"Kenapa terkejut?" Nathan tersenyum geli. "Soalnya aku tidak menyangka, wanita itu kan sudah tidak muda? Pacarnya seperti apa?" Angeline berdiri di depan jendela. "Lelaki yang berusia jauh lebih muda." "Oh ya? Kok mau?" "Hubungan seperti itu berlandaskan uang, Baby Girl. Tidak akan ada lelaki muda yang mau membuang waktu dengan wanita tua kecuali ada keuntungan besar yang didapat," ujar Nathan. "Ehm ... by the way, pergerakan apa yang kamu maksud tadi? Lily masih merencanakan sesuatu?" tanya Angeline. Nathan berpikir sejenak sebelum menjawab, "Orang-orangku sedang menyelidikinya." Angeline mendongak menatap Nathan, "Itu saja? Kupikir kamu sudah tahu?" "Hei, semua butuh proses, Baby Girl. Seperti hubungan kita." "Lalu, seperti apa lelaki yang jadi pacar Lily? Kamu juga sudah tahu?" Angeline semakin penasaran. "Waktu mengobrol sudah selesai, Sayang. Sekarang saatnya bekerja. Kamu mau ikut meeting?" Nathan mengalihkan pembicaraan. "Kamu tid
Gabriel mengusap air mata di wajah Angeline. Dipandanginya lekat-lekat wajah yang begitu mirip dengan kekasih pertamanya, Miriam. Wanita muda yang keras kepala ini akhirnya menyerah juga. "Jangan menangis lagi, Angel. Bisa-bisa orang mengira aku berbuat jahat kepadamu," ucap Gabriel. "Memang," cetus Angeline. Hatinya terasa lega setelah menumpahkan perasaan. Tanpa sadar tangannya masih memegangi kerah jas Gabriel. Cepat-cepat dia melepasnya. "Kalau kamu belum menikah, aku pasti membawamu kembali ke Macau." Gabriel tersenyum melihat sikap Angeline. Wanita itu membalas tatapan sang ayah, "Aku selalu bisa berkunjung bersama Nathan." "Putriku." Gabriel membelai rambut Angeline yang kusut. "Uhm ... Aku belum bisa ...." "Belum bisa?" "Memanggilmu ... itu, aku harus membiasakan diri dulu." "Oh, aku mengerti." Ragu sejenak, Angeline kemudian kembali bersandar pada Gabriel yang masih berlutut di sebelahnya. Lelaki itu pun kembali memeluknya dengan e
Nathan berkacak pinggang melihat dua boneka kucing yang mengambil jatah tempat tidurnya. Mumpung Angeline masih di kamar mandi dia memindahkan kedua boneka itu ke kursi. Puas, Nathan merebahkan diri di kasur. Sebentar lagi istri cantiknya akan keluar dari kamar mandi dan mereka bisa bercinta. Sesuai dugaan Nathan, tidak terlalu lama Angeline keluar dengan memakai jubah mandi. Wanita itu tertegun melihat bonekanya ditumpuk di kursi. "Kok dipindahkan? Tempat tidur kita cukup besar, kan?" Angeline mengambil kaos Nathan yang biasa dia pakai untuk tidur. "Tidak cukup besar untuk beraktivitas, Baby Girl. Kemari." Nathan suka melihat Angeline memakai kaosnya yang kebesaran. Mengetahui tidak ada apa pun di balik kaos itu membuatnya bersemangat. "Hmm ... Aktivitas apa sih yang kamu maksud?" Angeline memanjat naik ke tempat tidur dan duduk di pangkuan Nathan. Tangannya bertumpu di dada lelaki itu. "Berbagi kasih sayang." Nathan menyeringai. "Aku mau istirahat lebih c
