Bab 74. Mas Wisnu Berbohong “Lho, ini mobilnya kok, ke arah sini, sih, Mas! Ini kan bukan jalan menuju penjara!” sergahku saat mobil Mas Wisnu berbelok di persimpangan tiga. Meskipun aku hanya tamat SMP, tapi aku bisa membaca. Kalau belok kanan itu menuju pusat kota, dan kalau lurus itu menuju pasar tradisonal yang kemaren aku dibawa oleh Mas Elang. Aku masih ingat betul itu. Tapi kalau belok kiri, artinya Mas Wisnu mau bawa aku ke mana? Harusnya mobil ini belok kanan. Karena perkantoran ada di wilayah sana termasuk lapas tempat Mas Sigit di tahan. Lalu kenapa dia bawa aku ke arah luar kota? “Mas, Mas Wisnu mau ke mana?” teriakku lagi. “Tenang, Ning! Aku tidak akan membawamu ke mana-mana! Kamu pikir aku sejahat apa, ha?” “Buktinya ini, Mas bilang mau bawa aku ke penjara, mau nemui Mas Sigit! Tapi ini, Mas kok malah bawa mobilnya ke arah sini!” “Kita ambil jalan pintas, Ning! Kamu kalau enggak tau jalan diam saja!” Aku terdiam. Baik, aku akan ikuti saja. Tapi, aku tak boleh le
Bab 75. Permintaan Mantan Ibu Mertua “Aku bilang begitu karena aku lihat tadi kamu ngelendot-ngelendot gitu di mobil suamiku! Apa maksud kamu seperti itu, tadi, ha? Kmau kecentilan, ya, sekarang! Kamu mau merayu suamiku, kan? Kamu gosok-gosokkan dadamu yang bengkak itu ke lengan suamiku, biar dia tergoda lalu kamu ploroti uangnya, iyakan? Kalau enggak dengan cara jual diri, memangnay giman acara kamu memberi makan anak-anakmu! Enggak mungkin kamu bisa bertahan hidup di kota besar ini!” “Kebetulan Mbak tanya. Sekalian, deh, aku mau minta tolong, sama Mbak! Tolong ambilin hape aku di tangan Mas Wisnu! Jadi gini ceritanya tadi itu, Mbak. Aku kan punya hape baru, tuh. Biasalah, untuk panggilan pelanggan. Nah saat jalan ke sini, ada pelanggan yang nelpon, mau buat janji sama aku. Mas Wisnu marah. Katanya, kapan aku ada waktu buat dia, orang aja kamu layanin, aku enggak pernah, katanya gitu. Secara, ya, Mbak, ya, dia kan suami kakka ipar aku, enggak mungkin kan, aku mau tidur sama dia.
Bab 76. Barter Dokumen Penting Untuk Syarat Ceraiku Memangnya aku bisa apa mengeluarkan Mbak Yosa dan Mas Sigit dari penjara? Apa maksudnyanya cabut gugatan? Aku enggak paham. Kemarin juga yang gugat itu Mas Elang, aku cuma disuruh tanda tangan. Aku enggak paham yang begini-beginian. Tapi, tenang … aku enggak boleh terlihat bod*h di hadapan mereka. Aku gunakan saja kesempatan ini dengan sebaik-baiknya. Aku harus cerdas. Itu janjiku pada Nek Ayang. “Bagaimana Bening? Kau mau, kan?” “Eem, boleh. Tapi aku juga punya syarat.” “Apa?” “Kata Mas Wisnu, Ibu yang nyimpan surat-surat penting kami. Surat nikah, Kartu Keluarga, dan Akta lahir Anak-anak. Aku mau Ibu serahkan itu padaku. Karena aku butuh itu untuk menggugat cerai Mas Wisnu.” “Tentu, aku akan serahkan itu semua sama kamu! Makin cepat kau gugat cerai si Sigit, makin bagus. Supaya dia bisa meresmikan pernikahannya dengan Yosa. Agar dia sah secara hukum sebagai suami Yosa. Kamu harus tahu, harta Yosa itu luar biasa banyaknya.
