perlahan mendekat. "Tapi itu tak cukup untuk mengalahkanku." Arka tetap diam, tubuhnya rileks, namun matanya tak pernah lepas dari lawannya. "Kita lihat saja," jawabnya tenang. Tiba-tiba, pria itu menghilang. Dalam sekejap, ia sudah berada di belakang Arka, mengayunkan serangan dengan kecepatan yang sulit diikuti mata manusia biasa. BRUKK! Arka menangkis serangan itu dengan satu tangan, tapi tekanan yang dihasilkan membuat tanah di bawah mereka retak. "Cepat sekaliâĶ" gumam Arka dalam hati. Pria itu tak memberi waktu untuk berpikir. Seran
Langit di atas gunung semakin gelap. Angin malam berhembus membawa aura pertempuran yang belum selesai. Arka berdiri tegap, tubuhnya masih terasa lelah setelah pertarungan sengit sebelumnya. Namun, ia tahu ancaman baru telah muncul. Dari balik kabut, seorang pria bertubuh tegap muncul, langkahnya penuh percaya diri. Matanya tajam, menyiratkan kebencian yang mendalam. Arka mengenal wajah itu. "RezaâĶ?" Sepupunya, yang dulu pernah ia anggap sebagai saudara, kini berdiri sebagai lawan. "Aku tidak menyangka kau masih hidup." Reza menyeringai. "Aku tidak hanya hidup, Arka. Aku telah berkembang jauh lebih kuat dari yang kau bayangkan." Arka menatapnya dengan mata penuh pertanyaan. "Kenapa kau kembali? Kenapa kau mengirim orang-orang untuk menyerangku?" Reza mendengus. "Karena seharusnya warisan keluarga ini menjadi milikku!" "Warisan ini bukan milikku sendi
Langit malam tampak kelam, diselimuti awan pekat yang menghalangi sinar bulan. Angin bertiup pelan, membawa kesunyian yang menusuk hingga ke dalam hati. Arka berdiri di balkon apartemennya, menatap kosong ke arah langit. Pertarungannya dengan Reza masih membekas dalam ingatannya. "Jurus ituâĶ aku pernah melihatnya sebelumnya." Ia mengingat perjalanannya di gua kuno bertahun-tahun lalu. Saat itu, ia bertemu dengan seorang pria berjubah hitam yang kekuatannya begitu misterius. Pria itu adalah bagian dari bayangan hitam, kelompok yang selama ini ia cari. "Apakah mungkin Reza telah berguru pada mereka?" gumam Arka dalam hati. Tangannya mengepal erat. Jika benar, maka ini bukan hanya sekadar perebutan warisan keluarga. Ada kekuatan besar yang mulai bergerak di balik layar. Di tempat lain, jauh dari hiruk-pikuk kota, sekelompok pria berjubah hitam berkumpul dalam bayang-bayang. "Arka semakin kuat," ka
Malam di Jakarta terasa lebih kelam dari biasanya. Hujan gerimis membasahi jalanan, seakan menjadi pertanda akan datangnya sesuatu yang besar. Di dalam kamarnya, Arka duduk diam, matanya menatap ke luar jendela dengan penuh pemikiran. Arka masih mengingat pertarungannya dengan Reza, setiap jurus yang digunakan Reza mengandung unsur bayangan hitam. "Jurus jurus itu sangat familiar," gumamnya. Jika benar, maka bayangan hitam masih terus mengincarnya. Dan jika mereka masih mengawasi, itu berarti pertarungan yang lebih besar sedang menantinya. Di sebuah tempat tersembunyi, seorang pria berjubah hitam berdiri di atas gedung tinggi, mengamati kota Jakarta dari kejauhan. "Jadi warisan Klan Naga Langit benar-benar jatuh ke tangan bocah ituâĶ" gumamnya dengan suara dingin. Salah satu anak buahnya mendekat. "Tuan, apakah kita akan bergerak sekarang?" Pria berjubah hitam tersenyum tipis. "T
