"M-Mas..." Bella kembali berbisik di telinga Anggra dengan gestur tidak nyaman. Semua sorot penuh arti dari para lelaki itu membuatnya menggigil ketakutan. Mata tajam mereka seakan hendak meneelanjangi tubuhnya.
"Kok aku merasa dilihat dengan cara yang tidak senonoh ya?" Bella semakin mengeratkan tangannya yang melingkar di lengan Anggra. Sengaja ia sembunyikan tubuhnya di belakang suaminya itu, untuk menghindari tatapan bak serigala liar yang tak lepas terarah kepadanya. Anggra mengecup puncak kepala istrinya. "Santai saja, Sayang. Mungkin karena kamu itu terlalu cantik dan seksi, jadi wajar kalau jadi sorotan semua orang di sini." "Mas kok tidak merasa terganggu sih, istrinya dipelototin seperti itu sama lelaki lain?" Cebik Bella kesal. Wanita bersurai ikal itu menganggap Anggra terlihat terlalu santai, bahkan terkesan tidak peduli. Bukankah seharusnya seorang suami akan merasa marah kalau istrinya ditatap dengan penuh nafsu seperti itu? Anggra terkekeh pelan dan mengelus pipi istrinya. "Sudahlah. Yuk, kita berkenalan dengan semua anggota perkumpulan ini." Bella pun berjalan mengikuti kemana suaminya membawa dirinya. Anggra mulai mendekati satu persatu tamu yang ada di sana, lalu memperkenalkan dirinya dan Bella dengan sopan. Lelaki itu cukup luwes juga dalam pergaulan, harus Bella akui hal itu. Ia bisa berbaur dengan kalangan atas dengan baik. Berbeda halnya dengan Bella yang pada dasarnya pendiam jika berada di situasi yang asing baginya. Terlebih lagi, setiap kali Anggra membawanya untuk berkenalan dengan orang baru, selalu saja tatapan lekat penuh makna dari semua laki-laki yang ia dapat. Ah ya, dan satu lagi. Para wanitanya juga terlihat sama anehnya. Mereka terlihat jijik dan tak suka pada Bella, padahal Bella pun belum pernah bertemu sebelumnya. "Aahh!!!" Bella memekik kecil ketika seorang wanita yang menabraknya tak sengaja menumpahkan segelas wine ke gaunnya. "Oh, maafkan aku," ucap wanita bergaun hijau yang barusan menabraknya. "Aku tidak sengaja." Wanita itu meminta maaf bukan kepada Bella, namun kepada Anggra dengan seuntai senyum manis di bibirnya. Bella kesal sekali. Dia menabrak dan membuat gaunnya basah, tapi kenapa malah memandangi dan tersenyum kepada suaminya? Menyebalkan! "Anda seharusnya meminta maaf dengan benar, Nyonya. Anda telah membuat gaun saya basah, tapi bukannya merasa bersalah, Anda malah menggoda suami saya! Apa seperti ini manner para wanita kalangan atas?" Sindirnya gusar. Ia bukan tipe yang suka berterus terang seperti ini, namun kekesalan Bella sudah berada di ubun-ubun. Persetan dengan perkumpulan tidak jelas ini! Wanita bergaun hijau itu bersidekap dan menatap Bella tajam. Netranya yang terlapis kontal lensa abu-abu memandangi Bella dari ujung kepala ke ujung kaki dengan sorot mengejek. "Aku kan sudah meminta maaf, jadi manner seperti apa yang kamu maksud?" Balasnya dengan wajah mencemooh. "Manner rakyat jelata maksudnya??" Bella ingin membalas, namun Anggra cepat-cepat menengahinya. "Sudaah Sayang. Sekarang lebih baik bersihkan dulu noda gaunmu di toilet, ya?" Bisiknya seraua menyeret Bella ke arah toilet. "Mas, kok kamu nggak belain aku sih?" Tukas Bella kesal sambil cemberut. "Apa yang aku katakan tadi kan benar!" "Sayang, aku mohon kamu mau bersabar oke? Semua ini demi bisnis start up kita yang masih merintis dan membutuhkan suntikan modal yang banyak. Tadi aku juga sudah mengantongi beberapa nama pengusaha yang tertarik inves di perusahaan," tutur Anggra dengan wajah berbinar-binar, berbanding terbalik dengan Bella. 