Bab 76. Barter Dokumen Penting Untuk Syarat Ceraiku Memangnya aku bisa apa mengeluarkan Mbak Yosa dan Mas Sigit dari penjara? Apa maksudnyanya cabut gugatan? Aku enggak paham. Kemarin juga yang gugat itu Mas Elang, aku cuma disuruh tanda tangan. Aku enggak paham yang begini-beginian. Tapi, tenang … aku enggak boleh terlihat bod*h di hadapan mereka. Aku gunakan saja kesempatan ini dengan sebaik-baiknya. Aku harus cerdas. Itu janjiku pada Nek Ayang. “Bagaimana Bening? Kau mau, kan?” “Eem, boleh. Tapi aku juga punya syarat.” “Apa?” “Kata Mas Wisnu, Ibu yang nyimpan surat-surat penting kami. Surat nikah, Kartu Keluarga, dan Akta lahir Anak-anak. Aku mau Ibu serahkan itu padaku. Karena aku butuh itu untuk menggugat cerai Mas Wisnu.” “Tentu, aku akan serahkan itu semua sama kamu! Makin cepat kau gugat cerai si Sigit, makin bagus. Supaya dia bisa meresmikan pernikahannya dengan Yosa. Agar dia sah secara hukum sebagai suami Yosa. Kamu harus tahu, harta Yosa itu luar biasa banyaknya.
Bab 77. Pengakuan Mas Elang “Lalu aku telpon kau. Kau malah memberikan ponselmu kepada pria itu. Katanya dia lagi booking kamu. Kau tau bagaimana perasaanku saat itu, Ning?” “Maaf, Mas!” “Aku sangat khawatir kau sudah dibawa ke mana mana oleh abang iparmu itu, aku bayangkan yang tidak-tidak tentangmu! Mereka semua membencimu, kan, Ning, apakah aku salah jika aku berprasangka buruk pada mereka? Aku lemas, Ning, aku tak bisa lagi bernapas rasanya, sampai akhirnya kau nelpon aku minta dijemput. Tapi perasaanku belum juga tenang hingga detik ini.” “Aku yang salah, Mas! Aku minta maaf. Aku janji, lain kali aku akan lapor dulu ke kamu tentang apa saja.” “Enggak perlu lagi, Ning! Sudahlah. Aku toh sudah tahu seperti apa kedudukanku di hatimu. Tidak penting sama sekali. Terima kasih sudah mengingatkanku.” “Mas!” “Tidak apa-apa. Sudahlah, kita pulang. Aku antar kau pulang! Setelah itu aku langsung balik, aku mau tidur seharian, aku capek!” “Lho, kok, langsung pulang setelah ngantar a
Bab 78. Mas Elang Tak Bisa Memberi Nafkah Batin “Karena aku … aku enggak akan bisa bahagiakan kamu, Ning.” “Sekarang saja aku sudah bahagia, bagaimana pula bila aku akan jadi istri kamu?” “Aku … aku tidak normal, Ning. Aku tidak bisa memenuhi nafkah batin buat kamu!” “Apa?” Aku tercekat. Nafkah batin. Jadi ini alasan Mas Elang yang sebenarnya. Itu jugakah sebabnya dia tak pernah meneruskan sentuhannya meski kesempatan itu ada. Lalu …? Bagaimana dengan Mbak Nirmala dulu? Lima tahu lebih pernikahan mereka, Mbak Nirmala belum juga memberinya seorang anak. Kukira karena memang mereka sengaja menunda. Sekarang aku paham, ternyata ini sebabnya. Mas Elang ternyata tidak bisa. Selama ini aku begitu membenci mbak Nirmala karena tega mengkianati Mas Elang. Sekarang aku mulai sedikit paham. Ternyata, selama lima tahu pernikahan dia sudah cukup sabar mempertahankan rumah tangganya. Akhir-akhir ini mungkin dia sudah tak tahan, sehingga dia menuntut perpisahan. begiti aku berkesimpulan
