Astaghfirullah ... Mbak Ning harusnya enggak boleh begitu, walau bagaimana pun Wira kan, adiknya dan tadi juga dia mati-matian membelanya.“Jadi, habis perang, ya? Pada diem-dieman gitu?” celetuk Mbak Asih.“Ssstt ... kita ke dapur aja yuk, ambil buah,” ajakku, Mbak Asih melenggang duluan ke dapur.Syukurlah. Bukannya apa, Mbak Asih ini kan, masih setengah waras dan setengah tidak waras jadi aku takut nanti dia cerita ke mana-mana kasihan Mas Danu harus menanggung malu karena ulah keluargaku.Dari dapur aku bisa lihat Wira. Dia menyandarkan tubuhnya ke tembok. Sebenarnya aku tak tega dan juga kasihan. Adik kecilku yang dulu selalu kugendong ke mana-mana kini sedang salah jalan.Kali ini aku harus tega, kalau tidak nanti Wira tidak akan pernah berubah. Biar dia bersikap dewasa dan mampu memecahkan masalahnya sendiri tanpa mengandalkan bantuan orang lain. Maafkan aku Wira semoga setelah ini kamu bisa berubah.“Ta, ini bagi dua ya, kebanyakan kalau kubawa pulang semua,” tawaran Mbak Asi
“Ada apa ini!?” teriak Mas Danu. Rahangnya mengeras giginya bergemeletuk. Dia pasti sangat marah.Rumahnya dilempar pakai batu besar. Untung saja bukan kaca jendela yang dilempar.“Dan, ini perempuan tiba-tiba datang ke rumah bawa parang mau nyabet Ibu. Dia nyariin Asih,” jelas ibu mertuaku beliau menghampiriku. Badannya gemetaran, ketakutan.“Mana Asih! Perempuan gatal tidak punya malu!” Istri Mas Roni pun tidak kalah kuat berteriak. Matanya sembab seperti habis menangis. Dadanya naik turun benar-benar dalam keadaan sangat marah.“Aku di sini, mau apa?” jawab Mbak Asih santai.Tanpa aba-aba istri Mas Roni menyerang Mbak Asih.“Ini mukamu boleh cantik, tapi otak dipakai!” pekik istri Mas Roni. Diolesinya wajah Mbak Asih menggunakan lumpur. Tadi memang habis turun hujan jadi tanah becek dan air menggenang.Tak terima Mbak Asih pun membalas, tapi dia kalah . Badannya Mbak Asih terlalu ramping hingga memudahkan lawannya untuk membanting Mbak Asih.Teriakan dan umpatan saling bersahutan.
“Makan dulu ya, Sih. Kalau kamu enggak makan kasihan anak yang di perutmu.”“Makan? Anakku apa harus makan? Kalau enggak makan apa akan mati?” tanyanya. Mamah Atik mengangguk.Suap demi suap berhasil masuk ke perut Mbak Asih dengan telaten Mamah Atik menyuapinya.“Assalamualaikum, Dik, gimana Mbak Asih?” tanya Mas Danu rupanya dia sudah kembali dari Masjid.“Lagi makan disuapi Mamah.”“Dan, tolong Ibu. Bilangin itu Mbak kamu. Ibu capek Dan, Ibu malu.”Mas Danu berkali-kali membuang nafas. Kasihan suamiku. Pasti dia pusing dan bingung. Masalah demi masalah terus saja ada.“Asih, dengar ya, Nak. Kasihan ibumu. Sudahi berhubungan dengan Roni.” Mbak Asih menatap kami bergantian lalu terkekeh.“Tidak bisa Bulek. Aku sangat mencintai Mas Roni. Lihat aku pun sekarang sedang hamil anaknya bagaimana nanti kalau anakku lahir tidak ada ayahnya pasti dia sangat sedih,” jawab Mbak Asih seraya mengelus perutnya yang masih datar.“Kamu lebih sayang Roni dari pada ibumu ini, hah?!” sahut ibu.“Bu—kan