"Sudah kuduga boneka kucing itu baru awalnya." Nathan menatap tumpukan bingkisan di tempat tidur. "Ih, memang kenapa? Ini kan dari papaku, bukan lelaki lain," cetus Angeline. "Iya, tapi barang pemberiannya memenuhi kamar. Lama-lama aku tersingkir. Lihat saja, apa fungsi boneka panda besar itu untukmu? Atau vas jelek yang seolah berasal dari jaman kolonial? Siapa yang masih memakai benda seperti itu?" keluh Nathan. "Kamu jahat! Itu tanda perhatiannya kepada kita!" Angeline tertawa mendengar gaya bicara Nathan yang setengah merajuk. "Perhatian sesuai generasinya, bukan generasi kita." Nathan menyilangkan kedua lengan di dada. "Vas antik itu cocok di ruanganmu. Warnanya sama-sama gelap," ujar Angeline. Nathan berkeluh kesah sambil berharap semoga Angeline tidak sungguhan memindahkan vas antik tersebut ke ruangannya. "Atau aku bisa taruh di dapur. Vas seperti ini cocok diisi tanaman hias dan diletakkan di sudut yang kosong," kata Angeline lagi. "Tersera
Dari tempat tidur Angeline memandangi Nathan dan Gabriel yang sedang berbicara di sofa penunggu pasien. Ekspresi mereka tampak datar, tapi dari gestur Nathan dia bisa menebak bahwa masih terjadi perdebatan antara dua lelaki itu. "Papa memang overprotektif ya?" tanya Angeline pada Mike yang duduk bersila di ujung tempat tidur. Mike mendongak dan menyeringai, "Seperti yang Kakak lihat. Dia begitu juga terhadapku." "Bagaimana terhadap istrinya?" "Seperti itu." Angeline menghela nafas, "Lelaki-lelaki ini perlu dilatih untuk tidak posesif. Nathan sudah membuatku sibuk, masa harus tambah satu lagi?" Mike meletakkan handphone yang sedari tadi dimainkan, "Mungkin karena papa tidak berada pada habitatnya. Di Jakarta dia tidak memiliki kekuasaan seperti di Macau, jadi ada kekhawatiran bahwa dirinya tidak dapat cukup melindungi kita." "Hmm ... Bisa dimengerti sih. Kamu tidak merasa sikapnya berlebihan?" tanya Angeline. "Kakak, aku sudah terbiasa melihatnya sep
Matahari telah tinggi di langit saat Nathan kembali ke penthouse. Jaket yang dipakai tidak dapat menutupi noda merah di beberapa bagian tubuhnya. Tanpa berucap apa pun pada Gabriel dan Mike, dia masuk ke kamar untuk memeriksa keadaan Angeline. Melihat wanita itu masih pulas dia langsung menuju kamar mandi. Jangan sampai Angeline melihatnya dalam keadaan seperti ini. Gabriel mengernyit, "Menurutmu dia berhasil mendapatkan informasi?" "Kelihatannya," sahut Mike. "Kurasa Angel tidak tahu sisi gelap Nathan," ujar Gabriel. Mike mengangkat bahu. Gerakan di permukaan kasur membuat Angeline terbangun. Sepasang mata indah itu langsung menangkap sosok Nathan yang duduk di tepi tempat tidur. Angeline pun beringsut mendekat, memeluk lengan si suami dengan manja. "Aku tidur lama ya?" lirihnya. "Cukup lama." Nathan membelai rambut wanitanya yang tergerai selembut sutra. "Baru sekarang badanku terasa pegal-pegal. Padahal tadi pagi masih tidak apa-apa," keluh Angel
"Ini sebabnya aku nggak suka pakai make up," keluh Angeline yang kelopak matanya terasa tidak nyaman setelah penggunaan eyeliner. "Sabar ya, Angel. Demi peristiwa sekali seumur hidup. Pak Nathan pasti akan semakin jatuh cinta padamu," hibur Cindy. Angeline meringis, "Kamu benar. Kapan lagi aku full make over seperti ini kalau bukan jadi pengantin? Untung acaranya cuma dua jam." "Habis ini kalian honeymoon lagi kah?" Cindy penasaran. "Nggak lah. Kan tempo hari sudah. Masa dua kali?" Angeline tersenyum malu. Cindy tertawa, "Sudah lewatin malam pertama kok masih malu-malu?" "Aku malu sama pekerjaan, Cin. Sepertinya Nathan jadi sering bolos kerja gara-gara aku." "Iya, memang sih, tapi sampai hari ini nggak ada pekerjaan menumpuk di mejanya. Hebat bos kita itu. Eh, salah, suamimu." Satu jam kemudian rampunglah hasil karya sang make up artist. Seperti kata Cindy, Angeline terlihat sangat cantik, berkilau bak peri menjelma menjadi manusia. Rambut panjangny
