Sesampainya di tempat sekolah berbasis Madrasah Tsanawiyah itu Syifa berlari kecil menuju ruang guru, suasana telah sepi. Seluruh siswa telah masuk ke kelasnya masing-masing.
Dengan perasaan malu dan takut Syifa terus melajukan kakinya melewati lorong kelas satu persatu.Hampir saja ia memasuki ruangan tempat stand by para pengajar, akan tetapi laki-laki matang berseragam dengan kepala pelontos menghadangnya di depan pintu.Syifa segera menundukkan wajahnya usai melihat raut wajah laki-laki dewasa di hadapannya.Tak menunggu lama, Syifa di giring laki-laki berstatus kepala sekolah itu ke ruang kerjanya.“Dasar nasib, udah jatuh ketimpa tangga ... di rumah gaduh, di sini berurusan dengan kepala sekolah,” keluh Syifa dengan perasaan gusar.Pak Amin duduk di kursi tugasnya, membuat hati Syifa semakin tegang di buatnya.“Guru baru sudah bisa terlambat masuk.” Pak Amin membanting kertas absensi guru di hadapan Syifa.Walaupun tak begitu keras dan tak terdengar nyaring. Namun, cukup membuat Syifa terperanjat kaget.“Maafkan saya Pak, tadi ada urusan penting yang tidak bisa saya tinggalkan,” balas Syifa dengan merunduk."Semua orang punya urusan," tepisnya dengan tegas. Sontak membuat Syifa terbungkam.
“Seragam Anda kenapa basah semua seperti itu?” tutur Pak Amin seraya memperhatikan lengan kemeja yang Syifa kenakan nampak pudar dari warna biasanya.Sontak Syifa berusaha menutupinya dengan kedua tangan, meskipun tak bisa menutupi semuanya.Wanita itu menghela nafas panjangnya, tidak sempat berfikir untuk mengganti seragam lebih dulu. Ia hanya memikirkan untuk segera menyelesaikan pekerjaan yang menghalanginya berangkat tepat waktu.“Hmmm ... itu Pak, tadi saya ...,” ucap Syifa dengan sedikit terbata.“Sudah, saya nggak mau alasan,” tegas Pak Amin memotong penjelasannya.“Anda bisa saja dikeluarkan sekarang juga, tapi saya masih memberi Anda kesempatan. Perbaiki kesalahan dan disiplin dalam pekerjaan,” jelas Pak Amin, membuat wanita di hadapannya bernafas lega. “Sekarang Anda bisa keluar dari ruangan saya,” sambungnya.“Baik Pak, terima kasih banyak,” tutur Syifa sembari menunduk hormat, lalu meninggalkan ruangan yang bisa membuat jantungan jika lama-lama berdiam di dalam sana.*******Setelah bel istirahat berbunyi para guru berdatangan ke ruang kantor. Syifa duduk di meja yang terletak di sudut belakang dan bersebelahan langsung dengan tembok. Posisi yang aman bagi dia dalam kondisi yang genting seperti ini.Beberapa guru senior yang berwajah lebih matang dan berlipstik tebal menatapnya sinis. Adapula yang meliriknya, akan tetapi saat Syifa menoleh ia akan menatap ke arah lain.“Fyuuh ...!” Wanita berusia 24 tahun itu menghela nafas panjangnya dan menghembuskannya perlahan.“Gila! Bisa-bisanya kamu telat! Nggak malu apa?” bisik Rachel seraya sedikit menoleh kepadanya. Gadis sebaya dengannya itu duduk tepat di depan meja tugasnya sembari sesekali memperhatikan sekitar.Syifa bergeming tak meresponsnya, ia membuka map di atas mejanya dan meraih sebuah pena, lalu menggoreskan sesuatu di atasnya.“Jawab! Kamu kenapa? Ada masalah?” Rachel menatapnya setelah di rasa situasi aman karena ada beberapa guru yang keluar meninggalkan ruangan.“Nggak, ada urusan aja,” jawab Syifa datar.“Lagian kenapa kamu nggak ngajuin cuti nikah aja sih?” sambungnya.“Nggak enaklah, baru masuk dua pekan masa langsung cuti, ya ‘kan?” sahut Syifa seraya meletakkan penanya dan mulai menghadap wajah sahabatnya.Mengobrol santai seperti ini membuatnya sedikit lupa dengan beberapa kejadian yang menimpanya.
