Aku tidak boleh percaya begitu saja padanya, meski sebenarnya aku merasa Dina berkata jujur.“Lalu rencana apa yang akan kalian lakukan tadi?”“Em ... itu, Mas Wira menyuruhku mengambil beberapa perhiasan Mbak Ita dan menjualnya.”Astaghfirullah ... Wira, dia benar-benar sudah kelewatan!“Apa aku harus percaya padamu?”“Terserah Mbak mau percaya atau tidak, tapi aku mohon jangan kasih pinjaman pada Mas Wira. Aku bisa menahan jika dipukuli Mas Wira, tapi aku tidak bisa menanggung hutang banyak Mbak. Malu, selalu jadi gunjingan tetangga.”“Hapus air matamu. Itu suamimu memanggil.” Buru-buru Dina ke kamar mandi mencuci muka dan menyisir rambutnya lalu ke luar dari kamarku tanpa berkata apa pun.Kalau itu benar kasihan sekali Dina. Apa yang harus aku lakukan. Ck, waktu istirahatku jadi terganggu gara-gara Wira.Dari kecil memang Wira temperamen, tapi aku tidak menyangka kalau dia akan bertindak sejauh ini. Dina itu istrinya dan sedang hamil kenapa dia tega sekali.“Nak, ini Kia cariin kam
Kebaikan sikap menentukan kebaikan hidup. Itulah mengapa kita harus dituntut untuk selalu berbuat baik. Jika perbuatan baik kita tidak dibalas oleh orang-orang yang telah kita baikin sekarang percayalah ada Tuhan yang membalasnya. Kita tidak tahu kebaikan yang mana yang akan membawa kita ke syurga, jadi teruslah berbuat baik meski sebesar biji sawi.🌸🌸🌸[Ita, kamu itu ya, jadi orang kok, pelit banget. Adik sendiri pinjam duit untuk usaha enggak kamu kasih! Aku do’akan miskin lagi kamu!]Baru saja mata ini mau terpejam sudah ada WA dari Mbak Ning. Ah, Mbak Ning selalu saja begitu. Memanjakan Wira. Aku tidak tahu apa reaksinya andai Mbak Ning tahu bahwa Wira berhutang bukan untuk buka usaha melainkan untuk bayar hutan judinya.[Ingat ya, Ta! Harta itu tidak dibawa mati kecuali kamu sedekahkan dan kamu kasih untuk bantu orang lain!][Besok kamu kasih uang ke Wira kasihan dia mau buka usaha biar hidupnya sedikit enaklah. Kamu itu takut sekali kalah saing dengan adik sendiri!][Uang 10
“Semoga beneran diganti. Ya sudah nanti aku belikan. Aku berangkat dulu ya, Dik, Mbak,”“Ta, kamu nanti tolong WA Danu ya, biar tidak lupa pesananku.”“Iya, Mbak nanti aku bilang ke Mas Danu.”“Ta, rasanya orang hamil itu menyenangkan, ya?”“Tentu saja, apalagi kalau ada suami kita.” Duh, aku keceplosan ngomong semoga saja Mbak Asih tidak tersinggung.“I—ya, sih, tapi gimana ya? Mas Roni tidak bisa ke sini dan menemaniku 24 jam penuh. Istrinya bisa marah,” jawab Mbak Asih.“Mbak ... maaf aku mau tanya, apa itu beneran anak Mas Roni?”“Lah, ya, iya! Memang anak siapa! Orang aku melakukannya hanya dengan dia. Memang sih, ada beberapa lelaki yang merayuku untuk tidur di hotel dengan imbalan uang banyak apa lagi kan, aku cantik gini, Ta. Tapi, ya, itu tadi aku tidak mau. Aku bukan perempuan gampangan. Lebih baik aku dengan Mas Roni saja,” jelas Mbak Asih.“Kalau Ibu tahu beliau bisa marah, Mbak?”“Ibu Sudah tahu karena aku sudah jujur padanya, tapi dari aku memberi tahunya, Ibu malah jadi
