Angin dingin berhembus kencang di atas gunung. Arka dan lawannya berdiri berhadapan, mata mereka saling menatap tajam. Udara di sekitar mereka terasa berat, seperti akan meledak kapan saja.
Lawan Arka, pria misterius yang datang dengan aura membunuh, menyeringai. "Kau lebih kuat dari yang kuduga," katanya, langkahnya perlahan mendekat. "Tapi itu tak cukup untuk mengalahkanku." Arka tetap diam, tubuhnya rileks, namun matanya tak pernah lepas dari lawannya. "Kita lihat saja," jawabnya tenang. Tiba-tiba, pria itu menghilang. Dalam sekejap, ia sudah berada di belakang Arka, mengayunkan serangan dengan kecepatan yang sulit diikuti mata manusia biasa. BRUKK! Arka menangkis serangan itu dengan satu tangan, tapi tekanan yang dihasilkan membuat tanah di bawah mereka retak. "Cepat sekali…" gumam Arka dalam hati. Pria itu tak memberi waktu untuk berpikir. SeranLangit di atas gunung semakin gelap. Angin malam berhembus membawa aura pertempuran yang belum selesai. Arka berdiri tegap, tubuhnya masih terasa lelah setelah pertarungan sengit sebelumnya. Namun, ia tahu ancaman baru telah muncul. Dari balik kabut, seorang pria bertubuh tegap muncul, langkahnya penuh percaya diri. Matanya tajam, menyiratkan kebencian yang mendalam. Arka mengenal wajah itu. "Reza…?" Sepupunya, yang dulu pernah ia anggap sebagai saudara, kini berdiri sebagai lawan. "Aku tidak menyangka kau masih hidup." Reza menyeringai. "Aku tidak hanya hidup, Arka. Aku telah berkembang jauh lebih kuat dari yang kau bayangkan." Arka menatapnya dengan mata penuh pertanyaan. "Kenapa kau kembali? Kenapa kau mengirim orang-orang untuk menyerangku?" Reza mendengus. "Karena seharusnya warisan keluarga ini menjadi milikku!" "Warisan ini bukan milikku sendi
Langit malam tampak kelam, diselimuti awan pekat yang menghalangi sinar bulan. Angin bertiup pelan, membawa kesunyian yang menusuk hingga ke dalam hati. Arka berdiri di balkon apartemennya, menatap kosong ke arah langit. Pertarungannya dengan Reza masih membekas dalam ingatannya. "Jurus itu… aku pernah melihatnya sebelumnya." Ia mengingat perjalanannya di gua kuno bertahun-tahun lalu. Saat itu, ia bertemu dengan seorang pria berjubah hitam yang kekuatannya begitu misterius. Pria itu adalah bagian dari bayangan hitam, kelompok yang selama ini ia cari. "Apakah mungkin Reza telah berguru pada mereka?" gumam Arka dalam hati. Tangannya mengepal erat. Jika benar, maka ini bukan hanya sekadar perebutan warisan keluarga. Ada kekuatan besar yang mulai bergerak di balik layar. Di tempat lain, jauh dari hiruk-pikuk kota, sekelompok pria berjubah hitam berkumpul dalam bayang-bayang. "Arka semakin kuat," ka
Malam di Jakarta terasa lebih kelam dari biasanya. Hujan gerimis membasahi jalanan, seakan menjadi pertanda akan datangnya sesuatu yang besar. Di dalam kamarnya, Arka duduk diam, matanya menatap ke luar jendela dengan penuh pemikiran. Arka masih mengingat pertarungannya dengan Reza, setiap jurus yang digunakan Reza mengandung unsur bayangan hitam. "Jurus jurus itu sangat familiar," gumamnya. Jika benar, maka bayangan hitam masih terus mengincarnya. Dan jika mereka masih mengawasi, itu berarti pertarungan yang lebih besar sedang menantinya. Di sebuah tempat tersembunyi, seorang pria berjubah hitam berdiri di atas gedung tinggi, mengamati kota Jakarta dari kejauhan. "Jadi warisan Klan Naga Langit benar-benar jatuh ke tangan bocah itu…" gumamnya dengan suara dingin. Salah satu anak buahnya mendekat. "Tuan, apakah kita akan bergerak sekarang?" Pria berjubah hitam tersenyum tipis. "T