“Eh, penganten baru kok auranya nggak bahagia sih?” ujar Rachel seraya menyondongkan wajahnya serta meneliti mimik sahabatnya itu. Seketika Syifa meringis menampakkan deretan giginya yang rapi, lalu menjulurkan lidahnya.“Astaghfirullahal adzim, jelek amat sih?” Rachel mendengus kesal serta mengerucutkan bibirnya yang sedikit tebal.“Biarin, kalaupun jelek yang penting udah laku. Dari pada kamu? Hehe," ledek Syifa dengan terkekeh. “Beneran, kamu ada problem Syif? Aku nggak kenal kamu sehari dua hari, loh ya? Sampe ke lubang semut pun aku tau,” tekan Rachel mengulangi pertanyaannya. Seketika Syifa diam membisu, tatapannya kosong menatap sudut dinding yang tak berbenda apapun. “Haruskah Rachel tau? Sedangkan pernikahanku masih baru, masih banyak jalan yang harus aku lalui. Ini baru awal, belum tentu kedepannya akan terus begini,” pikir Syifa dalam benaknya. Ia terlihat menghela nafas, lalu menghempaskannya dengan perlahan. “Huft, biarlah! Cukup kupendam sendiri saja,” lanjutnya.“Hey! Di tanya kok malah melamun?” Rachel melambaikan tangannya di depan wajah Syifa.“Hahahaha.” “Kamu waras nggak sih? Di tanya malah ketawa?” Rachel menempelkan telapak tangannya di dahi Syifa.“Aku masih waras Hel,” elak Syifa.“Lagian kamu juga sih, penganten baru di tanya-tanya. ‘Kan malu kalau aku harus bilang lelah semalaman, ups!” Seketika Syifa menutup mulutnya dengan kedua tangan.“Haduh! Jaga ucapanmu di depan si jomblo.” Rachel menepuk jidatnya seraya berbalik arah.Sejurus kemudian senyum riang di wajah Syifa berubah sendu.“Maaf Hel, aku nggak bisa cerita sama kamu. Biarkanlah aku terlihat baik-baik saja di matamu,” batin Syifa seraya menatap tubuh sahabatnya dari belakang.Sejurus kemudian Syifa termangu seraya mendaratkan kepalanya di atas meja dan menatap tembok di sampingnya.“Syif, ke kantin yuk!” Suara Rachel kembali terdengar. “Astaghfirullahaladzim, kamu tidur jam berapa sih? Bangun! Jangan sampe yang lain liat kalau kamu tidur.” Rachel menepuk punggung Syifa beberapa kali.Syifa menghela nafas panjangnya, matanya yang terpejam perlahan ia buka. “Aku nggak tidur Hel, aku cuman capek saat ini ... capek karena aku memiliki keluarga yang tidak membuatku bahagia,” batin Syifa sembari menatap dinding bercat putih di hadapannya.“Syifaaa,” panggil Rachel ulang dengan cara yang sama.“Iya Hel, kenapa? Ada apa?” sahut Syifa menampilkan wajah malasnya.“Daripada kamu tidur ke kantin aja yuk! Laper.” Tangan kanan Rachel terlihat mengelus perut ratanya. “Hmmmm,” balas Syifa. Gadis cantik di depannya ini memang tidak pernah berubah sejak pertama kali kenal di bangku kuliah.Dia terkenal boros dan suka ngemil. Walaupun begitu tubuhnya masih terbilang ramping, akan tetapi tidak dengan waktu yang sekarang.