'Maksudnya pengusaha yang tadi memandangi setiap tonjolan di depan dan belakang tubuhku sambil menjilati bibirnya??' Gerutu Bella dalam hati. Ia kesal sekali kepada Anggra yang tidak peka saat istrinya menjadi sasaran tatapan nakal mereka. "Aku masuk ke toilet dulu, Mas. Tungguin ya?" "Aku tunggu di dekat panggung saja, ya? Risih rasanya berdiri di samping toilet wanita," sahut Anggra. Bella mendesah lelah. "Ya~ ya... terserah saja." Dasar suami tidak peka! Beberapa menit kemudian, Bella telah selesai membersihkan gaunnya dari noda merah gelap red wine. Untung saja gaunnya berwarna perak, jadi jejak basah air untuk membersihkan noda itu tidak terlalu ketara. Bella celingukan mencari keberadaan suaminya ketika ia telah keluar dari toilet. Saat ia berjalan ke arah panggung, Bella menahan napas kesal melihat pemandangan yang terpampang di depan matanya. Anggra terlihat asik tertawa sambil berbisik-bisik dengan wanita bergaun hijau yang tadi menabrak dan menyiramnya dengan red wine! Apa-apaan ini?? Dengan langkah penuh amarah, Bella pun bermaksud untuk menemui Anggra dan kali ini ia benar-benar akan memaksa suaminya itu untuk angkat kaki dari sini. Jika lelaki itu menolak, maka Bella akan pulang dengan menyetir sendiri. Persetan dengan suaminya! Wanita itu sakit hati melihat tawa lepas Anggra bersama perempuan sialan itu. Namun suara tepuk tangan keras yang tiba-tiba berkumandang menyurutkan langkahnya. Dengan perasaan bingung campur penasaran, Bella pun menoleh ke kiri dan kanan untuk melihat siapakah gerangan sosok yang diberi tepuk tangan semeriah ini. Sepasang suami istri dengan penampilan sangat memukau terlihat berjalan dari arah pintu ganda sambil tersenyum kepada semua orang. Eh, lebih tepatnya sih istrinya yang tersenyum, sementara sang suami hanya diam dengan wajah datar. Bella melongo melihat wajah mereka yang luar biasa tampan dan cantik. Sang istri memiliki raut dan tubuh bak supermodel dengan rambut pirang ombre dan wajah perpaduan Eropa dan Asia, sedangkan sang suami lebih mirip aktor Amerika tampan bermata biru cerah yang Bella lupa namanya. Wah, pasangan yang sangat sempurna! Bagaimana mungkin dua sosok tanpa cela bisa saling menemukan dan bersatu seperti ini? Pasangan itu pun langsung dikerubuti banyak orang. Mungkin mereka selebriti? Entahlah, rasa-rasanya Bella juga pernah melihat mereka tapi entah dimana. Tiba-tiba Bella merasakan tangannya digandeng oleh seseorang. "Ayo Sayang, kita berkenalan dulu dengan pasangan Bradwell. Mereka adalah pemilik istana megah ini sekaligus ketua perkumpulan," ucap Anggra penuh semangat. Bella yang masih sangat kesal dengan kelakuan genit suaminya, segera menepis tangan Anggra. "Aku mau pulang saja, Mas," ucap Bella dengan wajah dingin. "Kalau Mas Anggra masih mau di sini, silahkan. Aku pesan taksi saja." "Bellaaa... jangan ngambek gitu dong," Anggra cepat-cepat meraih siku istrinya yang hendak membalikkan badan. "Maaf kalau kamu nggak nyaman. Tapi aku janji kita nggak akan lama-lama di sini, oke? Tunggulah sebentar lagi ya?" Bella menggeleng kuat-kuat. "Mas Anggra di sini saja, biar aku yang pulang