Bab 78. Mas Elang Tak Bisa Memberi Nafkah Batin “Karena aku … aku enggak akan bisa bahagiakan kamu, Ning.” “Sekarang saja aku sudah bahagia, bagaimana pula bila aku akan jadi istri kamu?” “Aku … aku tidak normal, Ning. Aku tidak bisa memenuhi nafkah batin buat kamu!” “Apa?” Aku tercekat. Nafkah batin. Jadi ini alasan Mas Elang yang sebenarnya. Itu jugakah sebabnya dia tak pernah meneruskan sentuhannya meski kesempatan itu ada. Lalu …? Bagaimana dengan Mbak Nirmala dulu? Lima tahu lebih pernikahan mereka, Mbak Nirmala belum juga memberinya seorang anak. Kukira karena memang mereka sengaja menunda. Sekarang aku paham, ternyata ini sebabnya. Mas Elang ternyata tidak bisa. Selama ini aku begitu membenci mbak Nirmala karena tega mengkianati Mas Elang. Sekarang aku mulai sedikit paham. Ternyata, selama lima tahu pernikahan dia sudah cukup sabar mempertahankan rumah tangganya. Akhir-akhir ini mungkin dia sudah tak tahan, sehingga dia menuntut perpisahan. begiti aku berkesimpulan
Bab 79. Aku Bisa Tanpa Nafkah Batin “Kamu mau kan, menjalani hubungan seperti ini?” tanya Mas Elang menatap lekat tepat di manik mataku. “Tidak!” sergahku cepat. Jawabanku yang singkat dan tegas itu sangat mengagetkannya. Kedua mata yang masih basah itu menatapku kian lekat. Wajah tampan itu terlihat makin murung. Begitu menyedihkan. “Ya, aku paham. Tentu kamu tak akan mau menjalani hubungan yang seperti ini. Kamu wanita normal, mana mungkin kamu bisa menerimaku meski hanya sebagai kakak, bukan. Baiklah, Ning. Aku tidak apa-apa. Aku akan melepasmu.” “Tidak!” Kembali kuucap kata-kata itu. Entah mengapa tiba-tiba aku merasa begitu ketakutan. Aku takut kehilangan. Aku tak mau dia melepasku. Jika dia melepasku, bukankah itu artinya dia akan menghilang dari kehidupanku dan juga anak-anak? Aku tak akan lagi bia bertemu dia. Tak lagi merasakan perhatian dan kasih sayangya. Tak lagi mendengar marah-marahnya. Tak lagi patuh dan mnegikuti keputusannya meskipun dia sering bersikap memaks
Bab 80. Restoran Bu Ajeng Bangkrut “Selamat pagi, Mbak Bening, jangan lupa sidang pertama gugatan cerai Mbak Bening hari Senin, ya! Empat hari lagi. Mbak Bening sudah siap, kan?” Pak Arul, pengacara yang ditunjuk oleh Nek Ayang menelponku pagi ini. “Iya, Pak, saya sudah siap. Insyaallah saya tidak akan lupa, terima kasih sudah mengingatkan saya, Pak!” sahutku antusias. “Ada waktu empat hari lagi. Kalau Mbak Bening. Kalau misalnya Mbak berubah pikiran, misalnya ingin mencabut gugatan masih boleh, ya, Mbak! Pikirkan matang-matang sekali lagi!” “Tak ada yang perlu dipikirkan lagi! Tekat saya sudah sangat bulat. Tolong bantu, ya, Pak!” “Tentu, kalau memang Mbak Bening sudah sangat yakin untuk berpisah, saya pastikan sidangnya akan berjalan lancar. Mbak Bening pasti akan menang. Apalagi tergugat sudah terbukti melakukan kejahatan terhadap putri kalian waktu itu. Bahkan hingga detik ini dia masih menjalani hukuman bersama istri sirinya. Kita pasti menang, Mbak Bening. Masalahnya, sa
Bab 81. Warung Makan Bening Maju Pesat “Ning! Bapak-bapak ini dari perwakilan kantor PT Genteng Agung yang di Jalan sisingamangara. Mereka ingin memesan menu makan siang sebanyak dua ratus kotak setiap hati kerja, kita sanggup, toh, Ning?” Mas Dayat menjelaskan padaku. “Dua ratus kotak setiap hari Kerja?” ulangku kaget. “Iya, Ning! Kita pasti bisa, kok! Kita terima, ya! Mereka sudah menciicpi menu makanan dari warung ini, dan katanya pas dengan lidah para pegawai mereka.” “Loh, kapan mereka mencicipi makanan di warung ini?” “Wes, itu endak penting! Kita terima, wess! Siap, Pak, kami terima, Mulai besok kami akan antar! Saya sediri yang akan mengantarnya!” Tak menunggu jawabanku, Mas Dayat sudah memutuskan. Aku hanya bisa melongo. Belum pulang tamu itu, telepon Mas Dayat berdering lagi. “Iya, Pak, siap? Mulai besok, kan. Seratus dua puluh kotak setiap hari kerja, ya, baik, Pak! Siap-siap!” jawabnya melelaui teleponnya. Mas Dayat kenapa? Ada total tujuh kerja sama orderan
