Syifa duduk terpaku di sisi ranjang, jiwa dan raganya terasa membeku. Bayangan kebahagiaan yang pernah ia rasakan kini sirna dengan kenyataan pahit yang ia terima.
Cukup lama Hamzah tak menyusulnya, entah apa yang ia lakukan untuk membujuk sang ibu agar mau kembali makan setelah dirinya mengganti lauk menu yang di sediakan.Gadis berhijab itu menyangga kepalanya dengan kedua tangan.“Malang nian nasibku,” keluhnya lirih.“Ya Allah kalau ini memang takdir hidupku maka berikan kesabaran pada hamba yang kurang bersyukur ini,” lanjutnya dengan menghiba.Sontak ia mengingat bagaimana kesepian hidup yang ia alami selama ini, tanpa abi maupun umi yang membesarkannya.
Paman Aris dan Bibi Laras selalu mengatakan kebaikan-kebaikan kedua kakanya selama hidup, sampai akhirnya kecelakaan merenggut keduanya dan menyisakan Syifa sendirian yang selamat saat itu.
Sudut mata gadis berperawakan kurus itu mengembun, berulang kali ia menghela nafas panjangnya guna menahan gemuruh kepiluan yang mendera hati dan juga perasaannya.Ceklek!Tiba-tiba pintu kamar terbuka seraya menampilkan wajah suaminya yang muncul dan langsung kembali menutupnya.Segera Syifa menghapus semua sisa air mata yang sempat jatuh melewati pipi mulusnya.
“Adek belum makan?” ujar Hamzah sembari memperhatikan makanan yang masih utuh di atas meja.“Belum,” balas Syifa seraya menggelengkan kepala.“Mas ‘kan nyuruh ade buat nunggu, nanti makan bareng aja katanya,” sambung Syifa.“Ohya? Maaf Dek.” Hamzah menepuk kepalanya pelan.“Mas lupa, tadi malah makan sama ibu. Astaghfirullahal adzim,” ucapnya.Hamzah mengambil nampan di atas meja itu, lalu mendekatkannya kepada sang istri.
Laki-laki berkumis tipis itu memilih duduk di samping sang istri. Ia menyendokkan nasi kemudian mendekatkannya di depan mulut Syifa.“Mas, aku bisa makan sendiri,” tolak Syifa dengan sedikit sungkan.“Nggak, nggak papa. Mas pengen menyuapi Adek makan.” Hamzah tersenyum simpul, lalu semakin mendekatkan sendok di depan mulut Syifa. Sang istri membuka mulutnya dan membuat Hamzah semakin mengembangkan senyum di wajah.Sesuap demi suap akhirnya nasi di atas piring itu telah habis.“Minum Dek!” Hamzah memberi gelas berisi air putih yang ia ambil dari atas nampan yang sama.Hamzah menatap Syifa lekat, ia memperhatikan seteguk demi teguk air yang melewati kerongkongan istrinya itu hingga tandas.“Kenapa Mas?” tanya Syifa. Merasa risih di perhatikan tak biasa oleh laki-laki di hadapannya.Sontak Hamzah mengembangkan senyumnya. “Nggak papa, mas seneng aja liat Ade minum,” jawabnya sambil tersenyam-senyum.Syifa menundukkan kepalanya seraya tersipu malu, ia menaruh gelas di atas nakas lalu gadis itu bergeming dengan posisi merunduk seperti semula, sesekali jari-jemarinya memainkan ujung hijab yang menjuntai hingga dada.“Dek!” Hamzah meraih kedua tangannya, seketika Syifa menoleh dan menatap wajah laki-laki yang lebih dulu memperhatikannya lekat. “Iya Mas,” balas Syifa singkat.“Maafkan mas, ya?” ucapnya sembari menarik tubuh mungil sang istri ke atas ranjang. Tak lama berselang terjadilah penyatuan jiwa raga sepasang suami istri yang terikat sejak akad pagi tadi.******Syifa membuka kedua kelopak matanya, ia melirik Hamzah yang telah terpejam di sisinya dengan tubuh yang masih bertelanjang dada. Seketika ia berbalik memeriksa keadaan dirinya yang hanya berbalut selimut.Sejurus kemudian wanita itu mengenakan semua pakaian lengkap dengan hijabnya yang tergeletak di sisi ranjang.