“Badanmu akan tambah melar nanti,” celetuk Syifa dengan ekspresi datarnya.“Sembarangan kamu! Aku belum makan dari pagi tau. Aku bangun kesiangan, belum sempet sarapan di kostan.” Rachel terlihat mengerucutkan bibirnya.“Hehehehe.” Syifa terkekeh melihat tingkahnya.“Tapi biar ajalah! Nanti aku bakal diet lagi,” ujar Rachel seraya mengelus kedua lengannya.“Ya udah aku anterin,” ucap Syifa sembari berdiri dan di sambut senyum hangat dari sahabatnya itu.“Dari pada duduk terus, bakal makin bikin pikirinku pusing,” pikir Syifa seraya melangkahkan kaki keluar.Setelah beberapa langkah melewati ruang guru keduanya berpapasan dengan Bu Ainun, guru senior yang berbadan sedikit gempal berjalan dengan Bu Sari yang berperawakan tinggi serta bertubuh langsing.“Zaman sekarang ngelamar kerjaan harus pakai ijazah kali. Minimal S1, mentok-mentoknya SMA,” ucap Bu Ainun dengan suara ketusnya.“Ya iyalah Bu, apalagi instansi pendidikan minimal harus S1 linear,” balas Bu Sari.Suara keduanya begitu kentara terdengar di telinga Syifa dan Rachel.Dua wanita muda itu saling bertatapan sejenak dengan langkah yang terus di pijaki.Saat kedua netranya menatap kedepan, tiba-tiba bola matanya tercengang melihat sosok laki-laki yang sangat ia kenal keluar dari ruangan TU dan melenggang menuju gerbang depan.Sontak Rachel menepuk lengan Syifa perlahan, akan tetapi wanita bersuami di sampingnya telah lebih dulu menangkap kehadiran sang suami di sana.“Suamimu habis ngapain Syif? Bawa map segala,” seloroh Rachel melihat laki-laki memakai kemeja putih lengkap dengan celana dan sepatu hitam.“Nggak tau,” balas Syifa. Kedua netranya tak lepas dari tubuh suaminya yang melangkah pergi.Tak lama kemudian tanpa menunggu lama lagi Syifa berlari kecil mengejar tubuh suaminya yang menghilang di pandangan matanya. “Syif, mau kemana?” teriak Rachel memanggilnya. Namun, Syifa tak menghiraukan panggilannya.Ia segera menghampiri sang suami dengan ayunan kaki yang di percepat. “Mas
“Aku malu Hel,” ungkap Syifa merunduk malu. “Santai aja, kamu kaya sama siapa aja,” ujar Rachel sembari tersenyum riang, ia berusaha mencairkan suasana canggung pada diri Syifa.“Kamu pulang sama aku nggak?” lanjut Rachel menawarinya. “Hmmmm.” Syifa melirik tempat kosong tepat dimana sang suami berdiri sebelumnya.Bahkan ia melihat beberapa guru telah mondar-mandir di tempat itu seperti biasa layaknya suasana pulang sekolah.Ada yang menatap dirinya sekilas, lalu mengalihkan pandangannya tanpa menegur sapa. Syifa menghempaskan nafasnya kasar.“Kamu pulang aja Hel,” ujar Syifa datar.“Kamu pulang sama siapa?” Rachel mengernyitkan dahinya.“Biasa, di jemput suami.” Syifa menyunggingkan senyumnya. Sejurus kemudian ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal.“Emmm ... paling Mas Hamzah udah nungguin aku di jalan, Hel,” sambung Syifa sekenanya.“Kamu yakin?” ulang Rachel meyakinkan.Syifa manggut-manggut meresponsnya, sesaat kemudian kedua sudut bibirnya melengkung menampilkan deretan gigi
“Hamzah! Gimana ini? Ibu tungguin sampe kamu pulang belum di beli juga token listriknya. Mati listrik tuh!” pekik suara wanita yang tak asing dan memekakan telinga.Seketika rona keindahan bunga memudar dalam pandangan Syifa, ia berbalik menatap tubuh suaminya yang hendak masuk ke dalam rumah.“Kamu tuh, ya? Bilangnya mau keluar sekalian beli token, nyatanya sampe sore begini,” ujar Bu Santi merutuki sang anak, wanita separuh baya itu telah berdiri seraya berkacak pinggang seolah menyambut kedatangan sang anak dengan kemarahannya.Syifa membuntuti langkah Hamzah di belakang, sekilas ia melihat jelas wajah geram sang ibu kepada anaknya. Sejurus kemudian Hamzah berbalik menatap sang istri dan memberi isyarat untuk masuk ke dalam kamar lebih dulu.Sontak Syifa mengangguk pelan merespons sang suami.“Gini Bu, Hamzah jelasin dulu, ya?” Hamzah merangkul pundak sang ibu dan menuntunnya menuju ke dapur.Di dalam kamar bernuansa pink itu ia menatap sekeliling, apa saja. Namun, hanya hening ya