Bab 77. Pengakuan Mas Elang “Lalu aku telpon kau. Kau malah memberikan ponselmu kepada pria itu. Katanya dia lagi booking kamu. Kau tau bagaimana perasaanku saat itu, Ning?” “Maaf, Mas!” “Aku sangat khawatir kau sudah dibawa ke mana mana oleh abang iparmu itu, aku bayangkan yang tidak-tidak tentangmu! Mereka semua membencimu, kan, Ning, apakah aku salah jika aku berprasangka buruk pada mereka? Aku lemas, Ning, aku tak bisa lagi bernapas rasanya, sampai akhirnya kau nelpon aku minta dijemput. Tapi perasaanku belum juga tenang hingga detik ini.” “Aku yang salah, Mas! Aku minta maaf. Aku janji, lain kali aku akan lapor dulu ke kamu tentang apa saja.” “Enggak perlu lagi, Ning! Sudahlah. Aku toh sudah tahu seperti apa kedudukanku di hatimu. Tidak penting sama sekali. Terima kasih sudah mengingatkanku.” “Mas!” “Tidak apa-apa. Sudahlah, kita pulang. Aku antar kau pulang! Setelah itu aku langsung balik, aku mau tidur seharian, aku capek!” “Lho, kok, langsung pulang setelah ngantar a
Bab 78. Mas Elang Tak Bisa Memberi Nafkah Batin “Karena aku … aku enggak akan bisa bahagiakan kamu, Ning.” “Sekarang saja aku sudah bahagia, bagaimana pula bila aku akan jadi istri kamu?” “Aku … aku tidak normal, Ning. Aku tidak bisa memenuhi nafkah batin buat kamu!” “Apa?” Aku tercekat. Nafkah batin. Jadi ini alasan Mas Elang yang sebenarnya. Itu jugakah sebabnya dia tak pernah meneruskan sentuhannya meski kesempatan itu ada. Lalu …? Bagaimana dengan Mbak Nirmala dulu? Lima tahu lebih pernikahan mereka, Mbak Nirmala belum juga memberinya seorang anak. Kukira karena memang mereka sengaja menunda. Sekarang aku paham, ternyata ini sebabnya. Mas Elang ternyata tidak bisa. Selama ini aku begitu membenci mbak Nirmala karena tega mengkianati Mas Elang. Sekarang aku mulai sedikit paham. Ternyata, selama lima tahu pernikahan dia sudah cukup sabar mempertahankan rumah tangganya. Akhir-akhir ini mungkin dia sudah tak tahan, sehingga dia menuntut perpisahan. begiti aku berkesimpulan
Bab 79. Aku Bisa Tanpa Nafkah Batin “Kamu mau kan, menjalani hubungan seperti ini?” tanya Mas Elang menatap lekat tepat di manik mataku. “Tidak!” sergahku cepat. Jawabanku yang singkat dan tegas itu sangat mengagetkannya. Kedua mata yang masih basah itu menatapku kian lekat. Wajah tampan itu terlihat makin murung. Begitu menyedihkan. “Ya, aku paham. Tentu kamu tak akan mau menjalani hubungan yang seperti ini. Kamu wanita normal, mana mungkin kamu bisa menerimaku meski hanya sebagai kakak, bukan. Baiklah, Ning. Aku tidak apa-apa. Aku akan melepasmu.” “Tidak!” Kembali kuucap kata-kata itu. Entah mengapa tiba-tiba aku merasa begitu ketakutan. Aku takut kehilangan. Aku tak mau dia melepasku. Jika dia melepasku, bukankah itu artinya dia akan menghilang dari kehidupanku dan juga anak-anak? Aku tak akan lagi bia bertemu dia. Tak lagi merasakan perhatian dan kasih sayangya. Tak lagi mendengar marah-marahnya. Tak lagi patuh dan mnegikuti keputusannya meskipun dia sering bersikap memaks
Bab 80. Restoran Bu Ajeng Bangkrut “Selamat pagi, Mbak Bening, jangan lupa sidang pertama gugatan cerai Mbak Bening hari Senin, ya! Empat hari lagi. Mbak Bening sudah siap, kan?” Pak Arul, pengacara yang ditunjuk oleh Nek Ayang menelponku pagi ini. “Iya, Pak, saya sudah siap. Insyaallah saya tidak akan lupa, terima kasih sudah mengingatkan saya, Pak!” sahutku antusias. “Ada waktu empat hari lagi. Kalau Mbak Bening. Kalau misalnya Mbak berubah pikiran, misalnya ingin mencabut gugatan masih boleh, ya, Mbak! Pikirkan matang-matang sekali lagi!” “Tak ada yang perlu dipikirkan lagi! Tekat saya sudah sangat bulat. Tolong bantu, ya, Pak!” “Tentu, kalau memang Mbak Bening sudah sangat yakin untuk berpisah, saya pastikan sidangnya akan berjalan lancar. Mbak Bening pasti akan menang. Apalagi tergugat sudah terbukti melakukan kejahatan terhadap putri kalian waktu itu. Bahkan hingga detik ini dia masih menjalani hukuman bersama istri sirinya. Kita pasti menang, Mbak Bening. Masalahnya, sa
Bab 81. Warung Makan Bening Maju Pesat “Ning! Bapak-bapak ini dari perwakilan kantor PT Genteng Agung yang di Jalan sisingamangara. Mereka ingin memesan menu makan siang sebanyak dua ratus kotak setiap hati kerja, kita sanggup, toh, Ning?” Mas Dayat menjelaskan padaku. “Dua ratus kotak setiap hari Kerja?” ulangku kaget. “Iya, Ning! Kita pasti bisa, kok! Kita terima, ya! Mereka sudah menciicpi menu makanan dari warung ini, dan katanya pas dengan lidah para pegawai mereka.” “Loh, kapan mereka mencicipi makanan di warung ini?” “Wes, itu endak penting! Kita terima, wess! Siap, Pak, kami terima, Mulai besok kami akan antar! Saya sediri yang akan mengantarnya!” Tak menunggu jawabanku, Mas Dayat sudah memutuskan. Aku hanya bisa melongo. Belum pulang tamu itu, telepon Mas Dayat berdering lagi. “Iya, Pak, siap? Mulai besok, kan. Seratus dua puluh kotak setiap hari kerja, ya, baik, Pak! Siap-siap!” jawabnya melelaui teleponnya. Mas Dayat kenapa? Ada total tujuh kerja sama orderan