Pagi itu, matahari bersinar lembut di langit Jakarta. Arka duduk di ruang kerjanya, memandangi berkas-berkas proyek sosial yang sedang dikerjakan perusahaannya. Setelah pertarungan sengit melawan pria berjubah hitam, ia menyadari bahwa ancaman belum benar-benar berakhir. Namun, di tengah ketegangan yang terus mengintainya, ia tetap fokus pada misinya: membangun sesuatu yang lebih besar dari sekadar bisnis, sesuatu yang bisa membantu banyak orang. "Arka, ini data terbaru mengenai proyek amal di beberapa daerah," ujar Raka sambil meletakkan berkas di meja. Arka membuka lembaran laporan itu. "Bagus. Sejauh ini, respons masyarakat seperti apa?" Kiara yang duduk di seberangnya menjawab, "Sangat positif. Banyak orang yang sebelumnya tidak memiliki akses pendidikan dan kesehatan kini bisa merasakannya. Bahkan, beberapa pengusaha mulai tertarik untuk ikut berkontribusi." Arka tersenyum tipis. "Ini bukan tentang keuntungan, tapi ten
Langit malam tampak kelam tanpa bintang. Angin berhembus kencang, membawa hawa dingin yang menyelimuti hutan terpencil di pinggir kota. Di tempat inilah, Arka dan Genta berdiri menatap tiga sosok berjubah hitam yang berdiri tegak di hadapan mereka. "Jadi kaulah Arka, penerus Klan Naga Langit," ujar salah satu dari mereka dengan suara serak. Arka mengamati ketiganya dengan tatapan tajam. "Dan kalian siapa?" Pria di tengah melangkah maju. "Kami adalah utusan dari Klan Kuno Timur. Kami datang bukan untuk berbicara… tapi untuk menguji apakah kau benar-benar layak mewarisi kekuatan itu." Genta menegangkan tubuhnya. "Berarti kalian tidak akan membiarkan kami pergi tanpa pertarungan." Pria berjubah hitam itu tersenyum dingin. "Benar. Ini adalah pertarungan takdir. Hanya yang terkuat yang boleh mempertahankan warisan kuno." Tanpa aba-aba, salah satu dari mereka melesat ke arah Arka dengan kecepatan lua
Pertarungan antara Arka dan tiga utusan Klan Kuno Timur baru saja berakhir dengan kemenangan Arka. Keringat menetes di dahinya, namun ia berdiri tegak, tubuhnya hampir tidak terluka, menunjukkan betapa dalamnya kekuatan yang ia miliki. Di sampingnya, Genta mengamati dengan cermat, tatapan penuh kekhawatiran masih terpatri di wajahnya. "Itu terlalu mudah," kata Genta pelan, matanya masih terfokus pada tubuh tiga utusan yang terkulai lemas di tanah. "Mereka bahkan lebih kuat daripada yang kita duga." Arka tidak menjawab, pikirannya melayang. Ia teringat pada setiap gerakan yang dilakukan oleh lawannya, setiap jurus yang mereka gunakan. Beberapa di antaranya terasa familiar, seakan pernah ia saksikan di tempat lain—di gua kuno, tempat yang pernah ia jelajahi dalam perjalanan mencari jawaban tentang kekuatan yang mengalir dalam darahnya. "Reza…" bisik Arka dalam hati. "Apakah kau benar-benar berguru kepada mereka?" Genta mengalihkan pandangan