Bab 79. Aku Bisa Tanpa Nafkah Batin “Kamu mau kan, menjalani hubungan seperti ini?” tanya Mas Elang menatap lekat tepat di manik mataku. “Tidak!” sergahku cepat. Jawabanku yang singkat dan tegas itu sangat mengagetkannya. Kedua mata yang masih basah itu menatapku kian lekat. Wajah tampan itu terlihat makin murung. Begitu menyedihkan. “Ya, aku paham. Tentu kamu tak akan mau menjalani hubungan yang seperti ini. Kamu wanita normal, mana mungkin kamu bisa menerimaku meski hanya sebagai kakak, bukan. Baiklah, Ning. Aku tidak apa-apa. Aku akan melepasmu.” “Tidak!” Kembali kuucap kata-kata itu. Entah mengapa tiba-tiba aku merasa begitu ketakutan. Aku takut kehilangan. Aku tak mau dia melepasku. Jika dia melepasku, bukankah itu artinya dia akan menghilang dari kehidupanku dan juga anak-anak? Aku tak akan lagi bia bertemu dia. Tak lagi merasakan perhatian dan kasih sayangya. Tak lagi mendengar marah-marahnya. Tak lagi patuh dan mnegikuti keputusannya meskipun dia sering bersikap memaks
Bab 80. Restoran Bu Ajeng Bangkrut “Selamat pagi, Mbak Bening, jangan lupa sidang pertama gugatan cerai Mbak Bening hari Senin, ya! Empat hari lagi. Mbak Bening sudah siap, kan?” Pak Arul, pengacara yang ditunjuk oleh Nek Ayang menelponku pagi ini. “Iya, Pak, saya sudah siap. Insyaallah saya tidak akan lupa, terima kasih sudah mengingatkan saya, Pak!” sahutku antusias. “Ada waktu empat hari lagi. Kalau Mbak Bening. Kalau misalnya Mbak berubah pikiran, misalnya ingin mencabut gugatan masih boleh, ya, Mbak! Pikirkan matang-matang sekali lagi!” “Tak ada yang perlu dipikirkan lagi! Tekat saya sudah sangat bulat. Tolong bantu, ya, Pak!” “Tentu, kalau memang Mbak Bening sudah sangat yakin untuk berpisah, saya pastikan sidangnya akan berjalan lancar. Mbak Bening pasti akan menang. Apalagi tergugat sudah terbukti melakukan kejahatan terhadap putri kalian waktu itu. Bahkan hingga detik ini dia masih menjalani hukuman bersama istri sirinya. Kita pasti menang, Mbak Bening. Masalahnya, sa
Bab 81. Warung Makan Bening Maju Pesat “Ning! Bapak-bapak ini dari perwakilan kantor PT Genteng Agung yang di Jalan sisingamangara. Mereka ingin memesan menu makan siang sebanyak dua ratus kotak setiap hati kerja, kita sanggup, toh, Ning?” Mas Dayat menjelaskan padaku. “Dua ratus kotak setiap hari Kerja?” ulangku kaget. “Iya, Ning! Kita pasti bisa, kok! Kita terima, ya! Mereka sudah menciicpi menu makanan dari warung ini, dan katanya pas dengan lidah para pegawai mereka.” “Loh, kapan mereka mencicipi makanan di warung ini?” “Wes, itu endak penting! Kita terima, wess! Siap, Pak, kami terima, Mulai besok kami akan antar! Saya sediri yang akan mengantarnya!” Tak menunggu jawabanku, Mas Dayat sudah memutuskan. Aku hanya bisa melongo. Belum pulang tamu itu, telepon Mas Dayat berdering lagi. “Iya, Pak, siap? Mulai besok, kan. Seratus dua puluh kotak setiap hari kerja, ya, baik, Pak! Siap-siap!” jawabnya melelaui teleponnya. Mas Dayat kenapa? Ada total tujuh kerja sama orderan
Bab 82. POV Ambar (Mas Wisnu Mencurigakan) “Kenapa belum ada beritanya kalau si Yosa dan si Sigit akan dikeluarkan dari penjara, ya?” tanya ibu saat kami sedang makan malam bersama hari ini. “Iya, kata pengacara Yosa, tidak ada kemajuan apa-apa. Bening tak juga mencabut gugatannya. Dia sudah nipu kita,” jawab Sekar. Aku memilih diam. Begitupun Mas Wisnu dan Bayu suami Sekar. “Kurang aj*r si Bening! Bisa-bisanya dia menipu kita! Apa maksudnya! Padahal dokumen penting yang diminta itu sudah Ibu berikan, dasar pengkhianat! Kalau begini si Yosa sama Sigit harus menjalani hukuman yang lima tahun itu. Nunggu dia keluar, ibu keburu mati! Kapan bisa senangnya? Sia-sia perjuangan kita menikahkan mereka!” sungut Ibu meletakkan sendok makannya. Kini dia bersandar di sandaran kursi yang didudukinya seraya menghela nafas berat. Aku masih saja diam. Kukunyah nasi di mulutku pelan-pelan. Aku tak selera makan. Semua terasa hambar. Tenggorokan terasa sakit saat dipaksa menelan. Kulirik Mas
