Yak. War pun dimulai hehe
"Ya, Regan. Aku akan menunggumu."Bella tidak menyadari akibat dari senyuman manis yang terlukis di wajahnya setelah mengucapkan kalimat itu. Bagaimana gejolak hasrat yang sangat sulit Regan tolak seketika meledak di permukaan.Dengan suara geraman layaknya hewan buas, lelaki itu pun tiba-tiba saja menerjang tubuh sensual yang sedang duduk di ranjang. Hingga akhirnya Bella terhempas dengan keras di kasur, lalu Regan pun mulai melahap bibir wanita itu dengan rakus.Tak ada lagi ciuman lembut seperti sebelumnya, karena yang ada di dalam otak Regan saat ini adalah bagaimana melampiaskan gairahnya yang tengah menyala-nyala. Yang membuat seluruh sel di dalam tubuhnya bergetar penuh nikmat seraya merintihkan nama Bella seakan merapal sebuah doa.Kungkungan di atas tubuhnya serta pagutan keras dan menuntut dari Regan membuat Bella merasa seperti seekor kelinci yang sedang disantap oleh serigala. Tak ada ampun, dan membuatnya tak berkutik."Mmh..." desau suara seksi itu membuat Regan semak
Gala : Baik, Tuan Regan. Saya sendiri yang akan memastika kalau video itu akan segera tayang di media sosial dalam setengah jam.Regan menyunggingkan senyum tipis kala mendapatkan jawaban pesan dari Gala atas permintaannya tadi. Okay, setengah jam lagi dia akan melihat sejauh apa media akan menggila. Tapi untuk saat ini, Regan akan melakukan apa yang semestinya ia lakukan.Yaitu membawakan makanan untuk Bella.Regan membuka pintu kamar Bella, dan terkejut ketika tidak melihat wanita itu di dalam kamar. Namun suara gemericik air dari kamar mandi seketika membuatnya lega. Regan meletakkan nampan berisi makanan dan minuman itu di atas meja, lalu ia pun duduk di sofa menunggu Bella.Tak lama kemudian suara gemericik air pun tak terdengar lagi, yang disusul dengan terbukanya pintu kamar mandi serta sosok Bella yang keluar dari sana yang hanya mengenakan bath robe.Regan tersenyum melihat wajah segar wanita itu yang terlihat bersinar-sinar. Rambut ikalnya yang basah pun tak luput dari per
"Uumhh.... hahh... Regan..." Jeritan Bella pun berkumandang ketika gulungan ombak serasa menerjang seluruh tubuhnya. Pelepasan yang begitu nikmat itu membuat dirinya seakan terbang ke dan meledak menjadi serpihan-serpihan serbuk bintang yang berkilauan di udara.Tubuh sensual berkulit keemasan itu melengkung dengan indah, membahasakan sebuah kenikmatan yang terlalu besar untuk dirinya terima. Beberapa detik setelahnya, Bella pun terkulai lemas dalam dekapan Regan.Hujan kecupan pun dialamatkan oleh lelaki itu di seluruh wajah dan bahu telanjang Bella yang berkilau karena keringat. "Kamu semakin seksi," puji Regan yang terus memberikan kecupannya.Sesi bercinta kali ini Regan meminta Bella untuk berada di atas, sebagai memegang kendali dan ritmenya. Namun Bella sempat ragu karena woman on top bukanlah gaya bercinta yang biasa ia lakukan dengan suaminya dahulu, karena Anggra lebih suka sebagai pemegang kendali, sementara ia lebih pasif.Regan terkekeh pelan melihat betapa canggungny