Lembutkan ucapanmu pada istrimu karena sebaik-baik seorang hamba adalah laki-laki- yang berbuat baik pada istrinya.“Sebenarnya aku sudah tahu Berita itu, Mak, tapi aku tidak tahu kalau inisial M adalah Maya,” ucap tetangga Maya, saat ini kami sedang dalam perjalanan ke rumah sakit.“Owalah, Nduk, nasibmu susah sekali. Maafkan Ibu ya, Nduk,” gumam Bu Surtiah, ibunya Maya.“Sabar, Mak. Nanti kita minta ganti rugi pada tersangkanya kalau sudah ditemukan,” sahut tetangganya lagi.“Orang-orang kampung pasti sudah tahu keadaan Maya. Karena mereka rata-rata sudah melihat berita itu. Aku pun tadi lihatnya dapat dari grup kelurahan, tapi kami tidak ngerti kalau itu ternyata Maya anak Bu Surtiah,” ucap tetangga Bu Surtiah lagi.“Ya Allah, Maya ....” Ibu Maya terus saja menangis.Andai Maya tetap di rumah suaminya karena masih dalam masa Iddah pasti dia tidak akan mengalami nasib seperti ini. Memang semua ini sudah takdir, tapi tetap saja Maya menyalahi aturan agamanya sendiri. Sampai rumah sa
"Kurasa kamu pun sudah mengerti, Wir. Aku dan Mas Danu tidak akan bantu kamu.”“Tu, kan, Pak, lihat dan dengar sendiri. Mantu dan anak kesayangan Bapak itu benar-benar pelit dan tidak bisa diandalkan!” teriak Wira. Persis anak kecil yang tidak kebagian mainan.“Bapak, tidak bisa bilang apa pun, Wira. Itu hak mutlak Mbak dan Masmu,” jawab bapak cuek.“Duh, benar ya, kata pepatah makin kaya itu orang makin pelit,” sahut Mbak Ning. Entah Mbak Ning mengutip pepatah dari siapa.“Istighfar, Ta. Hartamu sebanyak ini kok, enggak mau bantu adik sendiri! Tega kamu!” Mbak Ning memukul bahuku. Sakit sekali.“Mbak, aku punya alasan kenapa tidak mau meminjamkan uangku pada Wira.”“Alasan apa Mbak? Sungguh aku telah salah menilai Mbak Ita dan Mas Danu selama ini. Kukira kalian orang baik, lurus, dan juga dermawan, tapi nyatanya justru kalian membuatku kecewa,” ucap Wira dia berkali-kali mengacak rambutnya. Dasar tukang mendramatisir keadaan.“Lihat Mbak, istriku sebentar lagi mau lahiran, kalau aku
Aku yakin dalam setiap keyakinan yang dianut manusia di muka bumi ini tidak ada yang pernah mengajarkan keburukan dan hal-hal lainnya yang merugikan sesama.Rosulullah SAW pernah berkata: Siapa pun umatku yang melakukan TAKHBIB maka dia bukanlah umatku.*TAKHBIB: Merebut suami/merusak rumah tangga orang sehingga menyebabkan mereka berpisah/bercerai.🌸🌸🌸Wira makin kalap dia menarik jilbabku dan hendak menamparku. Mas Danu refleks melempar Wira dengan vas bunga yang ada di atas meja.Bunyi pecahan keramik vas bunga membuat kaget anak-anak yang sedang bermain. Kia pun menangis. Tangan Wira terluka. Lemparan Mas Danu tepat mengenai lengannya.Aku lari mengambil Kia, dan menenangkannya.Anak-anak Mbak Ning sudah lebih besar dari Kia, jadi mereka langsung menghampiri Mbak Ning tanpa dipanggil.“Berani kamu sentuh istriku. Tangan itu bukan hanya terluka kena pecahan vas bunga, tapi kupastikan lepas dari tempatnya!” hardik Mas Danu.“Keterlaluan kamu Wira. Malu aku belain kamu mati-matian
Astaghfirullah ... Mbak Ning harusnya enggak boleh begitu, walau bagaimana pun Wira kan, adiknya dan tadi juga dia mati-matian membelanya.“Jadi, habis perang, ya? Pada diem-dieman gitu?” celetuk Mbak Asih.“Ssstt ... kita ke dapur aja yuk, ambil buah,” ajakku, Mbak Asih melenggang duluan ke dapur.Syukurlah. Bukannya apa, Mbak Asih ini kan, masih setengah waras dan setengah tidak waras jadi aku takut nanti dia cerita ke mana-mana kasihan Mas Danu harus menanggung malu karena ulah keluargaku.Dari dapur aku bisa lihat Wira. Dia menyandarkan tubuhnya ke tembok. Sebenarnya aku tak tega dan juga kasihan. Adik kecilku yang dulu selalu kugendong ke mana-mana kini sedang salah jalan.Kali ini aku harus tega, kalau tidak nanti Wira tidak akan pernah berubah. Biar dia bersikap dewasa dan mampu memecahkan masalahnya sendiri tanpa mengandalkan bantuan orang lain. Maafkan aku Wira semoga setelah ini kamu bisa berubah.“Ta, ini bagi dua ya, kebanyakan kalau kubawa pulang semua,” tawaran Mbak Asi
