Bab 100. Berusaha Lolos Dari Jebakan Mas Sigit “Aku hanya menuntuk hakku, Sayang. Hingga detik ini kau masih istriku, bukan? Aku tak pernah talak kamu. Sidang lanjutan kasus kita esok pagi, bukan? Artinya hingga detik ini aku masih punya hak atas tubuhmu! Sini! Sekalian kita membuat negosiasi untuk persiapan sidang akhir perceraian kita besok! Aku mau kita berdamai saja, ya!” Mas Sigit makin erat memelukku. “Damai? Lepaskan aku dulu! Damai gimana maksudnya?” tanyaku sembari berpikir keras. Pikiranku masih sangat kacau. Bayangan Nada yang berdarah bergentanyangan di otak, membuat kepalaku terasa pening. Aku harus pastikan dulu keselamatannya. Itu yang paling utama bagiku saat ini. Tapi, bagaimana cara meloloskan diri dari pria mesum ini? “Iya, damai … maksudku kita jangan berpisah. Cabut gugatan kamu!” kata Mas Sigit mulai menggerayangi leher dan tengkukku dengan bibir dan lidahnya. Mual mengaduk perutku. seluruh bulu halus di tubuhku ikut merinding. Betapa aku ingin muntah
Bab 101. Kujebak Mantan suamiku Dengan Jebakannya Sendiri “Kenapa diam, Ning? Kamu marah?” Mas sigit memegang daguku. “Tidak!” kataku seraya menepis halus tangannya. “Aku hanya berpikir, betapa besar usaha Mas Sigit untuk mempertahankan rumah tangga kita. Aku merasa terharu, Mas. Terima kasih banyak, ya!” ucapku mulai menggiringnya ke dalam jebakanku. “Iya, Ning! Makanya, tolong mulai sekarang hentikan pekerjaan kamu, ya! Kamu di rumah saja, aku janji akan memenuhi semua kebutuhan kamu dan anak-anak!” “Mas serius?” “Iya, Ning!” “Eeem, gimana dengan utang aku sama Neneknya Mas Elang. Aku mana bisa berhenti bekerja kalau belum lunasi utang-utang aku.” “Ya, sudah. Aku yang akan bayari, Sayang! Tapi, aku kangen banget, Sayang! Aku pengeeeen banget! Ayolah, jangan nolak, dong! Kamu cantik banget sekarang. Bahkan jauh lebih cantik dari pada saat kita di awal nikah dulu! Tubuhmu makin seksi dengan dada yang makin montok ini, Ning! Ini semua masih sah milikku, kan, Ning?” “Iya, Mas
Bab 102. Mas Elang Marah “Toloooong! Lepasin aku, Mas! Tolooooong!” jeritku berusaha meronta. Tetapi sia-sia, meski sudah berdarah, tenaganya masih jauh lebih kuat dari pada tenagaku. Perlawananku tak ada artinya. “Sini kamu!” teriak Mas Sigit meraih tubuhku lalu mencampakkan aku ke atas kasur. Dia langsung menindih tubuhku sambil memegangi kedua lengan di sisi kanan dan kiri kepalaku. Darah yang masih menetes di keningnya mengalir membasahi pelipis. Beberapa tetes jatuh mengenai wajahku saat dia menyerang wajah dan leherku dengan mulut dan bibirnya. Kucoba meronta sekuat daya. Kugerakkan kepalaku untuk menghindari sentuhan mulut dan bibir menjijikkan itu. Kugerakkan kaki untuk menerjang, tapi himpitan tubuhnya di atas perut dan kedua paha tak mampu kulawan. “Ternyata kau sering melayani pelangganmu dengan cara kekerasan seperti ini? Jadi kau praktekkan juga kepadaku, ya? Lumayan, cukup memacu adrenalin. Bercinta sambil berdarah-darah itu sensasinya luar biasa. Kita coba, ya
Bab 103. Kesombongan Mantan Ibu Mertua dan Ipar-iparku ***** Kubuka pintu mobil dengan sigap, lalu kuturunkan kaki kiri, disusul kaki kanan. Tanpa menoleh, kututup kembali pintu mobil Mas Elang. Dan tanpa sapa lagi, pria itu langsung memutar dan melajukan kuda besi itu dengan kecepatan tinggi. Aku terhenyak, kuhirup nafas panjang-panjang. Masih belum bisa kupahami, kenapa dia begitu emosi. Kemarahannya tak juga reda, meski aku sudah berusaha menjelaskan. Dia bukan anak kecil lagi. Meski dia adalah putra bungsu, selalu dimanja dan di nomorsatukan, namun tak selayaknya dia marah-marah secara membabi buta seperti itu, apalagi aku tak bersalah sama sekali. Cemburu? Hah, sudahlah! Biar saja. “Saya antar pulang, Mbak?” Pak Parno yang sejak tadi hanya menyaksikan datang menghampiriku. “Iya, Pak! Kita pulang saja!” sahutku menoleh ke arahnya. Pria itu lalu bergerak ke arah sebuah motor yang terparkir di dekat teras. Belum sempat dia menyalakan benda itu, sebuah taksi memasuki ha