Pagi itu, matahari bersinar lembut di langit Jakarta. Arka duduk di ruang kerjanya, memandangi berkas-berkas proyek sosial yang sedang dikerjakan perusahaannya. Setelah pertarungan sengit melawan pria berjubah hitam, ia menyadari bahwa ancaman belum benar-benar berakhir. Namun, di tengah ketegangan yang terus mengintainya, ia tetap fokus pada misinya: membangun sesuatu yang lebih besar dari sekadar bisnis, sesuatu yang bisa membantu banyak orang. "Arka, ini data terbaru mengenai proyek amal di beberapa daerah," ujar Raka sambil meletakkan berkas di meja. Arka membuka lembaran laporan itu. "Bagus. Sejauh ini, respons masyarakat seperti apa?" Kiara yang duduk di seberangnya menjawab, "Sangat positif. Banyak orang yang sebelumnya tidak memiliki akses pendidikan dan kesehatan kini bisa merasakannya. Bahkan, beberapa pengusaha mulai tertarik untuk ikut berkontribusi." Arka tersenyum tipis. "Ini bukan tentang keuntungan, tapi ten
Langit malam tampak kelam tanpa bintang. Angin berhembus kencang, membawa hawa dingin yang menyelimuti hutan terpencil di pinggir kota. Di tempat inilah, Arka dan Genta berdiri menatap tiga sosok berjubah hitam yang berdiri tegak di hadapan mereka. "Jadi kaulah Arka, penerus Klan Naga Langit," ujar salah satu dari mereka dengan suara serak. Arka mengamati ketiganya dengan tatapan tajam. "Dan kalian siapa?" Pria di tengah melangkah maju. "Kami adalah utusan dari Klan Kuno Timur. Kami datang bukan untuk berbicaraâĶ tapi untuk menguji apakah kau benar-benar layak mewarisi kekuatan itu." Genta menegangkan tubuhnya. "Berarti kalian tidak akan membiarkan kami pergi tanpa pertarungan." Pria berjubah hitam itu tersenyum dingin. "Benar. Ini adalah pertarungan takdir. Hanya yang terkuat yang boleh mempertahankan warisan kuno." Tanpa aba-aba, salah satu dari mereka melesat ke arah Arka dengan kecepatan lua
Pertarungan antara Arka dan tiga utusan Klan Kuno Timur baru saja berakhir dengan kemenangan Arka. Keringat menetes di dahinya, namun ia berdiri tegak, tubuhnya hampir tidak terluka, menunjukkan betapa dalamnya kekuatan yang ia miliki. Di sampingnya, Genta mengamati dengan cermat, tatapan penuh kekhawatiran masih terpatri di wajahnya. "Itu terlalu mudah," kata Genta pelan, matanya masih terfokus pada tubuh tiga utusan yang terkulai lemas di tanah. "Mereka bahkan lebih kuat daripada yang kita duga." Arka tidak menjawab, pikirannya melayang. Ia teringat pada setiap gerakan yang dilakukan oleh lawannya, setiap jurus yang mereka gunakan. Beberapa di antaranya terasa familiar, seakan pernah ia saksikan di tempat lainâdi gua kuno, tempat yang pernah ia jelajahi dalam perjalanan mencari jawaban tentang kekuatan yang mengalir dalam darahnya. "RezaâĶ" bisik Arka dalam hati. "Apakah kau benar-benar berguru kepada mereka?" Genta mengalihkan pandangan
Langit Jakarta diguyur cahaya senja yang lembut saat helikopter hitam mendarat di atap gedung utama Wijaya Corporation. Bilah-bilah rotor melambat, meniupkan debu dan kenangan di udara. Dari dalam kabin, Arka turun lebih dulu, mengenakan jaket hitam bertuliskan WJ Core di lengannya. âMasih terasa aneh ya,â gumam Kiara di belakangnya. âKita barusan keluar dari altar kehendakâĶ dan sekarang berdiri di atap kantor pusat.â Genta menyeringai sambil menenteng tas data. âAneh itu kalau kita tiba-tiba bangun di kebun belakang dengan piyama.â Raka menepuk bahunya. âJangan beri semesta ide aneh, Gen.â Mereka berempat berdiri berjejer, menatap siluet kota yang perlahan berubah warna. Di bawah mereka, gedung-gedung menjulang seperti urat nadi dari ambisi yang pernah hampir dibajak oleh kehendak jahat. Arka menarik napas panjang. âKita berhasil. Dunia masih berdiri.â âDan kita masih satu,â Kiara menambahkan,