“Ada apa ini!?” teriak Mas Danu. Rahangnya mengeras giginya bergemeletuk. Dia pasti sangat marah.Rumahnya dilempar pakai batu besar. Untung saja bukan kaca jendela yang dilempar.“Dan, ini perempuan tiba-tiba datang ke rumah bawa parang mau nyabet Ibu. Dia nyariin Asih,” jelas ibu mertuaku beliau menghampiriku. Badannya gemetaran, ketakutan.“Mana Asih! Perempuan gatal tidak punya malu!” Istri Mas Roni pun tidak kalah kuat berteriak. Matanya sembab seperti habis menangis. Dadanya naik turun benar-benar dalam keadaan sangat marah.“Aku di sini, mau apa?” jawab Mbak Asih santai.Tanpa aba-aba istri Mas Roni menyerang Mbak Asih.“Ini mukamu boleh cantik, tapi otak dipakai!” pekik istri Mas Roni. Diolesinya wajah Mbak Asih menggunakan lumpur. Tadi memang habis turun hujan jadi tanah becek dan air menggenang.Tak terima Mbak Asih pun membalas, tapi dia kalah . Badannya Mbak Asih terlalu ramping hingga memudahkan lawannya untuk membanting Mbak Asih.Teriakan dan umpatan saling bersahutan.
Wak Tono melotot begitu juga dengan istrinya. Pasti mereka benar-benar tidak menyangka bahwa aku akan nekat seperti ini mempolisikan mereka berdua.“Sabar Ita, sabar dulu. Kita dengarkan dulu penjelasan Wak Tono. Barangkali itu memang bukan barang milik Wak Tono atau mungkin memang punya dia, tapi tidak untuk dipakai mencelakai kamu ataupun Danu,” bela Mbak Ning.“Kalau tidak tahu apa-apa enggak usah banyak komentar Mbak. Lama-lama mulut Mbak Ning, aku sumpel pakai paku ini. Aku tidak butuh saran dari Mbak Ning dan Mbak Ning tidak usah mencampur urusan rumah tanggaku. Aku sudah benar-benar kesal dan batas ambang sabarku sudah habis, Mbak! Pokoknya aku mau kita selesaikan ini secara hukum. Wak Tono dan istrinya harus benar-benar dihukum dengan setimpal karena ini membahayakan nyawa orang lain,” tegasku. Mbak Ning diam saja mungkin dia takut akan aku masukkan ke penjara juga jika membantah ucapanku.“Benar sekali apa yang dikatakan oleh Ita. Baik Wak Tono maupun istrinya harus kita pro
"Hentikan! Tolong hentikan dan jangan kamu pukuli suamiku!” sela istri Wak Tono seraya memukul-mukul punggung Mas Danu. Aku yang geram pun langsung mendorong tubuh tua istri Wak Tono hingga dia tersungkur tepat di bawah kaki suaminya.“Jahat! Kalian jahat!” teriak istri Wak Tono lagi dan berusaha bangun untuk menyerangku. Badannya yang gemuk membuatnya susah untuk leluasa bergerak sedangkan wajah Wak Tono sudah babak belur. Wak Tono diseret oleh Pak RT dan beberapa warga ke rumah kami.Istri Wak Tono terus saja meraung-raung menangisi suaminya. Semua saudara-saudara yang sudah terlelap tidur pun terpaksa bangun untuk melihat apa yang terjadi di sini, bahkan ibu mertuaku dan Mbak Lili yang berada di rumahnya pun tergopoh-gopoh menghampiri kami.“Ada apa ini, Ita? Kenapa istrinya Wak Tono menangis begitu?” tanya ibuku.“Mereka itu penjahat, Bu! Ternyata yang meneror keluarga kita selama ini adalah Wak Tono dan juga istrinya. Itu sebabnya istrinya Wak Tono menangis karena Wak Tono sudah
