Syifa menangis tersedu-sedu di dalam kamar mandi, isakan tangisnya tersamarkan bunyi keran mengucur air deras yang sengaja ia putar untuk meredam suara-suara yang mungkin saja timbul dari dirinya.
“Hiks ... hiks ... hiks ....” Syifa terus saja mengeluarkan semua emosi yang memuncak di dada, yang sempat ia bendung sejak semalam.Tok! Tok! Tok!“Dek, sudahkah mandinya? Ini sudah jam lima lebih, mas belum sholat.” Suara resah Hamzah terdengar di depan pintu kamar mandi. Syifa segera menghapus semua sisa air mata di wajahnya dan menahan isak tangis agar tak terdengar dari luar sana.“Iya Mas, sebentar lagi,” sahut Syifa seraya menuang-nuangkan air dari kolam ke bawah lantai. “Mas tunggu,” tandas suaminya.Syifa menghela nafas panjangnya, tak terasa menangis menyita waktu mandinya begitu lama.Usai beberapa waktu kemudian, Syifa telah selesai menyiapkan makanan untuk sarapan pagi, kini saatnya ia merapihkan diri guna bersiap menjalankan tugasnya sebagai guru di salah satu lembaga pendidikan swasta terdekat dari rumah suaminya.Tangan wanita yang kepalanya tertutup ciput berwarna cream itu memoles wajah mulusnya dengan bedak, ia pandangi pantulan dirinya di depan cermin sana. “Agak sembab, tapi nggak ketara sih,” gumamnya seraya memperhatikan kedua bola netranya.Cup! Tiba-tiba sebuah kecupan mendarat di pipi kanannya, Syifa seketika terperanjat di buatnya.“MasyaAllah cantiknya istri mas,” puji Hamzah seraya merangkul kedua pinggul sang istri.Syifa diam terpaku menatap ekspresi wajahnya yang begitu tegang terlihat di depan cermin sana. “Kenapa? Adek nggak suka di peluk sama mas?” ujar Hamzah sembari memutar tubuhnya dan menatap wajah istrinya lebih dekat.“Hmmmm ... nggak Mas, a-aku senang,” sahut Syifa dengan sedikit terbata dan tersenyum kikuk.Sontak jawabannya membuat sudut bibir Hamzah melengkung ke atas.Cup!“Tambah lagi, ya?” ucapnya usai berhasil mengecup kening istrinya.Syifa menganggukan kepalanya ringan.“Udah selesai? Ayo kita makan!” ajak Hamzah sembari mengusap lembut kepala istrinya.“Bentar lagi Mas, aku selesaikan dulu, ya?” balas Syifa seraya tersenyum simpul.Cup! Hamzah meninggalkan ciuman terakhirnya di pipi bagian kiri Syifa sebelum akhirnya ia beranjak keluar meninggalkan wanita berdandan itu.Usai tubuh suaminya menghilang di balik pintu, senyum riangnya kian memudar. Sejurus kemudian Syifa mengetok kepalanya dengan sebuah pensil alis.“Bisa-bisanya kau tadi membayangkan Kang Ali yang menjadi suamimu. Astaghfirullahal adzim tobat Syifa.” Syifa merutuki dirinya sendiri.Tak lama berselang ...Syifa menghentikan langkah kakinya di depan tirai biru itu, ada perasaan takut saat harus menghadapi ibu mertuanya. Ia menghela nafas panjangnya dan menghembuskannya perlahan.“Bismillahirrahmanirrahim, berharap semuanya akan baik-baik saja dan tanpa kendala Ya Rab,” ucapnya, lalu ia kembali melangkahkan kaki dengan mantap.Hamzah, Syifa dan Bu Santi duduk berhadapan, ketiganya mengitari meja makan berbentuk bulat itu. “Alhamdulillah,” ucap syukur Syifa usai menghabiskan sesuap terakhir makanannya, ia juga bersyukur sebab semuanya berjalan baik-baik saja tanpa hal-hal yang ia khawatirkan sebelumnya.Wanita muda berseragam putih dan hitam itu melirik sekilas wajah mertuanya yang terlihat tanpa ekspresi seraya menyuapi mulutnya dengan makanan. Beruntung pagi ini dirinya bisa memasak opor ayam dan perkedel kentang dengan tambahan krupuk dan sambal sebagai pelengkap.Manik mata Syifa menatap Hamzah yang begitu lahap memakan masakannya dan membuat senyum bangga mengembang di sudut bibirnya.Syifa beranjak lebih dulu, kemudian melangkahkan kaki menuju wastafel sembari membawa piring kotor.“Biarkan saja! Adek siap-siap gih! Ini udah siang,” seru Hamzah dengan lantang menghentikan tangannya yang hendak mencuci piring.Benar saja jarum jam di pergelangan Syifa mengarah ke angka tujuh dengan jarum panjang di angka sembilan.“Baik Mas,” sahut Syifa, lalu ia bergegas melangkahkan kakinya untuk meninggalkan dapur.Prank!Suara benda di benturkan itu menghentikan langkahnya, sejurus kemudian ia berbalik arah dan menatap meja makan yang berubah suasana menjadi tegang.“Ibu kenapa?” tanya Hamzah menuntut penjelasan.