Altar kehendak bergema dengan getaran lembut, seolah menghela napas terakhir setelah ribuan tahun terbungkam. Dinding kubah yang retak menyala dengan pola cahaya yang bergerak pelan, membentuk simbol-simbol purba yang tak dikenali, tapi terasa akrab bagi Arka dan yang lain. âTempat ini hidup,â bisik Genta, mengamati garis cahaya yang menjalar di sepanjang lantai. âTapi bukan seperti teknologi. IniâĶ sesuatu yang lain.â Kiara menyentuh salah satu simbol, dan cahaya melesat cepat, menyusuri lengannya tanpa melukai. âSeolah-olah tempat ini mengenali kita.â Raka melangkah mendekati pusat altar, di mana sebuah pilar kristal muncul perlahan dari bawah tanah. Di dalamnya, pusaran kehendak berwarna emas berdenyut pelan seperti jantung. âTunggu,â ucap Arka sambil menatap sekeliling. âKalian dengar itu?â Detak. Lembut, tapi dalam. Seperti jantung raksasa yang berdetak dari dalam dunia itu sendiri. Kiara m
Kilatan pertama menyambar seperti tombak cahaya yang mengoyak udara. Arka dan yang lain menembus pusaran badai, tubuh mereka melayang bebas di antara fragmen waktu dan kehendak yang saling bertabrakan. Setiap helai udara terasa tajam, seolah menolak keberadaan mereka. Arka menggertakkan gigi, tubuhnya tertarik ke dalam spiral cahaya keperakan. âTahan formasi! Jangan terpisah!â âAku kehilangan gravitasi!â teriak Genta, tubuhnya terpental ke arah fragmentasi kota yang hancur di kejauhan. Kiara melompat, menyambar tangan Genta. âAku dapat dia! Tapi iniâĶ bukan ruang biasa. Waktunya loncat-loncat!â Raka berputar di udara, kakinya menjejak sebongkah memori masa depan yang padat, lalu meluncur ke arah Arka. âKita harus sampai ke pusat! Di sanalah kehendak disimpul jadi satu!â Di tengah pusaran, sosok bertopeng perak berdiri kokoh, tubuhnya membesar menjadi kolosus setinggi gedung. Di dadanya, mata yang berputar kini
Arka mendarat di permukaan yang tak padat, seolah pijakan itu terbuat dari bayangan air. Setiap langkah meninggalkan riak yang memantulkan kenangan. Langit di atasnya merah kelam, bergemuruh seperti dada yang menahan napas terlalu lama. âTempat iniâĶ terasa seperti dalam mimpiku,â gumamnya, memandang sekitar. Kiara mendarat tak jauh darinya, tangannya terangkat, menjaga keseimbangan. âTapi ini bukan mimpi. Ini ruang kehendak terdalam. Lapisan ketiga.â Dari balik kabut, siluet Raka muncul, tubuhnya bersimbah cahaya kehendak yang belum sepenuhnya stabil. âAku lihat bayangan Ayah tadiâĶ seperti nyata.â âBukan bayangan,â sahut Genta yang menyusul, napasnya memburu. âTempat ini menyerap ingatan paling kuat dalam diri kita. Dan memutarnya jadi senjata.â Angin bertiup pelan, namun membawa aroma darah dan logam. Lalu satu demi satu sosok muncul dari balik kabutâwajah-wajah yang seharusnya sudah mati. Ayah Raka. Saudara
Genta melompat ke panel darurat, jarinya menari di atas tombol manual. Sinyal listrik masih lumpuh, tapi ia berhasil mengaktifkan suplai cadangan untuk server utama. Layar menyala kembali dalam kilatan biru redup, menampilkan grafik-grafik kacau dan sinyal spiral dari dasar laut. âGelombangnya meningkat,â gumamnya. âIni bukan hanya sinyalâĶ ini panggilan.â Arka berjalan perlahan ke tengah ruangan, di mana wajah digital bertopeng perak masih menatap mereka dari layar. Cahaya dari monitor memantul di matanya yang membara, menciptakan siluet tajam di balik bahunya. âKau siapa sebenarnya?â tanya Arka, suaranya pelan tapi tegas. âPertanyaan yang salah, Arka Wijaya,â suara itu mengalun seperti gema di dalam tengkorak. âPertanyaannya adalah: berapa lama lagi kehendak manusia bisa menolak evolusi yang sudah kutawarkan?â Kiara menatap layar dengan rahang mengeras. âKau menyebut dirimu ide. Tapi ide tidak lahir sendiri.