Rasa kantuk telah lenyap di matanya, Syifa terduduk di bawah ranjang dengan menyenderkan kepala di sana.Manik matanya melirik angka jarum jam yang masih bergerak di angka 2. Ada perasaan pilu yang merasuki hatinya mengingat kejadian demi kejadian yang ia alami sejak sah berubah status menjadi seorang istri.Syifa memeluk kedua kakinya itu, tiba-tiba kedua netranya kembali mengembun. Dengan segera ia menyeka sudut matanya sebelum beberapa bulir air jatuh dari sana.“Menyesal? Apa yang perlu aku sesalkan? Bukankah ini sudah takdirku? Tanpa orang tua, menikah, lalu aku harus menghormati keluarganya, belajar mencintainya dan ....” Syifa meremas kedua kepalanya yang telah terbungkus kain hijab itu.“Hiks ... hiks ... hiks ... Kang Ali, seandainya kau mengerti apa yang kurasakan saat ini,” gumam Syifa dengan terisak.“Ya Allah ampuni aku, jangan biarkan hatiku terbelenggu. Berikan aku kesabaran menjalani suratan takdir yang harus ku tempuh.” Syifa menengadahkan kedua tangannya di bawah sana.“Hmmmmmm!” Terdengar suara Hamzah di atas ranjang sana. Syifa bergegas menyapu bersih air matanya, lalu berdiri dan memeriksa tubuh suaminya yang telah menyamping menghadap dirinya dengan posisi memeluk sebuah bantal guling.“Alhamdulillah, beruntung ada guling itu.” Syifa mengelus kedua dadanya.“Hmmmm ... Dek, kamu kenapa? Lagi ngapain?” Hampir saja ia di buat jantungan saat tiba-tiba sang suami memanggil dirinya seraya mengucek kedua mata.“Ng-nggak Mas, adek kebangun aja,” jawab Syifa dengan sedikit terbata. Ia kembali naik ke atas ranjang dan terbaring di sisi sang suami. Kedua tangan Hamzah menutupi tubuh sang istri dengan selimut.“Biar nggak dingin, nanti Adek masuk angin,” ucapnya, lalu sebuah kecupan mendarat di kening Syifa sekilas membuat wanita berhijab itu menutup mata.********Wanita berselimut itu memicingkan kedua netranya, ia berusaha membuka mata saat telinganya mendengar kebisingan di luar sana.
Setelah beberapa saat Syifa berhasil membuat tubuhnya terduduk di atas ranjang, sesekali ia mengucek kedua matanya sembari mengumpulkan kesadaran saat rasa kantuk masih menguasai dirinya.
Samar-samar masih terdengar di telinganya suara wanita dewasa dengan seorang laki-laki beradu pendapat di luar sana. Syifa menoleh ke tempat dimana suaminya terbaring semalam.“Dimana Mas Hamzah?” lirih Syifa.Kemudian ia melirik jam di dinding kamar bercat merah muda itu menunjukkan jam setengah lima pagi.
“Huft! Ini mah hampir subuh, belum sholat tahajjud ... mana harus mandi besar dulu lagi,” oceh Syifa. Ia menurunkan kakinya dari atas ranjang itu. “Ini nih gara-gara semalem kebangun, terus nggak langsung mandi,” keluhnya lagi.“Kamu belum menikah atau sudah menikah pokoknya jatah ibu tidak boleh kamu kurangi!” Suara keras itu menghentikan langkah kakinya untuk keluar dari kamar.“Apalagi sekarang apa-apa serba mahal Hamzah! Kamu mau berbakti sama orang tua atau milih wanita yang baru jadi istrimu itu!” Tak terdengar jawaban apapun dari laki-laki yang sebelumnya menyahuti suara wanita yang kini sangat Syifa kenal.“Beri Syifa nafkah secukupnya! Ibu lebih butuh, lagi pula dia belum punya anak, belum punya kebutuhan yang banyak,” tandasnya. Tak lama kemudian terdengar langkah kaki yang berjalan. Syifa segera kembali ke atas kasur dan menutupi tubuhnya dengan selimut.Ceklek! Setelah terdengar pintu di buka, dua tangan kekar menyentuh tubuh Syifa yang memejamkan mata.