“Duh, capek deh, Roni lagi, Roni lagi? Emang dunia ini penuh dengan Roni. Asih-Asih, Mbok ya, kamu tu, eling, sadar orang itu bukan laki-laki yang baik masih saja kamu telepon-teleponan sama dia,” gerutu Mamah Atik.“Biarin, Mah. Biarin saja yang penting Mbak Asih seneng dari pada dia bengong, sedih, malah kita juga yang bingung.”Aku punya ide agar Mbak Asih berhenti menelepon Mas Roni. Dia kalau sudah berhubungan dengan Mas Roni pasti lupa dengan kami semua, meski kami duduk di sebelahnya.Lebih baik aku matikan Wi-finya saja dengan begitu video call mereka berhenti. Lagi pula Mbak Asih kan, tidak ada kuota, jadi tidak mungkin dia bisa menelepon Mas Roni lagi.“Ita? kok WIFi-nya mati apa mati lampu!” teriak Mbak Asih seraya menghampiriku yang sedang menidurkan Kia di depan TV.Benar saja kan, dugaanku pasti dia akan protes kalau WiFi-nya dimatikan, tapi lebih baik begitu. Mendingan aku mendengarkan omelan Mbak Asih dari pada dia terus terjebak oleh cinta semunya Mas Roni.“Enggak
Baru saja aku hendak keluar Ibu sudah keluar terlebih dahulu untuk menyambut mereka.“Sudah kamu tidurin Kia aja dulu biar Ibu yang menyambut mereka,” kata ibu, aku mengangguk.Kalau didengar dari suaranya sih, memang sepertinya rombongan banyak ada suara anak kecil juga dan itu sepertinya memang suara Mbak Ning.Sebenarnya aku sangat senang dan bahagia saudara-saudaraku mau berkunjung ke sini yang membuat aku mual dan bikin enek adalah mereka ke sini hanya ada maunya saja. Misalnya butuh bantuanku atau hanya minjem duit ya, pokoknya semacam itulah.Sebenarnya berdosa jika aku mengeluh begitu harusnya aku itu bersyukur karena masih dibutuhkan mereka, tapi entah kenapa aku tidak bisa membuang rasa kesal kepada mereka yang datang hanya untuk meminta bantuan sajaAh, pokoknya alasan di hatiku ini campur aduk jadi satu.Meski aku menidurkan Kia, tapi kupingku mawas untuk mendengarkan apa yang dibicarakan oleh mereka.Mama Atik dan Mbak Asih cekatan membawa cemilan dan air minum ke depan.
Mendengar pengakuan suami Mbak Ning sebenarnya aku ikut bahagia karena jika Mbak Ning hidupnya enak dia tidak akan menyusahkan orang tua dan saudara, tapi yang tidak enak didengar adalah nada sombong dari suami Mbak Ning. Ibu pun melengos buang muka ketika mendengar jawaban suami Mbak Ning.“Syukur ... alhamdulillah, kalau gitu, Mas. Aku ikut senang kalau Mbak Ning sukses berarti kan, Mbak Ning bisa bantu-bantu saudara yang lain.”“Apa bantu saudara-saudara yang mana yang mau aku bantu? Ingat, ya, Ta, bisnis adalah bisnis enggak ada ikatan saudara kalau mau Mbak bantu, iya, kasih utangan. Ngasih utangan cuma yang ada bunganya, ya, tidak kalah dengan di banklah setiap apa pun perbuatannya harus ada timbal baliknya gitu,” jawab Mbak Ning.“Oh, gitu, Mbak. Ya, barangkali aja, kan? Aku kan, hanya menebak-nebak. Oh, ya, Mbak dan Mas datang ke sini ada keperluan apa, ya?” tanyaku to the point.“Mbak mau minta tolong sama kamu,” jawab Mbak Ning.Kalau sudah ada kata minta tolong entah kena
