“Ita, semalam di rumahmu ada apa? Seperti ada acara ramai sekali?” tanya Novi padaku, saat ini aku sedang menjemur pakaian di samping rumahku.“Enggak ada acara apa-apa kok, Nov! Rnggak ramai juga. Mungkin kamu salah lihat,” jawabku.“Enggak, kok, aku enggak salah lihat. Aku lihat dengan mata kepalaku sendiri waktu aku pulang dari rumah orang tuaku sekitar jam 9 malam di rumahmu itu ramai sekali tidak biasanya lampumu juga dihidupkan semua,” jawab Novi.Apa karena efek ruqyah semalam, ya, jadi di rumahku terlihat ramai padahal hanya kami saja ditambah Ustazah dan suaminya.“Oh, mungkin pas kamu lihat semalam pas kami sedang mencoba lampu baru. Mas Danu habis beli lampu baru untuk mengganti semua lampu yang ada di rumah,” jawabku berbohong karena aku tidak mau menceritakan apa pun yang terjadi pada rumah tanggaku kepada orang lain takutnya justru akan menjadi bahan gosip dan juga ditertawakan oleh orang lain.“Wah, pantesan aja lampunya terang sekali. Memang kamu beli lampu di mana sih
"Siapa pun pelaku utamanya aku dan Mas Danu sepakat menyerahkan semuanya kepada Allah, Nov, biarkan itu menjadi urusan dia dengan Allah. Biarkan saja Allah yang membalas kami pasrah saja yang bisa kami lakukan adalah mempertebal keimanan dan juga ibadah kami.”“Halah kamu itu ngomongnya kayak udah orang paling bener sedunia kayak ustazah yang ceramah di masjid.”“Terserah kamu saja Nov, berpendapat bagaimana.”“Atau kalau kamu tidak mau minta jimat saja sama orang pintar nanti aku mintain kalau untuk jimat ini bisa diperwakilkan karena jimat Ini fungsinya untuk melindungi diri kamu dan juga keluarga kamu dari hal-hal yang tidak diinginkan,” saran Novi lagi.“Untuk jimat pun tidak dulu deh, Nov, aku tidak memakai yang begitu-begitan jimatku hanya bismillah pasrah hanya pada Allah lagi pula loh, kalau kamu mau memakai jimat begitu hukumnya syirik sama saja kamu menyekutukan Allah tidak boleh loh, begitu yang ada kamu nanti dosa. Kamu tahu hukumnya orang yang berbuat sirik itu tidak mai
"Enggak enak Mah, mau ninggalin Novinya,” jawabku sekenanya seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal.“Itulah kamu itu selalu baik kepada siapa pun, meski orang itu jahat sekalipun sama kamu salut padamu Mamah bangga punya menantu sepertimu, Nak.”“Ah, Mamah terlalu berlebihan aku begini pun karena mencontoh orang-orang yang baik yang ada di sekitar rumah termasuk Mamah Atik yang baik dan selalu rendah hati."“Tapi, lain kali kalo si Novi itu nyerocos saja mulutnya kamu sekak lalu kamu tinggal pulang. Oang begitu kalau enggak dilakukan tindakan apa pun selamanya akan tetap begitu meremehkan orang lain dan berbuat semena-mena,” ucap Mamah Atik mengingatkanku.“Iya, Mah, insya Allah lain kali aku tegur Novi. Oh, ya, Kia mana, Mah, kayaknya tadi dia manggil-manggil aku?”“Ada di depan lagi mainan sama Asih, tadi Kia panggilin kamu makanya Mamah ke belakang eh, enggak tahunya kamu lagi ngobrol sama tetangga kepo.”“Ih, Mamah enggak usah begitulah. Bagaimana pun juga kan, Novi, itu tet
