"Arabella sangat cantik," ucap lelaki bermanik sebiru lautan dengan suara beratnya yang mengalun menggoda.
Bella hanya bisa diam terpaku di bawah tatapan Regan Bradwell yang seakan menghipnotisnya, membuat wanita itu bagaikan seonggok kotak tanpa tangan dan kaki untuk digerakkan. "Te-terima kasih," ucap gugup Bella akhirnya. Ia hanya bisa meringis serta mengutuk diri sendiri dalam hati karena terlihat bodoh di hadapan kedua manusia yang nyaris sempurna ini. Anggra ikut berjalan mendekati istrinya dan menyalami Regan Bradwell. "Sekali lagi terima kasih untuk undangannya, Tuan Bradwell. Acara ini sangat luar biasa. Megah dan berkelas, sangat pantas mengingat nama Bradwell Company yang berada di baliknya," ucap suami Bella itu sambil tersenyum lebar. Regan mengalihkan manik biru safirnya dari Bella kepada Anggra dengan enggan, karena ia masih ingin mengagumi keindahan wanita itu. "Silahkan menikmati pestanya, Tuan Anggra. Anda dan...," Regan kembali menatap Bella dengan intens, "Arabella akan selalu disambut di dalam perkumpulan ini." Kali ini Bella sudah benar-benar tidak sanggup lagi untuk beradu tatap dengan Regan Bradwell dan memilih untuk menundukkan wajahnya. Lebih baik menghindar daripada merasa ditelanjangi melalui tatapannya "Oh ya," Patricia tiba-tiba menyela. "Kita akan masuk ke dalam acara inti. Sebaiknya kamu bersiap-siap, Arabella." Wanita itu tersenyum manis dan menyentuh sekilas kalung berlian berliontin kupu-kupu yang menjuntai tepat di bawah leher Bella. "Aku yakin sekali kalau kehadiranmu akan membuat kehebohan di acara lelang nanti." Patricia mengedipkan matanya kepada Bella seraya terkekeh pelan, lalu menggamit lengan suaminya. Pasangan menawan itu pun berlalu untuk duduk di sofa lebar yang berada di dekat panggung. Hanya ada beberapa sofa yang tersedia, dan tampaknya hanya disediakan untuk beberapa anggota penting perkumpulan ini. Mereka-mereka yang 'hanya' anggota biasa, tetap berdiri di dekat meja-meja tinggi bulat tempat menaruh minuman dan makanan. Bella menghadapkan wajah kepada suaminya. "Apa maksud perkataan Nyonya Patricia Bradwell tadi, Mas? Kenapa aku harus bersiap-siap di acara lelang? Dan apa pula maksudnya aku akan membuat kehebohan?" Tuntutnya. "Sayang, dengarkan Mas ya? Kamu itu telah terpilih, Sayang. Hanya istri-istri tertentu saja yang terpilih untuk dilelang--" "Apa?? Aku... aku dilelang?! Tapi aku bukan barang, Mas!!" Seru Bella gusar. "Ssh... dengarkan dulu. Kamu dilelang bukan untuk tujuan aneh-aneh kok. Cuma dengan menemani makan malam saja untuk pemenang lelang yang telah mengeluarkan dana," ulas Anggra. Bella mendesis marah. "Sama saja! Intinya Mas Anggra sudah menjual istri sendiri untuk mendapatkan suntikan dana, kan? Mas tega??" "Itu cuma makan malam, Bella! Jangan berlebihan!" Bella terkejut ketika Anggra mulai menaikkan intonasi suaranya, membuat beberapa orang yang berapa di sekitar mereka mulai melirik. Menyadari bahwa mereka mulai menjadi pusat perhatian, Anggra pun buru-buru menarik tangan Bella dan membawa istrinya ke tempat yang agak sepi. "Bella, tolong mengertilah! Mas benar-benar butuh dana untuk bisnis start-up ini. Ada belasan karyawan yang juga butuh gaji, Sayang. Merintis dari bawah saja sudah sangat sulit, apalagi tanpa ada dana." Anggra menatap istrinya dan mengecup keningnya. "Mas tidak akan membiarkan kamu dilecehkan oleh siapa pun, tenang saja. Perkumpulan ini sebenarnya adalah sarana para pengusaha untuk saling membantu sesama rekan bisnis yang membutuhkan modal, Bella. Hanya saja mereka melakukannya dengan cara yang sedikit menyenangkan." 