Hargailah orang yang setia membersamaimu. Yang mencintaimu tanpa kata tapi. Dia bertahan bukan karena tidak ada godaan di luar sana, tapi karena kamu begitu berharga baginya. 🌸🌸🌸Perjalanan ke rumah mantan suami Maya memakan waktu cukup lama. Sebenarnya rumahnya tidak terlalu jauh, 2 jam dari desaku.Tadi pagi di rumah pun terjadi drama yang menguras emosi. Bagaimana tidak, Wira yang membuat kesalahan sendiri malah menyalahkan kami dan mengancam mau bunuh diri dengan cara masuk ke sumur ibu mertuaku. Itu terjadi setelah salat subuh.Bapak bilang terserah dia saja, kalau mau mati dan bunuh diri silakan. Meski sebenarnya aku tahu bapak pun was-was terlihat sekali dari sorot matanya.Lucunya Wira tak jadi menyeburkan diri ke sumur. Dia malah menangis meraung-raung. Pasti tetanggaku heran dua hari ini terjadi peristiwa yang sangat tidak lazim di rumahku. Grup RT juga sudah numpuk ribuan chat dan kebanyakan mengetag nomorku, tapi masih aku abaikan.Aku harus menyelesaikan masalah ini
“Eh, ada tamu. Siapa, Mak?” tanya seseorang dari dalam.“Enggak tahu Emak, juga!”“Ya, suruh masuk dong, Mak. Mari Kak, Bang, Masuk,” ujarnya ramah. Kutaksir wanita ini adik atau kakaknya suami Maya.“Silakan duduk, maaf ya, seadanya. Namanya di kampung begini,” ujarnya lagi. Kami pun mengangguk ramah. Mamah Atik keluar dan kembali lagi membawa beberapa kantong sembako dan jajanan untuk mereka.“Ya Allah, Bu, kok repot-repot segala. Saya tinggal ke belakang dulu, ya?”Ibu mertua Maya diam saja, tapi terus saja mengawasi kami.“Mas Iwansyahnya ada, Bu?” tanya Mas Danu.“Enggak ada!” jawabnya ketus. Astaghfirullah ... sabar-sabar. Apa karena ini Maya pisahan. Mertuanya galak.“Kenapa lihat-lihat gitu!” tegurnya padaku. Aku langsung buang muka. Kaget dan takut. Kuremas tangan suamiku kuat-kuat hingga dia meringis menahan sakit.“Kalau boleh tahu, Mas Iwansyah ke mana dan pulang kapan ya, Bu?” tanya Mas Danu lagi.“Tidak tahu!” jawabnya lagi. Kali ini tangannya sibuk meracik kinangan. Kal
Pantas saja Maya diceraikan suaminya ternyata kelakuan dia begitu. Aku bisa menyimpulkan bahwa di sini Mayalah yang bersalah.Waktu itu Maya curhat pada Mas Danu, katanya suaminya temperamen dan juga pelit.Kalau punya istri model seperti Maya kurasa semua suami di dunia ini yang tadinya kalem bisa mendadak menjadi jahat dan semena-mena. Bagaimana tidak, Maya tidak pernah bersyukur dengan apa yang dimiliki dan diberi oleh suaminya.“Anak-anak Maya, ke mana?” tanyaku penasaran. Rumah ini begitu sepi katanya Maya punya dua anak yang masih kecil-kecil.“Ada, lagi sama Udonya di rumah belakang. Tadi kami sedang nyeruit begitu lihat mobil terparkir di halaman rumah, langsung pulang,” jelas Septi.“Oh, begitu. Apa Maya tidak diperbolehkan untuk membawa ke dua anaknya?” tanya Mas Danu.“Boleh, kami mempersilakan Kak Maya bawa anak-anaknya asal diurus yang benar. Di sini saja yang dikelilingi saudara dan neneknya Kak Maya tak segan memukul apa lagi kalau mereka tinggal hanya berdua dengan Kak
"Lihat saja sendiri,” jawab mamah.“Apa yang terjadi dengan Maya? Apa ini Maya menantuku?”“Iya, Bu. Itulah sebabnya mengapa kami ke sini?” jawabku.“Ya Allah, Maya!” Mertua Maya menangis histeris sampai menjatuhkan dirinya ke lantai saat membaca berita yang sedang trending dua hari ini. Beliau memukul-mukul dadanya sendiri.Septi pun ikut menangis sampai sesunggukan, tangannya sibuk mengutak-atik HP.Aku bisa menilai bahwa mereka memang benar-benar sayang pada Maya, tapi kenapa Maya begitu tega.“Sabar, Bu. Mari duduk sini saya jelaskan.” Mamah Atik memapah mertua Maya untuk duduk di sebelahnya.“Mbak, aku tidak punya aplikasi Tik-Tok dan memang sudah seminggu ini saya tidak punya data internet jadi tidak bisa akses internet. Ini saya lagi minta isiin pulsa sama tetanggaku untuk telepon Abangku,” jelas Septi seraya berkali-kali mengelap air matanya.“Apa ibu siap mendengarkan apa yang akan saya ceritakan?” tanya Mamah Atik. Ibu mertua Maya mengangguk.“Jadi, berdasarkan yang ditulis