sendiri. Toh, Mas juga butuh suntikan dana kan? Dan sepertinya wanita bergaun hijau itu juga akrab banget ya sama Mas? Silahkan saja kalau masih mau mengobrol lebih lanjut," sindirnya ketus. "Bellaa... aku cuma--" "Tuan Anggra Dwi Kusuma?" Sebuah suara halus seorang wanita tiba-tiba menyapa Anggra yang sedang membujuk Bella. Dan kedua suami istri itu benar-benar terkejut ketika yang menyapa adalah istri dari pasangan Bradwell! Dengan sigap Anggra buru-buru menarik Bella mendekat, sebelum tersenyum dan membalas sapaan wanita cantik bersurai pirang panjang itu. "Selamat malam, Tuan dan Nyonya Bradwell. Saya merasa terhormat karena Anda sudah mengundang untuk hadir di acara ini," balas Anggra seraya tersenyum sopan. "Terima kasih karena telah hadir di sini," balas Nyonya Bradwell dengan senyum yang tak pernah lepas dari bibir berpulas lipstik menyala. Sedetik kemudian ia seperti menyadari tatapan suaminya yang tak putus kepada Bella. "Anda pasti Arabella Kanaya," ucapnya sambil mengamati gaun perak seksi yang melekat di tubuh Bella. "Gaun itu sangat cocok dengan Anda, Arabella. Anda sangat beruntung memiliki tubuh yang bisa membuat setiap wanita iri," komentarnya sembari terkekeh pelan. Bella membelalakkan matanya setelah menyadari sesuatu. Wanita inilah yang mengirimnya gaun dan kalung berlian lion kupu-kupu yang ia kenakan! "Oh, terima kasih untuk kiriman Anda, Nyonya Bradwell. Gaun dan kalung yang sangat indah. Saya sangat menyukainya," tutur Bella dengan senyum manisnya yang tulus. "Ah, kamu manis sekali!" Nyonya Bradwell tiba-tiba saja melepaskan pelukannya dari lengan suaminya, lalu menjulurkan tangannya untuk mengelus pipi Bella. "Dan kulitmu juga sangat halus dengan warna keemasan yang indah." Bella terkejut mendapatkan sentuhan tiba-tiba itu di wajahnya dari orang asing. Sekilas ia melirik ke arah Anggra, namun lagi-lagi suaminya itu terlihat santai dan malah ada kilat bangga yang terpantul di dalam matanya. "Sini, biar kuperkenalkan dengan suamiku." Nyonya Bradwell menggamit lengan Bella, lalu membawanya hingga berhadapan secara langsung dengan makhluk dengan fisik paling sempurna yang pernah Bella temui seumur hidupnya. "Regan sayang, dia adalah Arabella. Istri Tuan Anggra Dwi Kusuma. Bukankah ia sangat cantik?" DEG. Bella hanya bisa menelan ludahnya yang terasa berat, ketika Tuan Bradwell itu menatapnya lekat dari balik manik sebiru lautan yang dalam dan misterius. Ada yang aneh dari netra biru itu. Jika lelaki lain menatap Bella seeperti serigala liar yang menatap mangsanya, maka lelaki ini menatap Bella seperti... makhluk bengis nan kejam yang mengintai dari kegelapan. Menunggu saat yang tepat untuk menghisap sari pati kehidupanmu, menikmati dirimu, lalu membuangmu jika ia bilang 'selesai'. "Kau benar, Patricia." Suara berat itu mengalun dari bibir penuh lelaki itu yang berlekuk sseksi. Tatapannya tajam tertuju pada manik coklat Bella yang tak mampu berkedip bagai terhipnotis di bawah sorot biru itu. "Arabella sangat cantik." ***"Arabella sangat cantik," ucap lelaki bermanik sebiru lautan dengan suara beratnya yang mengalun menggoda.Bella hanya bisa diam terpaku di bawah tatapan Regan Bradwell yang seakan menghipnotisnya, membuat wanita itu bagaikan seonggok kotak tanpa tangan dan kaki untuk digerakkan."Te-terima kasih," ucap gugup Bella akhirnya. Ia