"Uhm ... lebih cepat ...." Nathan melakukan sesuai keinginan Angeline. Matanya tidak lepas menatap wajah si wanita yang merona dengan ekspresi menggoda. "A–aku hampir ...." "Tunggu aku, Baby Girl," bisik Nathan. Dia membungkuk dan memeluk erat. Angeline menancapkan kukunya di punggung Nathan saat gelombang puncak menerpa. Rohnya seolah meninggalkan raga untuk beberapa detik. Denyut kehidupan mereka berdua menemukan keselarasan dalam waktu yang teramat singkat tersebut, kemudian keduanya rebah kehabisan tenaga. "Pengaruh obatnya cukup kuat. Kamu baik-baik saja?" tanya Nathan. Angeline mengangguk lemah. "Istirahatlah. Kita sudah melalui hari yang panjang." Nathan membelai wajah si wanita. "Nathan ... Kamu terluka." Tangan Angeline gemetar menyentuh pelipis kiri lelaki itu. Darah yang sudah mengering membentuk garis merah sampai ke rahang. "Iya kah? Aku tidak merasakan apa-apa." Nathan tersenyum. Jari-jari lentik Angeline menyusuri sisi wajah h
"Bagaimana keadaan sekarang? Semuanya beres?" Angeline rebah di tempat tidur sambil bertelepon dengan Nathan. Sekarang waktunya santai karena anak-anak sudah tidur. "Tentu saja beres, Baby Girl. Tidak ada yang bisa lolos dalam pengawasanku. Kamu sedang apa sekarang? Dua hari di sini aku sangat merindukanmu." Ada nada menggoda dalam suara Nathan. Angeline tertawa kecil, "Dasar kamu. Besok 'kan ketemu? Aku baru selesai mandi nih. Siap-siap mau tidur." "Apa yang kamu pakai sekarang?" lirih Nathan. "Kaosmu, Sayang," kata Angeline dengan nada menggoda. Nathan mengerang, "Aku akan terbang pulang sekarang juga." "Serius kamu? Tidak bisa tunggu besok pagi?" "Aku selalu serius kalau menyangkut istriku." "Memang sudah tidak ada urusan yang tertinggal? Bagaimana dengan Mike? Dia yang menemani kamu loh, bukan sebaliknya." "Akan kubawa dia pulang." "Astaga, Nathan. Kamu benaran sudah tidak tahan ya?" "You know me, Baby Girl. See you in two hours."
Suasana hening nan syahdu menggantung di udara, khususnya di depan sebuah makam batu besar dengan patung malaikat di atasnya. Pada nisan yang terbuat dari marmer hitam terukir nama Cornelia Wayne. Sebuah foto berbentuk oval yang sudah memudar tertempel di bagian atas nama tersebut. Tidak ada seorang pun bersuara. Bahkan Rafael dan Olivia pun sangat tenang seolah memahami kekhidmatan yang sedang terjadi di antara orang dewasa. "Baiklah. Kita kembali." Suara Jeremy memecah keheningan. Ruby menatap heran, "Sudah?" Jeremy membalas tatapan itu, "Iya. Sudah. Aku tidak pernah berlama-lama di sini. Lagipula dia juga tidak menuntutku untuk tetap tinggal." "Heiiiii, apa yang kamu katakan? Memangnya boleh bicara seperti itu? Memangnya kamu bisa dengar bisikan darinya?" Ruby mengibaskan tangan di udara seperti mengusir lalat. Lelaki yang rambutnya telah memutih itu tertawa, "Tentu saja tidak. Maksudku, aku tidak akan menahanmu berlama-lama di sini. Cornelia telah damai