Aku bergegas keluar. Tak pedulikan panggilan Mamah Atik dan juga Ibuku. Rupanya mereka juga belum tidur. Mungkin sedang menyusun rencana untuk acara besok. Sedangkan Dina tadi tidak aku memperbolehkan ikut karena dia harus tetap tinggal di kamar untuk menjaga anak-anak.Teras depan langsung sepi sepertinya bapak-bapak yang ikut mengobrol tadi langsung menuju ke samping kamarku. Ya, Allah aku deg-degan sekali. Takut sesuatu terjadi pada Mas Danu karena dia jalannya saja susah agak pincang kalau dia berduel dengan orang yang mengetuk jendelaku tentu saja dia kalah.Aku yakin sekali bahwa itu adalah manusia, kalau hantu tentu saja tidak akan seperti itu. Mana bisa hantu melakukan hal-hal yang bisa dilakukan oleh manusia. Walaupun ada itu hanya dalam cerita saja.“Wak, kenapa di luar begini? Apa Wak dengar keributan juga?” tanyaku pada istri Wak Tono, tapi istri Wak Tono diam saja justru jalannya terburu-buru menghampiri kerumunan. Rupanya dia pun penasaran sama sepertiku.Memang sih,
“Iya, Din, Betul kata kamu. Makanya tadi pas Mbak ke sana, ya, hanya ngasih saran sekedarnya saja. Sepertinya juga Mas Roni tadi ketakutan karena aku ancam akan kupolisikan kalau masih memaksa Mbak Asih dengan kekerasan.”“Ya, Allah ngeri banget, sih! Mas Roni benar-benar nekat!” ujar Dina.“Ya, begitulah kalau orang sudah nekat pasti segala cara akan dilakukan. Sebentar, ya, Din, aku mau WA Mas Danu dulu. Tadi mau manggil dia enggak enak karena sedang ngobrol sama Pak RT dan juga bapakku.”[Mas, ada yang ketuk-ketuk jendela kamar kita. Sewaktu Dina berniat untuk melihatnya, tapi tidak ada siapa-siapa. Tolong Mas Danu awasi barangkali setelah ini akan ada ketukan selanjutnya.] terkirim dan langsung dibaca oleh Mas Danu.[Iya, Sayang! Ini Mas juga sambil ngawasin saudara-saudara kita. Karena tadi Mas seperti melihat bayangan hitam menyelinap. Mas pikir hanya halusinasi saja.][Iya, Mas. Sepertinya yang meneror keluarga kita mulai beraksi lagi, setelah tiga hari kemarin dia tidak mela
"Mbak, Mbak, itu apa seperti bayangan hitam?” tanyaku pada Mbak Mala. Dia justru memegang lenganku dengan erat. Mbak Mala ketakutan.“Duh, apa, ya, aku pun tidak tahu Ita? Aku takut. Ayo, ah, kita masuk rumah saja!” ajak Mbak Mala seraya menyeret lenganku untuk segera masuk ke dalam rumah.“Itu manusia loh, bukan hantu. Kakinya saja tadi napak tanah, tapi dia tidak melihat kita. Mungkin dia terburu-buru. Ayo, Mbak, kita, intip!” ajakku pada Mbak Mala.“Enggak maulah, Ta, aku takut!” tolak Mbak Mala kemudian dia buru-buru menutup pintu aku pun mengekorinya.“Tuh, kan, Ta, semuanya sudah tidur hanya para bapak-bapak saja itu di depan yang sedang main gaple. Ayolah, kita tidur juga biar besok bisa bangun pagi! Mungkin tadi itu beneran hantu tahu, Ta. Kita sih, malam-malam kelayapan,” ucap Mbak Mala. Lucu sekali ekspresinya dia. Mbak Mala menunjukkan bahwa dia benar-benar ketakutan.“Iya, Mbak Mala tidur sana. Terima kasih infonya nanti kalau misalnya beneran ada apa-apa kita selidiki b
“Mbak Asih, kamu tidak apa-apa, Mbak? Bagaimana perutmu apa sakit? tanyaku khawatir pada Mbak Asih. Mbak Asih hanya menggeleng saja mulutnya terus saja beristighfar. Kasihan sekali. Aku tidak tega melihat dia begini.“Ayo, Ibu, Mbak Lili, Mbak Mala sudah jangan hiraukan Mas Roni dulu. Kita tolong Mbak Asih. Kasihan dia sedang hamil pasti perutnya sakit karena tersungkur begini. Ini pasti Mas Roni kan, yang sudah mendorong Mbak Asih,” kataku lagi. Mereka bertiga bergegas menghampiri untuk membantu Mbak Asih berdiri dan pindah duduk ke sofa.“Iya, benar sekali ini ulah si Roni laknat itu! Padahal Asih sudah menolaknya berkali-kali ini tetap saja si Roni memaksanya untuk kembali. Asih tidak mau lalu si Roni mendorong Asih. Dia itu tidak punya otak dan pikiran padahal Asih sedang hamil besar. Ibu benar-benar benci pada dia. Kalau bisa jebloskan saja Roni ke penjara!” ucap ibu.“Mana bisa begitu, Bu, kalian tidak berhak mengatur hidupku dan juga Asih. Aku ini masih suami sahnya Asih, ja
