maap baru up ya gaes, otornya ambruk 🤒
"Apa??" Renata membelalakan maniknya menatap Regan dengan sorot tak percaya. "K-kau sudah... tahu??" Regan mengulurkan tangannya untuk menggenggam erat jemari adik kembarnya itu. Kedua manik indah biru safir itu pun saling bertemu namun dengan makna yang berbeda. "Ya, Renata. Sebenarnya aku sudah mengetahuinya sejak 16 tahun yang lalu..." guman Regan sembari tersenyum sedih. "Dan kurasa ini saatnya kamu juga mengetahui apa yang terjadi, Ren..." **FLASHBACK 16 TAHUN YANG LALU** Remaja lelaki itu melangkah masuk menuju pintu gerbang rumahnya dengan gontai karena sekujur tubuhnya terasa lelah. Tugas-tugas sekolah dan banyaknya ekstrakuler yang ia ikuti terkadang memang membuat tenaganya terkuras habis, namun dibalik itu semua, sesungguhnya ia menyukai kesibukan. "Aah, pundakku pegal sekali!" Keluhnya sembari memukul-mukul pelan pundak kiri dengan kepalan tangan kanannya. Semalaman ia menginap di rumah salah seorang temannya untuk mengerjakan sebuah project sains untuk klub fisika
Renata menatap Regan dengan tatapan yang tak terbaca. Seluruh cerita yang disampaikan saudara kembarnya dengan tenang dan runut itu membuat sesuatu di dalam dirinya patah. Jadi selama belasan tahun ini Regan telah memendam kebencian dan kesedihannya sendiri? "Kenapa kamu tidak menceritakannya kepadaku?" Tanya Renata tak mengerti. "Karena aku tidak mau membuatmu ikut terluka, Ren," sahut Regan sambil tersenyum tipis, namun kilas kepedihan terpatri di garis bibirnya. "Lagipula kamu itu tipe yang nekat, aku khawatir kalau kamu tiba-tiba kabur dari rumah untuk mencari ibu biologis kita," cetus Regan sambil terkekeh pelan. Renata tidak ikut tertawa, meskipun apa yang diucapkan Regan adalah benar adanya. Memang hanya Regan yang benar-benar mengetahui dirinya, namun untuk kali ini Renata tidak menyukai keputusan Regan yang sepihak itu. Renata memejamkan kedua matanya sejenak, sebelum akhirnya ia membuka mata dan menggenggam jemari kakak kembarnya dengan kedua tangannya. "Regan, bagaima
"Another shot, please!" Seru Renata kepada bartender sembari mengacungkan gelasnya yang telah kosong. "Apa Anda yakin, Nona?" Tanya bartender itu setelah mengamati Renata yang mulai terlihat mabuk. Renata memandangi name tag di dada sang bartender. "Devin," ia membaca tulisan yang tertera di sana. "Tentu saja aku yakin, Devin. Jangan khawatir. Tolong berikan aku minuman lagi." Bartender itu pun kembali menuangkan cairan keemasan yang menguarkan aroma alkohol yang pekat ke dalam gelas Renata, membuat senyum cantik terpulas di bibir itu. "Terima kasih, Devin. Oh iya," Renata mengeluarkan dompet dari tasnya, lalu menarik sebuah black card dan menaruhnya di atas meja di hadapan sang bartender. "Ini, bawa saja kartuku," cetusnya santai sembari mengangkat gelasnya yang telah terisi dengan gestur bersulang. "Jaga-jaga saja kalau-kalau aku sudah tak sadar saat pulang nanti." "Oke," sahut Devin dengan mata bersinar-sinar dan cepat-cepat menyelipkan kartu hitam itu di saku dadanya. "Akan
"Arabella Kanaya, maukah kamu menjadi istriku?" Pertanyaan yang diucapkan dengan lantunan nada yang lembut namun suara yang maskulin itu membuat jantung Bella tak henti berdebar. Wajah Regan terlihat semakin tampan di bawah bias cahaya lilin yang berpendar hangat menyinari kulitnya, serta lampu-lampu aneka warna dari gedung di sekitar mereka. Apakah Bella sedang bermimpi? Apakah ini nyata? Karena ini semua terlalu indah, hingga Bella khawatir bahwa ini hanyalah ilusinya semata. Namun semua keragu-raguan Bella yang insecure itu segera terbantahkan, saat Regan meraih jemari lentiknya untuk dikecup satu persatu dengan lembut. "Apakah pertanyaanku begitu sulit untuk dijawab?" Tanyanya dengan raut sendu. Serta merta Bella pun menggelengkan kepalanya. "Bukan begitu, Regan. Aku hanya... benar-benar tidak menyangka. Dan aku mengira yang kudengar barusan adalah khayalanku saja," ucapnya berterus terang. Kali ini Regan mengecup telapak tangan dan bagian pergelangan tangan Bella dimana ur