"Kok, Mbak Ning, sekarang ngomongnya beda lagi? Kemarin Mbak Ning ngomong sama kita begitu kok, aku itu Mbak, enggak berani bohong karena kalau berbohong itu pasti dosa. Mbak Ningg ini enggak mau disalahin!” protes salah satu adik ipar Mbak Ning.“Sudah ah, jangan dibahas dulu itu yang penting kita tanya dulu nih, sama Ita, mau enggak dia itu nampung kalian berdua di sini. Enak loh, kerja sama Ita. Dia itu orangnya baik,” sahut Mbak Ning.“Enggak, Mbak, aku, kan, udah bilang dari tadi. Kalau aku tidak bisa terima karyawan perempuan karena itu banyak alasannya yang sudah aku bilang tadi itu. Maaf ya, Mbak, aku enggak bisa bantu,” jawabku halus.“Kamu itu pelit banget enggak mau bantu saudara sama sekali. Ingat, Ta, harta itu cuma titipan Tuhan, cuma dititipin kedua adik iparku aja enggak mau. Padahal mereka itu di sini mau bantu kamu tenaga mereka dikeluarin untuk kamu.” Mbak Ning bersikeras agar adiknya kerja di sini.“Udah, sih, Mbak Ning, enggak usah kayak gitu loh. Aku juga enggak
"Kalian enakin aja, ya, santai-santai aja Mbak tinggal masuk ke dalam dulu,” ucapku pada kedua adik ipar Mbak, Ning. Mereka mengiyakan. Sebenarnya kasihan juga mereka harus mengikuti aturan yang dibikin oleh Mbak Ning.“Ya, ampun Ita, kamu orang kaya kok, cuma masak oseng kangkung sama goreng ayam doang! Pelit banget sih, orang kaya itu makanannya harusnya yang enak-enak. Meski mulutnya ngomel dan sewot, tpi tangannya cekatan mengambil nasi, sayur, dan lauk lalu memakannya dengan lahap dia tidak ingat suami dan anak-anaknya.“Kalau tinggal makan itu enggak usah banyak protes nanti makanan yang kamu masukkan ke dalam perutmu itu tidak berkah," sahut Mama Atik seraya menoyor kepala Mbak Ning. Bukan hanya saja Mama Atik, Mbak Asih pun ikutan Mama Atik menoyor kepala mbak Ning.Mbak Ning diam saja tetap melahap makanannya. Mungkin dia sungkan pada Mamah Atik atau mungkin juga dia takut pada mama Ati karena tadi waktu masuk ke dapur tidak ada Mamah Atik dan Mbak Asih ini tiba-tiba mer
“Ita, aku mau nanya deh, sama kamu, tolong jawab yang jujur, ya?” Aku mengangguk kalau sudah begini pasti Mbak Ning akan menanyakan sesuatu yang penting.“Ita, kamu pakai pelaris apa? Kok, toko kamu laris banget? Kata suamiku setiap hari toko kamu itu pelanggannya membludak kalau begitu terus kamu bisa kaya dan bisa buka usaha satu lagi.” Aku tidak kaget dengan pertanyaan Mbak Ning karena memang sudah ada beberapa orang yang menanyakan hal itu kepadaku mereka mengira Kami menggunakan pelaris padahal demi apa pun aku menjauhi hal-hal yang sangat dilarang oleh agama.“Mbak, mau tahu aku pakai pelaris apa?” Pancingku dan reaksi Mbak Ning sungguh luar biasa dia sangat tertarik“Iya, dong, mau! Aku juga kan, kepingin sukses kayak kamu, kalau kita sukses orang tua kita juga yang akan senang makanya aku tanya ini sama kamu barangkali bisa aku tiru,” jawab Mbak Ning antusias.“Sungguh beneran Mbak Ning, mau tahu dan mau meniru apa yang aku lakukan? Enggal nyesel nih, setelah aku beritahu?”