Bab 83. Mas Wisnu Memberiku Nafkah Batin Aku melangkah ke ruang tv. Kulihat dari kejauhan Mas Wisnu sedang memainkan ponselnya. Wajahnya terlihat sangat senang. Dia juga senyum-senyum sendiri. Ngapain dia? Padahal telivisi menyala di depannya. Tetapi tatapannya tetap fukus ke layar ponselnya. Jemarinya juga sibuk mengetik, lalu senyum-senyum lagi. Dia sedang chatingan dengan siapa? Mungkin teman kantornya. Begitu pikirku, sedikitpun tak curiga. Ok, aku akan kagetin dia. Mengendap aku berjalan menghampiri. Aku akan tutup matanya dari belakang. Asik berbalas chat membuat dia tak juga sadar kalau aku sudah berdiri di belakang kursi yang dia duduki. Tanganku sudah siap untuk menutup matanya dari belakang, namun segera urung saat melihat layar ponsel di tangannya. Astaga, jadi dari tadi Mas Wisnu chat-an mesum …. dia begitu menikmati foto bugil seorang perempuan di layar ponselnya. Foto yang dikirim oleh teman chatnya melalui aplikasi hijau. [Kangen enggak, nih, mau lagi enggak?] Itu
Bab 117. Tamat (Malam Pertama Elang Dan bening)“Kamu terima aku, kan, Ning? Tapi, maaf, mungkin aku tak bisa memuaskanmu di ranjang. Kamu bisa terima aku apa adanya, kan?” Mas Elang menggenggam tanganku, tatapannya tepat di bola mataku, begitu sayu dan menghiba. “Aku sangat mencintai kamu, Ning. Maya bukan siapa siapa bagiku. Tolong terima lamaranku, aku mohon!” lirihnya lagi.“Mas Elang …?” gumamku tercekat.“Aku janji akan berusaha menjadi ayah yang baik buat anak-anak kamu. Aku juga sudah baca-baca tutorial memuaskan istri bila senjata suami gak mampu bertahan lama. Aku akan praktekkan cara itu. Aku akan buat kamu sampai benar-benar puas, baru aku tuntaskan diriku sendiri. Asal kamu sudah puas, meski aku hanya bisa tahan sebentar, gak masalah, kan?”“Mas?”“Mau praktekin sekarang?”“Tidak.”“Ya, kita halalin dulu, ya!”Mas Elang memelukku, kembali melumat bibirku. Kali ini aku membalasnya. Kurasakan ada yang menegang di areal sensitifnya. Hatiku membuncah, aku bersumpah, ta
Bab 116. Lamaran Mengejutkan Mas Elang“Mbak Nuri di sini? Kenapa? Kapan Mbak datang dari Tawang Sari? Kenapa enggak langsung ke rumah Ibu, kok, malah ke sini?” cecar Mas Elang begitu turun dari mobilnya dan menghampiri kami. Pria itu hanya menatap Mbak Nuri, sedikitpun tak melihat ke arahku. Padahal posisiku tepat di samping kakaknya itu.“I-ya, aku sengaja langsung ke warung Bening. Bening nelpon kakak. Dia ngadu tentang hubungan kalian.” Mbak Nuri mulai bersandiwara.Kulihat wajah Mas Elang memerah. Dia sempat melirikku sekilas, tatapan kami beradu, pria itu lalu berpaling.“Kita pulang sekarang, aku tunggu di mobil!” titahnya langsung meninggalkan kami.Kuhela nafas panjang, mengembuskannya dengan sangat berat. Mbak Nuri menepuk bahuku dengan halus, seperti hendak mentransfer kekuatan agar stok sabarku tak habis. Buru-buru kami mengunci pintu warung, lalu menyusul ke mobil Mas Elang. Mbak Nuri membukakan pintu untuk kami. Memintaku masuk duluan di jok tengah.“Kenapa dia ikut?”