“Kamu mau menjadikan ibu sebagai babu Hamzah?” pekik Bu Santi dengan sorot mata yang tajam.
“Astaghfirullahal adzim kenapa Ibu bilang seperti itu?” sahut Hamzah dengan nada resah.“Kamu membiarkan istrimu bebas mengurus rumah tangga, lalu siapa yang mau ngurus ini semua kalau bukan ibu, hah?” jelasnya dengan mata nyalang seraya berdiri di depan meja makan.“Nyuci piring, nyapu, nyuci baju, ngurusin jemuran, beres-beres rumah haruskah ibu lagi yang melakukan semua? Dari dulu sampe tua selalu di buat susah sama anak,” keluh Bu Santi, wajahnya terlihat merah padam selaras dengan rona gincu di bibirnya.“Bu! Ibu jangan bilang seperti itu!” Hamzah berdiri berhadapan dengan sang ibu.“Kenapa? Apa ibu salah? Iya memang ibu yang selalu salah sejak hatimu mencintai wanita,” balas Bu Santi.“Ibu ...!” seru Hamzah memotong ucapan sang ibu.“Udah Mas, aku saja yang mengerjakan semuanya, ini sudah tugasku.” Syifa menarik lengan Hamzah seraya menundukkan wajah di hadapan sang ibu mertua.“Memang begitu seharusnya,” sambung Bu Santi, lalu meninggalkan keduanya di dapur itu.Syifa menghela nafas panjangnya saat sang ibu mertua menghilang di balik tirai, sejurus kemudian kedua tangannya di genggam erat oleh sang suami.Laki-laki di hadapannya merundukkan wajahnya beberapa saat, lalu terdengar hempasan nafasnya bersamaan dengan kepalanya yang terangkat dan menatap lekat wajah Syifa“Maafkan mas, Dek! Maafkan ibu juga,” ucap Hamzah, ekspresi wajahnya terlihat sendu.“Nggak papa Mas, adek nggak sakit hati kok. Mas tenang aja,” balas Syifa dengan lembut.
“Aku tak tega melihatmu, lagipula kau memang suamiku,” batin Syifa.“Terlepas dari sikap ibumu yang menyeramkan,” lanjut Syifa seraya menelan pil pahit kenyataan hidupnya.****Beberapa saat kemudian usai mengerjakan semua pekerjaan yang di bebankan kepadanya, Syifa kembali merapihkan diri di depan cermin dengan begitu tergesa-gesa seraya terus memperhatikan jam di pergelangan tangannya yang mendekati angka delapan.