Bella terdiam seraya menatap sosok wanita berambut pirang di depannya dengan lamat-lamat. Benarkah yang ia katakan? Atau itu cuma akal-akalannya saja??Memang ada yang agak berbeda dari penampilan Patricia, wanita itu terlihat jauh lebih pucat dari dan kurus daripada sebelumnya. Atau itu cuma khayalan Bella?Tawa kecil menguar dari mulut Patricia melihat wajah Bella yang seperti sedang berpikir. "Kamu pasti mengira kalau aku berbohong kan? Seandainya benar ini adalah sebuah kebohongan, aku akan sangat bersyukur! Aku benar-benar..." Patricia menghentikan ucapannya dan mendongakkan wajahnya, seperti sedang berusaha untuk mencegah air matanya turun."Aku benar-benar iri padamu, Arabella. Kamu... kamu bisa mendapatkan hati Regan hanya dalam sekejap, sementara aku yang bertahun-tahun sudah setia menunggu tak juga bisa membuatnya berpaling dan menatapku."Bella terkesiap pelan saat merasakan pipinya tiba-tiba ditangkup oleh kedua tangan Patricia. Maniknya yang beriris hitam pun sontak mel
"Tidak, Regan! Aku tidak mau!!"Air mata yang berlinang disertai penolakan keras Bella sama sekali tidak membuat Regan iba. Lengannya yang kekar terus menarik tangan Bella, menyeret tubuh wanita itu ke dalam kamar."Jangan! Regan, aku mohon... aku mohon jangan lakukan itu lagi, aaa..." Bella terisak dalam tangisnya saat Regan mulai memaksa melepaskan home dress-nya dengan terburu-buru hingga membuatnya sobek di beberapa bagian.Lelaki itu telah gelap mata karena gairah. Bahkan melihat hanya dengan melihat tetesan air dari gelas yang jatuh ke dagu dan leher Bella saja telah membuat dirinya serasa terbakar dari kepala hingga ke ujung kaki.Bella terus berontak, ia berusaha memukul dan menendang, namun lelaki itu terlalu kuat untuk dikalahkan."Tidak, tidak, tidaaak!!!" Jerit Bella ketika Regan menarik keras bra hitamnya dan melempar benda yang telah rusak itu ke atas lantai.Lelaki itu menelan salivanya saat melihat pemandangan dua bulatan sempurna dengan puncaknya yang merah muda."Ca
Bella melebarkan matanya ketika ia keluar dari apartemen Axel dengan didampingi oleh Regan. Sepanjang koridor menuju lift telah dipenuhi oleh belasan pengawal yang bersandar tegak di dinding, kesemuanya menoleh ke arah mereka dan menganggukkan kepala kepada Regan."Jangan takut. Mereka cuma menjaga kita dari papparazi yang sering mengejarku," ucap Regan sembari menggenggam erat tangan Bella. "Ayo."Bella berjalan bersisian dengan Regan menuju lift, yang ternyata juga sudah dijaga oleh tiga orang pengawal laki-laki. Kening Bella serta-merta mengernyit saat menyadari kalau alih-alih turun ke lantai bawah, mereka malah naik ke atas."Kita mau kemana?" Tanya Bella bingung."Ke rooftop. Transportasi kita menuju bandara ada di sana," sahut Regan santai.Dan transportasi yang dimaksud ternyata adalah sebuah helikopter! Bella masih mematung takjub tatkala melihatnya. Mereka ke bandara menggunakan helikopter??"Tadinya aku sudah menyiapkan mobil di bawah untuk kita," ujar Regan dengan suara
"Aku tahu semuanya tentang kamu, Arabella. Luar dan dalam."Bella menggigit bibirnya dengan hati yang berdebar, ketika kalimat rayuan yang menjurus itu terucap dari bibir Regan yang kini berada sangat dekat dengan bibirnya.Netra biru safir Regan pun sontak tertuju pada bibir Bella."Jangan digigit," bisiknya dengan suara yang telah berubah serak karena gairah yang mulai muncul dan naik ke permukaan. "Karena itu tugasku."Bella terkesiap saat Regan tiba-tiba saja mengangkat pinggangnya. Bagaimana mudahnya lelaki itu memindahkannya dari tempat duduk di sebelah hingga kini mendarat di atas pangkuan Regan, selalu berhasil membuat Bella tersipu malu-malu.Berat badan Bella 48 kilogram, bisa dibayangkan betapa kuatnya Regan mengangkat bobot seberat itu sambil duduk di kursi pesawat.Bella mengalungkan kedua tangannya di leher Regan, sementara lelaki itu tak mengubah posisi jemarinya yang sejak tadi hinggap di pinggang ramping Bella. Namun kini kedua tangannya tak lagi diam, melainkan ter
