Senin pagi. Tidak ada yang berbeda kecuali status kedua orang yang berada dalam ruangan Presiden Direktur, yaitu pasangan yang baru kembali dari bulan madu di Maldives. Tidak bergeser dari kebiasaannya sebagai seorang asisten pribadi, pagi-pagi sekali Angeline sudah menyediakan secangkir teh Inggris dan sekotak roti lapis buatan sendiri. Ketika Nathan turun ke kantor, hal pertama yang dia lakukan adalah memberikan ciuman selamat pagi. "Ehm ... Good morning." Angeline tersenyum simpul. "Kupikir kamu akan kembali ke atas ... ternyata tidak," lirih Nathan. Angeline tertawa kecil, "Bulan madunya sudah selesai, Pak. Sekarang kembali ke dunia nyata. Meeting sudah antre menunggu giliran tuh." "Biarkan mereka menunggu. Tidak ada yang lebih penting dari istriku." Dengan mudah Nathan mendudukkan tubuh mungil itu di atas meja. "Nathan! Nanti ada orang masuk!" protes Angeline. "Tidak ada yang akan masuk tanpa kuijinkan, Baby Girl." Nathan tersenyum menggoda. "Janga
"Menurutmu dia akan berbaik hati?" tanya Gabriel. "Setelah bingkisan yang kita kirimkan? Kurasa dia akan memikirkannya, Pa." Mike menyeringai. Gabriel melirik, "Maka dari itu kau harus menemuinya terlebih dulu untuk menjelaskan selusin lingerie yang kau kirimkan." "Papa tahu? Astaga, kupikir aku sudah cukup hati-hati menyembunyikan jejak pemakaian kartu kredit!" Mike tertawa. "Masih bisa tertawa?" Gabriel menekan pelipis. "Oke, oke, aku akan ke sana! Tenang saja, oke? Akan kupastikan dia mau bicara denganmu!" Mike mengangkat kedua tangan sebelum sang ayah melemparnya dengan sandal. "Pastikan kau membuat janji dulu dengannya!" seru Gabriel sebelum Mike menghilang di balik pintu. Sementara itu di gedung Wayne Group ... Suasana damai di ruangan Presiden Direktur terusik karena Angeline baru saja bersin tiga kali berturut-turut. Nathan yang sedang melakukan video call dengan entah siapa sedikit tercengang. Dia segera mengakhiri percakapan jarak jauh ter
Sejenak Nathan menatap meja Angeline. Berminggu-minggu terbiasa melihat permukaan meja yang rapi membuatnya mudah menangkap bahwa ada hal yang berbeda di sana. Karena penasaran dia berjalan ke meja tersebut, mumpung pemiliknya sedang tidak berada di tempat. Nathan mengambil sebuah bingkai foto kecil yang diletakkan di sisi kanan meja. Foto mereka berdua? Nathan mengernyit. Dia tidak ingat kapan foto ini diambil. Pose mereka menunjukkan bahwa hanya Angeline yang sadar kamera, sedangkan dirinya sedang menatap ke arah lain. Hal lain yang menarik adalah mereka terlihat bahagia. Nathan tersenyum. "Kamu tidak akan percaya apa yang harus kamu lakukan hari ini! Meeting lagi!" Angeline masuk ke ruangan dengan sebuah tablet di tangan. "Oh ya? Itu makananku setiap hari." Nathan melirik sekilas kemudian kembali memperhatikan meja, siapa tahu menemukan hal tidak biasa lainnya. Angeline terkesiap. Dia berlari mendekat dan berusaha mengambil bingkai foto dari tangan Nathan, tapi
"Sayang? Jeremy? Di mana kamu simpan kalung berlian pink itu? Aku membutuhkannya untuk arisan besok siang," tanya Lily yang sedang membongkar kotak penyimpanan perhiasan di kamar Jeremy. Jeremy yang sedang berselonjor di tempat tidur tidak menanggapi. Matanya asyik melihat entah apa di handphone. "Sayang? Kenapa banyak perhiasan yang hilang? Pelayan-pelayan kita tidak mencurinya, kan?" Lily mengernyit. Secara mental dia mengingat beberapa titik kosong dalam kotak penyimpanan. "Jangan asal tuduh! Mereka pelayan setia yang sudah bekerja belasan bahkan puluhan tahun. Tidak mungkin mencuri," ketus Jeremy. Lily melirik sebal. Lelaki yang dulu gagah dan tampan ini sekarang sudah jadi lelaki tua menyebalkan. Hanya satu yang tidak berubah, yaitu kesukaannya bermain wanita. Meskipun muak, Lily terus berusaha bersikap manis. Entah berapa lama lagi dia harus bertahan sampai seluruh harta warisan jatuh ke tangannya dan Rico. "Oh, begitu. Benar juga ya? Lalu kamu simpan di