“Kenapa Bu?” tutur Hamzah saat pintu terbuka yang menampakkan ibunya berdiri tepat di ambang pintu.“Kasih ibu uang belanja!" pinta Bu Santi seraya menengadahkan tangan di depan sang anak. Tanpa banyak berkata Hamzah segera berbalik melangkahkan kakinya mendekati sang istri. Ia mengulurkan tangannya mengambil salah satu uang hijau dua puluh ribuan yang berjumlah dua lembar di atas meja rias itu. Sontak Syifa menatap wajah suaminya dengan heran. “Adek nggak jadi beli handbody, Mas?” ucap Syifa saat Hamzah mengambil uang yang sebelumnya ia berikan saat Syifa meminta hand body baru karena telah habis.“Belinya nanti aja, ya, Sayang? Hari ini mas akan mencari pekerjaan tambahan buat menghasilkan uang lebih,” jelas Hamzah membuat Syifa terpaksa menganggukan kepalanya pelan. Lalu dengan langkah sigap Hamzah memberikan lembaran kertas rupiah itu kepada sang ibu. “Ya Allah gusti! Cuman di kasih segini? Sekali-kali di tambahin lah Hamzah! Jaman sekarang uang segini cuman bisa beli tahu te
Rachel nampak memikirkan sesuatu seraya terdiam sejenak. Di sela-sela waktu sahabatnya berfikir, Syifa menggunakan kesempatan itu untuk memperhatikan pepohonan rindang yang di tanam sekitar taman. Semilir angin yang menggoyangkan dedaunan menghipnotis fikirannya. Perlahan kenangan masa kecil saat ia berlibur bersama abi dan uminya itu muncul kembali dalam benaknya. Keduanya seringkali mengajak Syifa bermain di alam bebas, melihat pemandangan, taman bunga, bahkan sang abi seringkali mengenalkan Syifa nama-nama tanaman di sekitarnya. Moment yang masih tergambar di pikirannya menjadi kenangan yang sangat berharga bagi Syifa. Saat menikmati suasana alam, dirinya merasa bahwa kedua orang tuanya masih hidup bersamanya. Di sisi lain Rachel mulai membuka kembali mulutnya untuk berbicara.“Yang pertama baru lulus kuliah tapi belum kerja, otomatis belum mapan.” Rachel menjelaskan. “Yang kedua lagi lanjut S2 dan punya perusahaan, tapi agak tuaan, aku kurang sreg sama yang tua-tua,” lanjut
Beberapa waktu kemudian Hamzah datang. “Assalamuallaikum.” Ia memasuki rumah dengan wajah lesu. “Wa’allaikumussalam.” Sang ibu yang sedang duduk santai seraya menonton tv itu segera menghampirinya. “Dari mana kamu Hamzah?” tanya Bu Santi terlontar. “Dari luar Bu,” sahut Hamzah datar, ia bergegas menuju pintu kamar, akan tetapi sang ibu menghentikan langkahnya saat tangan Hamzah sudah memegang handle pintu. “Hamzah dengerin ibu!” pinta Bu Santi dengan suara lantang, sontak Hamzah berbalik dan menatap wajah sang ibu. Ia sebenarnya sedang malas merespon siapapun, lantaran rasa lelah di raga dan pikirannya saat ini. Namun, baginya perintah sang ibu adalah sebuah kewajiban yang pantang di bantah. “Iya, kenapa Bu?” balas Hamzah datar. Wanita yang berada di balik ruangan itu mengerjapkan mata, lagi-lagi Syifa terjaga dari tidurnya lantaran suara keras yang berasal persis di depan pintu kamar. Perlahan Syifa bangkit dan beranjak untuk memeriksa keadaan di luar sana. “Bu Ratna d
