"Iris keguguran ... God!!" Peter terduduk di kursi setelah mendengar diagnosa dokter, kepalanya berdenyut sakit dan perlahan bergerak menunduk hingga harus ditopang dengan kedua tangannya karena tiba-tiba terasa sangat berat."Bagaimana keadaan nona Iris? Apakah nona Iris seudah mengetahui kabar ini?" Tanya Simon."Pasien masih belum sadarkan diri dan belum tahu tentang keguguran yang dialaminya," jawab sang dokter."Apakah kami bisa melihat nona Iris?" Tanya Simon lagi.Sang dokter mengangguk lalu berkata. "Boleh, tapi anda harus menunggu sebentar karena pasien sedang dipindahkan ke ruang perawatan dan pasien juga harus banyak beristirahat agar keadaannya bisa segera pulih.""Saya mengerti, terima kasih banyak." Ucap Simon.Sang dokter mengangguk pelan lalu pergi meninggalkan Peter dan Simon untuk melanjutkan pekerjaannya. Beberapa menit kemudian, Peter masuk ke dalam kamar perawatan Iris untuk melihat kondisi sang gadis yang sedang terbaring lemah di atas ranjang dengan wajah yang sa
"Iris, maafkan aku." Evan mengusap lembut pipi mulus Iris yang telah basah oleh air mata.Setelah seharian merenung, Evan memutuskan untuk menemui Iris dan hal mengejutkan lainnya adalah sebuah permintaan maaf yang meluncur dari bibirnya kepada tawanan wanitanya."Pergi, pergi dari sini!! Apa kau masih belum puas setelah menghancurkan hidupku dan membuatku keguguran?!" Iris mendorong bahkan memukuli tangan kekar Evan dan tidak sudih untuk disentuh oleh pria kejam yang telah menyiksanya."Aku tahu, aku tahu dan karena itu lah aku datang ke sini untuk meminta maaf kepadamu," ucap Evan sembari memegangi tangan Iris dan mencoba untuk menenangkan kemarahan wanitanya.Tangis Iris yang semula berupa isakan kini malah pecah dan berubah menjadi tangis histeris sehingga Evan reflek memeluk sang gadis meskipun ia terus mendapatkan penolakan."Kau jahat, kau sangat jahat karena sudah membunuh bayiku," ujar Iris."Bayi kita," ralat Evan menimpali."Seharusnya kau juga membunuhku lalu mengirim maya
Kelopak mata Evan bergerak mengerut lalu perlahan terbuka setelah samar-samar mendengar suara isak tangis seorang perempuan, dengan mata yang menyipit ia menatap punggung Iris yang tampak bergerak pelan dan ia semakin yakin kalau suara isakan yang telinganya dengar memang berasal dari tawanan wanitanya.Evan bangkit lalu berjalan mendekati ranjang dan kini berdiri tepat di samping wanitanya, tangan kokohnya mengusap lembut kepala Iris sambil berkata. "Kenapa tidak tidur? Apakah masih sakit?"Iris hanya menangis dan tidak menjawab pertanyaan Evan."Aku akan memanggil dokter untuk memeriksamu," ucap Evan sambil berbalik akan tetapi langkah kakinya terhenti karena Iris memegang tangan kekarnya. "Ada apa?" Tanyanya kemudian."Jangan ... aku ingin menyendiri," lirih Iris."Aku dengar kau sangat menyukai kabut di pagi hari, apa kau ingin melihatnya?" Tanya Evan."Itu dulu, sekarang aku sudah tidak lagi menyukainya setelah kau membunuh kak Richard," jawab Iris.Evan menghela napas panjang sa
"Iris, kau baik-baik saja?" Tanya Evan sembari melindungi wanitanya dari dengan menggunakan tubuh kekarnya."Ya, aku baik-baik saja," jawab Iris dengan tubuh yang gemetaran."SIMON!! Bawa Iris masuk ke dalam dan jaga wanitaku," titah Evan seraya mengambil pistol dari balik bajunya lalu membidik drone musuh yang masih berseliweran di atas langit."Saya mengerti," ucap Simon yang kini sedang memapah Iris masuk ke dalam villa.Evan menembaki drone milik Henry akan tetapi drone itu malah semakin terbang tinggi lalu menjauh karena Henry menggunakan drone tersebut sebagai pengalihan saja, lelaki bertubuh kekar itu berjalan keluar dari villa untuk mencari keberadaan Henry karena ia sudah tidak sabar ingin segera menghabisi nyawa pria tua bangka yang selalu mengusik hidupnya dan bersama Iris."KEMBALIKAN PUTRAKU, EVAN!! MANA ORLANDO," teriak Henry yang bersembunyi di balik pagar tubuh kekar anak buahnya."Akan kukembalikan anak sialanmu itu tapi nanti setelah aku memutuskan siksaan apa yang p