"Chelsea? Ada keperluan apa tiba-tiba datang ke sini?" Regan melepaskan pelukannya di pinggang Bella, yang seketika membuat wanita itu merasa ditinggalkan. Lelaki itu beranjak.untuk memeluk ibunya dengan hangat lalu mengecup ubun-ubunnya. Bella menepis cepat perasaan ditinggalkan yang seakan membuat lubang besar di hatinya. Hari ini adalah hari bersejarah, karena untuk pertama kalinya Chelsea akhirnya bertemu dengan Bella. "Aku ini ibumu. Apa perlu alasan hanya untuk bertamu??" Ketus Chŕelsea sembari kembali melirik Bella. "Jadi rupanya apa yang dikatakan oleh Patricia itu benar, kan? Kau memang memiliki wanita simpanan!" Chelsea menunjuk wajah Bella dengan gusar. "Dia!!" "Namanya Arabella," ucap Regan, suaranya yang berat dan dalam itu masih terdengar tenang, meskipun Bella saja sudah gemetar ketakutan karena bentakan Chelsea. "Dan aku mencintainya, Chelsea. Aku mencintai Arabella." Jantung Bella pun mendadak berhenti berdetak. Seluruh darahnya seakan berhenti mengalir aki
((SATU MINGGU KEMUDIAN)) "Regan?" Lelaki berpostur tubuh tinggi dengan ototnya yang maskulin itu menoleh kepada sumber suara yang memanggilnya. Senyum lebar pun sontak terkembang di bibirnya, kala melihat sosok menawan yang telah menyapanya dengan suara lembut. "Sweetie, kamu sudah datang?" Dengan langkahnya yang lebar, Regan pun menyongsong wanita cantik berkulit keemasan yang kini telah menjadi istrinya. Kedatangan Bella ke kantor Bradwell Company ini adalah atas permintaan suaminya. Hari ini adalah hari dimana Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) diselenggarakan, sekaligus penentuan apakah Regan masih menjabat sebagai CEO ataukah tidak. Berbagai tekanan dari Dewan Direksi untuk menurunkan dirinya dari jabatan tertinggi itu adalah alasan utama diselenggarakannya RUPS hari ini. Harga saham Bradwell Company yang anjlok cukup drastis beberapa minggu ini adalah penyebabnya, hingga membuat para pemegang saham atau shareholders gusar. Padahal selama bertahun-tahun harga saham Bradwell
Renata dan Chelsea, kedua wanita yang saling berpelukan itu kini sama-sama mencurahkan air mata. Mereka semua berkumpul di Penthouse Regan, dengan maksud untuk menjalin kembali apa yang telah tercerai-berai sebelumnya. Setelah seluruh cerita telah diungkapkan, ketika semua kesalahpahaman diluruskan, dan saat sebuah kata 'maaf' terucap dengan penuh ketulusan, maka jiwa-jiwa yang terluka itu tetaplah terluka. Namun dibalik itu, ada sebuah harapan dan janji yang tersemat di dalam hati, bahwa suatu hari nanti semua luka memerihkan itu perlahan sirna ditelan oleh rasa bahagia. Suasana penuh haru itu membuat Bella dan Axel tak pelak ikut menitikkan air mata. Sementara Regan, lelaki itu masih membisu dalam keheningan pikiran yang tak dapat terbaca. George mendekati putranya dan menepuk pelan pundak Regan. "Bisakah Daddy bicara sebentar denganmu?" Pinta lelaki itu dengan sorot penuh permohonan. Regan melarikan maniknya ke arah Bella yang ternyata juga sedang memandanginya, dan tersenyum