Syifa hanya duduk terpaku dan membiarkan air matanya mengalir untuk meluapkan semua emosi yang membuncah di dada, perlahan ia pun mengatur perasaan serta menata hatinya kembali. Tak lama berselang terdengar suara adzan maghrib di kumandangkan, lantunan penanda sholat itu menyerbu relung hati Syifa dan mendamaikan apapun yang ada di dalamnya. Apalagi suara laki-laki yang menjadi bilal itu tak asing di telinganya, dialah sang suami. Tiba-tiba hati Syifa merasa terenyuh, ada perasaan iba serta penyesalan saat teringat dirinya telah beradu mulut dengan sang suami. “Astaghfirullahal adzim, sangat besar dosaku membuat Mas Hamzah marah dan keluar rumah,” gumam Syifa meratapi diri. Sekilas ia menoleh ke sebuah gelas berisi es susu yang telah mencair dan menjatuhkan butiran-butiran embun yang membasahi nakas tepat di samping ranjangnya. “Bahkan Mas Hamzah nggak minum sama sekali, padahal mungkin saja dia sangat lapar setelah seharian di luar,” lanjut Syifa bermonolog sendiri. Sejurus
***** Tak lama kemudian Syifa menyusul sang suami di dalam kamar. Saat pintu di buka Syifa mendapati suaminya yang duduk di tepi ranjang dengan wajah gelisah, perasaan bersalah kembali muncul di benak Syifa. “Apa mungkin Mas Hamzah masih memikirkan ucapanku tadi? Apa dia begitu tersinggung hingga terlihat murung begini?” benak Syifa dalam hati.Perlahan ia berjalan mendekati ranjang. Syifa tidak ingin mengusik keadaan sang suami, tujuannya saat kini mendaratkan diri di atas kasur dan merehatkan badan.Namun, sebelum selimut berhasil Syifa tarik untuk menutupi dirinya, Hamzah bergerak dan menoleh kepadanya.Seketika Syifa menatap sang suami dengan tatapan bingung sekaligus kikuk.“Sini duduk dengan mas, Dek!” pinta Hamzah berujar. Syifa menghela nafasnya lega mendengar penuturan dan permintaan Hamzah yang terlihat tenang. Pikiran buruk mengenai sang suami sebelumnya kini kembali jernih. Syifa menggeser tubuhnya hingga terduduk di samping sang suami. Ia menatap lekat wajah Hamzah
“Eh bentar! Ini dia nelpon mulu! Mau aku blokir dulu nomornya.” Rahel menepikan motornya di trotoar jalan.Sialnya mereka berdua berhenti tepat di samping genangan air. Sehingga mereka basah kuyup saat sebuah mobil putih melewati jalan itu.“Ya salam!” Syifa berkeluh sembari menatap mobil yang berhenti tak jauh dari tempatnya berdiri. Perlahan mobil itu mundur hingga sejajar dengan tubuhnya.“Maaf Kak saya nggak sengaja!” Wanita berkaca mata hitam itu menyembulkan kepalanya dari balik kaca mobil.“Lain kali liat-liat Mba kalau nyetir,” tutur Rahel kesal sembari mengibaskan bajunya yang telah basah.“Iya Kak nggak papa,” sahut Syifa mengulas senyum sekilas. Wanita itu membalas senyumnya, sesaat kemudian mobil itu berjalan kembali seiring rasa yang mengganjal di hati Syifa.“Kaya pernah liat orang itu dimana, ya?” “Siapa? Yang nyetir? Apa ibu-ibu di sampingnya?” ujar Rahel bola matanya menatap mobil yang beranjak meninggalkan mereka.Syifa mengangkat bahunya. “Nggak tau, aku nggak be
“Kamu serius mau cari jodoh lewat aplikasi?” tanya Syifa tak percaya.Sesaat kemudian keduanya keluar saat lift berhenti di lantai tiga tempat food court.“Coba-coba. Dia usia 20 tahun, selain mahasiswa merangkap jadi dkm masjid,” jawab Rahel dengan santai seraya berkutat dengan layar ponselnya, seketika langkah Syifa terhenti.Ia diam terpaku menatap sahabatnya dengan mata membola.“Kenapa? Kamu nggak kemasukan jin ‘kan?” Rahel melambaikan tangannya di depan wajah Syifa yang masih melongo.Sekilas Syifa menggelengkan kepalanya.“Ya salam Rahel, kamu nggak salah? Usia dia dibawah kamu, masih mahasiswa juga?” ulang Syifa memastikan lagi.Rahel manggut-manggut mengiyakan.“Beberapa laki-laki yang di tawarkan abahmu sebelumnya lebih menjanjikan kali dari pada yang ini kamu belum kenal, terus masih muda juga,” cetus Syifa masih tak percaya.“Namanya juga coba-coba, lagian yang kemarin nggak cocok. Mereka terlalu dewasa,” tutur Rahel.Dering benda pipih dalam genggaman tangannya berbunyi,