"Kenapa, Mbak? Apa ada yang salah dengan yang aku tulis?” tanyaku pada Mbak Ning.“Jadi, ini pelaris yang kamu pakai selama ini, Ta? Kamu mikir enggak sih, pakai otak kamu? Ini namanya bukan pelaris. Ita, pelaris yang aku maksud itu doa jampi-jampi dari orang pintar,” jawab Mbak Ning dari nadanya bicaranya dia sangat marah dan kesal padaku. Aku tersenyum saja menanggapi omelan mbak Ning.“Iya, kan, dari awal tadi Mbak Ning, tanya waktu kita di depan situ aku sudah jawab bahwa aku tidak pakai apa pun, tapi Mbak Ningnya ngeyel makanya aku catat inilah pelarisku selama ini yang aku amalkan. Mas Danu pun mengamalkannya begitu. Mau enggak nih, usahanya berkah, ya, enggak usah pakai jampi-jampi yang enggak jelas. Berdoa langsung sama Allah minta langsung sama Allah Subhanahu Wa Ta'ala,” jelasku. panjang lebar.“Sudah si, Ta. Enggak usah ceramah segala kamu di depanku. Pusing deh, ternyata tidak sesuai harapanku sia-sia buang-buang waktu saja tahu enggak!” omel Mbak Ning lagi.“Jadi, yakin
Rasa kesal kepada Mbak Ning dan juga rasa kantuk yang menguasai mataku sirna begitu saja saat aku mendengar suara perempuan itu di HP suamiku.Ini Mas Danu yang ceroboh atau Mas Danu yang dengan sengaja memberikan ponselnya pada Maya atau malah Maya yang sengaja mengambil HP Mas Danu secara diam-diam?Akan tetapi, sepertinya itu tidak mungkin karena kalau mengambil diam-diam kan, ada CCTV dan pastinya Maya akan dituduh sebagai pencuri. Berarti ini memang benar-benar Mas Danu dalam keadaan sadar memberikan HP-nya pada Maya.Baru saja semalam di ruqyah saling meminta maaf dan berjanji tidak akan mengulangi sesuatu perbuatan yang menyakiti hatiku ini sudah diulangi lagi, tapi kali ini aku tidak mau gegabah. Aku harus cari informasi lebih dulu.Aku segera mengganti pakaianku lalu berdandan sekedarnya mengoleskan bedak dan juga liptint ke bibirku.Lalu menyambar kunci motor aku akan segera datang ke toko membawakan makan siang pesanan Mas Danu.“Lho, Ita, kamu cantik sekali mau ke man
"Ada, Nov. Alhamdulillah ini aku kasih jangka waktu sampai suamimu gajian, ya? Oh, ya suamimu gajiannya tanggal berapa, Nov?” tanyaku seraya memberikan uang yang aku pegang kepada Novi.“Gajiannya akhir bulan, Ita, ini kan masih tanggal 5 masih lama. Ya, makanya aku harus hemat uang satu juta ini sampai tanggal 25 nanti, ya, sudah terima kasih ya, Ta, nanti kalau suamiku sudah gajian pasti akan aku bayar,” ucap Novi senang.“Iya, Nov, santai aja pakai aja dulu pokoknya begitu suamimu gajian, kamu langsung aja datang ke rumah. Aku tidak mau menagih padamu, Nov, selain tidak enak aku juga menjaga privasimu takutnya pas aku lagi nagih, eh, ada tetangga kita atau yang lain atau ada teman kamu, jadi kan, mereka tahu kalau kamu punya utang. Jadi, aku minta tolong kamu cukup tahu diri aja ya, Nov. Kalau sudah gajian langsung ke rumah,” kataku to the point. Orang seperti Novi memang harus ditegasin. Kalau tidak dia akan menganggap remeh.“Oh, jelaslah itu. Kamu enggak usah khawatir. Ya, kalau
Paginya saat aku baru saja membuka pintu rumah tepatnya setelah salat subuh tiba-tiba Novi datang ke tergopoh-gopoh menghampiriku.Tumben sekali dia datang sepagi ini.“Ita! Boleh aku minta tolong padamu sekali ini saja,” tanya Novi. Aku mengangguk meskipun sedikit ragu.“Ada apa, ya, Nov? Tumben sekali kamu subuh-subuh datang ke sini,” jawabku balik bertanya.“Itu, Suamiku belum ngambil uang di ATM dan kebetulan uangku juga habis. Hari ini susu anakku habis ini dia lagi nangis karena minta susu enggak aku buatin ditambah lagi listriku tokennya sudah bunyi. Kasih aku pinjam uang satu juta saja Ita, nanti kalau suamiku sudah gajian pasti langsung aku ganti,” jawab Novi.“Oh, mau pinjam uang Nov? Pagi-pagi begini memang ada minimarket buka,” tanyaku lagi.“Ya, enggak, ada sih, Ta, tapi kan, setelah ini aku mau langsung ke minimarket mau beli susu sekalian mau beli token listrik. Kamu tahu kan, Ta, rumahku itu besar pemakainya banyak jadi boros sekali listriknya,” jawab Novi.“Kalau gitu
