Ancaman Andin itu tidak nyata, mana mungkin seorang lintah darat pergi dengan tangan kosong. Selama perusahaan Bagas belum menjadi miliknya maka, dia tidak akan mundur.Bagas mengerjap, setengah tersentak. "Sayang, jangan bikin aku tambah nggak nyaman dong! Aku lagi pusing mikirin cara buat gagalkan pernikahan mereka, kamu malah sembarangan ngomong gugat cerai. Istri nggak boleh ngomong gitu, semua keputusan ada di aku!" tegas Bagas dengan emosi sehingga suaranya cukup berintonasi tinggi seolah membentak."Kamu sih, nggak ada kerjaan banget. Biarin aja mereka nikah, harusnya nggak ada ruginya buat kamu!" Suara Andin juga meninggi.Mobil menepi untuk menghindari hal tidak di-inginkan. "Andin, kamu harus sopan sama aku. Aku ini suami kamu!" bentak Bagas akhirnya.Andin bergeming, menundukan wajah seolah menangis. Bahkan air mata bombainya merembes. "Kamu jahat mas ... aku dianggap apa sama kamu ... kamu sama Eriska udah pisah, harusnya udah bukan urusan kamu lagi ...." Diusapnya perut p
Hari ini Andin pergi berfoya-foya bersama banyak temannya, semua harta Bagas sudah dikusai. "Hahahaha!" Tawa lepas selalu hadir dari mulut Andin, "gue udah menang.""Kok bisa sih, suami lo kasih semuanya?" Temannya meneguk segelas minuman berwarna merah. Andin dan teman-temannya memesan banyak minumam beralkohol setelah banyak belanja, sekarang mereka sedang berada di sebuah klab malam. Satu jam lagi arloji menunjukan waktu pulang Bagas.Tadi pagi Bagas berkata, "Kayanya hari ini aku harus lembur, mungkin pulang ke rumah sekitar pukul delapan malam."Perusahaannya sedang meroket, Andin sangat beruntung mendapat gedung penghasil uang yang dikelola Bagas. Wanita ini meneguk minuman berwarna merah yang berada dalam gelas berkaki. Isinya hanya sedikit, tapi mampu menambah kadar kepuasan hingga berkali lipat. Dia menjawab tanya temannya dengan gaya setengah mabuk, "Hahahaha, ini Andin, Andin punya banyak cara, Andin pintar.""Waw." Tepuk tangan diberikan sebelum temannya tidak sadarkan dir
Bagas masih berdiri lemas dengan tatapan tertuju hanya pada Eriska. "Maafkan aku, aku terlalu merindukanmu."Air mata tumpah di wajah Eriska sekali lagi karena Bagas, rasanya tubuhnya kotor karena jelas mereka sudah tidak halal, tapi Bagas menyentuhnya.Ibunya Eriska yang berkata, "Pergi kamu!" Satpam langsung menarik bahu Bagas setelah mendengar kalimat nyonya rumah.Bagas menepis tangan kekar satpam. "Saya bisa jalan sendiri!" Pria ini mulai melangkah menuju ke pintu keluar, tapi sudut matanya tetap melirik Eriska sampai hilang dari pandangan.Eriska masih menyimpan trauma atas kejadian tadi walau Bagas telah enyah. Sementara, Bagas sudah mengendarai mobilnya dengan jantung memburu tidak tenang. "Eriska, aku ingin memilikimu lagi, kembalilah, sayang." Penyesalan besar merundung sampai tiba di rumah, rupanya Andin sudah di sana."Mas, kok kamu udah pulang, kamu nggak kerja?" Kedua alis Andin menukik bertanda tidak suka atas kehadiran Bagas.Bagas mendengus dengan tatapan tidak bersah
Panggilan Bagas pada Eriska mengundang amarah Andin yang sedang terbaring lemah dan takut melihat sisi lain suaminya. Wanita ini segera berlari menuju ke pintu, keluar terburu-buru sebelum Bagas mengambil nyawanya. Langkah kaki memburu diambilnya. Namun, rupanya Bagas tidak mengejar kala dia menoleh ke belakang. "Ck, jadi kamu masih berhubungan sama mantan istri kamu, pengecut, pengkhianat!" Hanya itu makian Andin karena rasa takutnya lebih besar.Andin melanjutkan langkah terburu-burunya, menyusuri anak tangga hingga kakinya tergelincir dan berguling bebas hingga di ujung tangga. Darah mengalir lewat hidung, mulut dan telinga akibat benturan kepala yang sangat keras.Bagas tidak bicara apapun dengan Eriska karena Alex yang bicara berbagai hal. Mengancam ini dan itu, tapi kala mendengar suara benda jatuh, Bagas mematikan telepon.Bagas keluar kamar dengan arogan, siap memburu Andin. Namun, takdir sudah memburunya lebih dulu. "Andin!" pekik Bagas. Kala sampai di samping tubuh istrinya,