Perlahan hati Syifa luluh, semarah apapun dirinya jika sudah di sebutkan kekuasaan Allah Yang Maha Besar dan tak terukur itu jiwanya seakan meleleh, mengingat kesulitan hidup di dunia ini tidak ada apa-apanya, di banding kesusahan nanti di akhirat.Syifa menarik nafasnya dalam-dalam, lalu menghembuskannya secara perlahan.“Ayo Mas anterin Adek berangkat,” tukasnya dengan lemah lembut.Sontak Hamzah bangkit dan menatap wajah sang istri yang terukir senyum manis di sudut bibirnya.Cup!Hamzah mengecup bibir Syifa sekilas, sejurus kemudian ia bangkit mengambil jaket dan kunci.“Ayo Sayang berangkat!” Hamzah memberikan tangannya untuk di rangkul Syifa dengan menyunggingkan senyuman.Seketika Syifa bangkit, lalu memasukkan tangannya di antara tangan Hamzah yang terbuka.Alhamdulillah, hati Hamzah tak berhenti bersyukur mendapat anugerah seorang istri sang sangat luar biasa. Sholehah, pendiam, penyabar dan tidak pendendam.******Syifa berjalan memasuki ruangan kantor dengan senyum simpul y
Beberapa saat kemudian telor balado dan krupuk siap tersaji di atas meja makan. Syifa juga telah selesai mengerjakan pekerjaan lainnya.“Wah istri mas rajin sekali, mas jadi tambah sayang deh.” Hamzah memeluk tubuh Syifa dari belakang saat sang istri tengah mencuci piring di depan wastafel.“Mas udah bangun? Jam berapa ini?” tanya Syifa terlontar sembari terus melanjutkan pekerjaannya selagi sang ibu mertua belum terjaga.“Jam setengah tujuh,” balas Hamzah dengan kepalanya yang melendot di bahu Syifa.“Ehem!” Bu Santi berdehem ketika melihat penampakan anak laki-lakinya sedang bermanja-manja dengan sang istri.“Masih mending Jamilah dari pada Syifa, Hamzah! Ngapain kamu tergila-gila sama wanita kampung itu,” cibir Bu Santi dalam hati.Wajah masam tergambar saat melihat aksi mesra anaknya itu, seketika ia terduduk di depan meja makan dan mengalihkan netranya dari pandangan yang membuat hatinya kesal.Baginya Syifa hanya pembawa sial dan kesengsaraan dalam hidupnya yang menjadikan jatah
Hamzah tersenyum simpul menatap sang istri yang dengan cerdas membantunya memberi edukasi kepada sang ibu.“Ah sudahlah ibu mau istirahat!” Bu Santi membanting kipas kain yang digunakannya di atas kursi seraya berdiri.“Ohya enak banget, ya, sekarang. Pergi sendiri, pulang di jemput kaya tuan putri. Pakai mobil lagi. Hamzah emang terlalu baik orangnya,” pungkasnya sembari berlalu masuk ke dalam.“Ibu!” sergah Hamzah dengan segera, ia berusaha menghentikan ucapan sang ibu yang bisa melukai hati sang istri, apalagi mengingatkannya dengan kejadian buruk yang pernah terjadi.Bu Santi terus melajukan kakinya masuk ke dalam kamar.Krep! Ia membanting pintu hingga menimbulkan suara yang nyaring.Syifa mengempaskan nafasnya kasar untuk menetralisir perasaannya yang kacau.Hubungan kekeluargaan apa ini? Bisa-bisanya anak, menantu dan mertua saling sindir dan mencibir berdebat satu sama lain.Di tambah ucapan Bu Santi benar-benar menyudutkan keluarganya yang berprofesi sebagai petani, seolah-s