“Dek, bangun! Ayo siap-siap sholat subuh, Adek harus mandi dulu!” ujarnya seraya mengguncangkan tubuh Syifa. Perlahan wanita di ranjang itu membuka mata. “Adek mandi dulu, ya? Mas mau tiduran dulu sebentar,” ucap Hamzah sembari membaringkan tubuhnya di samping Syifa dengan melipat kedua tangan di bawah kepala.Syifa menangis tersedu-sedu di dalam kamar mandi, isakan tangisnya tersamarkan bunyi keran mengucur air deras yang sengaja ia putar untuk meredam suara-suara yang mungkin saja timbul dari dirinya.“Hiks ... hiks ... hiks ....” Syifa terus saja mengeluarkan semua emosi yang memuncak di dada, yang sempat ia bendung sejak semalam.Tok! Tok! Tok!“Dek, sudahkah mandinya? Ini sudah jam lima lebih, mas belum sholat.” Suara resah Hamzah terdengar di depan pintu kamar mandi. Syifa segera menghapus semua sisa air mata di wajahnya dan menahan isak tangis agar tak terdengar dari luar sana.“Iya Mas, sebentar lagi,” sahut Syifa seraya menuang-nuangkan air dari kolam ke bawah lantai. “Mas tunggu,” tandas suaminya.Syifa menghela nafas panjangnya, tak terasa menangis menyita waktu mandinya begitu lama.Usai beberapa waktu kemudian, Syifa telah selesai menyiapkan makanan untuk sarapan pagi, kini saatnya ia merapihkan diri guna bersiap menjalankan tugasnya sebagai guru di salah satu lembaga pendidi
Sesampainya di tempat sekolah berbasis Madrasah Tsanawiyah itu Syifa berlari kecil menuju ruang guru, suasana telah sepi. Seluruh siswa telah masuk ke kelasnya masing-masing.Dengan perasaan malu dan takut Syifa terus melajukan kakinya melewati lorong kelas satu persatu.Hampir saja ia memasuki ruangan tempat stand by para pengajar, akan tetapi laki-laki matang berseragam dengan kepala pelontos menghadangnya di depan pintu.Syifa segera menundukkan wajahnya usai melihat raut wajah laki-laki dewasa di hadapannya.Tak menunggu lama, Syifa di giring laki-laki berstatus kepala sekolah itu ke ruang kerjanya.“Dasar nasib, udah jatuh ketimpa tangga ... di rumah gaduh, di sini berurusan dengan kepala sekolah,” keluh Syifa dengan perasaan gusar.Pak Amin duduk di kursi tugasnya, membuat hati Syifa semakin tegang di buatnya.“Guru baru sudah bisa terlambat masuk.” Pak Amin membanting kertas absensi guru di hadapan Syifa.Walaupun tak begitu keras dan tak terdengar nyaring. Namun, cukup membuat
Suara keduanya begitu kentara terdengar di telinga Syifa dan Rachel.Dua wanita muda itu saling bertatapan sejenak dengan langkah yang terus di pijaki.Saat kedua netranya menatap kedepan, tiba-tiba bola matanya tercengang melihat sosok laki-laki yang sangat ia kenal keluar dari ruangan TU dan melenggang menuju gerbang depan.Sontak Rachel menepuk lengan Syifa perlahan, akan tetapi wanita bersuami di sampingnya telah lebih dulu menangkap kehadiran sang suami di sana.“Suamimu habis ngapain Syif? Bawa map segala,” seloroh Rachel melihat laki-laki memakai kemeja putih lengkap dengan celana dan sepatu hitam.“Nggak tau,” balas Syifa. Kedua netranya tak lepas dari tubuh suaminya yang melangkah pergi.Tak lama kemudian tanpa menunggu lama lagi Syifa berlari kecil mengejar tubuh suaminya yang menghilang di pandangan matanya. “Syif, mau kemana?” teriak Rachel memanggilnya. Namun, Syifa tak menghiraukan panggilannya.Ia segera menghampiri sang suami dengan ayunan kaki yang di percepat. “Mas