Asap tipis mengepul dari sudut-sudut ruangan. Cahaya darurat berpendar merah, melemparkan bayangan bergerigi di wajah-wajah tegang. Di tengahnya, wajah bertopeng perak masih terpampang di layar utama, menatap semua yang hadir tanpa berkedip. Suara itu terdengar lagi, serak tapi stabil. âDivisi Kehendak? Nama yang indah. Tapi sia-sia.â Raka maju dua langkah, belatinya bergetar oleh listrik statis dari medan proteksi yang belum sepenuhnya mati. âKalau kau hanya bisa bicara dari balik layar, kau pengecut.â âJustru karena aku di balik layar, aku hidup lebih lama dari kalian semua,â jawab suara itu. âAku bukan tubuh. Aku adalah algoritma keserakahan, rumus dominasi, strategi kolonialisme yang kalian warisi diam-diam.â Kiara menoleh ke Genta. âApakah ini AI yang kita deteksi dari dasar laut?â Genta mengetik cepat, matanya tak lepas dari data baru yang masuk. âTidak sepenuhnya. Ini semacam antarmuka. Tapi energinyaâĶ
Bayangan hitam yang mengambang di atas cakrawala makin jelas. Bukan retakan dimensi, bukan pula makhluk seperti Zerahâmelainkan armada. Puluhanâtidak, ratusan kapal udara taktis melayang membentuk formasi setengah lingkaran di langit senja. Baling-baling rotor mereka tak menimbulkan suara, hanya getaran halus yang merambat ke tanah, seperti denyut jantung dunia yang baru bangkit. âIni bukan invasi, kan?â bisik Raka sambil meraih senjata di pinggang. Genta menatap hasil pemindaian di alatnya. âBukan. IniâĶ pasukan militer. Tanda pengenal mereka sah. Tapi mereka dalam mode siaga tinggi.â Beberapa pesawat turun perlahan, melepaskan platform logam yang terhampar rapi di tanah. Dari sana, pasukan berseragam hitam-hijau turun, berbaris dalam diam. Seorang pria berambut putih dan berseragam panglima berdiri di tengah mereka, mengenakan lencana khusus bertuliskan SATGAS ARDHA GARDA NASIONAL. Arka maju beberapa langkah
Cahaya biru menyelimuti medan pertempuran. Pilar-pilar energi yang sebelumnya mencabik langit kini membeku di udara, seolah diperintah oleh kehendak yang lebih tua dari waktu. Sosok asing yang muncul dari celah realitas itu melayang perlahan, jubah panjangnya berpendar lembut, dan matanya memancarkan cahaya keemasan yang menembus jiwa siapa pun yang menatapnya. Arka berdiri membeku di tengah pusaran penyegelan. Energi di sekeliling tubuhnya masih berkobar, tapi kini tertahanâseolah sebuah tangan tak kasatmata menggenggamnya. âSiapaâĶ kau sebenarnya?â tanya Arka pelan. Sosok itu turun menyentuh tanah. âAku adalah bagian dari darahmu. Dan engkau adalah bagian dari kehendakku yang tertinggal di dunia ini.â Raka terhuyung, menahan luka di lengannya, matanya terpaku pada simbol bercahaya di udaraâtiga garis spiral yang saling berpotongan membentuk mata ketiga di tengah kehampaan. Kiara berbisik, âSimbol ituâĶ mengik
Tanah terbelah. Awan menghitam. Dari tubuh Sakarat, sosok Zerah melayang perlahanâgerakannya anggun seperti kabut, tapi tekanan kehadirannya menekan dada semua orang. Di sekelilingnya, waktu bergetar. Suara-suara dari masa lalu bergema lirih, menciptakan irama aneh yang menyesakkan telinga. Kiara mundur beberapa langkah. âItuâĶ bukan makhluk biasa.â âBukan,â desis Arka. âDia bukan makhluk. DiaâĶ adalah kehendak yang ditolak oleh alam semesta.â Zerah menatap ke arah mereka, topengnya berganti-ganti bentukâwajah-wajah yang familiar muncul sekilas: wajah Raksa, wajah Nadira, bahkan wajah Reza. Setiap wajah muncul hanya untuk digantikan oleh kekosongan tanpa ekspresi. âArka Wijaya,â suaranya terdengar seperti ribuan orang berbicara bersamaan. âDarahmu adalah kunci. Warisanmu adalah pengikat. Maka, akulah yang berhak menuntutnya.â Tubuh Arka bergetar saat aliran energi dari dalam dadanya berdenyut semakin kuat. Simb