"Auuww!! Bisa pelan-pelan nggak sih??" Protes Axel sambil mendelik kesal ke arah Renata, yang dengan sengaja menekan kuat-kuat kapas yang dibubuhi obat luka itu ke pipi Axel. Renata membalas dengan ikut-ikutan mendelikkan matanya. "Rasakan! Salahmu sendiri kenapa bisa-bisanya membuat Regan marah! Sudah kubilang untuk sembunyi, eeh... kamu malah memanggil namanya!" Dengus Renata sebal. "Dasar bodoh!" Umpat Renata gusar. Axel pun hanya bisa meringis walaupun dalam hati merasa senang, karena lagi-lagi dengan alasan ini ia bisa lebih lama bersama Renata. Si Psikiater ini tentu saja sudah bisa meramalkan apa yang akan terjadi, jika ia dengan terang-terangan mengakui kepada Regan bahwa semalam ia meniduri Renata. Ya, Regan benar-benar murka dan memukulnya. "Dia sangat overprotektif kepada semua wanita yang berada di sekitarnya, ya?" Cetus Axel menyimpulkan. Renata mengangguk kecil. Ia menempelkan plester ke sisi wajah Axel yang lukanya terbuka, lalu mengoleskan gel anti lebam di sudut
"Arabella Kanaya, maukah kamu menjadi istriku?" Pertanyaan yang diucapkan dengan lantunan nada yang lembut namun suara yang maskulin itu membuat jantung Bella tak henti berdebar. Wajah Regan terlihat semakin tampan di bawah bias cahaya lilin yang berpendar hangat menyinari kulitnya, serta lampu-lampu aneka warna dari gedung di sekitar mereka. Apakah Bella sedang bermimpi? Apakah ini nyata? Karena ini semua terlalu indah, hingga Bella khawatir bahwa ini hanyalah ilusinya semata. Namun semua keragu-raguan Bella yang insecure itu segera terbantahkan, saat Regan meraih jemari lentiknya untuk dikecup satu persatu dengan lembut. "Apakah pertanyaanku begitu sulit untuk dijawab?" Tanyanya dengan raut sendu. Serta merta Bella pun menggelengkan kepalanya. "Bukan begitu, Regan. Aku hanya... benar-benar tidak menyangka. Dan aku mengira yang kudengar barusan adalah khayalanku saja," ucapnya berterus terang. Kali ini Regan mengecup telapak tangan dan bagian pergelangan tangan Bella dimana ur
"Another shot, please!" Seru Renata kepada bartender sembari mengacungkan gelasnya yang telah kosong. "Apa Anda yakin, Nona?" Tanya bartender itu setelah mengamati Renata yang mulai terlihat mabuk. Renata memandangi name tag di dada sang bartender. "Devin," ia membaca tulisan yang tertera di sana. "Tentu saja aku yakin, Devin. Jangan khawatir. Tolong berikan aku minuman lagi." Bartender itu pun kembali menuangkan cairan keemasan yang menguarkan aroma alkohol yang pekat ke dalam gelas Renata, membuat senyum cantik terpulas di bibir itu. "Terima kasih, Devin. Oh iya," Renata mengeluarkan dompet dari tasnya, lalu menarik sebuah black card dan menaruhnya di atas meja di hadapan sang bartender. "Ini, bawa saja kartuku," cetusnya santai sembari mengangkat gelasnya yang telah terisi dengan gestur bersulang. "Jaga-jaga saja kalau-kalau aku sudah tak sadar saat pulang nanti." "Oke," sahut Devin dengan mata bersinar-sinar dan cepat-cepat menyelipkan kartu hitam itu di saku dadanya. "Akan
Renata menatap Regan dengan tatapan yang tak terbaca. Seluruh cerita yang disampaikan saudara kembarnya dengan tenang dan runut itu membuat sesuatu di dalam dirinya patah. Jadi selama belasan tahun ini Regan telah memendam kebencian dan kesedihannya sendiri? "Kenapa kamu tidak menceritakannya kepadaku?" Tanya Renata tak mengerti. "Karena aku tidak mau membuatmu ikut terluka, Ren," sahut Regan sambil tersenyum tipis, namun kilas kepedihan terpatri di garis bibirnya. "Lagipula kamu itu tipe yang nekat, aku khawatir kalau kamu tiba-tiba kabur dari rumah untuk mencari ibu biologis kita," cetus Regan sambil terkekeh pelan. Renata tidak ikut tertawa, meskipun apa yang diucapkan Regan adalah benar adanya. Memang hanya Regan yang benar-benar mengetahui dirinya, namun untuk kali ini Renata tidak menyukai keputusan Regan yang sepihak itu. Renata memejamkan kedua matanya sejenak, sebelum akhirnya ia membuka mata dan menggenggam jemari kakak kembarnya dengan kedua tangannya. "Regan, bagaima
