"Apa yang baru saja kau katakan, Kania. Apa serendah itu dirimu, hingga bertindak seperti seorang pelacur murahan!" Nada suara Bu Delia terdengar bergetar.Kania diam, ia masih meringis sambil memegang pipinya yang memerah. Mata itu mendelik tajam pada Bu Delia. Seakan tak bisa menerima perkataan ibunya."Jawab mama, Kania! Mengapa sampai kau berbuat nekat seperti ini. Apa kau sadar bahwa ini semua salah?"****Bu Delia memandang murka pada putrinya, kemarahannya sangat jelas terlihat begitu juga dengan kekecewaan. Aku merasa mungkin ia tak menyangka jika putri kebanggaannya bisa melakukan hal serendah itu.Kania bungkam, ia masih meringis menahan perih sambil memegang pipinya yang memerah. Mata itu mendelik tajam pada Bu Delia. Seakan tak bisa menerima tudingan ibunya.Aku, Mas Bayu, Mbak Lisa, dan Mas Reyhan masih terlihat memusatkan perhatian pada ibu dan anak itu. Sepertinya tak ada seorang pun dari kami yang akan menyela pembicaraan mereka berdua karena itu diluar kewenangan.Waj
Kania terisak. Mata itu memerah. Mungkin ini pertama kalinya ia mencurahkan semua isi hatinya selama ini pada ibunya. Untuk pertama kalinya ia mengatakan keinginannya. Aku, Mbak Lisa, Mas Bayu dan Mas Reyhan hanya bisa melihat saja. Sedang Keysa terlihat masih nampak shock dan tak percaya dengan apa yang sedang terjadi. Tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut kami untuk menyela pembicaraan mereka berdua. Raut wajah Kania yang kecewa karena perlakuan dan sikap ibunya masih terpampang Jelas. Membuatku merasa iba mendengar ceritanya.***Kania meringis, wajahnya kini tampak sayu dengan mata yang berkaca-kaca. Ia menggigit bibir bawahnya. Sikapnya terlihat tidak nyaman saat menceritakan luka lama yang tersimpan dalam hatinya itu.Beberapa saat berlalu dalam kebungkaman. Aku melirik Mas Bayu yang kini fokus memandang Kania. Entah apa yang dipikirkannya saat ini, karena sepertinya ia nampak begitu tertarik dengan kisah masa lalu Kania.Kania memejamkan matanya sejenak, angin lembut
Bu Delia berusaha membujuk putrinya. Tatapan matanya sendu dan penuh harap nampak ketika ia menatap putri sulungnya itu. Ironi memang, disaat banyak yang menghalalkan segala cara demi mendapatkan uang dengan alasan kebutuhan keluarga. Tenyata ada yang lebih penting dari itu. Kasih sayang, cinta, dan kehangatan sebuah keluarga.Mata Kania masih mendelik tajam, tak lama kemudian ia terkekeh. Untuk sesaat aku merasa ada yang janggal, seperti ada sesuatu yang ia pikirkan, entahlah seperti ada sesuatu yang ia rencanakan dalam kepalanya. Tak lama, ia mengeluarkan sebuah pisau lipat dari saku belakang celana jeans yang dipakainya dan secepat kilat menusukkannya pada seseorang yang berada sisi kanannya.***Shoot!Pisau itu menusuk tepat di bagian perut Mas Bayu. Setelah menusuknya, Kania langsung mencabut kembali pisaunya. Sekilas aku melihat salah satu bibirnya terangkat dengan mata yang nampak begitu berbinar. Seakan puas dengan apa yang baru saja dilakukannya.Kejadian itu berlangsung san
PoV. Kania.Aku melihat mereka menggotong tubuh Mas Bayu yang berlumuran darah, membawanya masuk ke dalam mobil. Mata Alina mendelik penuh kemarahan padaku, Namun, tak begitu kupedulikan. Aku meringis masih merasakan sakit di lenganku yang memerah akibat cengkeraman kuat tangan Mas Reyhan. Melihat Mas Bayu yang terkapar membuatku puas. Ada rasa kemenangan di dalam dadaku melihatnya. Setidaknya dengan begini, Mas Bayu tak akan menjadi milik Alina. aku tak akan pernah bisa melihat wanita lain ada di sisi Mas Bayu.Aku gila.mungkin benar. Akan lebih baik melihatnya mati saja daripada melihatnya tersenyum dan tertawa bersama wanita lain, membuat hatiku terasa sakit jika mengingatnya. Cinta dan kecemburuan ini akhirnya menarikku dalam kegelapan yang tak berujung."Apa yang sudah kau lakukan, Kania. Mengapa harus bertindak nekat seperti ini, nak?" Tanya mama begitu ia menghampiriku lalu menarikku dalam dekapannya."Sudahlah ma, aku sudah lelah. tolong jangan bersikap ingin menghakimiku."