Jika bisa bicara, cermin tinggi yang berdiri angkuh itu pasti akan menguap bosan karena melihat Angeline terus berganti pakaian. Apa penyebabnya? Dari sekian banyak pakaian yang ada di lemari, tidak ada satu pun yang dirasa cocok untuk makan malam dengan Gabriel. "Pilihlah sesuatu, Baby Girl. Kalau tidak malam akan segera berlalu," goda Nathan. "Entahlah. Sulit sekali menemukan yang bagus, tapi tidak terlalu bagus!" Angeline mendengkus frustasi. Dia memutar tubuh melihat bayangan dirinya yang memakai kaos rajut turtle neck hitam dan rok jeans selutut. "Itu cukup baik," ujar Nathan. "Tidak terlalu manis?" Angeline mengernyit. "Apa pun yang kamu pakai terlihat manis bagiku. Membuatku ingin melepasnya satu persatu dan—" "Nathan!" "Cepatlah tentukan pilihan sebelum aku benar-benar melakukannya," ancam Nathan. "Kamu nih. Ya sudah, ini saja deh." "Akhirnya." Angeline melontarkan tatapan sebal. "Santai, Baby Girl. Kamu tidak akan bertengkar den
"Aneh ya? Satu minggu menjelang pesta pernikahan kita malah terjadi hal-hal aneh. Untung kita sudah lebih dulu meresmikan hubungan." Angeline menelusuri tato di dada Nathan dengan jarinya. "Hmm ...." Lelaki itu menikmati rasa yang timbul akibat sentuhan Angeline. "Untung ayahmu tidak apa-apa." "Dia punya sembilan nyawa," cetus Nathan. "Memangnya kucing? Berarti kamu apa? Anak kucing?" Angeline tertawa. "Anak kucing? Manis sekali?" Angeline tersenyum geli, "Sebenarnya kamu manis kok, cuma sering berlagak jadi penjahat saja." Nathan tertawa kecil. Belum pernah ada orang yang mengatakan dirinya manis, kecuali sang ibunda. Hatinya terasa hangat. Heran karena mendadak hening, Angeline mendongak untuk melihat apa yang terjadi. Dilihatnya Nathan bersandar dengan mata terpejam. "Nath?" Tanpa kata terucap lelaki itu menyurukkan wajah ke ceruk leher Angeline, bersandar sepenuhnya pada si wanita. Lengan Nathan memeluk erat tubuh mungil itu, berhati-hat
Rumah besar terasa kosong dengan kepergian Lily dan Rico. Para pelayan yang dikumpulkan di dapur tidak berani bergerak sebelum ada perintah. Suasana yang hening mencekam membuat suara langkah kaki Nathan terdengar jelas. Kedengarannya lelaki itu sedang mengamati seisi rumah. Nathan masih hafal setiap sudut rumah yang ditinggali sejak lahir ini. Dia masih ingat jelas ibunya selalu meletakkan vas berisi bunga segar di setiap ruangan, khususnya di kamar utama. Sayang sekali segala usaha tersebut tidak mampu menyingkirkan kebiasaan buruk Jeremy terhadap wanita. Nada dering handphone memecah keheningan. Nathan bisa menebak pasti Angeline yang menelepon. Dia segera menjawab panggilan tersebut. "Hai, sudah pulang?" tanya Nathan. "Belum. Aku masih di rumah sakit, baru mau pergi. Kamu masih di rumah Jeremy?" Suara Angeline terdengar ceria. "Ya, aku baru membereskan sesuatu. Gabriel masih bersamamu?" Jeda sesaat sebelum Angeline menjawab, "Emm ... ya." "Kalau beg
Pagi hari terasa sejuk karena rimbunnya pepohonan di komplek perumahan. Kesejukan tersebut sangat kontras dengan aktivitas panas yang baru berakhir di dalam rumah bercat oranye. Lily bersandar nyaman di dada Anton. Wanita yang mendekati usia paruh baya itu tampak bahagia meskipun baru diusir dari rumah mewah Jeremy. "Kamu harus melakukan sesuatu, Sayang. Aku kehilangan semua, itu berarti aku tidak dapat lagi mendukungmu secara finansial," ucap Lily dengan nada teramat sedih. Anton memandang langit-langit kamar. Memang, selama sepuluh tahun menjadi lelaki simpanan Lily hidupnya sangat nyaman. Tinggal di rumah bagus, setiap bulan mendapat uang dalam jumlah besar, hingga terakhir diberi modal untuk membuka bisnis sendiri. Dia hanya perlu menjadi pacar yang pandai merayu dan memanjakan. "Bagaimana Rico? Dia tidak dapat melakukan sesuatu? Dia anak kandung Jeremy, bukan? Seharusnya dia bisa membujuk ayahnya?" tanya Anton. "Rico sulit bergerak, Sayang. Sejak awal aku mema