Bab 115. Hampir Diperkos* Mas Wisnu“Menikah? Kalian mau menikah?” seruku masih saja kaget. Padahal aku tahu hubungan Kak Runi dengan Mas Dayat akhir-akhir ini makin dekat saja. Kukira mereka masih dalm tahap saling menjajaki, ternyata sudah sampai pada tahap yang paling tinggi. Menikah.“Iya, Ning, kami minta ijin cuti, ya. Buat Persiapan lamaran.” Kak Runi menunduk. Sepertinya, dia masih saja malu-malu. Mungkin karena Mas Dayat pernah menyukaiku dulu. Dia bahkan sempat ikut berjuang untuk menyatukan antara aku dan Mas Dayat dulu.“Ya, sudah. Selamat, ya! Semoga acaranya berjalan lancar. Kapan rencana kalian pulang kampung?” tanyaku menatap mereka bergantian.“Sore ini, kalau kamu ijinin.” Kak Runi mendongak.“Tentu aku ijinin. Tapi, maaf, acara lamarannya aku enggak bisa hadir, nanti di acara pernikahannya saja, ya, aku datang?”“Ya, datang bareng Mas Elang, ya, Ning!” Mas Dayat langsung nyeletuk. Aku hanya tersenyum tipis. Kualihkan suasana dengan bergerak ke laci kasir. Meraih p
Bab 114. Janji Nek AyangAku menoleh ke belakang, Nek Ayang berdiri kaku di sana. Tatapannya lekat kepadaku. Tatapan dengan sorot mata sayu.“Nenek?” gumamku terkejut. “Sejak kapan Nenek di sini?” tanyaku gelisah.“Sejak tadi,” sahutnya pelan.“Nenek tidak mendengar apa apa, bukan?” tanyaku mendekatinya, kuraih lengannya, lalu kubimbing berjalan menuju bangku panjang yang tersedia di halaman belakang warung itu. Tetapi dia bertahan tak bergerak. Tetap kokoh di posisi berdirinya.“Nenek sudah mendengar semuanya. Sekarang nenek paham apa yang membuat Elang berubah.”“Nek, tolong jangan salah paham! Apa yang Nenek dengar tadi tak seperti yang sebenarnya.”“Mungkin Elang memang benar, Ning! Cucuku itu …, wess lah, Ning! Kowe ora usah ikut stress, Nduk! Keputusan Elang, pasti sudah dia pikirkan baik baik.”“Nenek! Kenapa sekarang Nenek malah ikut-ikutan seperti ini? Bening mau, Nenek itu membantu Bening meyakinkan Mas Elang. Bantu Bening, Nek!”“Elang sudah dewasa, Nduk! Dia tau apa ya
Bab 113. Rahasia TerbongkarWajah Nek Ayang tampak sangat semringah sekarang. Setelah dia mendengar penuturanku barusan. Sepertinya dia begitu lega, dan mengira cucunya hanya cemburu buta. Dia pasti berfikir hubunganku dengan cucunya baik-baik saja.“Elang enggak tahu hati perempuan, apa dikiranya kita mau saja diajak ehem ehem padahal hati kita sudah sangat benci? Hehehe … biarkan dia dibakar cemburu, kowe tenang saja! Itu artinya Elang cinta banget karo kowe, iyo, toh, Ning?” ungkapnya seraya mengusap punggung tanganku.Aku mengangguk saja. Biarlah Nek Ayang berfikir seperti itu. Padahal masalahnya tak sesederhana itu. Ada masalah yang begitu pelik tengah melanda antara aku dan cucunya. Bukan sekedar cemburu buta, tetapi lebih kepada rasa minder Mas Elang akan kelemahannya.Mas Elang merasa dia kalah jauh dibandingkan dengan Mas Sigit dalam urusan ranjang. Perasaan minder itu semakin membakar hatinya saat tahu kalau Mas Sigit memaksaku melakukan hubungan badan kemarin. Mas Elang