“Aku malu Hel,” ungkap Syifa merunduk malu. “Santai aja, kamu kaya sama siapa aja,” ujar Rachel sembari tersenyum riang, ia berusaha mencairkan suasana canggung pada diri Syifa.“Kamu pulang sama aku nggak?” lanjut Rachel menawarinya. “Hmmmm.” Syifa melirik tempat kosong tepat dimana sang suami berdiri sebelumnya.Bahkan ia melihat beberapa guru telah mondar-mandir di tempat itu seperti biasa layaknya suasana pulang sekolah.Ada yang menatap dirinya sekilas, lalu mengalihkan pandangannya tanpa menegur sapa. Syifa menghempaskan nafasnya kasar.“Kamu pulang aja Hel,” ujar Syifa datar.“Kamu pulang sama siapa?” Rachel mengernyitkan dahinya.“Biasa, di jemput suami.” Syifa menyunggingkan senyumnya. Sejurus kemudian ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal.“Emmm ... paling Mas Hamzah udah nungguin aku di jalan, Hel,” sambung Syifa sekenanya.“Kamu yakin?” ulang Rachel meyakinkan.Syifa manggut-manggut meresponsnya, sesaat kemudian kedua sudut bibirnya melengkung menampilkan deretan gigi
“Hamzah! Gimana ini? Ibu tungguin sampe kamu pulang belum di beli juga token listriknya. Mati listrik tuh!” pekik suara wanita yang tak asing dan memekakan telinga.Seketika rona keindahan bunga memudar dalam pandangan Syifa, ia berbalik menatap tubuh suaminya yang hendak masuk ke dalam rumah.“Kamu tuh, ya? Bilangnya mau keluar sekalian beli token, nyatanya sampe sore begini,” ujar Bu Santi merutuki sang anak, wanita separuh baya itu telah berdiri seraya berkacak pinggang seolah menyambut kedatangan sang anak dengan kemarahannya.Syifa membuntuti langkah Hamzah di belakang, sekilas ia melihat jelas wajah geram sang ibu kepada anaknya. Sejurus kemudian Hamzah berbalik menatap sang istri dan memberi isyarat untuk masuk ke dalam kamar lebih dulu.Sontak Syifa mengangguk pelan merespons sang suami.“Gini Bu, Hamzah jelasin dulu, ya?” Hamzah merangkul pundak sang ibu dan menuntunnya menuju ke dapur.Di dalam kamar bernuansa pink itu ia menatap sekeliling, apa saja. Namun, hanya hening ya
“Kenapa Bu?” tutur Hamzah saat pintu terbuka yang menampakkan ibunya berdiri tepat di ambang pintu.“Kasih ibu uang belanja!" pinta Bu Santi seraya menengadahkan tangan di depan sang anak. Tanpa banyak berkata Hamzah segera berbalik melangkahkan kakinya mendekati sang istri. Ia mengulurkan tangannya mengambil salah satu uang hijau dua puluh ribuan yang berjumlah dua lembar di atas meja rias itu. Sontak Syifa menatap wajah suaminya dengan heran. “Adek nggak jadi beli handbody, Mas?” ucap Syifa saat Hamzah mengambil uang yang sebelumnya ia berikan saat Syifa meminta hand body baru karena telah habis.“Belinya nanti aja, ya, Sayang? Hari ini mas akan mencari pekerjaan tambahan buat menghasilkan uang lebih,” jelas Hamzah membuat Syifa terpaksa menganggukan kepalanya pelan. Lalu dengan langkah sigap Hamzah memberikan lembaran kertas rupiah itu kepada sang ibu. “Ya Allah gusti! Cuman di kasih segini? Sekali-kali di tambahin lah Hamzah! Jaman sekarang uang segini cuman bisa beli tahu te
Rachel nampak memikirkan sesuatu seraya terdiam sejenak. Di sela-sela waktu sahabatnya berfikir, Syifa menggunakan kesempatan itu untuk memperhatikan pepohonan rindang yang di tanam sekitar taman. Semilir angin yang menggoyangkan dedaunan menghipnotis fikirannya. Perlahan kenangan masa kecil saat ia berlibur bersama abi dan uminya itu muncul kembali dalam benaknya. Keduanya seringkali mengajak Syifa bermain di alam bebas, melihat pemandangan, taman bunga, bahkan sang abi seringkali mengenalkan Syifa nama-nama tanaman di sekitarnya. Moment yang masih tergambar di pikirannya menjadi kenangan yang sangat berharga bagi Syifa. Saat menikmati suasana alam, dirinya merasa bahwa kedua orang tuanya masih hidup bersamanya. Di sisi lain Rachel mulai membuka kembali mulutnya untuk berbicara.“Yang pertama baru lulus kuliah tapi belum kerja, otomatis belum mapan.” Rachel menjelaskan. “Yang kedua lagi lanjut S2 dan punya perusahaan, tapi agak tuaan, aku kurang sreg sama yang tua-tua,” lanjut