“Huft!” Beberapa kali ia menghempaskan nafasnya dengan kasar, perasaan resah, khawatir, takut dan kecewa bercampur baur dalam emosinya.“Dek, biar mas yang antar,” ujar Hamzah melangkah masuk ke dalam kamar bernuansa merah muda itu.Syifa terdiam membisu serta tak beraksi apapun kecuali menyelesaikan urusannya untuk segera berangkat ke tempat kerja.Setelah di rasa siap, Syifa menenteng sling bag berukuran medium berwarna coklat muda tanpa motif itu dan melangkah menuju pintu keluar.“Dek! Dek, tunggu!” panggil Hamzah berulang kali.Tepat di depan pintu dengan tangan yang telah memegang handle, Syifa menghentikan langkahnya. Ia menarik nafas panjang dan menghempaskannya secara perlahan.“Ada apa Mas?” tutur Syifa berbalik arah dengan mendengus kesal.“Biar mas antar,” ujar Hamzah.“Adek udah kesiangan,” sambungnya seraya menghampiri sang istri.Syifa bergeming saat sang suami berusaha meraih tangannya.“Dek, tolong jangan marah, ya? Maafin mas,” ucap Hamzah dengan nada memohon sembari mengusap-usap punggung tangan istrinya.Syifa memejamkan matanya seraya mengatur pola nafas yang sedikit menyulitkan fikiran jernihnya.“Hufft, fyuuuh ....” Syifa menghempaskan nafas penuh emosi dengan netra terbuka serta membuang semua memori buruk yang tertoreh pagi tadi.“Baik Mas, antarkan aku berangkat sekarang,” sahut Syifa lebih tenang membuat Hamzah bernafas lega. Laki-laki itu segera mengambil kunci di atas nakas, lalu bergegas keluar dengan menggandeng tangan sang istri.Sesampainya di tempat sekolah berbasis Madrasah Tsanawiyah itu Syifa berlari kecil menuju ruang guru, suasana telah sepi. Seluruh siswa telah masuk ke kelasnya masing-masing.Dengan perasaan malu dan takut Syifa terus melajukan kakinya melewati lorong kelas satu persatu.Hampir saja ia memasuki ruangan tempat stand by para pengajar, akan tetapi laki-laki matang berseragam dengan kepala pelontos menghadangnya di depan pintu.Syifa segera menundukkan wajahnya usai melihat raut wajah laki-laki dewasa di hadapannya.Tak menunggu lama, Syifa di giring laki-laki berstatus kepala sekolah itu ke ruang kerjanya.“Dasar nasib, udah jatuh ketimpa tangga ... di rumah gaduh, di sini berurusan dengan kepala sekolah,” keluh Syifa dengan perasaan gusar.Pak Amin duduk di kursi tugasnya, membuat hati Syifa semakin tegang di buatnya.“Guru baru sudah bisa terlambat masuk.” Pak Amin membanting kertas absensi guru di hadapan Syifa.Walaupun tak begitu keras dan tak terdengar nyaring. Namun, cukup membuat
Suara keduanya begitu kentara terdengar di telinga Syifa dan Rachel.Dua wanita muda itu saling bertatapan sejenak dengan langkah yang terus di pijaki.Saat kedua netranya menatap kedepan, tiba-tiba bola matanya tercengang melihat sosok laki-laki yang sangat ia kenal keluar dari ruangan TU dan melenggang menuju gerbang depan.Sontak Rachel menepuk lengan Syifa perlahan, akan tetapi wanita bersuami di sampingnya telah lebih dulu menangkap kehadiran sang suami di sana.“Suamimu habis ngapain Syif? Bawa map segala,” seloroh Rachel melihat laki-laki memakai kemeja putih lengkap dengan celana dan sepatu hitam.“Nggak tau,” balas Syifa. Kedua netranya tak lepas dari tubuh suaminya yang melangkah pergi.Tak lama kemudian tanpa menunggu lama lagi Syifa berlari kecil mengejar tubuh suaminya yang menghilang di pandangan matanya. “Syif, mau kemana?” teriak Rachel memanggilnya. Namun, Syifa tak menghiraukan panggilannya.Ia segera menghampiri sang suami dengan ayunan kaki yang di percepat. “Mas