"Hei, hati-hati Rafa. Adikmu masih terlalu kecil." Jeremy mengingatkan karena cemas melihat kedua cucunya berlarian dengan kecepatan tinggi. "Okay, Opa!" Rafael berhenti berlari. "Aaaahhh! Ayo, Kakak, run!" rajuk Olivia. "Oliv, duduk dulu sini. Kamu sudah lari-larian dari tadi!" Angeline buka suara. Sambil merengut anak perempuan kecil itu berjalan ke sofa. Wajah mungilnya terlihat menggemaskan dengan pipi menggembung, membuat Ruby—yang duduk di sebelah Angeline—tidak tahan untuk menariknya duduk di pangkuan. "Gemas sekali sih? Anak siapa sih ini?" Angeline meringis melihat Ruby mencubit gemas pipi putrinya. "Omaaa, tidak mau! Sakit!" protes Olivia. "Oh, sakit ya? Sorry, habisnya kamu lucu sih. Sorry ya anak manis. Oliv mau apa? Oma punya home made ice cream. Coba tanya Mama, Oliv boleh makan ice cream, tidak?" Ruby melirik Angeline. Mendengar itu Olivia langsung menoleh dan memberikan tatapan penuh harap pada sang ibu, "Mama, can I eat ice crea
Tercipta keheningan yang membuat semua orang tidak nyaman, khususnya Cedrick. Kali ini dia terperangkap oleh kata-katanya sendiri. Maksud hati mau menggertak, tapi orang-orang ini ternyata tidak mempan gertakan. Bagaimana mungkin seorang General Manager bisa begitu saja menelepon pemilik hotel secara pribadi? Bertemu saja tidak pernah! "Bagaimana? Tidak bisa? Bukankah hubungan kalian sangat baik?" sinis Angeline. "Ah, Nyonya. Mungkin Anda kurang paham, tapi secara struktur organisasi jalur komunikasi tidak semudah itu. Kami memang dapat berbicara langsung dengan beliau, setelah melalui perjanjian di sela jadwal beliau yang sangat padat." Cedrick tersenyum. Nathan menahan tawa. Seandainya lelaki paruh baya ini tahu siapa yang sedang dia hadapi. "Baiklah. Kalau Anda tidak mau biar saya saja." Angeline menoleh, "Nath, tolong." "My pleasure." Nathan mengambil handphone. Ketegangan menggantung di udara. Cedrick menyembunyikan kegelisahannya dengan sangat baik di
Kekhawatiran Nathan tidak beralasan. Ternyata Angeline bisa menerima kenyataan bahwa hotel di bawah naungan Golden Yue Group ini adalah miliknya. Namun, Nathan merasa ada tujuan lain di balik ketenangan sang istri. "Apa sih?" cetus Angeline yang merasa gerah karena selama satu jam terakhir Nathan menempel padanya seperti lintah. "Aku hanya penasaran kenapa kamu tidak bereaksi negatif lagi. Bukankah kamu tidak ingin memiliki bagian apa pun dari Golden Yue?" Nathan mengungkung Angeline yang sedang berdiri di counter. "Cuma satu hotel, 'kan? Lagipula bukan aku yang menanganinya, melainkan kamu." Jemari lentik wanita itu menyusuri garis rahang suaminya. Nathan tersenyum, "Memang benar. Aku telah bekerja di balik layar sejak beberapa bulan terakhir. Kuakui dunia perhotelan ternyata rumit." "Oh ya? Apakah Anda kesulitan menghadapinya, Tuan Wayne?" Jemari Angeline bergerak turun ke dada bidang Nathan. "Tidak sesulit menebak pikiranmu, Baby Girl." Angeline ters
Aroma percintaan yang masih tersisa di ruang tamu suite tersingkir oleh aroma penyegar ruangan yang disemprotkan Angeline. Dia menatap puas ke sekeliling ruangan. Jangan sampai Rafael atau Olivia curiga ada sesuatu yang terjadi di sini. "Hei, Baby Girl," sapa Nathan yang baru selesai mandi dan berpakaian santai. Rambut berpotongan rapi itu masih terlihat basah dan seksi. "Hei juga." Angeline bergidik saat sepasang lengan lelaki itu memeluknya dari belakang. "Kamu tidak lelah? Tidurlah sebentar." Nathan menciumi leher sang istri. "Iya, mau tidur. Ini tanganmu ya, tolong dikendalikan. Tidak cukup semalam suntuk bercinta?" Angeline pura-pura mengomel. Nathan terkekeh tanpa terburu-buru memindahkan tangan yang sedang menikmati kelembutan tubuh wanitanya, "Ini namanya gerak refleks, Baby Girl. Lagipula sesuatu yang indah tidak boleh disia-siakan." "Ya sudah, tidur deh sebelum kamu terinspirasi untuk berbuat lagi. Semalam habis berapa bungkus pengaman tuh? Dasar