Beberapa waktu kemudian Hamzah datang. “Assalamuallaikum.” Ia memasuki rumah dengan wajah lesu. “Wa’allaikumussalam.” Sang ibu yang sedang duduk santai seraya menonton tv itu segera menghampirinya. “Dari mana kamu Hamzah?” tanya Bu Santi terlontar. “Dari luar Bu,” sahut Hamzah datar, ia bergegas menuju pintu kamar, akan tetapi sang ibu menghentikan langkahnya saat tangan Hamzah sudah memegang handle pintu. “Hamzah dengerin ibu!” pinta Bu Santi dengan suara lantang, sontak Hamzah berbalik dan menatap wajah sang ibu. Ia sebenarnya sedang malas merespon siapapun, lantaran rasa lelah di raga dan pikirannya saat ini. Namun, baginya perintah sang ibu adalah sebuah kewajiban yang pantang di bantah. “Iya, kenapa Bu?” balas Hamzah datar. Wanita yang berada di balik ruangan itu mengerjapkan mata, lagi-lagi Syifa terjaga dari tidurnya lantaran suara keras yang berasal persis di depan pintu kamar. Perlahan Syifa bangkit dan beranjak untuk memeriksa keadaan di luar sana. “Bu Ratna d
“Eh bentar! Ini dia nelpon mulu! Mau aku blokir dulu nomornya.” Rahel menepikan motornya di trotoar jalan.Sialnya mereka berdua berhenti tepat di samping genangan air. Sehingga mereka basah kuyup saat sebuah mobil putih melewati jalan itu.“Ya salam!” Syifa berkeluh sembari menatap mobil yang berhenti tak jauh dari tempatnya berdiri. Perlahan mobil itu mundur hingga sejajar dengan tubuhnya.“Maaf Kak saya nggak sengaja!” Wanita berkaca mata hitam itu menyembulkan kepalanya dari balik kaca mobil.“Lain kali liat-liat Mba kalau nyetir,” tutur Rahel kesal sembari mengibaskan bajunya yang telah basah.“Iya Kak nggak papa,” sahut Syifa mengulas senyum sekilas. Wanita itu membalas senyumnya, sesaat kemudian mobil itu berjalan kembali seiring rasa yang mengganjal di hati Syifa.“Kaya pernah liat orang itu dimana, ya?” “Siapa? Yang nyetir? Apa ibu-ibu di sampingnya?” ujar Rahel bola matanya menatap mobil yang beranjak meninggalkan mereka.Syifa mengangkat bahunya. “Nggak tau, aku nggak be
“Kamu serius mau cari jodoh lewat aplikasi?” tanya Syifa tak percaya.Sesaat kemudian keduanya keluar saat lift berhenti di lantai tiga tempat food court.“Coba-coba. Dia usia 20 tahun, selain mahasiswa merangkap jadi dkm masjid,” jawab Rahel dengan santai seraya berkutat dengan layar ponselnya, seketika langkah Syifa terhenti.Ia diam terpaku menatap sahabatnya dengan mata membola.“Kenapa? Kamu nggak kemasukan jin ‘kan?” Rahel melambaikan tangannya di depan wajah Syifa yang masih melongo.Sekilas Syifa menggelengkan kepalanya.“Ya salam Rahel, kamu nggak salah? Usia dia dibawah kamu, masih mahasiswa juga?” ulang Syifa memastikan lagi.Rahel manggut-manggut mengiyakan.“Beberapa laki-laki yang di tawarkan abahmu sebelumnya lebih menjanjikan kali dari pada yang ini kamu belum kenal, terus masih muda juga,” cetus Syifa masih tak percaya.“Namanya juga coba-coba, lagian yang kemarin nggak cocok. Mereka terlalu dewasa,” tutur Rahel.Dering benda pipih dalam genggaman tangannya berbunyi,