“Aku malu Hel,” ungkap Syifa merunduk malu. “Santai aja, kamu kaya sama siapa aja,” ujar Rachel sembari tersenyum riang, ia berusaha mencairkan suasana canggung pada diri Syifa.“Kamu pulang sama aku nggak?” lanjut Rachel menawarinya. “Hmmmm.” Syifa melirik tempat kosong tepat dimana sang suami berdiri sebelumnya.Bahkan ia melihat beberapa guru telah mondar-mandir di tempat itu seperti biasa layaknya suasana pulang sekolah.Ada yang menatap dirinya sekilas, lalu mengalihkan pandangannya tanpa menegur sapa. Syifa menghempaskan nafasnya kasar.“Kamu pulang aja Hel,” ujar Syifa datar.“Kamu pulang sama siapa?” Rachel mengernyitkan dahinya.“Biasa, di jemput suami.” Syifa menyunggingkan senyumnya. Sejurus kemudian ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal.“Emmm ... paling Mas Hamzah udah nungguin aku di jalan, Hel,” sambung Syifa sekenanya.“Kamu yakin?” ulang Rachel meyakinkan.Syifa manggut-manggut meresponsnya, sesaat kemudian kedua sudut bibirnya melengkung menampilkan deretan gigi
“Hamzah! Gimana ini? Ibu tungguin sampe kamu pulang belum di beli juga token listriknya. Mati listrik tuh!” pekik suara wanita yang tak asing dan memekakan telinga.Seketika rona keindahan bunga memudar dalam pandangan Syifa, ia berbalik menatap tubuh suaminya yang hendak masuk ke dalam rumah.“Kamu tuh, ya? Bilangnya mau keluar sekalian beli token, nyatanya sampe sore begini,” ujar Bu Santi merutuki sang anak, wanita separuh baya itu telah berdiri seraya berkacak pinggang seolah menyambut kedatangan sang anak dengan kemarahannya.Syifa membuntuti langkah Hamzah di belakang, sekilas ia melihat jelas wajah geram sang ibu kepada anaknya. Sejurus kemudian Hamzah berbalik menatap sang istri dan memberi isyarat untuk masuk ke dalam kamar lebih dulu.Sontak Syifa mengangguk pelan merespons sang suami.“Gini Bu, Hamzah jelasin dulu, ya?” Hamzah merangkul pundak sang ibu dan menuntunnya menuju ke dapur.Di dalam kamar bernuansa pink itu ia menatap sekeliling, apa saja. Namun, hanya hening ya
“Kenapa Bu?” tutur Hamzah saat pintu terbuka yang menampakkan ibunya berdiri tepat di ambang pintu.“Kasih ibu uang belanja!" pinta Bu Santi seraya menengadahkan tangan di depan sang anak. Tanpa banyak berkata Hamzah segera berbalik melangkahkan kakinya mendekati sang istri. Ia mengulurkan tangannya mengambil salah satu uang hijau dua puluh ribuan yang berjumlah dua lembar di atas meja rias itu. Sontak Syifa menatap wajah suaminya dengan heran. “Adek nggak jadi beli handbody, Mas?” ucap Syifa saat Hamzah mengambil uang yang sebelumnya ia berikan saat Syifa meminta hand body baru karena telah habis.“Belinya nanti aja, ya, Sayang? Hari ini mas akan mencari pekerjaan tambahan buat menghasilkan uang lebih,” jelas Hamzah membuat Syifa terpaksa menganggukan kepalanya pelan. Lalu dengan langkah sigap Hamzah memberikan lembaran kertas rupiah itu kepada sang ibu. “Ya Allah gusti! Cuman di kasih segini? Sekali-kali di tambahin lah Hamzah! Jaman sekarang uang segini cuman bisa beli tahu te
Rachel nampak memikirkan sesuatu seraya terdiam sejenak. Di sela-sela waktu sahabatnya berfikir, Syifa menggunakan kesempatan itu untuk memperhatikan pepohonan rindang yang di tanam sekitar taman. Semilir angin yang menggoyangkan dedaunan menghipnotis fikirannya. Perlahan kenangan masa kecil saat ia berlibur bersama abi dan uminya itu muncul kembali dalam benaknya. Keduanya seringkali mengajak Syifa bermain di alam bebas, melihat pemandangan, taman bunga, bahkan sang abi seringkali mengenalkan Syifa nama-nama tanaman di sekitarnya. Moment yang masih tergambar di pikirannya menjadi kenangan yang sangat berharga bagi Syifa. Saat menikmati suasana alam, dirinya merasa bahwa kedua orang tuanya masih hidup bersamanya. Di sisi lain Rachel mulai membuka kembali mulutnya untuk berbicara.“Yang pertama baru lulus kuliah tapi belum kerja, otomatis belum mapan.” Rachel menjelaskan. “Yang kedua lagi lanjut S2 dan punya perusahaan, tapi agak tuaan, aku kurang sreg sama yang tua-tua,” lanjut