"Yang lalu biarlah berlalu, Dik, jangan kamu ungkit lagi nanti khawatir hatimu akan sakit jika mengungkit tentang masa lalu. Biarlah masa lalu kita yang pahit itu kita kubur dalam-dalam untuk kita jadikan sejarah lalu kita ceritakan kepada anak cucu kita kelak agar mereka tahu dulu orang tuanya seperti apa dan agar mereka tidak sombong sebab mereka tahu tentang sejarah hidup orang tuanya di masa lalu, jadi bisa untuk mawas diri,” ucap Mas Danu, aku mengangguk setuju dengan pendapat Mas Danu.Sebenarnya bukan bermaksud mengungkit tentang pahit dan pedih masa lalu hanya saja untuk mawas diri agar aku tidak berbuat semena-mena kepada orang miskin dan agar aku selalu bersyukur atas apa yang sudah Allah berikan padaku.“Alhamdulillah ... Mama Atik yang baru bertemu dengan kalian pun sangat bangga pada kalian apalagi orang tua kalian yang mendidik kalian dari kecil. Mamah selalu berharap kalian akan terus seperti ini sampai kapan pun rendah hati dan juga menghormati siapa pun.”“Insya Alla
“Heh! tunggu mau ke mana kamu bukanya minta maaf malah nyonong pergi aja kualat nanti kamu!” teriak Mamah Atik seraya melempar mobil Novi menggunakan batu kerikil.“Sudah biarin saja yang penting Kia enggak kenapa-kenapa. Kianya hanya kecemplung comberan saja,” cegah ibuku saat Mamah Atik hendak melempar batu yang berukuran lebih besar ke arah mobil Novi.“Songong bener, jadi manusia. Baru juga punya mobil kecil begitu sudah sombongnya naudzubillah apalagi punya mobil Alphard. Duh, heran sama orang-orang kaya baru zaman sekarang ini enggak punya sopan santun sama sekali,” gerutu Mamah Atik.“Sudahlah Mah, biarin saja ini Kianya juga sudah diam nangisnya hanya kecemplung comberan dimandikan saja nanti bersih lagi kok,” sahutku ikut mengademkan kemarahan Mamah Atik.Kulirik ke arah Mbak Asih, dia hanya terkekeh saja mungkin baginya Kia kecemplung comberan adalah suatu kelucuan dan yang membuatku makin heran adalah meski Mbak Asih terkekeh tertawa tatapannya tetap lurus ke depan.“Anak I
Pantaslah jika ibu mertuaku curiga kepada Mas Roni bahwa Mas Roni sudah pakai pelet. Karena menurutku juga cintanya Mbak Asih pada Mas Roni itu tidak wajar bahkan sangat berlebihan sampai dia lupa pada dirinya sendiri sampai dia rela mengorbankan segalanya untuk Mas Roni.“Istighfar, Asih, kamu enggak boleh begitu terlalu cinta pada manusia. Itu tidak baik nanti Allah cemburu padamu. Kalau Allah sudah cemburu padamu nanti murka padamu, kalau Allah sudah murka nanti hidupmu susah, jadi kalau cinta pada manusia sekalipun itu suami kita sendiri harus sewajarnya jangan melebihi cinta kita kepada sang pencipta itu tidak boleh.” Nasehat ibuku pada Mbak Asih.“Apa betul begitu Bulek? Memangnya aku ini terlalu berlebihan mencintai Mas Roni?” tanya Mbak Asih.“0h, ya, jelas kamu terlalu berlebihan cinta sama Roni. Semua-semua kamu lakukan untuk Roni. Coba pikir pakai akal sehatmu itu, apa Roni selama ini peduli padamu. Kamu hamil pun dia tidak pernah menengokmu. Tiak pernah membawakan makanan
"Yah, namanya juga orang enggak punya adab, jadi gitu deh! Kalau ngeliat orang bahagia dia enggak suka. Biasa orang kaya baru,” sindir Bu Rum gengnya Bu Jum.“Sudah, Mah, jangan diladeni kita pulang saja!" ajakku pada Mamah Atik.“Karma ibayar tunai, makanya Novi, kamu itu kalau melakukan sesuatu harus bertanggung jawab. Ya, minimal minta maaflah, jadi kamu juga tidak kesusahan begini,” ucap Mamah Atik pada Novi Yang masih saja menangis melihat mobil Karimunnya masuk ke dalam got.“Halah Bilang aja kamu iri karena enggak punya. Makanya kamu ngomong kayak gitu,” sahut Novi. Oh rupanya dia masih nyambung juga apa yang dikatakan Mamah Atik.“Iri, sama kamu enggak lah, ya? Mobil Karimun beli kes lunas juga aku bisa. Kamu pasti kredit 'kan belinya, makanya itu mobil bunyi tit tit tit tit saat masuk ke got,” jawab Mama Atik.“Udah, deh, Mah. Enggak usah diladenin. Ayo, kita pulang saja dari pada Mamah nanti tambah emosi!” Kutarik tangan Mamah Atik agar menjauh dari kerumunan itu.“Eh, kamu