Perlahan hati Syifa luluh, semarah apapun dirinya jika sudah di sebutkan kekuasaan Allah Yang Maha Besar dan tak terukur itu jiwanya seakan meleleh, mengingat kesulitan hidup di dunia ini tidak ada apa-apanya, di banding kesusahan nanti di akhirat.Syifa menarik nafasnya dalam-dalam, lalu menghembuskannya secara perlahan.“Ayo Mas anterin Adek berangkat,” tukasnya dengan lemah lembut.Sontak Hamzah bangkit dan menatap wajah sang istri yang terukir senyum manis di sudut bibirnya.Cup!Hamzah mengecup bibir Syifa sekilas, sejurus kemudian ia bangkit mengambil jaket dan kunci.“Ayo Sayang berangkat!” Hamzah memberikan tangannya untuk di rangkul Syifa dengan menyunggingkan senyuman.Seketika Syifa bangkit, lalu memasukkan tangannya di antara tangan Hamzah yang terbuka.Alhamdulillah, hati Hamzah tak berhenti bersyukur mendapat anugerah seorang istri sang sangat luar biasa. Sholehah, pendiam, penyabar dan tidak pendendam.******Syifa berjalan memasuki ruangan kantor dengan senyum simpul y
Beberapa saat kemudian telor balado dan krupuk siap tersaji di atas meja makan. Syifa juga telah selesai mengerjakan pekerjaan lainnya.“Wah istri mas rajin sekali, mas jadi tambah sayang deh.” Hamzah memeluk tubuh Syifa dari belakang saat sang istri tengah mencuci piring di depan wastafel.“Mas udah bangun? Jam berapa ini?” tanya Syifa terlontar sembari terus melanjutkan pekerjaannya selagi sang ibu mertua belum terjaga.“Jam setengah tujuh,” balas Hamzah dengan kepalanya yang melendot di bahu Syifa.“Ehem!” Bu Santi berdehem ketika melihat penampakan anak laki-lakinya sedang bermanja-manja dengan sang istri.“Masih mending Jamilah dari pada Syifa, Hamzah! Ngapain kamu tergila-gila sama wanita kampung itu,” cibir Bu Santi dalam hati.Wajah masam tergambar saat melihat aksi mesra anaknya itu, seketika ia terduduk di depan meja makan dan mengalihkan netranya dari pandangan yang membuat hatinya kesal.Baginya Syifa hanya pembawa sial dan kesengsaraan dalam hidupnya yang menjadikan jatah
Hamzah tersenyum simpul menatap sang istri yang dengan cerdas membantunya memberi edukasi kepada sang ibu.“Ah sudahlah ibu mau istirahat!” Bu Santi membanting kipas kain yang digunakannya di atas kursi seraya berdiri.“Ohya enak banget, ya, sekarang. Pergi sendiri, pulang di jemput kaya tuan putri. Pakai mobil lagi. Hamzah emang terlalu baik orangnya,” pungkasnya sembari berlalu masuk ke dalam.“Ibu!” sergah Hamzah dengan segera, ia berusaha menghentikan ucapan sang ibu yang bisa melukai hati sang istri, apalagi mengingatkannya dengan kejadian buruk yang pernah terjadi.Bu Santi terus melajukan kakinya masuk ke dalam kamar.Krep! Ia membanting pintu hingga menimbulkan suara yang nyaring.Syifa mengempaskan nafasnya kasar untuk menetralisir perasaannya yang kacau.Hubungan kekeluargaan apa ini? Bisa-bisanya anak, menantu dan mertua saling sindir dan mencibir berdebat satu sama lain.Di tambah ucapan Bu Santi benar-benar menyudutkan keluarganya yang berprofesi sebagai petani, seolah-s
Hamzah fokus menatap jalan karena pada dasarnya ia masih belum begitu mahir mengendarai mobil, hanya bermodalkan latihan berkendara selama beberapa pekan dan SIM A yang berhasil di kantongi, Hamzah memberanikan diri untuk menyetir.Tentu semua biaya itu gratis, alias Jamilah yang telah menanggungnya.“Ibu pasti senang, ya, Mas?” cetus Syifa dengan bola matanya yang masih menatap kedepan. Entah, sejak Hamzah mengungkapkan kondisinya sekarang, pikiran Syifa terus berputar mengingat kata demi kata yang Hamzah ucapkan dan berujung mengaitkan kebahagiaan sang ibu mertua dengan kondisi Hamzah sekarang.“Iya Sayang.” Hamzah tersenyum sekilas sembari melirik ke arah sang istri, sesaat kemudian dalam benaknya kembali di hinggapi rasa khawatir atas sikap sang ibu yang bersikap sedikit berlebihan mengenai kebaikan Jamilah.Hamzah agak khawatir jika sang ibu lama-lama mendekatkan dirinya dengan janda itu. Seketika Hamzah menggelengkan kepala pelan untuk menepis pikirannya yang melayang jauh.“O