Beberapa waktu kemudian Hamzah datang. “Assalamuallaikum.” Ia memasuki rumah dengan wajah lesu. “Wa’allaikumussalam.” Sang ibu yang sedang duduk santai seraya menonton tv itu segera menghampirinya. “Dari mana kamu Hamzah?” tanya Bu Santi terlontar. “Dari luar Bu,” sahut Hamzah datar, ia bergegas menuju pintu kamar, akan tetapi sang ibu menghentikan langkahnya saat tangan Hamzah sudah memegang handle pintu. “Hamzah dengerin ibu!” pinta Bu Santi dengan suara lantang, sontak Hamzah berbalik dan menatap wajah sang ibu. Ia sebenarnya sedang malas merespon siapapun, lantaran rasa lelah di raga dan pikirannya saat ini. Namun, baginya perintah sang ibu adalah sebuah kewajiban yang pantang di bantah. “Iya, kenapa Bu?” balas Hamzah datar. Wanita yang berada di balik ruangan itu mengerjapkan mata, lagi-lagi Syifa terjaga dari tidurnya lantaran suara keras yang berasal persis di depan pintu kamar. Perlahan Syifa bangkit dan beranjak untuk memeriksa keadaan di luar sana. “Bu Ratna d
Syifa hanya duduk terpaku dan membiarkan air matanya mengalir untuk meluapkan semua emosi yang membuncah di dada, perlahan ia pun mengatur perasaan serta menata hatinya kembali. Tak lama berselang terdengar suara adzan maghrib di kumandangkan, lantunan penanda sholat itu menyerbu relung hati Syifa dan mendamaikan apapun yang ada di dalamnya. Apalagi suara laki-laki yang menjadi bilal itu tak asing di telinganya, dialah sang suami. Tiba-tiba hati Syifa merasa terenyuh, ada perasaan iba serta penyesalan saat teringat dirinya telah beradu mulut dengan sang suami. “Astaghfirullahal adzim, sangat besar dosaku membuat Mas Hamzah marah dan keluar rumah,” gumam Syifa meratapi diri. Sekilas ia menoleh ke sebuah gelas berisi es susu yang telah mencair dan menjatuhkan butiran-butiran embun yang membasahi nakas tepat di samping ranjangnya. “Bahkan Mas Hamzah nggak minum sama sekali, padahal mungkin saja dia sangat lapar setelah seharian di luar,” lanjut Syifa bermonolog sendiri. Sejurus
“Eh bentar! Ini dia nelpon mulu! Mau aku blokir dulu nomornya.” Rahel menepikan motornya di trotoar jalan.Sialnya mereka berdua berhenti tepat di samping genangan air. Sehingga mereka basah kuyup saat sebuah mobil putih melewati jalan itu.“Ya salam!” Syifa berkeluh sembari menatap mobil yang berhenti tak jauh dari tempatnya berdiri. Perlahan mobil itu mundur hingga sejajar dengan tubuhnya.“Maaf Kak saya nggak sengaja!” Wanita berkaca mata hitam itu menyembulkan kepalanya dari balik kaca mobil.“Lain kali liat-liat Mba kalau nyetir,” tutur Rahel kesal sembari mengibaskan bajunya yang telah basah.“Iya Kak nggak papa,” sahut Syifa mengulas senyum sekilas. Wanita itu membalas senyumnya, sesaat kemudian mobil itu berjalan kembali seiring rasa yang mengganjal di hati Syifa.“Kaya pernah liat orang itu dimana, ya?” “Siapa? Yang nyetir? Apa ibu-ibu di sampingnya?” ujar Rahel bola matanya menatap mobil yang beranjak meninggalkan mereka.Syifa mengangkat bahunya. “Nggak tau, aku nggak be
“Kamu serius mau cari jodoh lewat aplikasi?” tanya Syifa tak percaya.Sesaat kemudian keduanya keluar saat lift berhenti di lantai tiga tempat food court.“Coba-coba. Dia usia 20 tahun, selain mahasiswa merangkap jadi dkm masjid,” jawab Rahel dengan santai seraya berkutat dengan layar ponselnya, seketika langkah Syifa terhenti.Ia diam terpaku menatap sahabatnya dengan mata membola.“Kenapa? Kamu nggak kemasukan jin ‘kan?” Rahel melambaikan tangannya di depan wajah Syifa yang masih melongo.Sekilas Syifa menggelengkan kepalanya.“Ya salam Rahel, kamu nggak salah? Usia dia dibawah kamu, masih mahasiswa juga?” ulang Syifa memastikan lagi.Rahel manggut-manggut mengiyakan.“Beberapa laki-laki yang di tawarkan abahmu sebelumnya lebih menjanjikan kali dari pada yang ini kamu belum kenal, terus masih muda juga,” cetus Syifa masih tak percaya.“Namanya juga coba-coba, lagian yang kemarin nggak cocok. Mereka terlalu dewasa,” tutur Rahel.Dering benda pipih dalam genggaman tangannya berbunyi,