"Auuww!! Bisa pelan-pelan nggak sih??" Protes Axel sambil mendelik kesal ke arah Renata, yang dengan sengaja menekan kuat-kuat kapas yang dibubuhi obat luka itu ke pipi Axel. Renata membalas dengan ikut-ikutan mendelikkan matanya. "Rasakan! Salahmu sendiri kenapa bisa-bisanya membuat Regan marah! Sudah kubilang untuk sembunyi, eeh... kamu malah memanggil namanya!" Dengus Renata sebal. "Dasar bodoh!" Umpat Renata gusar. Axel pun hanya bisa meringis walaupun dalam hati merasa senang, karena lagi-lagi dengan alasan ini ia bisa lebih lama bersama Renata. Si Psikiater ini tentu saja sudah bisa meramalkan apa yang akan terjadi, jika ia dengan terang-terangan mengakui kepada Regan bahwa semalam ia meniduri Renata. Ya, Regan benar-benar murka dan memukulnya. "Dia sangat overprotektif kepada semua wanita yang berada di sekitarnya, ya?" Cetus Axel menyimpulkan. Renata mengangguk kecil. Ia menempelkan plester ke sisi wajah Axel yang lukanya terbuka, lalu mengoleskan gel anti lebam di sudut
Renata dan Chelsea, kedua wanita yang saling berpelukan itu kini sama-sama mencurahkan air mata. Mereka semua berkumpul di Penthouse Regan, dengan maksud untuk menjalin kembali apa yang telah tercerai-berai sebelumnya. Setelah seluruh cerita telah diungkapkan, ketika semua kesalahpahaman diluruskan, dan saat sebuah kata 'maaf' terucap dengan penuh ketulusan, maka jiwa-jiwa yang terluka itu tetaplah terluka. Namun dibalik itu, ada sebuah harapan dan janji yang tersemat di dalam hati, bahwa suatu hari nanti semua luka memerihkan itu perlahan sirna ditelan oleh rasa bahagia. Suasana penuh haru itu membuat Bella dan Axel tak pelak ikut menitikkan air mata. Sementara Regan, lelaki itu masih membisu dalam keheningan pikiran yang tak dapat terbaca. George mendekati putranya dan menepuk pelan pundak Regan. "Bisakah Daddy bicara sebentar denganmu?" Pinta lelaki itu dengan sorot penuh permohonan. Regan melarikan maniknya ke arah Bella yang ternyata juga sedang memandanginya, dan tersenyum
((SATU MINGGU KEMUDIAN)) "Regan?" Lelaki berpostur tubuh tinggi dengan ototnya yang maskulin itu menoleh kepada sumber suara yang memanggilnya. Senyum lebar pun sontak terkembang di bibirnya, kala melihat sosok menawan yang telah menyapanya dengan suara lembut. "Sweetie, kamu sudah datang?" Dengan langkahnya yang lebar, Regan pun menyongsong wanita cantik berkulit keemasan yang kini telah menjadi istrinya. Kedatangan Bella ke kantor Bradwell Company ini adalah atas permintaan suaminya. Hari ini adalah hari dimana Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) diselenggarakan, sekaligus penentuan apakah Regan masih menjabat sebagai CEO ataukah tidak. Berbagai tekanan dari Dewan Direksi untuk menurunkan dirinya dari jabatan tertinggi itu adalah alasan utama diselenggarakannya RUPS hari ini. Harga saham Bradwell Company yang anjlok cukup drastis beberapa minggu ini adalah penyebabnya, hingga membuat para pemegang saham atau shareholders gusar. Padahal selama bertahun-tahun harga saham Bradwell
"Mass..."Bella mendesah nikmat ketika Anggra, suaminya, mempermainkan puncak dada miliknya dengan kuat.Hujaman demi hujaman yang diarahkan Anggra ke dalam miliknya membuat Bella seakan terbang melayang ke nirwana.Pagi ini, seperti hari-hari sebelumnya, Bella sedang sibuk di dapur memasak sarapan untuk suaminya yang akan berangkat ke kantor.Namun saat masakannya baru setengah matang, Anggra tiba-tiba muncul dari belakang dan menyibak gaun tidur selututnya, lalu meraba-raba bagian bawah tubuhnya dengan beringas.Tak butuh waktu lama bagi suaminya itu untuk segera membuka semua pakaian Bella di dapur, lalu bercinta dengan penuh semangat."Sayang, aku mau keluar... hhh... " Anggra memeluk istrinya erat dari belakang, seraya menembakkan seluruh cairan kenikmatannya ke dalam milik Bella.Lelaki itu kemudian mengecup bibir istrinya sekilas setelah memakaikan gaun tidur Bella yang tadi ia lemparkan ke atas kabinet."Makasih, Sayang. Kamu istri terbaik, tak pernah menolak dimana pun dan ka