Sang bibi berjalan mendekat saat Lala sudah keluar dari kamarnya.Syifa meneguhkan tubuhnya dengan pikiran yang di penuhi tanda tanya.“Kamu jaga diri baik-baik, ya, disana!” Sejurus kemudian sang bibi memeluk tubuhnya erat.“Kalau ada apa-apa cerita sama paman dan bibi. Kami ini keluargamu, orang tuamu,” lanjutnya dengan suara terisak. Ia teringat ucapan dari sang suami yang menceritakan bahwa keponakannya telah menyiapkan teh hangat serta pisang goreng untuk berkumpul dengan keluarga, tapi semua itu tidak terlaksana karena dirinya, sang suami dan Lala sibuk bercanda di kamar hingga terlelap bersama saat lusa.“Insyaallah Bi, do’akan Syifa selalu.” Tenggorokan Syifa tercekat karena terbawa suasana.“He’em! Sudah selesai salam perpisahannya?” Paman Aris berdehem di depan pintu yang membuat kedua wanita yang tengah berpelukan itu tersentak kaget sembari melepas pelukan, sesekali keduanya mengusap air mata yang tak terasa menetes begitu saja.“Lihat Hamzah! Istrimu kaya anak mau di kir
“Hey! Kenapa? Kok ngomong sendiri?” sergah Paman Aris tiba-tiba, membuat tubuh Syifa tersentak dan ponsel dalam genggaman tangannya hampir saja terjatuh.“Astaghfirullahal adzim Paklik, ngagetin aku aja,” balas Syifa dengan ekspresi terkejut.“Hehehe, loh ini ada pisang goreng sama teh manis! Hmmm ... tapi udah dingin,” ucapnya setelah mencicipi teh yang telah dingin sedari tadi.“Hmmm ... ini udah dari tadi, Paklik. Niatnya mau ngeteh sama makan pisang goreng bareng, tapi Paman sama Bibi kayanya lagi sibuk, jadi ini nganggur deh,” ungkap Syifa seraya menunjuk teh dan pisang goreng yang tergeletak itu.“Oh, itu Bibi sama Lala mau tidur. Maaf, ya, kamu jadi repot begini tapi malah nggak sesuai harapan,” ujar Paman Aris dengan sungkan.“Nggak papa Paman,” balas Syifa tersenyum simpul.“Ya udah paman makan aja, udah dingin juga nggak papa.” Paman Aris mengambil satu pisang goreng, lalu memakannya.Kemudian Syifa ikut duduk bersamanya dengan melakukan hal yang sama.“Kalau di makan kaya g
Selang beberapa waktu kemudian ...Syifa menatap jam di pergelangan tangannya dengan gusar, sudah lewat tiga puluh menit tapi mereka tak kunjung keluar. Beringsut ia melangkahkan kaki dengan perlahan. Syifa mengangkat tangannya untuk mengetuk pintu, akan tetapi ia kembali menarik diri. Bimbang, ragu dan tak enak hati jika kehadirannya mengganggu kebersamaan mereka.Syifa menghembuskan nafasnya pasrah.Ia sadar tak selamanya sang paman akan selalu di sampingnya, ia sudah memiliki keluarga dan kehidupan baru yang ia punya. Dirinya hanya seorang keponakan yang menumpang hidup sejak kecil hingga sekarang. Sesaat Syifa melirik ke arah jendela, terlihat rintik-rintik hujan itu telah berhenti. Langkahnya mendekat, lalu menatap di luar sana yang terbentang pemandangan sawah yang hijau.Dulu ia sering bermimpi ingin memanen padi di sawah bersama suami dan anak-anaknya, dalam pikiran yang terbatas ia berkhayal sekonyol itu.Tanpa sadar ia terkekeh sendiri mengingat impiannya dulu. Namun, s