"Serius? Satu minggu? Dua minggu?" Angeline melongo. "Tidak masalah, 'kan? Selama ada bos yang menanggung biaya menginap?" Nathan tersenyum miring. "Iya sih, tapi memangnya kita mau menyelidiki sedalam apa? Oke lah, mungkin ada masalah sedikit dengan stok bahan makanan di restoran dan sumber daya manusia. Tapi kurasa ...." Angeline terlihat ragu. "Baby Girl, kamu meragukan argumenmu sendiri." "Iya yah? Kamu sih." "Hmm? Sampai sekarang tetap salahku?" Nathan menahan senyum. "Iya dong. Masa aku mau menyalahkan waitress tadi?" Wanita itu mengerucutkan bibir. Nathan tertawa, "Masih keki? Sudah kubilang, mereka akan terkena serangan jantung kalau tahu siapa kamu sebenarnya." "Aku tidak mau, Nath. Hidupku cukup damai sebagai istrimu. Jangan ditambah lagi." "Baiklah. Lupakan dulu hal itu. Bagaimana kalau sekarang kita makan siang di luar sebelum anak-anak unjuk rasa? Rafa sudah diam tanda kelaparan," ujar Nathan. "Oke. Setuju." Maka sepanjan
Malam berlalu menuju subuh. Langit menjadi saksi akan sebuah pergumulan panas yang baru saja berakhir di kamar lantai dua. Sepasang pelaku pergumulan rebah tumpang tindih dengan nafas terengah. "Sial ... itu terakhir kalinya aku membiarkanmu berbuat sesuka hati," desis Angeline yang kehabisan tenaga. Nathan terkekeh, "You're welcome, Baby Girl." "Sana sedikit, aku tidak bisa bernafas." "Ya, sebentar." "Nathan ...." "What? Aku sedang menikmati kehangatan istriku tersayang." Detik berikutnya Nathan mengaduh kesakitan karena Angeline mencubitnya keras-keras. Mau tidak mau dia berguling ke samping. "Rasain." Angeline tertawa kecil. "Why? Kamu seperti ada dendam denganku." Nathan menggosok-gosok pinggangnya yang memerah. "Oh, sakit ya? Poor Nathan." Terdorong oleh sedikit rasa bersalah Angeline melihat keadaan suaminya. "Iya, sakit. Cubitanmu keras sekali," rajuk Nathan. "Sorry." "Aku butuh ciuman." Cubitan berikutnya membuat Nath
Makan siang tersaji di meja makan. Nathan sekeluarga duduk manis menyantap hasil masakan Johan yang sudah tidak diragukan rasanya. Rafael bahkan sampai menambah dua kali! Sementara Olivia yang sudah kenyang masih asyik menyeruput kaki kepiting. "By the way, Jonathan menghubungimu tidak? Aku penasaran bagaimana perkembangan mereka setelah enam bulan tidak bertemu," ujar Angeline. Sambil mengobrol tangannya sibuk membersihkan ceceran kulit kepiting di meja. "Baby Girl, kenapa kamu harus membicarakan orang itu sekarang? Dia hanya melenyapkan nafsu makanku." "Oh, sorry ... lupakan saja kalau begitu." Angeline meringis. Nathan tersenyum simpul, "Kudengar mereka berdua nyaman tinggal di Labuan Bajo." "Jadi dia menghubungimu?" "Kamu lupa aku punya mata dimana-mana?" Angeline menepuk jidat, "Astaga. Benar juga. Terlalu lama hidup berdua membuatmu terlihat normal." Nathan tertegun, "Apa? Selama ini aku tidak normal?" "Uhm ... Rafa, tolong sendoknya satu