'Sedikit menyenangkan? Apa makan malam dengan istri orang lain itu bisa dibilang menyenangkan? Bagaimana dengan istri mereka sendiri? Bukankah itu tidak pantas??' Jujur saja Bella masih keberatan dengan ide 'lelang istri' itu. Ia memilih untuk pulang. Namun karena Anggra terus membujuknya, pada akhirnya wanita itu pun luluh. Sapaan dari Master Of Ceremony mulai terdengar dari atas panggung. Pertama-tama ia menyapa sang tuan rumah, Regan dan Patricia Bradwell sebelum mulai menyapa para tamu yang hadir. Setelahnya, MC yang juga artis ibukota itu pun mulai memanggil beberapa nama wanita. Ada tiga wanita yang ia panggil dan diminta untuk maju ke atas panggung, termasuk di antara mereka adalah Bella. Mereka memakai gaun yang berbeda, namun semua memakai kalung berlian dengan liontin kupu-kupu yang sama. Mungkin itu adalah penanda bahwa mereka adalah 'barang' yang akan dilelang. Bella mendapatkan nomor urut 3, yang juga nomor urut terakhir. Ia menatap kepada wanita dengan nomor urut 1 yang kini telah berdiri di samping MC dan mulai dilelang. Ada banyak sekali lelaki yang menawar wanita itu, hingga akhirnya harga terakhir adalah 100.000 dollar! Bella hanya bisa melongo dan menghitung-hitung dalam hati berapa jumlahnya dalam kurs rupiah. Dan netra coklat bening itu pun kembali membelalak sempurnya setelah mengetahui jumlahnya. Satu setengah milyar rupiah hanya untuk makan malam??!! Apa orang kaya memang semudah itu membuang uangnya?? Wanita nomor urut 2 kini giliran untuk dilelang. Dan tidak sampai lima menit, ia telah 'terjual' seharga 400.000 ribu dollar! Fantastis, enam milyar lebih hanya untuk kencan makan malam!! Bella mulai merasa cemas. Rasanya terlalu mengagumkan dana yang digelontorkan hanya untuk sekedar makan malam, tapi Mas Anggra berjanji bahwa tidak ada hal lain yang harus ia lakukan untuk pembelinya nanti. Hanya makan malam Baiklah. Lagipula, ini demi perusahaan start-up Mas Anggra. Jika Bella bisa membantu mendapatkan dana, mengapa tidak? "Luar biasa sekali! Dua wanita cantik telah mendapatkan harga dinner date yang fantastis! Terima kasih kepada para pemenang lelang yang sudah sangat dermawan!" Ucap sang MC dengab penuh semangat. "Dan peserta lelang yang terakhir, kami memanggil Arabella Kanaya!" Tepuk tangan yang sangat meriah mengiringi langkah gugup Bella melintasi belakang panggung menuju ke bagian depan, dimana sang MC menyambutnya dengan senyum ramah. "Santai saja Nyonya, dan senyumlah. Anda adalah peserta yang paling ditunggu," bisiknya di telinga Bella. "Ah, sepertinya kita semua begitu terpukau dengan kecantikan Nyonya Arabella Kanaya, bukan? Saya rasa, harga yang pantas sebagai pembuka untuk wanita secantik ini adalah 500.000 dollar. Bagaimana, apakah ada yang tertarik?" Bella terkejut mendengar jumlah harga pembuka untuk dirinya. Apa?? Padahal dua peserta lelang sebelumnya diberi harga pembuka 100.000 dollar! "700.000," ucap seorang lelaki berjas abu-abu sambil mengangkat tangan memberikan penawaran pertama. "850.000," ucap lelaki lain yang tubuhnya agak pendek. "1 juta dollar!" Sambar lelaki lain. "1 juta 300 ribu dollar!" "1 juta 500 ribu dollar!" "Woow... tunggu dulu, tunggu dulu! Sepertinya pelelangan terakhir ini jauh melebihi ekspektasi! Sangat luar biasa!" Seru MC sambil mengajak audiens untuk bertepuk tangan riuh. "Baiklah, kita akan mulai kembali pelelangan panas ini. Kompetisi dimulai kembali, Saudara-saudara! Harga terakhir untuk Nyonya Arabella Kanaya adalah 1 juta 500 ribu dollar, apakah ada penawaran terakhir ataukah Tuan Wibisana yang akan memenangkan dinner date bersama Nyonya Arabella yang jelita ini?" Bella merasa pikirannya kacau. Apa yang barusan ia dengar itu nyata? Lelaki paruh