Bab 104. Yosa Tak Percaya Padaku“Kamu bicara apa, Bening!” Mbak Ambar dan Mbak Sekar mendorong pundakku. Serangan yang tiba-tiba itu membut tubuhku oleng. Untung Pak Parno segera menangkapku. Kedua wanita yang kalap itu kembali menyerang. Dengan sigap Pak Parno melindungiku dengan memalangkan tubuhnya di depanku. Mencoba menangkis setiap serangan mereka. Mbak Ambar dan Mbak Sekar tak bisa lagi menjangkauku.“Bening! Kowe ngomong opo karo mantuku, ha! Sini kowe!” Kali ini mantan ibu mertua yang ingin menjambak rambutku. Pak Parno kesulitan untuk menahan serangan wanita itu. Dia masih sibuk melindungiku dari serangan Mbak Ambar dan Mbak Sekar. Terpaksa aku melindungi diriku dari jambakan itu. Kutangkap lengannya, lalu kuputar dengan kencang.“Aauw, lepaskan, Bening! Sakit! Patah tanganku!” teriaknya kesakitan.“Maaf, Bu! Saya tidak mau berdosa karena melawan perempuan setua Ibu! Jadi jangan coba-coba menyakiti saya, ya!” ucapku seraya mengibaskan tangannya. Kibasan yang agak kencan
Bab 105. Mas Elang Tak MenjemputPukul delapan malam, rumah makanku sedang rame-ramenya. Banyak pelanggan yang datang untuk makan malam. Pengunjung baru juga banyak yang masuk, mungkin penasaran karena selalu rame. Posisi warung yang tepat di persimpangan, adalah salah satu bentuk promosi alami. Menjadi perhatian bagi setiap orang yang melintas.Keramahan dan bentuk pelayanan yang sempurna tak lupa kutekankan kepada seluruh pegawaiku. Di bawah komando Kak Runi apa yang aku harapkan terpenuhi. Semua pengunjung dilayani dengan sangat baik.“Ning, ngeliatin apa?” Tepukan halus di pundak mengagetkanku. Rupanya Kak Runi memperhatikan kelakuanku sejak tadi. Wajar saja dia curiga. Gelagatku hari ini tentu mencurigakannya. Tatapanku tak lekang ke arah gerbang sejak dua jam yang lalu. Aku menunggu seseorang. Yang ditunggu tak juga datang.“Dia tidak datang malam ini?” tanya Kak Runi lagi, ikut menatap ke arah gerbang.Aku menghela nafas panjang, lalu membuangnya dengan kasar.“Kalian berten
Bab 106. Hinaan Mantan Mertua dan Kakak Ipar di Ruang Sidang“Nek Ayang bertengkar dengan Mas Elang?” seruku kaget.“Iya, Mbak.” Pak Parno menjwab singkat.“Mereka bertengkar gara-gara Nek Ayang maksa Mas Elang dampingi dan jemput saya ke sidang?” tanyaku mencoba menetralkan suasana hatiku yang semakin tak karuan.“Iya, Mbak. Tapi enggak usah Mbak pikirkan! Toh, sudah saya jemput, kan? Mbak juga akan didampingi nek Ayang. Pengacara Nek Ayang juga sudah menyiapkan semuanya. Mbak Bening enggak usah gentar, ya!” Pak Parno menguatkanku. Pria itu melirik sekilas, mungkin ingin memastikan kondisi hatiku lewat raut wajahku.Aku tersenyum tipis. Menikmati kecewa ini. Aku sempat salah duga. Kukira Mas Elang sudah kembali peduli dan meminta Pak Parno menjemputku. Nyatanya aku salah. Dia benar-benar sudah tidak peduli. Dia bahkan sempat bertengkar dengan nenek kesayangannya karena aku. Padahal selama ini, dia tak pernah membantah Nek Ayang. Karena aku, mereka terlibat perselisihan.Kembali k
Bab 107. Kejutan Dari Yosa Kuedarkan kembali pandanganku, mencari sosok pria yang menjadi rivalku, Mas Sigit. Berulang-ulang kulakukan, tapi aku tetap tak menemukan. Begitupun dengan Yosa. Ke mana mereka? Kenapa tidak hadir dalam sidang ini?Dari kemarin juga sudah berulangkali kucoba menghubungi istri baru suamiku itu. Aku mau meminta nomor rekeningnya untuk mengembalikan uang yang sempat ditransfer oleh Mas Sigit ke rekeningku. Sepertinya Yosa tak percaya dengan keteranganku. Dia pasti sudah terhasut oleh omongan Mbak Ambar dan Mbak Sekar. Aku yakin, Yosa lebih percaya kepada para benalu yang menempel padanya itu daripada aku.Entah bagaimana caraku menjelaskan padanya. Nomorku sepertinya benar-benar telah dia blokir. Rencanaku pagi ini akan berbicara langsung padanya. Akan kutransfer kembali uang itu kepada dia didepan matanya. Namun, rencanaku akan gagal sepertinya. Dia tak hadir di persidangan. Entah kenapa.Harusnya dia hadir mendampingi suaminya, bukan? Bukankah dia begitu