“Barusan ada kok. Cepat sekali mereka pergi. Kenapa kalau pulang tidak pamitan? Dasar manusia hutan tidak punya etika!” gerutu Mbak Wulan.“Sebentar, ya, aku lihat ke depan, barangkali dia ngobrol dengan Mas Danu dan yang lainnya," kataku seraya menghampiri suamiku yang sedang duduk di depan.Loh, kok tidak ada juga, ke mana, ya? Di sana hanya ada suaminya yang ikut ngobrol dengan Mas Danu. Apa Novi pulang mengantarkan anak-anak, ya?“Ti—dak kok, Nyah, semuanya aman terkendali, Nyonya di sana baik-baik, ya, pokoknya nanti pas pulang ke sini semuanya sudah beres dan nyonya pasti terkejut sama rumah barunya.” Aku mendengar suara Novi di teras, aku tengok rupanya dia sedang menerima telepon. Pantas saja aku cari ke mana-mana tidak ada. “Oh, yang taman depan rumah tenang saja, Nyah, itu juga sedang dikerjain sama suamiku. Pokoknya beres terkendali. Nyonya di sana jaga kesehatan, baik-baik pokoknya. Aku di sini akan menjaga amanah Nyonya,” ucap Novi lagi.Aku sedikit terkejut dengar ob
Kata Rasulullah saudara yang terdekat dengan kita adalah tetangga kita. Itu artinya kita harus bersikap baik kepada tetangga kita agar berikatan simbiosis mutualisme, saling membutuhkan satu sama lain, saling tolong menolong satu sama lain, tidak mungkin kan kita mati dikubur sendiri? Tidak mungkin juga kita dalam keadaan sakit pergi ke rumah sakit sendiri itu sebabnya kita diwajibkan selalu berbuat baik kepada orang lain terutama tetangga kita.Kalau kasusnya seperti Novi ini aku bisa apa? Dibaikin seenaknya sendiri, tidak dibaikin juga seenaknya sendiri, jadi serba salah.Jadi satu-satunya jalan yang bisa aku lakukan adalah jika dia tanya aku jawab, jika tidak, ya, sudah diam saja yang penting jika, Novi memiliki kesusahan aku harus pasang badan untuk menolong walaupun dia sangat menyebalkan, tapi Novi tetangga dekatku dan juga temanku dari kecil.Aku mengamati Novi sejak tadi terus saja berbicara mengeluarkan unek-uneknya sendiri tanpa memikirkan perasaan orang lain.Salahku
“Nov, langit itu tidak perlu memberitahukan bahwa dirinya tinggi karena tanpa diberitahu semua orang pun sudah tahu. Begitu juga dengan kehidupan kita, tak perlu lagi kita memberitahu kebahagiaan kita, harta-harta kita, kalau memang itu ada pasti nampak, kalau memang itu benar semua orang akan tahu dengan sendirinya, Nov.” Nasihatku kepadanya.“Alah kamu itu, Ta, sok, bijak! Padahal aslinya kamu juga kepo kan, sama kehidupanku? Kamu, kan, dari kecil dulu memang sudah terbiasa di bawahku, jadi ketika kamu hidup kaya, kamu terus mengepoin aku karena merasa tersaingi, ya, kan? Jujur aja, Ta. Enggak apa-apa kok, kita kan memang sudah teman sejak kecil jadi aku tahu betul loh, gimana sifat kamu," jawab Novi lagi.“Ita, ngepoin hidup kamu? Noh, kalau menurutku sih, kebalikannya. Kamu yang selalu mengepoin hidupnya Ita, kalau Ita mah udah mode kalem, mode tidak pernah memamerkan hartanya, dan juga mode dermawan sedangkan kamu kebalikannya," sahut Wulan kesal.“Iya, deh iya, Nov, memang aku