Aku mengikuti Mbak Mala ke luar rumah dan terpaksa meninggalkan piring makan malamku. Untungnya tinggal sedikit lagi. Gampanglah nanti bisa aku habiskan.Malam ini rembulan memang bersinar terang sekali sepertinya memang hari ini tanggal 15, jadi bulan purnama bertengger cantik di langit malam.Sejujurnya memang dari awal Wak Tono datang ke rumah aku sudah sedikit tidak sreg dengan segala tingkah lakunya. Seperti ucapannya yang terkesan selalu ketus, selalu menyudutkanku dan Mas Danu dan juga seperti mengawasi keadaan rumahku.“Mbak Mala apa beneran tadi Wak Tono ke sini?” tanyaku pada Mbak Mala, dia hanya mengangguk dan terus menggandeng tanganku.“Iya, Ita. Tadi aku lihat Wak Tono tlewat sini terus ke arah sana, ke pohon jeruk kamu dan membakar sesuatu seperti yang aku jelaskan tadi,” jawab Mbak Mala.“Baiklah kalau gitu, ayo kita cek ke sana!” Kami berdua gegas mengecek pohon jeruk yang dimaksud oleh Mbak Mala. Aku menggunakan senter HP untuk lebih menerangi jalanan kami karena me
"Ya, Allah ... sungguh mulia hatimu, Dina. Bapak jadi malu karena tidak bisa mengontrol emosi. Bapak begitu mendengar kabar dari Danu bahwa Wira besok akan menikah sungguh Bapak benar-benar malu. Maafkan kekhilafan Bapak Dina,” ucap bapak dengan tulus.“Iya, Pak. Aku memaafkan semua orang-orang yang menyakitiku karena aku merasa lebih tenang dan damai jika aku berbuat demikian. Sudahlah lebih baik kita jangan bahas Mas Wira lagi nanti selera makanku jadi turun kasihan kan, cucu Bapak dan Ibu, jadi asinya nanti enggak berkualitas kalau aku makannya tidak banyak.”“Iya, iya, betul. Benar apa yang kamu bilang, ya, sudah Bapak kembali ke depan untuk menemui Danu. Kamu tetap di sini dengan ibu dan juga kakak-kakakmu. Terima kasih sudah menjadi menantu Bapak yang baik hati. Terima kasih Dina,” ucap bapak lagi sebelum pergi meninggalkan kamar ini. Matanya berkaca-kaca, tangannya mengelus pundak Dina.Aku tahu Dina pun menahan gejolak yang ada di hatinya itu terbukti dari tatapan Dina yang s
"Ya, Allah, Dina! Kamu yang sabar, ya, sayang? Di sini ada Bulek yang akan selalu membelamu. Apa pun yang terjadi Bulek akan menjadi garda terdepan untuk kamu. Apalagi hanya laki-laki pecundang macam Wira. Bulek akan polisikan dia, sampai bertekuk lutut padamu. Memang Tuhan itu menunjukkan siapa sebenarnya suamimu itu, Dina. Di saat kamu berhijrah ke jalan Allah menjalani hidup menjadi lebih baik justru suamimu perbuatannya makin tidak terkendali. Makin bobrok sehingga melupakan anak istrinya. Tenanglah Dina. Jangan kamu tangisi laki-laki seperti itu. Jangan pernah kamu bersedih karena ulahnya. Allah sudah merencanakan masa depanmu yang jauh lebih indah dari pada ini. Bulek yakin suatu hari nanti kamu akan mendapatkan jodoh yang lebih baik dari Wira. Kamu masih muda, cantik, saleha pasti banyak laki-laki yang jauh di atas Wira yang mau dengan kamu. Percayalah pada Bulekmu ini Dina, kesedihan kamu kesedihan Bulek juga. Sakitmu sakitnya Bulek juga," ucap Mamah Atik seraya memeluk Din