Di kamar rias, Bagas melihat Eriska yang sudah duduk dengan cantik. Kebaya khas pengantin sudah memeluk tubuhnya, usia kandungannya belum terlihat jadi, bentuk tubuhnya masih sangat bagus. Namun, anehnya Adam masih memakai kemeja dan celana jeans, bahkan jika dibandingkan dengan Bagas penampilan Adam kalah telak. "Kalian pasangan pengantin, tapi kenapa lo belum siap-siap?" tanya Bagas pada Adam. Adam tersenyum tipis, dia berjalan menghampiri Bagas. "Kenapa harus siap-siap? Emangnya gue mau nikah?" Bagas mengerutkan kedua alisnya. "Maksud lo? Hari ini kan ...." Adam menyela, "Hari ini pernikahan kalian." Senyum tulus berhasil diukir Adam setelah berlatih semalaman. Dia sudah merelakan Eriska kembali pada Bagas karena dia pikir bayi dalam perut Eriska lebih menginginkan ayah bioogisnya dari pada ayah asuh. "Hei, lo nggak usah ngerjain gue, gue ... gue berusaha ikhlas-nggak, ralat. Gue ikhlas," kata Bagas dibuat kuat."Hahahaha!" Adam tertawa lepas, "nggak ada waktu lagi, cepet siap
Bagas membuka kelopak matanya, mengucek kedua matanya, dirinya mendapati diri berada di ruangan serba putih. "Saya sarankan bawa Tuan Bagas ke psikiater." Kalimat dokter pada ayahnya Bagas-Adhinatha. "Apakah kondisi anak saya seburuk itu?" Pria ini tampak sangat panik dan gemetaran. "Intinya, coba bawa saja ke ahlinya." Obrolan dokter dan pria ini berakhir. Adhinatha menghampiri putranya, memandangi pilu. Sudah satu minggu Bagas terlihat linglung, tatapan matanya kosong. "Pa, kenapa Bagas di sini?" Tubuhnya kekar seperti sediakala hanya saja bagian dalamnya seolah hancur, isi otak Bagas seolah diaduk hingga tidak tentu arah. "Kamu tertidur saat hari pernikahan Eriska dan Adam, kamu tidak datang ke pernikahan mereka karena kamu tidak bangun selama dua malam dari sebelum hari pernikahan hingga kami membawamu ke rumah sakit. Kamu sadar, hanya saja kamu tidak ingat apapun," sendu begitu kental di wajah Adhinatha. "Apa maksud papa, bukankah Eriska istrinya Bagas, bagaimana bisa Erisk
"Aku sedih liat keadaan Mas Bagas," aku Eriska pada Alex kala keduanya sudah kembali ke rumah."Nggak usah sedih, apa Bagas bersedih saat melihat kamu terpuruk!" Tidak ada sedikit pun belas kasihan Alex untuk mantan iparnya. "Kak, sudah jangan dibahas lagi. Semua itu sudah berlalu. Sekarang kita cuma perlu menutup segala hal yang pernah menyakiti." Alex membuang udara tipis. Kesabaran serta sifat pemaaf Eriska memang patut diacungi jempol, tetapi juga tampak keterlaluan. "Iya sudah, kamu istirahat saja." Alex menemui Adam di restorannya yang selalu ramai bahkan semakin pesat saja. "Pengusaha hebat nih. Ada waktu buat ngobrol?" kelakarnya. "Kapanpun!" Adam menyambut kedatangan Alex dengan hangat. "Gimana kisah cinta lo sama Raisa?" Alex memegangi pelipisnya sesaat seiring tertawa kecil. "Gue kesini bukan mau bahas Raisa." "Gue pengen tahu aja." Tawa singkat Adam seiring menyuguhkan dua gelas kopi, "Eriska lagi apa, kok nggak diajak?" "Mana mau Eriska kesini, lo kaya nggak tahu aj
Hari ini Eriska memutuskan menemui Bagas tanpa memerdulikan apapun, dirinya hanya ingin membuat mantan suaminya bangkit dari keterpurukannya walau mungkin akan sangat sulit. "Bayi kamu udah menyembul di perut aku." Eriska menatap Bagas sebagaimana seorang istri. "Syukurlah, bayi kita sehat." Bagas tampak sumringah hingga tidak terlihat sama sekali jika sebenarnya dirinya adalah manusia linglung. "Iya Mas, bayinya sangat sehat." Senyuman kecil Eriska. Pertemuan ini tanpa sentuhan sama sekali karena keduanya bukan mahram. Maka, Fatimah juga mendampingi Eriska supaya menantunya ini tetap aman dari Bagas-putranya. "Aku mau menyentuh bayi kita, aku mau merasakan pergerakannya!" Telapak tangan Bagas sudah mulai menjulur ke arah perut Eriska yang sudah mulai terlihat walau masih samar. Saat itu, segera wanita ini menatap Fatimah. "Tidak apa nak, toh teralang pakaian." Izin Fatimah-ibunya Bagas selalu mengawal Eriska dari awal kedatangannya. Maka, dengan leluasa Bagas meletakan telapak ta