"Apa??" Renata membelalakan maniknya menatap Regan dengan sorot tak percaya. "K-kau sudah... tahu??" Regan mengulurkan tangannya untuk menggenggam erat jemari adik kembarnya itu. Kedua manik indah biru safir itu pun saling bertemu namun dengan makna yang berbeda. "Ya, Renata. Sebenarnya aku sudah mengetahuinya sejak 16 tahun yang lalu..." guman Regan sembari tersenyum sedih. "Dan kurasa ini saatnya kamu juga mengetahui apa yang terjadi, Ren..." **FLASHBACK 16 TAHUN YANG LALU** Remaja lelaki itu melangkah masuk menuju pintu gerbang rumahnya dengan gontai karena sekujur tubuhnya terasa lelah. Tugas-tugas sekolah dan banyaknya ekstrakuler yang ia ikuti terkadang memang membuat tenaganya terkuras habis, namun dibalik itu semua, sesungguhnya ia menyukai kesibukan. "Aah, pundakku pegal sekali!" Keluhnya sembari memukul-mukul pelan pundak kiri dengan kepalan tangan kanannya. Semalaman ia menginap di rumah salah seorang temannya untuk mengerjakan sebuah project sains untuk klub fisika
"Jadi dia masih hidup??!" Patricia terkesiap saat mendengar suara ayahnya yang terdengar gusar pada seseorang di sambungan telepon. Dengan perlahan dan tanpa suara, ia pun menjalankan kursi rodanya semakin mendekati pintu ruang kerja Maxwell Harrison agar bisa mendengarkan dengan lebih jelas. BRAAKK!!! Hampir saja Patricia berteriak karena terkejut saat Maxwell menggebrak mejanya dengan keras. Untungnya wanita itu cepat-cepat menutup mulut dengan kedua tangan untuk meredam suara yang keluar. "Aku tidak mau tahu! Laksanakan tugasmu atau lehermu yang akan menggantikan nyawanya!!" Bentak Maxwell sembari menutup sambungan telepon dengan geram. "Daddy?" Lelaki yang juga ayahanda Patricia itu pun sontak menoleh ke arah sumber suara yang memanggil namanya. "Patrice? Kamu sudah datang?" Maxwell berdiri dari kursinya dan berjalan menuju pintu dimana Patricia masih terdiam di atas kursi rodanya. "Kenapa kamu tidak bilang kalau hari ini keluar dari rumah sakit? Daddy bisa menjemputmu."
Awan mendung dengan semilir angin dingin yang berhembus menerbangkan dedaunan kering di atas rumput. Titik-titik air pun mulai meluruh turun dari atas langit, menjanjikan curahnya yang akan jauh lebih deras. Dua sosok itu masih berada di sana, di depan sebuah makam berbatu granit putih. Rambut dan pakaian mereka mulai lembab dibasahi rintik hujan, namun tak ada satu pun dari mereka yang bergeming. Sang lelaki masih berdiri di sisi sang wanita yang sedang duduk berlutut di atas rumput, manik biru safirnya yang basah tak lepas memandang sayu pada nisan putih itu. "Apa yang harus kulakukan sekarang, George?" Rintih Chelsea pilu. Hujaman rasa bersalah yang begitu masif membuat sekujur tubuhnya lemas. "Semua ini salahku. Salahku!! Aku berdosa kepada Chloe!!" Chelsea kembali meraung keras sambil menjambak rambutnya frustasi. "Bangunlah, Chloe! Aku mohon, hiduplah!! Kau... kau berhak mendapatkan kebahagiaan, Kak..." jeritannya melengking penuh kesedihan yang mendalam. Air mata yang ber