“Sebenarnya ada acara apa sih, kalian makan-makan begini? Soalnya Mbak Fitri sama Mbak Wulan update status enggak ada captionnya, jadi, aku bingung acara apa. Lagi pula aku belum makan malam, nih jadi kami ke sini. Ita ada acara apa sih?" tanya Novi.“Acara makan-makan biasa aja, Nov, kumpul-kumpul biasa. Karena kan, sudah lama juga kita enggak kumpul-kumpul,” jawabku.“Kok, kamu kumpul-kumpul enggak ngajakin aku sih, Ta, pelit banget!" jawab Novi kesal.“Bukan pelit, Nov, tadi kita itu mau ngajakin kamu, tapi kamu kan, jalannya duluan sudah gitu kamu jatuh ke comberan masa kita mau teriak-teriak ngajakin kamu," jawabku beralasan.Sebenarnya memang tadi mau ngajakin Novi, tapi karena dia sudah kesal duluan pada kami dan acara kami juga dadakan, jadi ya, terpaksa dia terlewatkan walaupun rumahnya persis di samping rumahku.“Halah, alasan saja kamu itu, Ita, kan, ada HP. Kamu bisa loh telpon aku. Novi ke sini, ya, sebentar kita makan-makan gitu, ah dasar aja, kamu, Ta, pelit," ucap
“Iya, Mbak, aku juga sudah memaafkan. Alhamdulillah kalian mau memaafkanku," ucap Mbak Asih, dia beranjak dari duduknya, menyalami dan memeluk Mbak Fitri dan Mbak Wulan secara bergantian. Mereka pun menangis sesenggukan, ya, Tuhan, ini benar-benar melebihi hari raya Idul Fitri. Kami sungguh-sungguh dalam bermaaf-maafan.“Alhamdulillah kalau kita sudah saling memaafkan semuanya. Berarti malam ini lebih baik makan seruitnya ini kita khususkan untuk menyambut kebahagiaan kita atas hijrahnya Mbak Asih. Kita pimpin doa. Siapa ini yang memimpin doa, Mas Taufik, Mas Dayat atau Mas Danu?” sahut Mamah Atik.“Monggo, silakan Mas Danu atau Mas Dayat, kalau saya enggak bisa baca doa apalagi mendoakan bersama-sama begini, bisanya makan," canda Mas Taufik.“Saya juga jadi jamaah saja, silakan Mas Danu untuk memimpin doa," jawab Mas Danu.“Lah, gimana ini orang-orang di suruh mengimami doa makan tuh paling gampang tinggal baca doa mau makan allahumma bariklana sampai selesai. Ya, sudah baiklah ak
Tiba-tiba Mbak Asih beranjak dari duduknya dan bersujud di kaki ibu, dia menangis sejadi-jadinya sampai tidak terdengar suaranya lagi. Kami semua yang ada di sini menyaksikan adegan ini pun ikut terharu dalam suasana yang begitu menyentuh hati. Ibu mertuaku pun ikut menangis. Beliau tidak mengucapkan satu kata pun kepada Mbak Asih. Beliau hanya mengusap kepala dan bahu Mbak Asih, sesekali tangan kirinya mengusap air matanya. Mas Danu pun terlihat berkali-kali mengusap ke dua matanya. Aku yakin dia pun menahan tangis. Ini baru terjadi sepanjang aku menjadi menantu Ibu. Ini adalah kali pertamanya Mbak Asih sujud di kaki Ibu.Dulu, waktu masih sama Mas Roni, sama sekali tidak pernah sungkem. Lebaran saja hanya salaman biasa lalu pergi dengan Mas Roni ke rumah mertuanya yang lebih menyedihkan lagi adalah sebelum pergi ke rumah mertuanya dia akan membawa berbagai makanan dan meminta uang saku untuk pergi ke sana.Duhai Allah sungguh indah semua rencanaMu pada kami. Ternyata di balik ujia
"Oh, iya, Mas, baik nanti akan aku terapkan itu baca ayat kursi kemarin juga aku sudah di ruqyah kata ustaznya juga gitu hanya saja kemarin aku masih bolong-bolong tidak menerapkan itu, makanya tadi sempat kerasukan walaupun hanya sebentar," jawab Mbak Asih."Syukurlah Asih, aku tuh sebenarnya sebagai tetangga prihatin sekali dengan kamu dan juga ibumu, tapi sekali lagi aku pribadi tidak berani ikut campur masalah keluarga orang lain,” ucap Mas topik lagi.“Assalamualaikum ...." Akhirnya Mama Atik dan ibu mertuaku datang. Wajah ibu mertuaku sudah masam. Aku yakin sekali dia marah dengan Mbak Asih karena tadi sudah menge-prank lagi pergi dari rumah tanpa pamit.“Asih, ih, kamu ke rumah Ita enggak bilng-bilang sama Ibu. Kamu tahu ibu, capek nyariin kamu keliling kampung karena tadi ibu dapat laporan dari Wak Jum, bahwa kamu sedang bertemu dengan Roni di ujung gang sana benar atau tidak?” omel ibu memarahi Mbak Asih.“Iya Bu, betul tadi sore aku ketemu dengan Mas Roni tuh dikasih coklat