BUUGH!! BRAAAK!!Evan melompat lalu terjun bebas dari menara pengawas saat rudal menghantam dinding beton kokoh yang kini telah hancur berkeping-keping, tubuh Evan terjatuh di atas atap mobil kemudian berguling hingga akhirnya terjatuh di tanah dan ujung kaca yang lancip tertancap di telapak tangannya."Akkhh, DAMNED!!" Erang Evan, ia langsung mencabut kaca dari telapak tangannya dan duduk di tanah sambil menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya yang terasa remuk setelah menghantam atap mobil.Anak buah Evan menghambur mendekati mobil untuk melihat kondisi pimpinannya yang baru saja lepas dari intaian malaikat maut, pria-pria bertubuh kekar yang selalu menunjukkan wajah dingin nan garang seketika berubah menjadi ekspresi wajah penuh kekhawatiran setelah melihat kondisi pimpinan mereka yang sedang terluka."Anda baik-baik saja, Tuan?" Tanya salah satu pengawal."Ya, aku masih hidup," jawab Evan sambil meraih botol alkohol lalu membukanya dan menuangkannya ke telapak tangannya. "Akkhh, shi
"White snakeroot menjadi tanaman beracun yang bertanggung jawab atas kematian ibu Abraham Lincoln, Nancy Hanks. Dan kau akan menjadi salah satu korban yang mati karena tanaman beracun ini," ujar Julian sambil tersenyum sinis.Evan mencengkeram kuat pergelangan tangan Julian sedangkan tangan lainnya mencekik leher musuhnya, tangannya mendorong kuat pergelangan tangan Julian hingga ujung pisau beracun tercabut dari perut sixpacknya."Dan kau akan menjadi korban ketiga yang akan mati menyusulku dan Nancy Hanks," balas Evan sambil mendorong dada Julian hingga membentur badan mobil.Evan tersenyum sinis seraya menatap setengah bagian pisau yang masih berlumur racun, dengan semua tenaga yang dimilikinya ia menggerakkan pisau dan mengarahkannya ke dada musuh bebuyutannya. Evan berhasil menikamkan pisau beracun ke dada Julian sehingga tak hanya ia saja yang terkena racun tapi juga musuhnya karena pada prinsipnya ia tidak ingin mati sendirian makanya ia ingin mengajak Julian mati bersamanya."
"KAU TIDAK AKAN BISA MENGANCAMKU DENGAN MENGGUNAKAN IRIS, YOU FUCKER!!" Teriak Julian kemudian terbatuk-batuk lalu muntah darah."Tentu saja aku bisa melakukannya karena itulah gunanya Evan menawan Iris," jawab Peter. "Kenapa diam saja?! Apa kau benar-benar tidak perduli dengan nyawa Iris dan garis keturunan keluarga Marchetti?!" Ujarnya emosi kepada Julian.Netra Julian menatap tajam ke arah Iris yang juga tengah menatapnya, dengan tangan gemetaran ia mengeluarkan sebuah botol kecil dari dalam saku celananya."Akhirnya kau bisa mengambil keputusan yang sangat tepat," ucap Peter.Julian tersenyum sinis lalu berkata. "Jangan sombong dulu, Peter!! Aku melakukan ini semua demi garis keturunan keluarga Marchetti," tegasnya.Jleb!! Jantung Iris bagai ditusuk-tusuk ribuan pisau, terasa sangat sakit tapi tidak berdarah dan hatinya seketika hancur setelah mendengar jawaban kakaknya."Jadi ... garis keturunan keluarga Marchetti lebih penting daripada nyawaku? Seandainya kak Richard masih hidup
Pukul 00.15 tengah malam, pintu kamar perawatan Evan terbuka perlahan dan seseorang masuk ke dalam lalu berjalan mendekati ranjang Evan dengan kaki yang agak berjingkat agar tidak menimbulkan suara berisik.Siluet bayangan wajah cantik Iris yang diterpa sinar rembulan terpantul di dinding saat ia sedang berdiri di samping ranjang menatap wajah tampan yang masih terbaring tak berdaya, perempuan itu perlahan duduk di kursi lalu terdiam sambil menatap Evan selama lebih dari 45 menit."Kau tidak bangun juga? Sebenarnya aku ingin kau tidak pernah bangun lagi tapi ... kalau kau tidak bangun lalu apa yang akan aku lakukan seorang diri di rumahmu? Aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi," ucap Iris kepada Evan sambil menunjukkan ekspresi wajah sedih.Iris mengusap air matanya yang baru saja terjatuh di pelupuk matanya dengan menggunakan punggung jari-jarinya, ia meletakkan kepalanya di atas ranjang tepat di samping lengan kekar Evan dan tangisnya mulai pecah."Aku lelah, seandainya kita bisa b