baya yang berusia sekitar 40-an itu membelinya seharga 22 milyar rupiah?? Wanita itu melirik suaminya yang berdiri tak begitu jauh dari panggung. Wajah Mas Anggra begitu berseri-seri karena mendapatkan suntikan dana yang besar, berbanding terbalik dengan perasaan Bella yang campur aduk. "Apakah ada yang ingin memberikan penawaran lebih tinggi dari 1 juta 500 ribu dollar??" Sang MC kembali bertanya kepada audiens. "3 juta dollar!" Suara berat yang mengucapkan jumlah harga fantastis membuat suara kesiap rendah terdengar mengalun dari para audiens. "Ah, Tuan Bradwell ternyata juga telah terpesona pada kecantikan Nyonya Arabella. Penawaran beliau pun sangat luar biasa, 3 juta dollar--dua kali lipat dari penawaran sebelumnya sekaligus penawaran tertinggi selama perkumpulan ini berdiri!! Apa ada yang berani menantang tuan rumah kita dengan harga lebih tinggi??" Bella merasa kedua kakinya lemas seperti jelly. Regan Bradwell menawar kencan makan malam dengan dirinya seharga 3 juta dollar?? Setara dengan 46 milyar rupiah?? Suara ketukan palu membuat Bella tersadar dari pikirannya yang berkelana. "Lelang telah selesai, dan dinner date bersama Nyonya Arabella Kanaya telah dimenangkan oleh Tuan Regan Bradwell! Selamat!!" ***"Bella!"Wajah Anggra terlihat menggelap karena gusar melihat istrinya yang turun dari belakang panggung dan hendak berlari keluar melewati pintu samping.Beberapa pengawal yang melihat gelagat salah satu 'barang lelang' mereka yang sepertinya hendak melarikan diri, sontak berlari ke arah Bella dan segera memegang tangan wanita itu erat-erat."Lepaskan aku!! Aaak!!" Bella meronta-ronta dan menjerit ketika salah satu pengawal itu membopongnya serta menyampirkan tubuh Bella di atas bahunya."Kamu mau kemana, hah?!" Bentak Anggra gusar seraya mencengkram pergelangan tangan Bella, ketika wanita itu telah dibawa kembali ke hadapannya.PLAAAKKK!!Dengan kemarahan yang sudah berada di ubun-ubun, Bella menampar suaminya dengan satu tangannya yang bebas."Kamu benar-benar keterlaluan, Mas!!" Bella menjerit histeris dan memukuli dada Anggra dengan membabi-buta."Kamu bohong!! Kamu kira aku bisa percaya begitu saja kalau Regan Bradwell itu hanya ingin makan malam denganku, hah??! Mana mungkin se
"Tuan Regan, stoop..." kalimat larangan itu berbanding terbalik dengan rintihan lembut yang terus lolos dari bibir Bella. Saat ini dirinya telah duduk di atas pangkuan lelaki yang sejak tadi sibuk menikmati dirinya dengan rakus.Gaun seksi berwarna perak yang semula membalut ketat tubuhnya, kini telah berantakan tak berbentuk. Bagian depannya telah terekspos jelas, menampakkan dua bulatan penuh yang sempurna dan membuat Regan tak henti-henti mengagumi melalui sikapnya yang mendamba.Bagian bawah gaun Bella telah terangkat hingga terlihat mengumpul kusut di pinggangnya. Jika mulut Regan sibuk bergerilya menyesap dan menyapu pucuk bukit merah muda Bella dengan lidahnya, maka tangannya pun ikut sibuk menjelajah di bagian inti surgawi yang telah basah, menyelinap memasuki pakaian dalam berenda hitam."Uuh..."Regan menyeringai mendengar guman lirih Bella yang sangat sen sual dan mampu memancing gairahnya hingga serasa terbang tinggi bersama awan putih yang berarak lembut di langit.Efek '