Bab 112. Perintah Nek AyangMereka semua terperangh kaget. Pernyataanku barusan jelas tak bisa mereka percaya. Tapi aku tak peduli. Sudah terlanjur. Aku tak peduli entah apa tanggapan Mas Sigit juga keluarganya. Yang aku pikirkan justru perasaan Mas Elang. Aku begitu mengkhawatirkan dia sekarang.Entah bagaimana tanggapannya terhadapku. Setelah jelas-jelas dia mulai menghindariku, aku justru ungkapkan perasaan cintaku. Padahal dia mulai mencipta jarak denganku. Tak pernah lagi menelpon, apa lagi mendatangi aku. Biasanya dia menjemputku ke warung di malam hari, mengantarku pulang ke rumah karena dia mengkhawtirkn aku pulang sendiri di tengah malam. Lalu, dia akan menjemputku lagi di pagi hari.Sekarang itu tak lagi dia lakukan. Bukankah itu artinya dia sudah mundur. Dan saat itu pula aku menyatakan perasaanku. Ah, betapa rendah aku di matanya sekarang. Mungkin dia menganggap aku wanita murahan. Tapi, sudahlah. Aku pasrah saja. Yang penting aku lolos dulu dari Mas Sigit.“Apa? Kau bil
Bab 111. Pengakuan Cinta Kepada Mas Elang Kulepaskan rangkulan tangan Mas Sigit di bahuku, kukibaskan dengan kasar. Itu tak luput dari perhatian Mas Elang dan juga Nek Ayang. Mereka hanya melongo. Sementara tiga perempuan yang sejak tadi menonton dari jarak yang agak jauh, kini datang mendekat. Mbak Ambar, Mbak Sekar dan ibunya. “Ning, kamu?” sergah Mas Sigit menatapku tak percaya. “Kenapa kamu ikut bar-bar seperti ini, Ning?” tanyanya dengan nada lirih. “Kamu sepertinya lupa kalau kemarin aku bahkan bersikap lebih bar-bar. Luka di kening kamu saja belum kering, Mas! Kau mau mendapt luka baru lagi, hem? Kuingatkan padamu, antara aku dan kau tidak ada ikatan apa-apa lagi, jadi jangan pernh berani menyentuhku, paham!” tegasku diiringi hujaman tatapan tajam. “Aku belum talak kamu, Ning! Pengadilan juga belum mengeluarkan surat cerai. Jadi, kau masih istriku. Aku berhak atas dirimu, kau masih istriku, Ning!” “Jangan mimpi! Meski kau tak talak aku, bagiku kau bukan siapa-siapaku lagi
Bab 110. Mantan Suami dan Calon Suami Mantan ibu mertua berhasil menjambak rambutku. Kutahan sakit itu demi melindugi Nek Ayang.“lepaskan nenek, Ning! Biar nenek lawan perempuan itu!” perintah Nek Ayang mencoba melepaskan diri dari pelukanku.“Tidak, Nek! Nenek enggak akan tahan. Tulang Nenek bisa remuk dihantamnya, Bening enggak mau Nenek kenapa napa,” tolakku mengeratkan pelukan.“Tapi de e jambakin rambut kowe, Ning!”“Biar, Nek, Bening tahan, kok. Asal jangan Nenek yang disakiti.”“Ya, Allah, Ning, kowe iku, Nduk!” ucap Nek Ayang terharu.“Lepaskan rambut Bening!” Sebuah suara yang sudah sangat kukenal tiba-tiba terdengar. Sontak jambakan di kepalaku lepas. “Sini, lepaskan, Nenek, biar aku yang melindungi,” ucapnya padaku seraya merengkuh tubuh renta Nek Ayang dari pelukanku.“Kowe, datang, Lang!” lirih Nek Ayang dengan mata berkaca-kaca. Aku merasa sangat lega sekarang. Nek Ayang sudah berada di tangan yang aman. Entah bagaimana dan kapan datangnya, Mas Elang tiba-tiba s
Bab 109. Perkelahian Nek Ayang Dengan Mantan Ibu Mertuaku“Ini barang-barang kalian, jangan pernah injak rumahku lagi!” tegas Yosa seraya melemparkan tiga koper ke hadapan para benalu itu.“Yosa, maksudnya apa ini, Nak?” Sang mertua menatap nanar menantu kesayangan. Mbak Ambar dan Mbak Sekar pun terlihat kebingungan.“Saya sudah menjatuhkan talak kepada Mas Sigit, putra Tante! Meskipun saya tahu itu terbalik, tapi mau gimana lagi. Habisnya, saya minta talak, Mas Sigit enggak mau nalak saya. Ya, udah, saya aja yang talak dia, hehehehe ….” Yosa terkekeh.“Yosa,” gumam mereka bersamaan.“Jadi, antara saya dan putra Anda, sudah tak ada ikatan apa-apa. Dan antara saya dengan Anda, juga kedua betina ini, juga sudah tak ada hubungan apapun. Paham, Tante?” sinis Yosa dengan iringan senyum ketus.“Yosa, kamu … kamu maksudnya, maksudnya?” Mbak Ambar dan Mbak Sekar memegangi kedua lengan Yosa. Mengguncang-guncangnya dengan kalimat terbata-bata.“Iya, maksud saya, kalian harus keluar dari rumah s