hanya bisa meringis serta mengutuk diri sendiri dalam hati karena terlihat bodoh di hadapan kedua manusia yang nyaris sempurna ini.Anggra ikut berjalan mendekati istrinya dan menyalami Regan Bradwell. "Sekali lagi terima kasih untuk undangannya, Tuan Bradwell. Acara ini sangat luar biasa. Megah dan berkelas, sangat pantas mengingat nama Bradwell Company yang berada di baliknya," ucap suami Bella itu sambil tersenyum lebar.Regan mengalihkan manik biru safirnya dari Bella kepada Anggra dengan enggan, karena ia masih ingin mengagumi keindahan wanita itu. "Silahkan menikmati pestanya, Tuan Anggra. Anda dan...," Regan kembali menatap Bella dengan intens, "Arabella
"Bella!"Wajah Anggra terlihat menggelap karena gusar melihat istrinya yang turun dari belakang panggung dan hendak berlari keluar melewati pintu samping.Beberapa pengawal yang melihat gelagat salah satu 'barang lelang' mereka yang sepertinya hendak melarikan diri, sontak berlari ke arah Bella dan segera memegang tangan wanita itu erat-erat."Lepaskan aku!! Aaak!!" Bella meronta-ronta dan menjerit ketika salah satu pengawal itu membopongnya serta menyampirkan tubuh Bella di atas bahunya."Kamu mau kemana, hah?!" Bentak Anggra gusar seraya mencengkram pergelangan tangan Bella, ketika wanita itu telah dibawa kembali ke hadapannya.PLAAAKKK!!Dengan kemarahan yang sudah berada di ubun-ubun, Bella menampar suaminya dengan satu tangannya yang bebas."Kamu benar-benar keterlaluan, Mas!!" Bella menjerit histeris dan memukuli dada Anggra dengan membabi-buta."Kamu bohong!! Kamu kira aku bisa percaya begitu saja kalau Regan Bradwell itu hanya ingin makan malam denganku, hah??! Mana mungkin se
"Tuan Regan, stoop..." kalimat larangan itu berbanding terbalik dengan rintihan lembut yang terus lolos dari bibir Bella. Saat ini dirinya telah duduk di atas pangkuan lelaki yang sejak tadi sibuk menikmati dirinya dengan rakus.Gaun seksi berwarna perak yang semula membalut ketat tubuhnya, kini telah berantakan tak berbentuk. Bagian depannya telah terekspos jelas, menampakkan dua bulatan penuh yang sempurna dan membuat Regan tak henti-henti mengagumi melalui sikapnya yang mendamba.Bagian bawah gaun Bella telah terangkat hingga terlihat mengumpul kusut di pinggangnya. Jika mulut Regan sibuk bergerilya menyesap dan menyapu pucuk bukit merah muda Bella dengan lidahnya, maka tangannya pun ikut sibuk menjelajah di bagian inti surgawi yang telah basah, menyelinap memasuki pakaian dalam berenda hitam."Uuh..."Regan menyeringai mendengar guman lirih Bella yang sangat sen sual dan mampu memancing gairahnya hingga serasa terbang tinggi bersama awan putih yang berarak lembut di langit.Efek '
"Haah... yaaa... teruuss, Arabella... ahh... kamu pintar sekali melakukannya... " Regan meracau dan mengerang ketika Bella sedang menikmati miliknya. Gerakan wanita itu bersemangat namun masih canggung, sangat tidak berpengalaman, tapi entah kenapa hal itu justru membuat Regan semakin terbang. Ia sudah terbiasa bersama istri-istri koleganya yang liar dan sangat mahir dalam permainan ranjang. Mereka memang sangat panas dan menantang. Dan Arabella... dia ternyata polos sekali. Mungkin jika Regan tidak memberinya obat, wanita ini pastilah akan menolak untuk tidur dengannya. Wanita itu menyentuhnya dengan ragu namun sangat ingin tahu. Aarrghhh!! Kenapa hal itu terlihat sangat seksi dimatanya?! "Stop." Sambil menggeram menahan gejolak, Regan menangkap pergelangan tangan Bella yang menggenggam miliknya. Bella pun berhenti menyesap benda keperkasaan Regan dan menatap lelaki itu dengan mata coklatnya yang sayu namun penuh tanda tanya. "Ada apa, Tuan? Apakah saya menyakiti Tuan? Maaf, s