“Duh, capek deh, Roni lagi, Roni lagi? Emang dunia ini penuh dengan Roni. Asih-Asih, Mbok ya, kamu tu, eling, sadar orang itu bukan laki-laki yang baik masih saja kamu telepon-teleponan sama dia,” gerutu Mamah Atik.“Biarin, Mah. Biarin saja yang penting Mbak Asih seneng dari pada dia bengong, sedih, malah kita juga yang bingung.”Aku punya ide agar Mbak Asih berhenti menelepon Mas Roni. Dia kalau sudah berhubungan dengan Mas Roni pasti lupa dengan kami semua, meski kami duduk di sebelahnya.Lebih baik aku matikan Wi-finya saja dengan begitu video call mereka berhenti. Lagi pula Mbak Asih kan, tidak ada kuota, jadi tidak mungkin dia bisa menelepon Mas Roni lagi.“Ita? kok WIFi-nya mati apa mati lampu!” teriak Mbak Asih seraya menghampiriku yang sedang menidurkan Kia di depan TV.Benar saja kan, dugaanku pasti dia akan protes kalau WiFi-nya dimatikan, tapi lebih baik begitu. Mendingan aku mendengarkan omelan Mbak Asih dari pada dia terus terjebak oleh cinta semunya Mas Roni.“Enggak
“Wak, aku, bukan tipe orang yang suka melupakan jasa orang lain. Ya, terserah awak saja mau percaya atau tidak. Yng jelas aku tidak ada uutang dengan Novi," jawabku kesal lalu ikut mengantri untuk belanja.“Nih, Wak, dimakan! Biar itu mulut nggak pedes kayak cabe setan!" sahut Ibuku lalu memasukkan segenggam cabe caplak jawa yang kata orang cabe setan ke mulut Wak Jum yang sedang menganga karena menertawakanku.“Apa-apaan sih, kamu, Wak, jelek-jelekin menantuku! Bibirmu itu lama-lama nanti double dan dosamu menumpuk. Ingat, dosa woi! Jangan sampai kamu menyesal nantinya. Menantuku itu orang baik tidak mungkin dia berhutang kepada orang lain," bela ibu mertuaku.“Iya, betul tuh masih aja ada yang percaya sama mulutnya Novi. Dia itu kan, ember dan juga mulut comberan. PAgi-pagi sudah bikin orang ribut saja!" sahut Mbak Fitri yang ternyata dia ada di sini belanja sayuran juga.“Sudah jangan ribut perkara uutang orang lain nggak baik. Dasar itu aja mulutnya comberan mau ikut campur aja u
“Assalamualaikum permisi! Assalamualaikum permisi! berkali-kali kuulangi panggilan dan menggedor pintu Novi, tetapi tetap juga tidak dibukakan olehnya. Benar-benar memang dia sudah keterlaluan! Oke baiklah Novi aku akan pakai caramu!Dia benar-benar sudah tidak menghormati aku sebagai tetangga dan tidak menganggapku teman lagi. Padahal tadi pagi subuh-subuh dia memohon-mohon padaku untuk meminjamkan uang padanya. Lalu dia menyindirku lewat status WA. Aku datangi dia tidak berani nongol! Maunya apa? Kenapa dia bersikap seperti itu padaku? Padahal aku merasa tidak pernah punya salah pada dia.Bukankah seharusnya jika sudah mengenalku dari kecil, menganggapku teman, dan sekarang kami bertetanggaan, sikapnya harusnya lebih baik padaku bahkan menganggapku lebih dari saudara. Seperti aku menganggapnya begitu. Dasar saja Novi ternyata sifatnya sejak dulu tidak pernah berubah.Aku telusuri jalanan di depan rumahku dengan perasaan dongkol dan kesal. Astagfirullah pagi-pagi aku tidak boleh beg