"Haah... yaaa... teruuss, Arabella... ahh... kamu pintar sekali melakukannya... " Regan meracau dan mengerang ketika Bella sedang menikmati miliknya. Gerakan wanita itu bersemangat namun masih canggung, sangat tidak berpengalaman, tapi entah kenapa hal itu justru membuat Regan semakin terbang. Ia sudah terbiasa bersama istri-istri koleganya yang liar dan sangat mahir dalam permainan ranjang. Mereka memang sangat panas dan menantang. Dan Arabella... dia ternyata polos sekali. Mungkin jika Regan tidak memberinya obat, wanita ini pastilah akan menolak untuk tidur dengannya. Wanita itu menyentuhnya dengan ragu namun sangat ingin tahu. Aarrghhh!! Kenapa hal itu terlihat sangat seksi dimatanya?! "Stop." Sambil menggeram menahan gejolak, Regan menangkap pergelangan tangan Bella yang menggenggam miliknya. Bella pun berhenti menyesap benda keperkasaan Regan dan menatap lelaki itu dengan mata coklatnya yang sayu namun penuh tanda tanya. "Ada apa, Tuan? Apakah saya menyakiti Tuan? Maaf, s
Racauan demi racauan terus mewarnai peraduan dua insan yang sama-sama saling memberikan kepuasan itu."Lebih cepat, Anggraa...!! Ah...!!!" Jeritan penuh nikmat lolos dari bibir tipis Patricia di antara erangan dan rintihan sensual yang mengiringi aktivitas panas mereka. Anggra terus bercintahģ dengan wanita selain istrinya itu secara membabi-buta. Menjemput kenikmatan yang tak sepatutnya ia dapatkan.Anggra tidak bisa berbohong jika Nyonya Patricia Bradwell ini sangat cantik dan seksi. Caranya bermain di ranjang pun sangat pro dan berpengalaman, membuat rasa rindunya kepada Bella sedikit terobati.Sebagai seorang suami, Anggra tak bisa berbohong bahwa tentu saja ada perasaan tak rela saat ia harus menyerahkan istri sendiri menjadi wanita penghangat ranjang untuk Regan Bradwell.Tapi perjanjian adalah perjanjian. Ia sudah menyetujui pertukaran itu, dan tak ada yang bisa ia lakukan selain menuruti peraturan yang ada.Meskipun ada saat-saat ia ingin sekali mundur dari terutama ketika me
“Mau kemana?”Anggra baru terbangun dari tidurnya, ketika menyadari Patricia sudah tidak berada lagi di sampingnya. Wanita itu terlihat sudah segar seperti habis mandi dan sedang berdandan di depan meja rias.Patricia memamerkan senyum manisnya lewat cermin yang memantulkan bayangan Anggra yang sedang duduk di ranjang memandangnya. Patricia pun bangkit dan berjalan menuju ranjang untuk mengecup bibir Anggra.Ia suka sekali dengan wajah tampan pribumi lelaki ini. Apalagi dalam kondisi bangun tidur sehabis bercinta habis-habisan dengannya, Anggra terlihat semakin menggairahkan. Ah! Seandainya ia tidak perlu cepat pulang, pasti Patricia akan menghabiskan waktunya untuk bercinta dengan lelaki ini."Aku mau pulang," sahut Patricia. "Waktu kita hanya semalam, Anggra.""Semalam?" Ulang Anggra heran. "Apa suamimu tidak memberitahu, Nyonya? Tuan Regan meminta Bella istriku untuk menemaninya bukan untuk semalam, melainkan seminggu," tutur Anggra. "Dan bukankah itu artinya Nyonya juga akan bersa
Bella benar-benar tidak ingat apa yang terjadi. Ingatan terakhirnya adalah saat Tuan Regan yang terus menyetubuhinya tanpa henti semalam, lalu tiba-tiba saja ia terbangun dalam kondisi dijambak dan diseret dari atas ranjang oleh Nyonya Patricia.Bella bahkan kaget sekali ketika melihat lingerie merah menyala yang melekat pas dengan sensual di tubuhnya. Siapa yang memakaikan kain berenda tembus pandang itu?Ia sungguh tidak mengingat apa pun."Regan!" Tanpa sadar Patricia membentak suaminya. Apa yang barusan terucap dari bibir Regan adalah sesuatu yang membuat wanita itu benar-benar murka. "Apa maksudmu DIA menjadi wanitamu untuk selamanya, hah?! Apa kau sudah gila?!" Serunya sambil memelototi Bella yang meringkuk ketakutan dan bersembunyi di bawah selimut.Wajah Patricia terlihat sangat menakutkan jika sedang emosi seperti itu. Mengingatkan Bella pada Medusa, wanita berparas cantik yang dikutuk memiliki rambut yang menyerupai ular."Jika kau tidak bisa bersikap baik kepada Bella, mak