Racauan demi racauan terus mewarnai peraduan dua insan yang sama-sama saling memberikan kepuasan itu."Lebih cepat, Anggraa...!! Ah...!!!" Jeritan penuh nikmat lolos dari bibir tipis Patricia di antara erangan dan rintihan sensual yang mengiringi aktivitas panas mereka. Anggra terus bercintahģ dengan wanita selain istrinya itu secara membabi-buta. Menjemput kenikmatan yang tak sepatutnya ia dapatkan.Anggra tidak bisa berbohong jika Nyonya Patricia Bradwell ini sangat cantik dan seksi. Caranya bermain di ranjang pun sangat pro dan berpengalaman, membuat rasa rindunya kepada Bella sedikit terobati.Sebagai seorang suami, Anggra tak bisa berbohong bahwa tentu saja ada perasaan tak rela saat ia harus menyerahkan istri sendiri menjadi wanita penghangat ranjang untuk Regan Bradwell.Tapi perjanjian adalah perjanjian. Ia sudah menyetujui pertukaran itu, dan tak ada yang bisa ia lakukan selain menuruti peraturan yang ada.Meskipun ada saat-saat ia ingin sekali mundur dari terutama ketika me
“Mau kemana?”Anggra baru terbangun dari tidurnya, ketika menyadari Patricia sudah tidak berada lagi di sampingnya. Wanita itu terlihat sudah segar seperti habis mandi dan sedang berdandan di depan meja rias.Patricia memamerkan senyum manisnya lewat cermin yang memantulkan bayangan Anggra yang sedang duduk di ranjang memandangnya. Patricia pun bangkit dan berjalan menuju ranjang untuk mengecup bibir Anggra.Ia suka sekali dengan wajah tampan pribumi lelaki ini. Apalagi dalam kondisi bangun tidur sehabis bercinta habis-habisan dengannya, Anggra terlihat semakin menggairahkan. Ah! Seandainya ia tidak perlu cepat pulang, pasti Patricia akan menghabiskan waktunya untuk bercinta dengan lelaki ini."Aku mau pulang," sahut Patricia. "Waktu kita hanya semalam, Anggra.""Semalam?" Ulang Anggra heran. "Apa suamimu tidak memberitahu, Nyonya? Tuan Regan meminta Bella istriku untuk menemaninya bukan untuk semalam, melainkan seminggu," tutur Anggra. "Dan bukankah itu artinya Nyonya juga akan bersa
Bella benar-benar tidak ingat apa yang terjadi. Ingatan terakhirnya adalah saat Tuan Regan yang terus menyetubuhinya tanpa henti semalam, lalu tiba-tiba saja ia terbangun dalam kondisi dijambak dan diseret dari atas ranjang oleh Nyonya Patricia.Bella bahkan kaget sekali ketika melihat lingerie merah menyala yang melekat pas dengan sensual di tubuhnya. Siapa yang memakaikan kain berenda tembus pandang itu?Ia sungguh tidak mengingat apa pun."Regan!" Tanpa sadar Patricia membentak suaminya. Apa yang barusan terucap dari bibir Regan adalah sesuatu yang membuat wanita itu benar-benar murka. "Apa maksudmu DIA menjadi wanitamu untuk selamanya, hah?! Apa kau sudah gila?!" Serunya sambil memelototi Bella yang meringkuk ketakutan dan bersembunyi di bawah selimut.Wajah Patricia terlihat sangat menakutkan jika sedang emosi seperti itu. Mengingatkan Bella pada Medusa, wanita berparas cantik yang dikutuk memiliki rambut yang menyerupai ular."Jika kau tidak bisa bersikap baik kepada Bella, mak