Astaghfirullahaladzim ... kubaca status WA-nya Novi.“Pagi-pagi buta sudah ada orang datang ke rumah pinjam uang. Kelihatannya sih, kaya raya, rumahnya gede, bagus, ke mana-mana naiknya mobil ternyata pagi-pagi sudah pinjam uang. Yaa, elah, berarti dia lebih miskin dari aku, dong!”Aku geram sekali membaca status WA-nya Novi. Kenapa dia memutarbalikkan fakta seperti itu? Ini orang pagi-pagi sudah membuat kepalaku mendidih.Apa iya, aku harus mengikuti saran Mbak Fitri untuk melabrak dia, tapi meskipun Novi nulis status WA begitu itu, tapi tidak ada orang yang percaya dengan status dia buktinya Mbak Fitri malah marah-marah pada dia. Kalau meladeni Novi tidak akan pernah habisnya dan itu sangat buang-buang waktuku.Hidupku bukan hanya untuk mengurusi urusan orang lain. Lebih dari itu, tapi kalau dia tidak dikasih pelajaran dia bakalan selamanya menginjak-nginjak harga diriku. Salah apa aku ini pada Novi? Perasaan aku sudah selalu berbuat baik padanya, tapi masih saja dia menjelek-jelek
“Mas, sepertinya dia ini manusia benar-benar tidak punya pekerjaan. Bayangkan saja dia meneror kita setiap hari, setiap waktu dengan kata-kata serupa, tapi dia tidak berani menunjukkan actionnya selain mengirimi kita makhluk-makhluk halus begitu ya, enggak sih, Mas?” ucapku kepada Mas Danu.“Iya, betul, Dik, itulah kenapa Mas, selalu berpesan padamu dan juga yang lainnya agar selalu hati-hati karena lawan kita tidak kasat mata. Jika manusia di depan kita hendak mencelakai, kita, bisa melawannya, tapi kalau makhluk halus begitu kita tidak melihat bagaimana kita akan melawan mereka selain dengan doa dan kehati-hatian kita. Kamu paham kan, maksudku?” ujar Mas Danu.“Iya, Mas, aku paham, maka dari itu aku pun selalu mewanti-wanti Ibu, Mama, Ibumu, untuk selalu waspada. Apalagi Mbak Asih kan, sekarang dia sudah bertaubat memperbaiki diri, menutup, aurat, banyak-banyak mendekatkan diri pada Allah. Intinya yang pasti sudah tidak ada lagi media yang bisa digunakan untuk menteror kita dengan m
"Ada, Nov. Alhamdulillah ini aku kasih jangka waktu sampai suamimu gajian, ya? Oh, ya suamimu gajiannya tanggal berapa, Nov?” tanyaku seraya memberikan uang yang aku pegang kepada Novi.“Gajiannya akhir bulan, Ita, ini kan masih tanggal 5 masih lama. Ya, makanya aku harus hemat uang satu juta ini sampai tanggal 25 nanti, ya, sudah terima kasih ya, Ta, nanti kalau suamiku sudah gajian pasti akan aku bayar,” ucap Novi senang.“Iya, Nov, santai aja pakai aja dulu pokoknya begitu suamimu gajian, kamu langsung aja datang ke rumah. Aku tidak mau menagih padamu, Nov, selain tidak enak aku juga menjaga privasimu takutnya pas aku lagi nagih, eh, ada tetangga kita atau yang lain atau ada teman kamu, jadi kan, mereka tahu kalau kamu punya utang. Jadi, aku minta tolong kamu cukup tahu diri aja ya, Nov. Kalau sudah gajian langsung ke rumah,” kataku to the point. Orang seperti Novi memang harus ditegasin. Kalau tidak dia akan menganggap remeh.“Oh, jelaslah itu. Kamu enggak usah khawatir. Ya, kalau
Paginya saat aku baru saja membuka pintu rumah tepatnya setelah salat subuh tiba-tiba Novi datang ke tergopoh-gopoh menghampiriku.Tumben sekali dia datang sepagi ini.“Ita! Boleh aku minta tolong padamu sekali ini saja,” tanya Novi. Aku mengangguk meskipun sedikit ragu.“Ada apa, ya, Nov? Tumben sekali kamu subuh-subuh datang ke sini,” jawabku balik bertanya.“Itu, Suamiku belum ngambil uang di ATM dan kebetulan uangku juga habis. Hari ini susu anakku habis ini dia lagi nangis karena minta susu enggak aku buatin ditambah lagi listriku tokennya sudah bunyi. Kasih aku pinjam uang satu juta saja Ita, nanti kalau suamiku sudah gajian pasti langsung aku ganti,” jawab Novi.“Oh, mau pinjam uang Nov? Pagi-pagi begini memang ada minimarket buka,” tanyaku lagi.“Ya, enggak, ada sih, Ta, tapi kan, setelah ini aku mau langsung ke minimarket mau beli susu sekalian mau beli token listrik. Kamu tahu kan, Ta, rumahku itu besar pemakainya banyak jadi boros sekali listriknya,” jawab Novi.“Kalau gitu