Jika saja waktu bisa diputar kembali, mungkin Bella akan mengubah semua yang membuatnya menjadi seperti ini.Ia akan menolak lamaran Mas Anggra, orang yang telah menjerumuskannya ke dalam lembah kegelapan ini. Suami yang sampai hati menjual tubuh istrinya demi 3 juta dollar.Bella akan memilih untuk mengejar passion-nya di bidang desain perhiasan, dan menerima tawaran pekerjaan dari beberapa butik jewelry yang telah meminangnya untuk bekerja di sana.Mungkin ia akan hidup bahagia saat ini, memiliki karir yang cemerlang dan bersenang-senang menikmati masa muda yang takkan pernah kembali lagi.Tapi itu semua hanya akan menjadi angan-angan semata, karena kenyataan yang ia hadapi saat ini begitu pahit dan menyakitkan.Dirinya tak lebih dari wanita pemuas nafsu seorang milyarder yang keji."Apa kau mendengarku, Arabella? Buka lingerie-mu sekarang!"Suara berat itu membuyarkan lamunan Bella yang sejenak terbang mengembara. Wajah cantiknya yang sendu semakin luruh tenggelam dalam kesedihan,
Bella menguap lebar. Tubuhnya lelah dan sangat mengantuk akibat setengah harian kemarin terus ditunggangi Regan nyaris tanpa jeda. Ditambah lagi saat ini ia hanya duduk di sofa di dalam ruang kerja hanya membaca-baca majalah sambil menunggui Regan yang sedang meeting. Membosankan sekali. Jika saja Regan menyerahkan ponsel Bella yang ia simpan, mungkin wanita itu tidak akan sebosan ini. Atau juga... seandainya ia boleh ke cafe untuk mengobrol bersama Renata. Bella mengira saudara kembar Regan itu akan membencinya karena telah merasa ia telah merebut Regan dari istri sahnya. Namun siapa yang menyangka jika Renata justru terlihat menyukai Bella dan bersikap manis padanya. Yah, semoga saja itu bukan pura-pura. Hembusan pendingin ruangan dan empuknya material sofa yang ia duduki membuat Bella semakin merasa tak kuat menahan kantuk. Hanya dalam hitungan beberapa menit, akhirnya wanita itu pun tertidur sambil duduk di sofa. Tak berapa lama, pintu ruang kerja CEO itu pun terbuka. Dua sos
((SATU MINGGU KEMUDIAN)) "Regan?" Lelaki berpostur tubuh tinggi dengan ototnya yang maskulin itu menoleh kepada sumber suara yang memanggilnya. Senyum lebar pun sontak terkembang di bibirnya, kala melihat sosok menawan yang telah menyapanya dengan suara lembut. "Sweetie, kamu sudah datang?" Dengan langkahnya yang lebar, Regan pun menyongsong wanita cantik berkulit keemasan yang kini telah menjadi istrinya. Kedatangan Bella ke kantor Bradwell Company ini adalah atas permintaan suaminya. Hari ini adalah hari dimana Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) diselenggarakan, sekaligus penentuan apakah Regan masih menjabat sebagai CEO ataukah tidak. Berbagai tekanan dari Dewan Direksi untuk menurunkan dirinya dari jabatan tertinggi itu adalah alasan utama diselenggarakannya RUPS hari ini. Harga saham Bradwell Company yang anjlok cukup drastis beberapa minggu ini adalah penyebabnya, hingga membuat para pemegang saham atau shareholders gusar. Padahal selama bertahun-tahun harga saham Bradwell
Renata dan Chelsea, kedua wanita yang saling berpelukan itu kini sama-sama mencurahkan air mata. Mereka semua berkumpul di Penthouse Regan, dengan maksud untuk menjalin kembali apa yang telah tercerai-berai sebelumnya. Setelah seluruh cerita telah diungkapkan, ketika semua kesalahpahaman diluruskan, dan saat sebuah kata 'maaf' terucap dengan penuh ketulusan, maka jiwa-jiwa yang terluka itu tetaplah terluka. Namun dibalik itu, ada sebuah harapan dan janji yang tersemat di dalam hati, bahwa suatu hari nanti semua luka memerihkan itu perlahan sirna ditelan oleh rasa bahagia. Suasana penuh haru itu membuat Bella dan Axel tak pelak ikut menitikkan air mata. Sementara Regan, lelaki itu masih membisu dalam keheningan pikiran yang tak dapat terbaca. George mendekati putranya dan menepuk pelan pundak Regan. "Bisakah Daddy bicara sebentar denganmu?" Pinta lelaki itu dengan sorot penuh permohonan. Regan melarikan maniknya ke arah Bella yang ternyata juga sedang memandanginya, dan tersenyum