Jika saja waktu bisa diputar kembali, mungkin Bella akan mengubah semua yang membuatnya menjadi seperti ini.Ia akan menolak lamaran Mas Anggra, orang yang telah menjerumuskannya ke dalam lembah kegelapan ini. Suami yang sampai hati menjual tubuh istrinya demi 3 juta dollar.Bella akan memilih untuk mengejar passion-nya di bidang desain perhiasan, dan menerima tawaran pekerjaan dari beberapa butik jewelry yang telah meminangnya untuk bekerja di sana.Mungkin ia akan hidup bahagia saat ini, memiliki karir yang cemerlang dan bersenang-senang menikmati masa muda yang takkan pernah kembali lagi.Tapi itu semua hanya akan menjadi angan-angan semata, karena kenyataan yang ia hadapi saat ini begitu pahit dan menyakitkan.Dirinya tak lebih dari wanita pemuas nafsu seorang milyarder yang keji."Apa kau mendengarku, Arabella? Buka lingerie-mu sekarang!"Suara berat itu membuyarkan lamunan Bella yang sejenak terbang mengembara. Wajah cantiknya yang sendu semakin luruh tenggelam dalam kesedihan,
((SATU MINGGU KEMUDIAN)) "Regan?" Lelaki berpostur tubuh tinggi dengan ototnya yang maskulin itu menoleh kepada sumber suara yang memanggilnya. Senyum lebar pun sontak terkembang di bibirnya, kala melihat sosok menawan yang telah menyapanya dengan suara lembut. "Sweetie, kamu sudah datang?" Dengan langkahnya yang lebar, Regan pun menyongsong wanita cantik berkulit keemasan yang kini telah menjadi istrinya. Kedatangan Bella ke kantor Bradwell Company ini adalah atas permintaan suaminya. Hari ini adalah hari dimana Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) diselenggarakan, sekaligus penentuan apakah Regan masih menjabat sebagai CEO ataukah tidak. Berbagai tekanan dari Dewan Direksi untuk menurunkan dirinya dari jabatan tertinggi itu adalah alasan utama diselenggarakannya RUPS hari ini. Harga saham Bradwell Company yang anjlok cukup drastis beberapa minggu ini adalah penyebabnya, hingga membuat para pemegang saham atau shareholders gusar. Padahal selama bertahun-tahun harga saham Bradwell
Renata dan Chelsea, kedua wanita yang saling berpelukan itu kini sama-sama mencurahkan air mata. Mereka semua berkumpul di Penthouse Regan, dengan maksud untuk menjalin kembali apa yang telah tercerai-berai sebelumnya. Setelah seluruh cerita telah diungkapkan, ketika semua kesalahpahaman diluruskan, dan saat sebuah kata 'maaf' terucap dengan penuh ketulusan, maka jiwa-jiwa yang terluka itu tetaplah terluka. Namun dibalik itu, ada sebuah harapan dan janji yang tersemat di dalam hati, bahwa suatu hari nanti semua luka memerihkan itu perlahan sirna ditelan oleh rasa bahagia. Suasana penuh haru itu membuat Bella dan Axel tak pelak ikut menitikkan air mata. Sementara Regan, lelaki itu masih membisu dalam keheningan pikiran yang tak dapat terbaca. George mendekati putranya dan menepuk pelan pundak Regan. "Bisakah Daddy bicara sebentar denganmu?" Pinta lelaki itu dengan sorot penuh permohonan. Regan melarikan maniknya ke arah Bella yang ternyata juga sedang memandanginya, dan tersenyum