Langit semakin pekat. Awan hitam berputar, menyelimuti bulan dan bintang. Udara yang semula hanya dingin berubah menjadi mencekam. Angin berembus liar, membawa bisikan samar yang terdengar seperti jeritan dari dunia lain. Arka dan Genta berdiri tegak, napas mereka tertata, meski dada mereka masih naik turun setelah pertarungan yang baru saja mereka menangkan. Namun, insting mereka memberi peringatan—ini belum selesai. Di kejauhan, bayangan-bayangan mulai bermunculan. Siluet mereka semakin jelas di bawah remang langit yang gelap. Sosok yang berjalan paling depan begitu familier. Langkahnya berat namun penuh wibawa, seolah tanah sendiri tunduk di bawah telapak kakinya. "Raksa," Arka menggumam pelan, matanya menyipit. Genta mengepalkan tangan. "Jadi dia akhirnya muncul… pemimpin Klan Bayangan Hitam." Raksa berhenti beberapa langkah di depan mereka, dikelilingi anak buahnya yang bergerak tanpa suara. Di balik tub
Suara gemuruh itu semakin mendekat. Tanah bergetar hebat, seolah ada raksasa yang sedang melangkah mendekati mereka. Angin berputar liar, membawa hawa panas yang menusuk. Namun, Arka hanya menatap lurus tanpa rasa gentar. Genta di sampingnya tampak tegang, matanya menyipit berusaha menembus kegelapan yang menyelimuti tempat itu. "Mereka datang," gumam Genta. Arka mengangguk. "Klan Kuno…" Dari kejauhan, sosok-sosok berjubah panjang dengan aura mistis mulai terlihat. Mata mereka bersinar keemasan, menandakan bahwa mereka adalah keturunan langsung dari Klan Kuno yang pernah berseteru dengan Klan Naga Langit di masa lalu. "Arka!" Salah satu dari mereka berbicara dengan suara berat. "Serahkan rahasia Klan Naga Langit! Itu bukan milikmu!" Namun, Arka tetap tenang. Tanpa berkata apa pun, ia membalikkan badan dan berjalan pergi. Genta terkejut. "Kau tidak akan menghadapi mereka?"
Langit Jakarta diguyur cahaya senja yang lembut saat helikopter hitam mendarat di atap gedung utama Wijaya Corporation. Bilah-bilah rotor melambat, meniupkan debu dan kenangan di udara. Dari dalam kabin, Arka turun lebih dulu, mengenakan jaket hitam bertuliskan WJ Core di lengannya. “Masih terasa aneh ya,” gumam Kiara di belakangnya. “Kita barusan keluar dari altar kehendak… dan sekarang berdiri di atap kantor pusat.” Genta menyeringai sambil menenteng tas data. “Aneh itu kalau kita tiba-tiba bangun di kebun belakang dengan piyama.” Raka menepuk bahunya. “Jangan beri semesta ide aneh, Gen.” Mereka berempat berdiri berjejer, menatap siluet kota yang perlahan berubah warna. Di bawah mereka, gedung-gedung menjulang seperti urat nadi dari ambisi yang pernah hampir dibajak oleh kehendak jahat. Arka menarik napas panjang. “Kita berhasil. Dunia masih berdiri.” “Dan kita masih satu,” Kiara menambahkan,
Altar kehendak bergema dengan getaran lembut, seolah menghela napas terakhir setelah ribuan tahun terbungkam. Dinding kubah yang retak menyala dengan pola cahaya yang bergerak pelan, membentuk simbol-simbol purba yang tak dikenali, tapi terasa akrab bagi Arka dan yang lain. “Tempat ini hidup,” bisik Genta, mengamati garis cahaya yang menjalar di sepanjang lantai. “Tapi bukan seperti teknologi. Ini… sesuatu yang lain.” Kiara menyentuh salah satu simbol, dan cahaya melesat cepat, menyusuri lengannya tanpa melukai. “Seolah-olah tempat ini mengenali kita.” Raka melangkah mendekati pusat altar, di mana sebuah pilar kristal muncul perlahan dari bawah tanah. Di dalamnya, pusaran kehendak berwarna emas berdenyut pelan seperti jantung. “Tunggu,” ucap Arka sambil menatap sekeliling. “Kalian dengar itu?” Detak. Lembut, tapi dalam. Seperti jantung raksasa yang berdetak dari dalam dunia itu sendiri. Kiara m