"Auuww!! Bisa pelan-pelan nggak sih??" Protes Axel sambil mendelik kesal ke arah Renata, yang dengan sengaja menekan kuat-kuat kapas yang dibubuhi obat luka itu ke pipi Axel. Renata membalas dengan ikut-ikutan mendelikkan matanya. "Rasakan! Salahmu sendiri kenapa bisa-bisanya membuat Regan marah! Sudah kubilang untuk sembunyi, eeh... kamu malah memanggil namanya!" Dengus Renata sebal. "Dasar bodoh!" Umpat Renata gusar. Axel pun hanya bisa meringis walaupun dalam hati merasa senang, karena lagi-lagi dengan alasan ini ia bisa lebih lama bersama Renata. Si Psikiater ini tentu saja sudah bisa meramalkan apa yang akan terjadi, jika ia dengan terang-terangan mengakui kepada Regan bahwa semalam ia meniduri Renata. Ya, Regan benar-benar murka dan memukulnya. "Dia sangat overprotektif kepada semua wanita yang berada di sekitarnya, ya?" Cetus Axel menyimpulkan. Renata mengangguk kecil. Ia menempelkan plester ke sisi wajah Axel yang lukanya terbuka, lalu mengoleskan gel anti lebam di sudut
"Arabella Kanaya, maukah kamu menjadi istriku?" Pertanyaan yang diucapkan dengan lantunan nada yang lembut namun suara yang maskulin itu membuat jantung Bella tak henti berdebar. Wajah Regan terlihat semakin tampan di bawah bias cahaya lilin yang berpendar hangat menyinari kulitnya, serta lampu-lampu aneka warna dari gedung di sekitar mereka. Apakah Bella sedang bermimpi? Apakah ini nyata? Karena ini semua terlalu indah, hingga Bella khawatir bahwa ini hanyalah ilusinya semata. Namun semua keragu-raguan Bella yang insecure itu segera terbantahkan, saat Regan meraih jemari lentiknya untuk dikecup satu persatu dengan lembut. "Apakah pertanyaanku begitu sulit untuk dijawab?" Tanyanya dengan raut sendu. Serta merta Bella pun menggelengkan kepalanya. "Bukan begitu, Regan. Aku hanya... benar-benar tidak menyangka. Dan aku mengira yang kudengar barusan adalah khayalanku saja," ucapnya berterus terang. Kali ini Regan mengecup telapak tangan dan bagian pergelangan tangan Bella dimana ur
"Another shot, please!" Seru Renata kepada bartender sembari mengacungkan gelasnya yang telah kosong. "Apa Anda yakin, Nona?" Tanya bartender itu setelah mengamati Renata yang mulai terlihat mabuk. Renata memandangi name tag di dada sang bartender. "Devin," ia membaca tulisan yang tertera di sana. "Tentu saja aku yakin, Devin. Jangan khawatir. Tolong berikan aku minuman lagi." Bartender itu pun kembali menuangkan cairan keemasan yang menguarkan aroma alkohol yang pekat ke dalam gelas Renata, membuat senyum cantik terpulas di bibir itu. "Terima kasih, Devin. Oh iya," Renata mengeluarkan dompet dari tasnya, lalu menarik sebuah black card dan menaruhnya di atas meja di hadapan sang bartender. "Ini, bawa saja kartuku," cetusnya santai sembari mengangkat gelasnya yang telah terisi dengan gestur bersulang. "Jaga-jaga saja kalau-kalau aku sudah tak sadar saat pulang nanti." "Oke," sahut Devin dengan mata bersinar-sinar dan cepat-cepat menyelipkan kartu hitam itu di saku dadanya. "Akan
