Rumah besar terasa kosong dengan kepergian Lily dan Rico. Para pelayan yang dikumpulkan di dapur tidak berani bergerak sebelum ada perintah. Suasana yang hening mencekam membuat suara langkah kaki Nathan terdengar jelas. Kedengarannya lelaki itu sedang mengamati seisi rumah. Nathan masih hafal setiap sudut rumah yang ditinggali sejak lahir ini. Dia masih ingat jelas ibunya selalu meletakkan vas berisi bunga segar di setiap ruangan, khususnya di kamar utama. Sayang sekali segala usaha tersebut tidak mampu menyingkirkan kebiasaan buruk Jeremy terhadap wanita. Nada dering handphone memecah keheningan. Nathan bisa menebak pasti Angeline yang menelepon. Dia segera menjawab panggilan tersebut. "Hai, sudah pulang?" tanya Nathan. "Belum. Aku masih di rumah sakit, baru mau pergi. Kamu masih di rumah Jeremy?" Suara Angeline terdengar ceria. "Ya, aku baru membereskan sesuatu. Gabriel masih bersamamu?" Jeda sesaat sebelum Angeline menjawab, "Emm ... ya." "Kalau beg
Pagi hari terasa sejuk karena rimbunnya pepohonan di komplek perumahan. Kesejukan tersebut sangat kontras dengan aktivitas panas yang baru berakhir di dalam rumah bercat oranye. Lily bersandar nyaman di dada Anton. Wanita yang mendekati usia paruh baya itu tampak bahagia meskipun baru diusir dari rumah mewah Jeremy. "Kamu harus melakukan sesuatu, Sayang. Aku kehilangan semua, itu berarti aku tidak dapat lagi mendukungmu secara finansial," ucap Lily dengan nada teramat sedih. Anton memandang langit-langit kamar. Memang, selama sepuluh tahun menjadi lelaki simpanan Lily hidupnya sangat nyaman. Tinggal di rumah bagus, setiap bulan mendapat uang dalam jumlah besar, hingga terakhir diberi modal untuk membuka bisnis sendiri. Dia hanya perlu menjadi pacar yang pandai merayu dan memanjakan. "Bagaimana Rico? Dia tidak dapat melakukan sesuatu? Dia anak kandung Jeremy, bukan? Seharusnya dia bisa membujuk ayahnya?" tanya Anton. "Rico sulit bergerak, Sayang. Sejak awal aku mema
"Kenapa terkejut?" Nathan tersenyum geli. "Soalnya aku tidak menyangka, wanita itu kan sudah tidak muda? Pacarnya seperti apa?" Angeline berdiri di depan jendela. "Lelaki yang berusia jauh lebih muda." "Oh ya? Kok mau?" "Hubungan seperti itu berlandaskan uang, Baby Girl. Tidak akan ada lelaki muda yang mau membuang waktu dengan wanita tua kecuali ada keuntungan besar yang didapat," ujar Nathan. "Ehm ... by the way, pergerakan apa yang kamu maksud tadi? Lily masih merencanakan sesuatu?" tanya Angeline. Nathan berpikir sejenak sebelum menjawab, "Orang-orangku sedang menyelidikinya." Angeline mendongak menatap Nathan, "Itu saja? Kupikir kamu sudah tahu?" "Hei, semua butuh proses, Baby Girl. Seperti hubungan kita." "Lalu, seperti apa lelaki yang jadi pacar Lily? Kamu juga sudah tahu?" Angeline semakin penasaran. "Waktu mengobrol sudah selesai, Sayang. Sekarang saatnya bekerja. Kamu mau ikut meeting?" Nathan mengalihkan pembicaraan. "Kamu tid
Gabriel mengusap air mata di wajah Angeline. Dipandanginya lekat-lekat wajah yang begitu mirip dengan kekasih pertamanya, Miriam. Wanita muda yang keras kepala ini akhirnya menyerah juga. "Jangan menangis lagi, Angel. Bisa-bisa orang mengira aku berbuat jahat kepadamu," ucap Gabriel. "Memang," cetus Angeline. Hatinya terasa lega setelah menumpahkan perasaan. Tanpa sadar tangannya masih memegangi kerah jas Gabriel. Cepat-cepat dia melepasnya. "Kalau kamu belum menikah, aku pasti membawamu kembali ke Macau." Gabriel tersenyum melihat sikap Angeline. Wanita itu membalas tatapan sang ayah, "Aku selalu bisa berkunjung bersama Nathan." "Putriku." Gabriel membelai rambut Angeline yang kusut. "Uhm ... Aku belum bisa ...." "Belum bisa?" "Memanggilmu ... itu, aku harus membiasakan diri dulu." "Oh, aku mengerti." Ragu sejenak, Angeline kemudian kembali bersandar pada Gabriel yang masih berlutut di sebelahnya. Lelaki itu pun kembali memeluknya dengan e