“Barusan ada kok. Cepat sekali mereka pergi. Kenapa kalau pulang tidak pamitan? Dasar manusia hutan tidak punya etika!” gerutu Mbak Wulan.“Sebentar, ya, aku lihat ke depan, barangkali dia ngobrol dengan Mas Danu dan yang lainnya," kataku seraya menghampiri suamiku yang sedang duduk di depan.Loh, kok tidak ada juga, ke mana, ya? Di sana hanya ada suaminya yang ikut ngobrol dengan Mas Danu. Apa Novi pulang mengantarkan anak-anak, ya?“Ti—dak kok, Nyah, semuanya aman terkendali, Nyonya di sana baik-baik, ya, pokoknya nanti pas pulang ke sini semuanya sudah beres dan nyonya pasti terkejut sama rumah barunya.” Aku mendengar suara Novi di teras, aku tengok rupanya dia sedang menerima telepon. Pantas saja aku cari ke mana-mana tidak ada. “Oh, yang taman depan rumah tenang saja, Nyah, itu juga sedang dikerjain sama suamiku. Pokoknya beres terkendali. Nyonya di sana jaga kesehatan, baik-baik pokoknya. Aku di sini akan menjaga amanah Nyonya,” ucap Novi lagi.Aku sedikit terkejut dengar ob
Kata Rasulullah saudara yang terdekat dengan kita adalah tetangga kita. Itu artinya kita harus bersikap baik kepada tetangga kita agar berikatan simbiosis mutualisme, saling membutuhkan satu sama lain, saling tolong menolong satu sama lain, tidak mungkin kan kita mati dikubur sendiri? Tidak mungkin juga kita dalam keadaan sakit pergi ke rumah sakit sendiri itu sebabnya kita diwajibkan selalu berbuat baik kepada orang lain terutama tetangga kita.Kalau kasusnya seperti Novi ini aku bisa apa? Dibaikin seenaknya sendiri, tidak dibaikin juga seenaknya sendiri, jadi serba salah.Jadi satu-satunya jalan yang bisa aku lakukan adalah jika dia tanya aku jawab, jika tidak, ya, sudah diam saja yang penting jika, Novi memiliki kesusahan aku harus pasang badan untuk menolong walaupun dia sangat menyebalkan, tapi Novi tetangga dekatku dan juga temanku dari kecil.Aku mengamati Novi sejak tadi terus saja berbicara mengeluarkan unek-uneknya sendiri tanpa memikirkan perasaan orang lain.Salahku
“Nov, langit itu tidak perlu memberitahukan bahwa dirinya tinggi karena tanpa diberitahu semua orang pun sudah tahu. Begitu juga dengan kehidupan kita, tak perlu lagi kita memberitahu kebahagiaan kita, harta-harta kita, kalau memang itu ada pasti nampak, kalau memang itu benar semua orang akan tahu dengan sendirinya, Nov.” Nasihatku kepadanya.“Alah kamu itu, Ta, sok, bijak! Padahal aslinya kamu juga kepo kan, sama kehidupanku? Kamu, kan, dari kecil dulu memang sudah terbiasa di bawahku, jadi ketika kamu hidup kaya, kamu terus mengepoin aku karena merasa tersaingi, ya, kan? Jujur aja, Ta. Enggak apa-apa kok, kita kan memang sudah teman sejak kecil jadi aku tahu betul loh, gimana sifat kamu," jawab Novi lagi.“Ita, ngepoin hidup kamu? Noh, kalau menurutku sih, kebalikannya. Kamu yang selalu mengepoin hidupnya Ita, kalau Ita mah udah mode kalem, mode tidak pernah memamerkan hartanya, dan juga mode dermawan sedangkan kamu kebalikannya," sahut Wulan kesal.“Iya, deh iya, Nov, memang aku