Renata menatap Regan dengan tatapan yang tak terbaca. Seluruh cerita yang disampaikan saudara kembarnya dengan tenang dan runut itu membuat sesuatu di dalam dirinya patah. Jadi selama belasan tahun ini Regan telah memendam kebencian dan kesedihannya sendiri? "Kenapa kamu tidak menceritakannya kepadaku?" Tanya Renata tak mengerti. "Karena aku tidak mau membuatmu ikut terluka, Ren," sahut Regan sambil tersenyum tipis, namun kilas kepedihan terpatri di garis bibirnya. "Lagipula kamu itu tipe yang nekat, aku khawatir kalau kamu tiba-tiba kabur dari rumah untuk mencari ibu biologis kita," cetus Regan sambil terkekeh pelan. Renata tidak ikut tertawa, meskipun apa yang diucapkan Regan adalah benar adanya. Memang hanya Regan yang benar-benar mengetahui dirinya, namun untuk kali ini Renata tidak menyukai keputusan Regan yang sepihak itu. Renata memejamkan kedua matanya sejenak, sebelum akhirnya ia membuka mata dan menggenggam jemari kakak kembarnya dengan kedua tangannya. "Regan, bagaima
"Apa??" Renata membelalakan maniknya menatap Regan dengan sorot tak percaya. "K-kau sudah... tahu??" Regan mengulurkan tangannya untuk menggenggam erat jemari adik kembarnya itu. Kedua manik indah biru safir itu pun saling bertemu namun dengan makna yang berbeda. "Ya, Renata. Sebenarnya aku sudah mengetahuinya sejak 16 tahun yang lalu..." guman Regan sembari tersenyum sedih. "Dan kurasa ini saatnya kamu juga mengetahui apa yang terjadi, Ren..." **FLASHBACK 16 TAHUN YANG LALU** Remaja lelaki itu melangkah masuk menuju pintu gerbang rumahnya dengan gontai karena sekujur tubuhnya terasa lelah. Tugas-tugas sekolah dan banyaknya ekstrakuler yang ia ikuti terkadang memang membuat tenaganya terkuras habis, namun dibalik itu semua, sesungguhnya ia menyukai kesibukan. "Aah, pundakku pegal sekali!" Keluhnya sembari memukul-mukul pelan pundak kiri dengan kepalan tangan kanannya. Semalaman ia menginap di rumah salah seorang temannya untuk mengerjakan sebuah project sains untuk klub fisika
"Jadi dia masih hidup??!" Patricia terkesiap saat mendengar suara ayahnya yang terdengar gusar pada seseorang di sambungan telepon. Dengan perlahan dan tanpa suara, ia pun menjalankan kursi rodanya semakin mendekati pintu ruang kerja Maxwell Harrison agar bisa mendengarkan dengan lebih jelas. BRAAKK!!! Hampir saja Patricia berteriak karena terkejut saat Maxwell menggebrak mejanya dengan keras. Untungnya wanita itu cepat-cepat menutup mulut dengan kedua tangan untuk meredam suara yang keluar. "Aku tidak mau tahu! Laksanakan tugasmu atau lehermu yang akan menggantikan nyawanya!!" Bentak Maxwell sembari menutup sambungan telepon dengan geram. "Daddy?" Lelaki yang juga ayahanda Patricia itu pun sontak menoleh ke arah sumber suara yang memanggil namanya. "Patrice? Kamu sudah datang?" Maxwell berdiri dari kursinya dan berjalan menuju pintu dimana Patricia masih terdiam di atas kursi rodanya. "Kenapa kamu tidak bilang kalau hari ini keluar dari rumah sakit? Daddy bisa menjemputmu."
Awan mendung dengan semilir angin dingin yang berhembus menerbangkan dedaunan kering di atas rumput. Titik-titik air pun mulai meluruh turun dari atas langit, menjanjikan curahnya yang akan jauh lebih deras. Dua sosok itu masih berada di sana, di depan sebuah makam berbatu granit putih. Rambut dan pakaian mereka mulai lembab dibasahi rintik hujan, namun tak ada satu pun dari mereka yang bergeming. Sang lelaki masih berdiri di sisi sang wanita yang sedang duduk berlutut di atas rumput, manik biru safirnya yang basah tak lepas memandang sayu pada nisan putih itu. "Apa yang harus kulakukan sekarang, George?" Rintih Chelsea pilu. Hujaman rasa bersalah yang begitu masif membuat sekujur tubuhnya lemas. "Semua ini salahku. Salahku!! Aku berdosa kepada Chloe!!" Chelsea kembali meraung keras sambil menjambak rambutnya frustasi. "Bangunlah, Chloe! Aku mohon, hiduplah!! Kau... kau berhak mendapatkan kebahagiaan, Kak..." jeritannya melengking penuh kesedihan yang mendalam. Air mata yang ber