Nathan berkacak pinggang melihat dua boneka kucing yang mengambil jatah tempat tidurnya. Mumpung Angeline masih di kamar mandi dia memindahkan kedua boneka itu ke kursi. Puas, Nathan merebahkan diri di kasur. Sebentar lagi istri cantiknya akan keluar dari kamar mandi dan mereka bisa bercinta. Sesuai dugaan Nathan, tidak terlalu lama Angeline keluar dengan memakai jubah mandi. Wanita itu tertegun melihat bonekanya ditumpuk di kursi. "Kok dipindahkan? Tempat tidur kita cukup besar, kan?" Angeline mengambil kaos Nathan yang biasa dia pakai untuk tidur. "Tidak cukup besar untuk beraktivitas, Baby Girl. Kemari." Nathan suka melihat Angeline memakai kaosnya yang kebesaran. Mengetahui tidak ada apa pun di balik kaos itu membuatnya bersemangat. "Hmm ... Aktivitas apa sih yang kamu maksud?" Angeline memanjat naik ke tempat tidur dan duduk di pangkuan Nathan. Tangannya bertumpu di dada lelaki itu. "Berbagi kasih sayang." Nathan menyeringai. "Aku mau istirahat lebih c
"Sudah kuduga boneka kucing itu baru awalnya." Nathan menatap tumpukan bingkisan di tempat tidur. "Ih, memang kenapa? Ini kan dari papaku, bukan lelaki lain," cetus Angeline. "Iya, tapi barang pemberiannya memenuhi kamar. Lama-lama aku tersingkir. Lihat saja, apa fungsi boneka panda besar itu untukmu? Atau vas jelek yang seolah berasal dari jaman kolonial? Siapa yang masih memakai benda seperti itu?" keluh Nathan. "Kamu jahat! Itu tanda perhatiannya kepada kita!" Angeline tertawa mendengar gaya bicara Nathan yang setengah merajuk. "Perhatian sesuai generasinya, bukan generasi kita." Nathan menyilangkan kedua lengan di dada. "Vas antik itu cocok di ruanganmu. Warnanya sama-sama gelap," ujar Angeline. Nathan berkeluh kesah sambil berharap semoga Angeline tidak sungguhan memindahkan vas antik tersebut ke ruangannya. "Atau aku bisa taruh di dapur. Vas seperti ini cocok diisi tanaman hias dan diletakkan di sudut yang kosong," kata Angeline lagi. "Tersera
Dari tempat tidur Angeline memandangi Nathan dan Gabriel yang sedang berbicara di sofa penunggu pasien. Ekspresi mereka tampak datar, tapi dari gestur Nathan dia bisa menebak bahwa masih terjadi perdebatan antara dua lelaki itu. "Papa memang overprotektif ya?" tanya Angeline pada Mike yang duduk bersila di ujung tempat tidur. Mike mendongak dan menyeringai, "Seperti yang Kakak lihat. Dia begitu juga terhadapku." "Bagaimana terhadap istrinya?" "Seperti itu." Angeline menghela nafas, "Lelaki-lelaki ini perlu dilatih untuk tidak posesif. Nathan sudah membuatku sibuk, masa harus tambah satu lagi?" Mike meletakkan handphone yang sedari tadi dimainkan, "Mungkin karena papa tidak berada pada habitatnya. Di Jakarta dia tidak memiliki kekuasaan seperti di Macau, jadi ada kekhawatiran bahwa dirinya tidak dapat cukup melindungi kita." "Hmm ... Bisa dimengerti sih. Kamu tidak merasa sikapnya berlebihan?" tanya Angeline. "Kakak, aku sudah terbiasa melihatnya sep
Matahari telah tinggi di langit saat Nathan kembali ke penthouse. Jaket yang dipakai tidak dapat menutupi noda merah di beberapa bagian tubuhnya. Tanpa berucap apa pun pada Gabriel dan Mike, dia masuk ke kamar untuk memeriksa keadaan Angeline. Melihat wanita itu masih pulas dia langsung menuju kamar mandi. Jangan sampai Angeline melihatnya dalam keadaan seperti ini. Gabriel mengernyit, "Menurutmu dia berhasil mendapatkan informasi?" "Kelihatannya," sahut Mike. "Kurasa Angel tidak tahu sisi gelap Nathan," ujar Gabriel. Mike mengangkat bahu. Gerakan di permukaan kasur membuat Angeline terbangun. Sepasang mata indah itu langsung menangkap sosok Nathan yang duduk di tepi tempat tidur. Angeline pun beringsut mendekat, memeluk lengan si suami dengan manja. "Aku tidur lama ya?" lirihnya. "Cukup lama." Nathan membelai rambut wanitanya yang tergerai selembut sutra. "Baru sekarang badanku terasa pegal-pegal. Padahal tadi pagi masih tidak apa-apa," keluh Angel