Perlahan hati Syifa luluh, semarah apapun dirinya jika sudah di sebutkan kekuasaan Allah Yang Maha Besar dan tak terukur itu jiwanya seakan meleleh, mengingat kesulitan hidup di dunia ini tidak ada apa-apanya, di banding kesusahan nanti di akhirat.Syifa menarik nafasnya dalam-dalam, lalu menghembuskannya secara perlahan.“Ayo Mas anterin Adek berangkat,” tukasnya dengan lemah lembut.Sontak Hamzah bangkit dan menatap wajah sang istri yang terukir senyum manis di sudut bibirnya.Cup!Hamzah mengecup bibir Syifa sekilas, sejurus kemudian ia bangkit mengambil jaket dan kunci.“Ayo Sayang berangkat!” Hamzah memberikan tangannya untuk di rangkul Syifa dengan menyunggingkan senyuman.Seketika Syifa bangkit, lalu memasukkan tangannya di antara tangan Hamzah yang terbuka.Alhamdulillah, hati Hamzah tak berhenti bersyukur mendapat anugerah seorang istri sang sangat luar biasa. Sholehah, pendiam, penyabar dan tidak pendendam.******Syifa berjalan memasuki ruangan kantor dengan senyum simpul y
Beberapa saat kemudian telor balado dan krupuk siap tersaji di atas meja makan. Syifa juga telah selesai mengerjakan pekerjaan lainnya.“Wah istri mas rajin sekali, mas jadi tambah sayang deh.” Hamzah memeluk tubuh Syifa dari belakang saat sang istri tengah mencuci piring di depan wastafel.“Mas udah bangun? Jam berapa ini?” tanya Syifa terlontar sembari terus melanjutkan pekerjaannya selagi sang ibu mertua belum terjaga.“Jam setengah tujuh,” balas Hamzah dengan kepalanya yang melendot di bahu Syifa.“Ehem!” Bu Santi berdehem ketika melihat penampakan anak laki-lakinya sedang bermanja-manja dengan sang istri.“Masih mending Jamilah dari pada Syifa, Hamzah! Ngapain kamu tergila-gila sama wanita kampung itu,” cibir Bu Santi dalam hati.Wajah masam tergambar saat melihat aksi mesra anaknya itu, seketika ia terduduk di depan meja makan dan mengalihkan netranya dari pandangan yang membuat hatinya kesal.Baginya Syifa hanya pembawa sial dan kesengsaraan dalam hidupnya yang menjadikan jatah
Hamzah tersenyum simpul menatap sang istri yang dengan cerdas membantunya memberi edukasi kepada sang ibu.“Ah sudahlah ibu mau istirahat!” Bu Santi membanting kipas kain yang digunakannya di atas kursi seraya berdiri.“Ohya enak banget, ya, sekarang. Pergi sendiri, pulang di jemput kaya tuan putri. Pakai mobil lagi. Hamzah emang terlalu baik orangnya,” pungkasnya sembari berlalu masuk ke dalam.“Ibu!” sergah Hamzah dengan segera, ia berusaha menghentikan ucapan sang ibu yang bisa melukai hati sang istri, apalagi mengingatkannya dengan kejadian buruk yang pernah terjadi.Bu Santi terus melajukan kakinya masuk ke dalam kamar.Krep! Ia membanting pintu hingga menimbulkan suara yang nyaring.Syifa mengempaskan nafasnya kasar untuk menetralisir perasaannya yang kacau.Hubungan kekeluargaan apa ini? Bisa-bisanya anak, menantu dan mertua saling sindir dan mencibir berdebat satu sama lain.Di tambah ucapan Bu Santi benar-benar menyudutkan keluarganya yang berprofesi sebagai petani, seolah-s