Bab 82. POV Ambar (Mas Wisnu Mencurigakan) “Kenapa belum ada beritanya kalau si Yosa dan si Sigit akan dikeluarkan dari penjara, ya?” tanya ibu saat kami sedang makan malam bersama hari ini. “Iya, kata pengacara Yosa, tidak ada kemajuan apa-apa. Bening tak juga mencabut gugatannya. Dia sudah nipu kita,” jawab Sekar. Aku memilih diam. Begitupun Mas Wisnu dan Bayu suami Sekar. “Kurang aj*r si Bening! Bisa-bisanya dia menipu kita! Apa maksudnya! Padahal dokumen penting yang diminta itu sudah Ibu berikan, dasar pengkhianat! Kalau begini si Yosa sama Sigit harus menjalani hukuman yang lima tahun itu. Nunggu dia keluar, ibu keburu mati! Kapan bisa senangnya? Sia-sia perjuangan kita menikahkan mereka!” sungut Ibu meletakkan sendok makannya. Kini dia bersandar di sandaran kursi yang didudukinya seraya menghela nafas berat. Aku masih saja diam. Kukunyah nasi di mulutku pelan-pelan. Aku tak selera makan. Semua terasa hambar. Tenggorokan terasa sakit saat dipaksa menelan. Kulirik Mas
Bab 83. Mas Wisnu Memberiku Nafkah Batin Aku melangkah ke ruang tv. Kulihat dari kejauhan Mas Wisnu sedang memainkan ponselnya. Wajahnya terlihat sangat senang. Dia juga senyum-senyum sendiri. Ngapain dia? Padahal telivisi menyala di depannya. Tetapi tatapannya tetap fukus ke layar ponselnya. Jemarinya juga sibuk mengetik, lalu senyum-senyum lagi. Dia sedang chatingan dengan siapa? Mungkin teman kantornya. Begitu pikirku, sedikitpun tak curiga. Ok, aku akan kagetin dia. Mengendap aku berjalan menghampiri. Aku akan tutup matanya dari belakang. Asik berbalas chat membuat dia tak juga sadar kalau aku sudah berdiri di belakang kursi yang dia duduki. Tanganku sudah siap untuk menutup matanya dari belakang, namun segera urung saat melihat layar ponsel di tangannya. Astaga, jadi dari tadi Mas Wisnu chat-an mesum …. dia begitu menikmati foto bugil seorang perempuan di layar ponselnya. Foto yang dikirim oleh teman chatnya melalui aplikasi hijau. [Kangen enggak, nih, mau lagi enggak?] Itu
Bab 84. Menggerebek Suamiku Di Kamar Hotel “Mbak Ambar?” Bening menyapaku meski jarak kami masih beberapa meter. Beraninya dia menyapaku? Bukannya malu karena aku pergokin dia sedang sama pelanggannya. Astaga, dasar perempuan udik enggak pernah makan bangku sekolahan! Urat malunya sudah dia kubur sepertinya. Dia enggak malu menyapaku, tapi aku yang malu disapa olehnya. Siapa yang enggak malu coba disapa oleh seorang perempuan bookingan, coba? Ih, amit-amit! Tetapi, kok, dia terlihat berubah banget, ya? Wajahnya terlihat begitu manis dengan senyum merekah di bibirnya yang makin ranum dan segar itu. Aneh, makin hari dia terlihat makin cantik saja. Saat dia datang ke rumah ibu untuk mengambil dokumen waktu itu saja aku sudah terheran-heran melihat perubahannya. Dan hari aku makin pangling lagi dibuatnya. Ada apa dengan dia. Kenapa dia bisa berubah makin cantik, ya? Wajah yang dulu kusam, kumal, berdaki, bersisik karena kering dan kurang gizi, kini terlihat makin bersih, mak
Bab 85. Pasangan Mas Wisnu Ternyata …. Kenapa Mbaknya Mas Elang bilang dia ada di kantor suaminya? kalau iya, lalu siapa yang bersama Mas Wisnu di dalam sana? Ini sungguh tak masuk akal. Jelas-jelas aku membaca chat mereka tadi malam. Alamat yang tertulis di situ juga jelas. Kenapa, sih, ini? Kepalaku jadi sakit tiba-tiba. Memikirkan Bening yang tiba tiba berubah makin cantik saja aku sudah mumet, tambah lagi dengan kebingungan ini. “Mbak dengar sendiri, kan, kalau Mbak saya sedang ada di kantor Mas saya, suaminya. Sudah saya bilang, tadi, Mbak salah orang. Mbak Nuri itu memang orangnya ketus, bahasanya kasar, mulutnya juga enggak ada sopan-sopannya. Tapi saya yakin, untuk selingkuh dengan suami orang, itu tak mungkin! Lagi pula dari mana jalannya dia kenal dengan suami Mbak? Kakak saya itu tinggal di Tawang Sari, jauh dari sini,” kata Elang terlihat sangat tersinggung. Aku terdiam. “Untung Bening mengingatkanku untuk nelpon Mbak Nuri dulu, kalau tidak, bisa berabe semuanya. M