Suasana di klinik ini entah mengapa auranya terasa begitu mencekam bagiku. Menakutkan dan tegang. Beberapa kali ku putar bola mata demi melirik jam yang tergantung di dinding klinik ini. Rasanya begitu kesal melihat jarum jam di sana seakan enggan berputar. Membuatku sangat gelisah.Aku masih duduk menunggu dokter yang memeriksa dengan perasaan cemas dan gelisah, yang bercampur aduk. Berkali kali ku panjatkan doa dalam hati memohon kepada tuhan agar menyelamatkan nyawa Mas Bayu, aku belum sanggup untuk kehilangan dirinya.Ponsel Mas Reyhan terus berdering. Pun sama pula dengan Mbak Lisa, aku bisa mendengar ia membagi kabar mengenai keadaan disini dan apa yang menimpa Mas Bayu, kepada Mas Adi, suaminya. Kuusap kasar wajahku dengan telapak tangan. Berharap akan datangnya sebuah keajaiban disini. Besar harapanku luka tusukan itu tidak dalam. Beberapa kali aku menepis pikiran buruk yang datang, sungguh, aku bahkan aku tak berani membayangkan hal buruk yang bisa saja menimpa Mas Bayu saat
Dengan cepat perawat yang mendampingi kami, langsung membuka pintu dan keluar, aku dan mbak lisa ikut turun. pelan pelan, tubuh mas bayu pun dibawa keluar dari mobil menuju instalasi gawat darurat rumah sakit umum daerah bogor ini.Aku hanya diam terpaku menatap wajah pucat itu, memandang nanar mereka yang tergesa mendorong brankar itu masuk kedalam. kakiku serasa berat melangkah. untuk ikut mendorong, atau sekedar memegang tangan mas bayu."Alina, kau baik-baik saja?" Mbak Lisa menepuk bahuku pelan.***Aku sedikit tersentak, lalu segera menoleh padanya, "iya, mbak. aku tak apa apa. Jangan terlalu mencemaskanku."Aku memandang Mbak Lisa sambil tersenyum, wajah kakak iparku itu terlihat lelah. Wajar saja, sebab begitu tiba dari surabaya ia langsung menemaniku ke cisarua hingga dirumah sakit ini. Mbak Lisa adalah orang pertama yang mendukungku dan meragukan niat poligami yang ingin dilakukan Mas Bayu. ia begitu memahami apa yang kurasakan, didukung dengan perbedaan usia kami yang tak
"Tak apa apa, mbak. Biar saja aku menggendongnya sebentar. Rasanya beban ini sedikit berkurang saat memeluknya." ucapku.Aku memeluk Diyara, mencium pucuk kepalanya dengan lembut, kehadirannya di sini sedikit banyak menenangkan emosiku, sungguh, hati kecilku masih sangat berharap Diyara akan tetap bersama papanya. ***Tangan kecilnya menggapai wajahku, mengelusnya lembut. Ada rasa haru menyeruak di dada saat merasakan sentuhannya, tak tahu mengapa rasanya begitu membuatku nyaman. Memeluk dirinya seperti ini seakan memberi kekuatan untukku.Berusaha tenang meski jantung ini berdegup kencang bukanlah hal yang mudah. Pikiran buruk kini bermain dibenakku, membuatku semakin gelisah. Menakutkan, kata itu sangat pas dengan hari yang kulalui saat ini. Senyum tipis mungkin bisa menyembunyikan lara namun, itulah yang sekarang sedang kulakukan. "Aku yakin ibu kuat dan sabar dengan cobaan ini." Ucap pengasuh anakku itu berusaha menghiburku. Aku menaikkan salah satu sudut bibir padanya. Menyungg
"Alina!"Bu Maryam mengguncang bahuku, seakan ingin membangunkanku, kupalingkan segera wajahku darinya lalu menatap nanar Diyara yang sedang tertidur pulas dalam gendongan pengasuhnya. Haruskah berakhir seperti ini, di saat kami baru memperbaikinya dan memulainya kembali dari awal? Sungguh, aku masih tak ingin percaya jika jodohku dan Mas Bayu telah berakhir hari ini. ***"Bu ..." bisikku lirih nyaris tak terdengar."Bersabarlah, Alina," ucap Bu Maryam terisak di telingaku."A-pa saya boleh melihatnya?" Mendengar ucapanku, Mas Reyhan langsung menghampiri. "Ayo Alina, lihatlah."Aku menoleh sebentar pada Mbak Sita, pengasuhnya Diyara itu membalas tatapanku dengan sorot mata sayu. Melihat wajah Diyara, membuat mataku akhirnya mengembun."Aku akan menjaga Diyara, bu." Ucap Mbak Sita seakan mengerti apa yang sedang kupikirkan.Aku mengikuti langkah Mas Reyhan di iringi oleh Bu Maryam yang berjalan selangkah di belakangku. Begitu hampir mendekati ranjang dimana tubuh Mas Bayu dibaringkan