"Auuww!! Bisa pelan-pelan nggak sih??" Protes Axel sambil mendelik kesal ke arah Renata, yang dengan sengaja menekan kuat-kuat kapas yang dibubuhi obat luka itu ke pipi Axel. Renata membalas dengan ikut-ikutan mendelikkan matanya. "Rasakan! Salahmu sendiri kenapa bisa-bisanya membuat Regan marah! Sudah kubilang untuk sembunyi, eeh... kamu malah memanggil namanya!" Dengus Renata sebal. "Dasar bodoh!" Umpat Renata gusar. Axel pun hanya bisa meringis walaupun dalam hati merasa senang, karena lagi-lagi dengan alasan ini ia bisa lebih lama bersama Renata. Si Psikiater ini tentu saja sudah bisa meramalkan apa yang akan terjadi, jika ia dengan terang-terangan mengakui kepada Regan bahwa semalam ia meniduri Renata. Ya, Regan benar-benar murka dan memukulnya. "Dia sangat overprotektif kepada semua wanita yang berada di sekitarnya, ya?" Cetus Axel menyimpulkan. Renata mengangguk kecil. Ia menempelkan plester ke sisi wajah Axel yang lukanya terbuka, lalu mengoleskan gel anti lebam di sudut
"Arabella Kanaya, maukah kamu menjadi istriku?" Pertanyaan yang diucapkan dengan lantunan nada yang lembut namun suara yang maskulin itu membuat jantung Bella tak henti berdebar. Wajah Regan terlihat semakin tampan di bawah bias cahaya lilin yang berpendar hangat menyinari kulitnya, serta lampu-lampu aneka warna dari gedung di sekitar mereka. Apakah Bella sedang bermimpi? Apakah ini nyata? Karena ini semua terlalu indah, hingga Bella khawatir bahwa ini hanyalah ilusinya semata. Namun semua keragu-raguan Bella yang insecure itu segera terbantahkan, saat Regan meraih jemari lentiknya untuk dikecup satu persatu dengan lembut. "Apakah pertanyaanku begitu sulit untuk dijawab?" Tanyanya dengan raut sendu. Serta merta Bella pun menggelengkan kepalanya. "Bukan begitu, Regan. Aku hanya... benar-benar tidak menyangka. Dan aku mengira yang kudengar barusan adalah khayalanku saja," ucapnya berterus terang. Kali ini Regan mengecup telapak tangan dan bagian pergelangan tangan Bella dimana ur
"Another shot, please!" Seru Renata kepada bartender sembari mengacungkan gelasnya yang telah kosong. "Apa Anda yakin, Nona?" Tanya bartender itu setelah mengamati Renata yang mulai terlihat mabuk. Renata memandangi name tag di dada sang bartender. "Devin," ia membaca tulisan yang tertera di sana. "Tentu saja aku yakin, Devin. Jangan khawatir. Tolong berikan aku minuman lagi." Bartender itu pun kembali menuangkan cairan keemasan yang menguarkan aroma alkohol yang pekat ke dalam gelas Renata, membuat senyum cantik terpulas di bibir itu. "Terima kasih, Devin. Oh iya," Renata mengeluarkan dompet dari tasnya, lalu menarik sebuah black card dan menaruhnya di atas meja di hadapan sang bartender. "Ini, bawa saja kartuku," cetusnya santai sembari mengangkat gelasnya yang telah terisi dengan gestur bersulang. "Jaga-jaga saja kalau-kalau aku sudah tak sadar saat pulang nanti." "Oke," sahut Devin dengan mata bersinar-sinar dan cepat-cepat menyelipkan kartu hitam itu di saku dadanya. "Akan
Renata menatap Regan dengan tatapan yang tak terbaca. Seluruh cerita yang disampaikan saudara kembarnya dengan tenang dan runut itu membuat sesuatu di dalam dirinya patah. Jadi selama belasan tahun ini Regan telah memendam kebencian dan kesedihannya sendiri? "Kenapa kamu tidak menceritakannya kepadaku?" Tanya Renata tak mengerti. "Karena aku tidak mau membuatmu ikut terluka, Ren," sahut Regan sambil tersenyum tipis, namun kilas kepedihan terpatri di garis bibirnya. "Lagipula kamu itu tipe yang nekat, aku khawatir kalau kamu tiba-tiba kabur dari rumah untuk mencari ibu biologis kita," cetus Regan sambil terkekeh pelan. Renata tidak ikut tertawa, meskipun apa yang diucapkan Regan adalah benar adanya. Memang hanya Regan yang benar-benar mengetahui dirinya, namun untuk kali ini Renata tidak menyukai keputusan Regan yang sepihak itu. Renata memejamkan kedua matanya sejenak, sebelum akhirnya ia membuka mata dan menggenggam jemari kakak kembarnya dengan kedua tangannya. "Regan, bagaima