“Mak, akan pukul muka tersangka itu, Sep. Kurang ajar sekali sudah melecehkan wanita. Memang dia lahir dari mana kalau bukan dari rahim seorang wanita.Berbuat semena-mena. Kejam, dan jahat pada orang,” ucap mertua Maya.“Iya, Mak, aku juga. Sembarangan jadi manusia. Hidup hanya sekali kok, jahat!”“Anak menantuku meski salah begitu Mak tetap sayang padanya karena dari rahimnyalah lahir ke dua cucu Mak yang nantinya menjadi penerus keturunan kami.”“Harusnya Maya beruntung sekali punya mertua sebaik dan sesayang ini padanya,” sahutku.“Entahlah, Mbak Ita, mungkin mata hati menantu Mak itu sedang dibutakan oleh indahnya dunia. Menilai orang lain jauh lebih indah hidupnya dari pada dia.”“Istilah kerennya rumput tetangga terlihat lebih hijau, padahal kita belum tahu dalamnya seperti apa. Banyak ularnyakah? Atau bahkan rumput palsu makanya hijau seger tak cacat sama sekali,” imbuh Mamah Atik.“Salah, saya juga, Bu. Jadi mertua tidak pandai menasihati menantu.”“Di mana-mana orang tua itu
Wak Tono melotot begitu juga dengan istrinya. Pasti mereka benar-benar tidak menyangka bahwa aku akan nekat seperti ini mempolisikan mereka berdua.“Sabar Ita, sabar dulu. Kita dengarkan dulu penjelasan Wak Tono. Barangkali itu memang bukan barang milik Wak Tono atau mungkin memang punya dia, tapi tidak untuk dipakai mencelakai kamu ataupun Danu,” bela Mbak Ning.“Kalau tidak tahu apa-apa enggak usah banyak komentar Mbak. Lama-lama mulut Mbak Ning, aku sumpel pakai paku ini. Aku tidak butuh saran dari Mbak Ning dan Mbak Ning tidak usah mencampur urusan rumah tanggaku. Aku sudah benar-benar kesal dan batas ambang sabarku sudah habis, Mbak! Pokoknya aku mau kita selesaikan ini secara hukum. Wak Tono dan istrinya harus benar-benar dihukum dengan setimpal karena ini membahayakan nyawa orang lain,” tegasku. Mbak Ning diam saja mungkin dia takut akan aku masukkan ke penjara juga jika membantah ucapanku.“Benar sekali apa yang dikatakan oleh Ita. Baik Wak Tono maupun istrinya harus kita pro
"Hentikan! Tolong hentikan dan jangan kamu pukuli suamiku!” sela istri Wak Tono seraya memukul-mukul punggung Mas Danu. Aku yang geram pun langsung mendorong tubuh tua istri Wak Tono hingga dia tersungkur tepat di bawah kaki suaminya.“Jahat! Kalian jahat!” teriak istri Wak Tono lagi dan berusaha bangun untuk menyerangku. Badannya yang gemuk membuatnya susah untuk leluasa bergerak sedangkan wajah Wak Tono sudah babak belur. Wak Tono diseret oleh Pak RT dan beberapa warga ke rumah kami.Istri Wak Tono terus saja meraung-raung menangisi suaminya. Semua saudara-saudara yang sudah terlelap tidur pun terpaksa bangun untuk melihat apa yang terjadi di sini, bahkan ibu mertuaku dan Mbak Lili yang berada di rumahnya pun tergopoh-gopoh menghampiri kami.“Ada apa ini, Ita? Kenapa istrinya Wak Tono menangis begitu?” tanya ibuku.“Mereka itu penjahat, Bu! Ternyata yang meneror keluarga kita selama ini adalah Wak Tono dan juga istrinya. Itu sebabnya istrinya Wak Tono menangis karena Wak Tono sudah