Hamzah fokus menatap jalan karena pada dasarnya ia masih belum begitu mahir mengendarai mobil, hanya bermodalkan latihan berkendara selama beberapa pekan dan SIM A yang berhasil di kantongi, Hamzah memberanikan diri untuk menyetir.Tentu semua biaya itu gratis, alias Jamilah yang telah menanggungnya.“Ibu pasti senang, ya, Mas?” cetus Syifa dengan bola matanya yang masih menatap kedepan. Entah, sejak Hamzah mengungkapkan kondisinya sekarang, pikiran Syifa terus berputar mengingat kata demi kata yang Hamzah ucapkan dan berujung mengaitkan kebahagiaan sang ibu mertua dengan kondisi Hamzah sekarang.“Iya Sayang.” Hamzah tersenyum sekilas sembari melirik ke arah sang istri, sesaat kemudian dalam benaknya kembali di hinggapi rasa khawatir atas sikap sang ibu yang bersikap sedikit berlebihan mengenai kebaikan Jamilah.Hamzah agak khawatir jika sang ibu lama-lama mendekatkan dirinya dengan janda itu. Seketika Hamzah menggelengkan kepala pelan untuk menepis pikirannya yang melayang jauh.“O
Sang bibi berjalan mendekat saat Lala sudah keluar dari kamarnya.Syifa meneguhkan tubuhnya dengan pikiran yang di penuhi tanda tanya.“Kamu jaga diri baik-baik, ya, disana!” Sejurus kemudian sang bibi memeluk tubuhnya erat.“Kalau ada apa-apa cerita sama paman dan bibi. Kami ini keluargamu, orang tuamu,” lanjutnya dengan suara terisak. Ia teringat ucapan dari sang suami yang menceritakan bahwa keponakannya telah menyiapkan teh hangat serta pisang goreng untuk berkumpul dengan keluarga, tapi semua itu tidak terlaksana karena dirinya, sang suami dan Lala sibuk bercanda di kamar hingga terlelap bersama saat lusa.“Insyaallah Bi, do’akan Syifa selalu.” Tenggorokan Syifa tercekat karena terbawa suasana.“He’em! Sudah selesai salam perpisahannya?” Paman Aris berdehem di depan pintu yang membuat kedua wanita yang tengah berpelukan itu tersentak kaget sembari melepas pelukan, sesekali keduanya mengusap air mata yang tak terasa menetes begitu saja.“Lihat Hamzah! Istrimu kaya anak mau di kir
“Hey! Kenapa? Kok ngomong sendiri?” sergah Paman Aris tiba-tiba, membuat tubuh Syifa tersentak dan ponsel dalam genggaman tangannya hampir saja terjatuh.“Astaghfirullahal adzim Paklik, ngagetin aku aja,” balas Syifa dengan ekspresi terkejut.“Hehehe, loh ini ada pisang goreng sama teh manis! Hmmm ... tapi udah dingin,” ucapnya setelah mencicipi teh yang telah dingin sedari tadi.“Hmmm ... ini udah dari tadi, Paklik. Niatnya mau ngeteh sama makan pisang goreng bareng, tapi Paman sama Bibi kayanya lagi sibuk, jadi ini nganggur deh,” ungkap Syifa seraya menunjuk teh dan pisang goreng yang tergeletak itu.“Oh, itu Bibi sama Lala mau tidur. Maaf, ya, kamu jadi repot begini tapi malah nggak sesuai harapan,” ujar Paman Aris dengan sungkan.“Nggak papa Paman,” balas Syifa tersenyum simpul.“Ya udah paman makan aja, udah dingin juga nggak papa.” Paman Aris mengambil satu pisang goreng, lalu memakannya.Kemudian Syifa ikut duduk bersamanya dengan melakukan hal yang sama.“Kalau di makan kaya g
Selang beberapa waktu kemudian ...Syifa menatap jam di pergelangan tangannya dengan gusar, sudah lewat tiga puluh menit tapi mereka tak kunjung keluar. Beringsut ia melangkahkan kaki dengan perlahan. Syifa mengangkat tangannya untuk mengetuk pintu, akan tetapi ia kembali menarik diri. Bimbang, ragu dan tak enak hati jika kehadirannya mengganggu kebersamaan mereka.Syifa menghembuskan nafasnya pasrah.Ia sadar tak selamanya sang paman akan selalu di sampingnya, ia sudah memiliki keluarga dan kehidupan baru yang ia punya. Dirinya hanya seorang keponakan yang menumpang hidup sejak kecil hingga sekarang. Sesaat Syifa melirik ke arah jendela, terlihat rintik-rintik hujan itu telah berhenti. Langkahnya mendekat, lalu menatap di luar sana yang terbentang pemandangan sawah yang hijau.Dulu ia sering bermimpi ingin memanen padi di sawah bersama suami dan anak-anaknya, dalam pikiran yang terbatas ia berkhayal sekonyol itu.Tanpa sadar ia terkekeh sendiri mengingat impiannya dulu. Namun, s