"Apa??" Renata membelalakan maniknya menatap Regan dengan sorot tak percaya. "K-kau sudah... tahu??" Regan mengulurkan tangannya untuk menggenggam erat jemari adik kembarnya itu. Kedua manik indah biru safir itu pun saling bertemu namun dengan makna yang berbeda. "Ya, Renata. Sebenarnya aku sudah mengetahuinya sejak 16 tahun yang lalu..." guman Regan sembari tersenyum sedih. "Dan kurasa ini saatnya kamu juga mengetahui apa yang terjadi, Ren..." **FLASHBACK 16 TAHUN YANG LALU** Remaja lelaki itu melangkah masuk menuju pintu gerbang rumahnya dengan gontai karena sekujur tubuhnya terasa lelah. Tugas-tugas sekolah dan banyaknya ekstrakuler yang ia ikuti terkadang memang membuat tenaganya terkuras habis, namun dibalik itu semua, sesungguhnya ia menyukai kesibukan. "Aah, pundakku pegal sekali!" Keluhnya sembari memukul-mukul pelan pundak kiri dengan kepalan tangan kanannya. Semalaman ia menginap di rumah salah seorang temannya untuk mengerjakan sebuah project sains untuk klub fisika
"Jadi dia masih hidup??!" Patricia terkesiap saat mendengar suara ayahnya yang terdengar gusar pada seseorang di sambungan telepon. Dengan perlahan dan tanpa suara, ia pun menjalankan kursi rodanya semakin mendekati pintu ruang kerja Maxwell Harrison agar bisa mendengarkan dengan lebih jelas. BRAAKK!!! Hampir saja Patricia berteriak karena terkejut saat Maxwell menggebrak mejanya dengan keras. Untungnya wanita itu cepat-cepat menutup mulut dengan kedua tangan untuk meredam suara yang keluar. "Aku tidak mau tahu! Laksanakan tugasmu atau lehermu yang akan menggantikan nyawanya!!" Bentak Maxwell sembari menutup sambungan telepon dengan geram. "Daddy?" Lelaki yang juga ayahanda Patricia itu pun sontak menoleh ke arah sumber suara yang memanggil namanya. "Patrice? Kamu sudah datang?" Maxwell berdiri dari kursinya dan berjalan menuju pintu dimana Patricia masih terdiam di atas kursi rodanya. "Kenapa kamu tidak bilang kalau hari ini keluar dari rumah sakit? Daddy bisa menjemputmu."
Awan mendung dengan semilir angin dingin yang berhembus menerbangkan dedaunan kering di atas rumput. Titik-titik air pun mulai meluruh turun dari atas langit, menjanjikan curahnya yang akan jauh lebih deras. Dua sosok itu masih berada di sana, di depan sebuah makam berbatu granit putih. Rambut dan pakaian mereka mulai lembab dibasahi rintik hujan, namun tak ada satu pun dari mereka yang bergeming. Sang lelaki masih berdiri di sisi sang wanita yang sedang duduk berlutut di atas rumput, manik biru safirnya yang basah tak lepas memandang sayu pada nisan putih itu. "Apa yang harus kulakukan sekarang, George?" Rintih Chelsea pilu. Hujaman rasa bersalah yang begitu masif membuat sekujur tubuhnya lemas. "Semua ini salahku. Salahku!! Aku berdosa kepada Chloe!!" Chelsea kembali meraung keras sambil menjambak rambutnya frustasi. "Bangunlah, Chloe! Aku mohon, hiduplah!! Kau... kau berhak mendapatkan kebahagiaan, Kak..." jeritannya melengking penuh kesedihan yang mendalam. Air mata yang ber