Aku bergegas keluar. Tak pedulikan panggilan Mamah Atik dan juga Ibuku. Rupanya mereka juga belum tidur. Mungkin sedang menyusun rencana untuk acara besok. Sedangkan Dina tadi tidak aku memperbolehkan ikut karena dia harus tetap tinggal di kamar untuk menjaga anak-anak.Teras depan langsung sepi sepertinya bapak-bapak yang ikut mengobrol tadi langsung menuju ke samping kamarku. Ya, Allah aku deg-degan sekali. Takut sesuatu terjadi pada Mas Danu karena dia jalannya saja susah agak pincang kalau dia berduel dengan orang yang mengetuk jendelaku tentu saja dia kalah.Aku yakin sekali bahwa itu adalah manusia, kalau hantu tentu saja tidak akan seperti itu. Mana bisa hantu melakukan hal-hal yang bisa dilakukan oleh manusia. Walaupun ada itu hanya dalam cerita saja.“Wak, kenapa di luar begini? Apa Wak dengar keributan juga?” tanyaku pada istri Wak Tono, tapi istri Wak Tono diam saja justru jalannya terburu-buru menghampiri kerumunan. Rupanya dia pun penasaran sama sepertiku.Memang sih,
“Iya, Din, Betul kata kamu. Makanya tadi pas Mbak ke sana, ya, hanya ngasih saran sekedarnya saja. Sepertinya juga Mas Roni tadi ketakutan karena aku ancam akan kupolisikan kalau masih memaksa Mbak Asih dengan kekerasan.”“Ya, Allah ngeri banget, sih! Mas Roni benar-benar nekat!” ujar Dina.“Ya, begitulah kalau orang sudah nekat pasti segala cara akan dilakukan. Sebentar, ya, Din, aku mau WA Mas Danu dulu. Tadi mau manggil dia enggak enak karena sedang ngobrol sama Pak RT dan juga bapakku.”[Mas, ada yang ketuk-ketuk jendela kamar kita. Sewaktu Dina berniat untuk melihatnya, tapi tidak ada siapa-siapa. Tolong Mas Danu awasi barangkali setelah ini akan ada ketukan selanjutnya.] terkirim dan langsung dibaca oleh Mas Danu.[Iya, Sayang! Ini Mas juga sambil ngawasin saudara-saudara kita. Karena tadi Mas seperti melihat bayangan hitam menyelinap. Mas pikir hanya halusinasi saja.][Iya, Mas. Sepertinya yang meneror keluarga kita mulai beraksi lagi, setelah tiga hari kemarin dia tidak mela
"Mbak, Mbak, itu apa seperti bayangan hitam?” tanyaku pada Mbak Mala. Dia justru memegang lenganku dengan erat. Mbak Mala ketakutan.“Duh, apa, ya, aku pun tidak tahu Ita? Aku takut. Ayo, ah, kita masuk rumah saja!” ajak Mbak Mala seraya menyeret lenganku untuk segera masuk ke dalam rumah.“Itu manusia loh, bukan hantu. Kakinya saja tadi napak tanah, tapi dia tidak melihat kita. Mungkin dia terburu-buru. Ayo, Mbak, kita, intip!” ajakku pada Mbak Mala.“Enggak maulah, Ta, aku takut!” tolak Mbak Mala kemudian dia buru-buru menutup pintu aku pun mengekorinya.“Tuh, kan, Ta, semuanya sudah tidur hanya para bapak-bapak saja itu di depan yang sedang main gaple. Ayolah, kita tidur juga biar besok bisa bangun pagi! Mungkin tadi itu beneran hantu tahu, Ta. Kita sih, malam-malam kelayapan,” ucap Mbak Mala. Lucu sekali ekspresinya dia. Mbak Mala menunjukkan bahwa dia benar-benar ketakutan.“Iya, Mbak Mala tidur sana. Terima kasih infonya nanti kalau misalnya beneran ada apa-apa kita selidiki b
“Mbak Asih, kamu tidak apa-apa, Mbak? Bagaimana perutmu apa sakit? tanyaku khawatir pada Mbak Asih. Mbak Asih hanya menggeleng saja mulutnya terus saja beristighfar. Kasihan sekali. Aku tidak tega melihat dia begini.“Ayo, Ibu, Mbak Lili, Mbak Mala sudah jangan hiraukan Mas Roni dulu. Kita tolong Mbak Asih. Kasihan dia sedang hamil pasti perutnya sakit karena tersungkur begini. Ini pasti Mas Roni kan, yang sudah mendorong Mbak Asih,” kataku lagi. Mereka bertiga bergegas menghampiri untuk membantu Mbak Asih berdiri dan pindah duduk ke sofa.“Iya, benar sekali ini ulah si Roni laknat itu! Padahal Asih sudah menolaknya berkali-kali ini tetap saja si Roni memaksanya untuk kembali. Asih tidak mau lalu si Roni mendorong Asih. Dia itu tidak punya otak dan pikiran padahal Asih sedang hamil besar. Ibu benar-benar benci pada dia. Kalau bisa jebloskan saja Roni ke penjara!” ucap ibu.“Mana bisa begitu, Bu, kalian tidak berhak mengatur hidupku dan juga Asih. Aku ini masih suami sahnya Asih, ja