Kilatan pertama menyambar seperti tombak cahaya yang mengoyak udara. Arka dan yang lain menembus pusaran badai, tubuh mereka melayang bebas di antara fragmen waktu dan kehendak yang saling bertabrakan. Setiap helai udara terasa tajam, seolah menolak keberadaan mereka. Arka menggertakkan gigi, tubuhnya tertarik ke dalam spiral cahaya keperakan. “Tahan formasi! Jangan terpisah!” “Aku kehilangan gravitasi!” teriak Genta, tubuhnya terpental ke arah fragmentasi kota yang hancur di kejauhan. Kiara melompat, menyambar tangan Genta. “Aku dapat dia! Tapi ini… bukan ruang biasa. Waktunya loncat-loncat!” Raka berputar di udara, kakinya menjejak sebongkah memori masa depan yang padat, lalu meluncur ke arah Arka. “Kita harus sampai ke pusat! Di sanalah kehendak disimpul jadi satu!” Di tengah pusaran, sosok bertopeng perak berdiri kokoh, tubuhnya membesar menjadi kolosus setinggi gedung. Di dadanya, mata yang berputar kini
Arka mendarat di permukaan yang tak padat, seolah pijakan itu terbuat dari bayangan air. Setiap langkah meninggalkan riak yang memantulkan kenangan. Langit di atasnya merah kelam, bergemuruh seperti dada yang menahan napas terlalu lama. “Tempat ini… terasa seperti dalam mimpiku,” gumamnya, memandang sekitar. Kiara mendarat tak jauh darinya, tangannya terangkat, menjaga keseimbangan. “Tapi ini bukan mimpi. Ini ruang kehendak terdalam. Lapisan ketiga.” Dari balik kabut, siluet Raka muncul, tubuhnya bersimbah cahaya kehendak yang belum sepenuhnya stabil. “Aku lihat bayangan Ayah tadi… seperti nyata.” “Bukan bayangan,” sahut Genta yang menyusul, napasnya memburu. “Tempat ini menyerap ingatan paling kuat dalam diri kita. Dan memutarnya jadi senjata.” Angin bertiup pelan, namun membawa aroma darah dan logam. Lalu satu demi satu sosok muncul dari balik kabut—wajah-wajah yang seharusnya sudah mati. Ayah Raka. Saudara
Genta melompat ke panel darurat, jarinya menari di atas tombol manual. Sinyal listrik masih lumpuh, tapi ia berhasil mengaktifkan suplai cadangan untuk server utama. Layar menyala kembali dalam kilatan biru redup, menampilkan grafik-grafik kacau dan sinyal spiral dari dasar laut. “Gelombangnya meningkat,” gumamnya. “Ini bukan hanya sinyal… ini panggilan.” Arka berjalan perlahan ke tengah ruangan, di mana wajah digital bertopeng perak masih menatap mereka dari layar. Cahaya dari monitor memantul di matanya yang membara, menciptakan siluet tajam di balik bahunya. “Kau siapa sebenarnya?” tanya Arka, suaranya pelan tapi tegas. “Pertanyaan yang salah, Arka Wijaya,” suara itu mengalun seperti gema di dalam tengkorak. “Pertanyaannya adalah: berapa lama lagi kehendak manusia bisa menolak evolusi yang sudah kutawarkan?” Kiara menatap layar dengan rahang mengeras. “Kau menyebut dirimu ide. Tapi ide tidak lahir sendiri.