Hamzah fokus menatap jalan karena pada dasarnya ia masih belum begitu mahir mengendarai mobil, hanya bermodalkan latihan berkendara selama beberapa pekan dan SIM A yang berhasil di kantongi, Hamzah memberanikan diri untuk menyetir.Tentu semua biaya itu gratis, alias Jamilah yang telah menanggungnya.“Ibu pasti senang, ya, Mas?” cetus Syifa dengan bola matanya yang masih menatap kedepan. Entah, sejak Hamzah mengungkapkan kondisinya sekarang, pikiran Syifa terus berputar mengingat kata demi kata yang Hamzah ucapkan dan berujung mengaitkan kebahagiaan sang ibu mertua dengan kondisi Hamzah sekarang.“Iya Sayang.” Hamzah tersenyum sekilas sembari melirik ke arah sang istri, sesaat kemudian dalam benaknya kembali di hinggapi rasa khawatir atas sikap sang ibu yang bersikap sedikit berlebihan mengenai kebaikan Jamilah.Hamzah agak khawatir jika sang ibu lama-lama mendekatkan dirinya dengan janda itu. Seketika Hamzah menggelengkan kepala pelan untuk menepis pikirannya yang melayang jauh.“O
Sang bibi berjalan mendekat saat Lala sudah keluar dari kamarnya.Syifa meneguhkan tubuhnya dengan pikiran yang di penuhi tanda tanya.“Kamu jaga diri baik-baik, ya, disana!” Sejurus kemudian sang bibi memeluk tubuhnya erat.“Kalau ada apa-apa cerita sama paman dan bibi. Kami ini keluargamu, orang tuamu,” lanjutnya dengan suara terisak. Ia teringat ucapan dari sang suami yang menceritakan bahwa keponakannya telah menyiapkan teh hangat serta pisang goreng untuk berkumpul dengan keluarga, tapi semua itu tidak terlaksana karena dirinya, sang suami dan Lala sibuk bercanda di kamar hingga terlelap bersama saat lusa.“Insyaallah Bi, do’akan Syifa selalu.” Tenggorokan Syifa tercekat karena terbawa suasana.“He’em! Sudah selesai salam perpisahannya?” Paman Aris berdehem di depan pintu yang membuat kedua wanita yang tengah berpelukan itu tersentak kaget sembari melepas pelukan, sesekali keduanya mengusap air mata yang tak terasa menetes begitu saja.“Lihat Hamzah! Istrimu kaya anak mau di kir
“Hey! Kenapa? Kok ngomong sendiri?” sergah Paman Aris tiba-tiba, membuat tubuh Syifa tersentak dan ponsel dalam genggaman tangannya hampir saja terjatuh.“Astaghfirullahal adzim Paklik, ngagetin aku aja,” balas Syifa dengan ekspresi terkejut.“Hehehe, loh ini ada pisang goreng sama teh manis! Hmmm ... tapi udah dingin,” ucapnya setelah mencicipi teh yang telah dingin sedari tadi.“Hmmm ... ini udah dari tadi, Paklik. Niatnya mau ngeteh sama makan pisang goreng bareng, tapi Paman sama Bibi kayanya lagi sibuk, jadi ini nganggur deh,” ungkap Syifa seraya menunjuk teh dan pisang goreng yang tergeletak itu.“Oh, itu Bibi sama Lala mau tidur. Maaf, ya, kamu jadi repot begini tapi malah nggak sesuai harapan,” ujar Paman Aris dengan sungkan.“Nggak papa Paman,” balas Syifa tersenyum simpul.“Ya udah paman makan aja, udah dingin juga nggak papa.” Paman Aris mengambil satu pisang goreng, lalu memakannya.Kemudian Syifa ikut duduk bersamanya dengan melakukan hal yang sama.“Kalau di makan kaya g
Selang beberapa waktu kemudian ...Syifa menatap jam di pergelangan tangannya dengan gusar, sudah lewat tiga puluh menit tapi mereka tak kunjung keluar. Beringsut ia melangkahkan kaki dengan perlahan. Syifa mengangkat tangannya untuk mengetuk pintu, akan tetapi ia kembali menarik diri. Bimbang, ragu dan tak enak hati jika kehadirannya mengganggu kebersamaan mereka.Syifa menghembuskan nafasnya pasrah.Ia sadar tak selamanya sang paman akan selalu di sampingnya, ia sudah memiliki keluarga dan kehidupan baru yang ia punya. Dirinya hanya seorang keponakan yang menumpang hidup sejak kecil hingga sekarang. Sesaat Syifa melirik ke arah jendela, terlihat rintik-rintik hujan itu telah berhenti. Langkahnya mendekat, lalu menatap di luar sana yang terbentang pemandangan sawah yang hijau.Dulu ia sering bermimpi ingin memanen padi di sawah bersama suami dan anak-anaknya, dalam pikiran yang terbatas ia berkhayal sekonyol itu.Tanpa sadar ia terkekeh sendiri mengingat impiannya dulu. Namun, s