Aku mengikuti Mbak Mala ke luar rumah dan terpaksa meninggalkan piring makan malamku. Untungnya tinggal sedikit lagi. Gampanglah nanti bisa aku habiskan.Malam ini rembulan memang bersinar terang sekali sepertinya memang hari ini tanggal 15, jadi bulan purnama bertengger cantik di langit malam.Sejujurnya memang dari awal Wak Tono datang ke rumah aku sudah sedikit tidak sreg dengan segala tingkah lakunya. Seperti ucapannya yang terkesan selalu ketus, selalu menyudutkanku dan Mas Danu dan juga seperti mengawasi keadaan rumahku.“Mbak Mala apa beneran tadi Wak Tono ke sini?” tanyaku pada Mbak Mala, dia hanya mengangguk dan terus menggandeng tanganku.“Iya, Ita. Tadi aku lihat Wak Tono tlewat sini terus ke arah sana, ke pohon jeruk kamu dan membakar sesuatu seperti yang aku jelaskan tadi,” jawab Mbak Mala.“Baiklah kalau gitu, ayo kita cek ke sana!” Kami berdua gegas mengecek pohon jeruk yang dimaksud oleh Mbak Mala. Aku menggunakan senter HP untuk lebih menerangi jalanan kami karena me
"Ya, Allah ... sungguh mulia hatimu, Dina. Bapak jadi malu karena tidak bisa mengontrol emosi. Bapak begitu mendengar kabar dari Danu bahwa Wira besok akan menikah sungguh Bapak benar-benar malu. Maafkan kekhilafan Bapak Dina,” ucap bapak dengan tulus.“Iya, Pak. Aku memaafkan semua orang-orang yang menyakitiku karena aku merasa lebih tenang dan damai jika aku berbuat demikian. Sudahlah lebih baik kita jangan bahas Mas Wira lagi nanti selera makanku jadi turun kasihan kan, cucu Bapak dan Ibu, jadi asinya nanti enggak berkualitas kalau aku makannya tidak banyak.”“Iya, iya, betul. Benar apa yang kamu bilang, ya, sudah Bapak kembali ke depan untuk menemui Danu. Kamu tetap di sini dengan ibu dan juga kakak-kakakmu. Terima kasih sudah menjadi menantu Bapak yang baik hati. Terima kasih Dina,” ucap bapak lagi sebelum pergi meninggalkan kamar ini. Matanya berkaca-kaca, tangannya mengelus pundak Dina.Aku tahu Dina pun menahan gejolak yang ada di hatinya itu terbukti dari tatapan Dina yang s
"Ya, Allah, Dina! Kamu yang sabar, ya, sayang? Di sini ada Bulek yang akan selalu membelamu. Apa pun yang terjadi Bulek akan menjadi garda terdepan untuk kamu. Apalagi hanya laki-laki pecundang macam Wira. Bulek akan polisikan dia, sampai bertekuk lutut padamu. Memang Tuhan itu menunjukkan siapa sebenarnya suamimu itu, Dina. Di saat kamu berhijrah ke jalan Allah menjalani hidup menjadi lebih baik justru suamimu perbuatannya makin tidak terkendali. Makin bobrok sehingga melupakan anak istrinya. Tenanglah Dina. Jangan kamu tangisi laki-laki seperti itu. Jangan pernah kamu bersedih karena ulahnya. Allah sudah merencanakan masa depanmu yang jauh lebih indah dari pada ini. Bulek yakin suatu hari nanti kamu akan mendapatkan jodoh yang lebih baik dari Wira. Kamu masih muda, cantik, saleha pasti banyak laki-laki yang jauh di atas Wira yang mau dengan kamu. Percayalah pada Bulekmu ini Dina, kesedihan kamu kesedihan Bulek juga. Sakitmu sakitnya Bulek juga," ucap Mamah Atik seraya memeluk Din