Asap tipis mengepul dari sudut-sudut ruangan. Cahaya darurat berpendar merah, melemparkan bayangan bergerigi di wajah-wajah tegang. Di tengahnya, wajah bertopeng perak masih terpampang di layar utama, menatap semua yang hadir tanpa berkedip. Suara itu terdengar lagi, serak tapi stabil. “Divisi Kehendak? Nama yang indah. Tapi sia-sia.” Raka maju dua langkah, belatinya bergetar oleh listrik statis dari medan proteksi yang belum sepenuhnya mati. “Kalau kau hanya bisa bicara dari balik layar, kau pengecut.” “Justru karena aku di balik layar, aku hidup lebih lama dari kalian semua,” jawab suara itu. “Aku bukan tubuh. Aku adalah algoritma keserakahan, rumus dominasi, strategi kolonialisme yang kalian warisi diam-diam.” Kiara menoleh ke Genta. “Apakah ini AI yang kita deteksi dari dasar laut?” Genta mengetik cepat, matanya tak lepas dari data baru yang masuk. “Tidak sepenuhnya. Ini semacam antarmuka. Tapi energinya…
Bayangan hitam yang mengambang di atas cakrawala makin jelas. Bukan retakan dimensi, bukan pula makhluk seperti Zerah—melainkan armada. Puluhan—tidak, ratusan kapal udara taktis melayang membentuk formasi setengah lingkaran di langit senja. Baling-baling rotor mereka tak menimbulkan suara, hanya getaran halus yang merambat ke tanah, seperti denyut jantung dunia yang baru bangkit. “Ini bukan invasi, kan?” bisik Raka sambil meraih senjata di pinggang. Genta menatap hasil pemindaian di alatnya. “Bukan. Ini… pasukan militer. Tanda pengenal mereka sah. Tapi mereka dalam mode siaga tinggi.” Beberapa pesawat turun perlahan, melepaskan platform logam yang terhampar rapi di tanah. Dari sana, pasukan berseragam hitam-hijau turun, berbaris dalam diam. Seorang pria berambut putih dan berseragam panglima berdiri di tengah mereka, mengenakan lencana khusus bertuliskan SATGAS ARDHA GARDA NASIONAL. Arka maju beberapa langkah
Cahaya biru menyelimuti medan pertempuran. Pilar-pilar energi yang sebelumnya mencabik langit kini membeku di udara, seolah diperintah oleh kehendak yang lebih tua dari waktu. Sosok asing yang muncul dari celah realitas itu melayang perlahan, jubah panjangnya berpendar lembut, dan matanya memancarkan cahaya keemasan yang menembus jiwa siapa pun yang menatapnya. Arka berdiri membeku di tengah pusaran penyegelan. Energi di sekeliling tubuhnya masih berkobar, tapi kini tertahan—seolah sebuah tangan tak kasatmata menggenggamnya. “Siapa… kau sebenarnya?” tanya Arka pelan. Sosok itu turun menyentuh tanah. “Aku adalah bagian dari darahmu. Dan engkau adalah bagian dari kehendakku yang tertinggal di dunia ini.” Raka terhuyung, menahan luka di lengannya, matanya terpaku pada simbol bercahaya di udara—tiga garis spiral yang saling berpotongan membentuk mata ketiga di tengah kehampaan. Kiara berbisik, “Simbol itu… mengik
Tanah terbelah. Awan menghitam. Dari tubuh Sakarat, sosok Zerah melayang perlahan—gerakannya anggun seperti kabut, tapi tekanan kehadirannya menekan dada semua orang. Di sekelilingnya, waktu bergetar. Suara-suara dari masa lalu bergema lirih, menciptakan irama aneh yang menyesakkan telinga. Kiara mundur beberapa langkah. “Itu… bukan makhluk biasa.” “Bukan,” desis Arka. “Dia bukan makhluk. Dia… adalah kehendak yang ditolak oleh alam semesta.” Zerah menatap ke arah mereka, topengnya berganti-ganti bentuk—wajah-wajah yang familiar muncul sekilas: wajah Raksa, wajah Nadira, bahkan wajah Reza. Setiap wajah muncul hanya untuk digantikan oleh kekosongan tanpa ekspresi. “Arka Wijaya,” suaranya terdengar seperti ribuan orang berbicara bersamaan. “Darahmu adalah kunci. Warisanmu adalah pengikat. Maka, akulah yang berhak menuntutnya.” Tubuh Arka bergetar saat aliran energi dari dalam dadanya berdenyut semakin kuat. Simb