"Sayang? Jeremy? Di mana kamu simpan kalung berlian pink itu? Aku membutuhkannya untuk arisan besok siang," tanya Lily yang sedang membongkar kotak penyimpanan perhiasan di kamar Jeremy. Jeremy yang sedang berselonjor di tempat tidur tidak menanggapi. Matanya asyik melihat entah apa di handphone. "Sayang? Kenapa banyak perhiasan yang hilang? Pelayan-pelayan kita tidak mencurinya, kan?" Lily mengernyit. Secara mental dia mengingat beberapa titik kosong dalam kotak penyimpanan. "Jangan asal tuduh! Mereka pelayan setia yang sudah bekerja belasan bahkan puluhan tahun. Tidak mungkin mencuri," ketus Jeremy. Lily melirik sebal. Lelaki yang dulu gagah dan tampan ini sekarang sudah jadi lelaki tua menyebalkan. Hanya satu yang tidak berubah, yaitu kesukaannya bermain wanita. Meskipun muak, Lily terus berusaha bersikap manis. Entah berapa lama lagi dia harus bertahan sampai seluruh harta warisan jatuh ke tangannya dan Rico. "Oh, begitu. Benar juga ya? Lalu kamu simpan di
Jika bisa bicara, cermin tinggi yang berdiri angkuh itu pasti akan menguap bosan karena melihat Angeline terus berganti pakaian. Apa penyebabnya? Dari sekian banyak pakaian yang ada di lemari, tidak ada satu pun yang dirasa cocok untuk makan malam dengan Gabriel. "Pilihlah sesuatu, Baby Girl. Kalau tidak malam akan segera berlalu," goda Nathan. "Entahlah. Sulit sekali menemukan yang bagus, tapi tidak terlalu bagus!" Angeline mendengkus frustasi. Dia memutar tubuh melihat bayangan dirinya yang memakai kaos rajut turtle neck hitam dan rok jeans selutut. "Itu cukup baik," ujar Nathan. "Tidak terlalu manis?" Angeline mengernyit. "Apa pun yang kamu pakai terlihat manis bagiku. Membuatku ingin melepasnya satu persatu dan—" "Nathan!" "Cepatlah tentukan pilihan sebelum aku benar-benar melakukannya," ancam Nathan. "Kamu nih. Ya sudah, ini saja deh." "Akhirnya." Angeline melontarkan tatapan sebal. "Santai, Baby Girl. Kamu tidak akan bertengkar den
"Aneh ya? Satu minggu menjelang pesta pernikahan kita malah terjadi hal-hal aneh. Untung kita sudah lebih dulu meresmikan hubungan." Angeline menelusuri tato di dada Nathan dengan jarinya. "Hmm ...." Lelaki itu menikmati rasa yang timbul akibat sentuhan Angeline. "Untung ayahmu tidak apa-apa." "Dia punya sembilan nyawa," cetus Nathan. "Memangnya kucing? Berarti kamu apa? Anak kucing?" Angeline tertawa. "Anak kucing? Manis sekali?" Angeline tersenyum geli, "Sebenarnya kamu manis kok, cuma sering berlagak jadi penjahat saja." Nathan tertawa kecil. Belum pernah ada orang yang mengatakan dirinya manis, kecuali sang ibunda. Hatinya terasa hangat. Heran karena mendadak hening, Angeline mendongak untuk melihat apa yang terjadi. Dilihatnya Nathan bersandar dengan mata terpejam. "Nath?" Tanpa kata terucap lelaki itu menyurukkan wajah ke ceruk leher Angeline, bersandar sepenuhnya pada si wanita. Lengan Nathan memeluk erat tubuh mungil itu, berhati-hat
Rumah besar terasa kosong dengan kepergian Lily dan Rico. Para pelayan yang dikumpulkan di dapur tidak berani bergerak sebelum ada perintah. Suasana yang hening mencekam membuat suara langkah kaki Nathan terdengar jelas. Kedengarannya lelaki itu sedang mengamati seisi rumah. Nathan masih hafal setiap sudut rumah yang ditinggali sejak lahir ini. Dia masih ingat jelas ibunya selalu meletakkan vas berisi bunga segar di setiap ruangan, khususnya di kamar utama. Sayang sekali segala usaha tersebut tidak mampu menyingkirkan kebiasaan buruk Jeremy terhadap wanita. Nada dering handphone memecah keheningan. Nathan bisa menebak pasti Angeline yang menelepon. Dia segera menjawab panggilan tersebut. "Hai, sudah pulang?" tanya Nathan. "Belum. Aku masih di rumah sakit, baru mau pergi. Kamu masih di rumah Jeremy?" Suara Angeline terdengar ceria. "Ya, aku baru membereskan sesuatu. Gabriel masih bersamamu?" Jeda sesaat sebelum Angeline menjawab, "Emm ... ya." "Kalau beg
Pagi hari terasa sejuk karena rimbunnya pepohonan di komplek perumahan. Kesejukan tersebut sangat kontras dengan aktivitas panas yang baru berakhir di dalam rumah bercat oranye. Lily bersandar nyaman di dada Anton. Wanita yang mendekati usia paruh baya itu tampak bahagia meskipun baru diusir dari rumah mewah Jeremy. "Kamu harus melakukan sesuatu, Sayang. Aku kehilangan semua, itu berarti aku tidak dapat lagi mendukungmu secara finansial," ucap Lily dengan nada teramat sedih. Anton memandang langit-langit kamar. Memang, selama sepuluh tahun menjadi lelaki simpanan Lily hidupnya sangat nyaman. Tinggal di rumah bagus, setiap bulan mendapat uang dalam jumlah besar, hingga terakhir diberi modal untuk membuka bisnis sendiri. Dia hanya perlu menjadi pacar yang pandai merayu dan memanjakan. "Bagaimana Rico? Dia tidak dapat melakukan sesuatu? Dia anak kandung Jeremy, bukan? Seharusnya dia bisa membujuk ayahnya?" tanya Anton. "Rico sulit bergerak, Sayang. Sejak awal aku mema
"Kenapa terkejut?" Nathan tersenyum geli. "Soalnya aku tidak menyangka, wanita itu kan sudah tidak muda? Pacarnya seperti apa?" Angeline berdiri di depan jendela. "Lelaki yang berusia jauh lebih muda." "Oh ya? Kok mau?" "Hubungan seperti itu berlandaskan uang, Baby Girl. Tidak akan ada lelaki muda yang mau membuang waktu dengan wanita tua kecuali ada keuntungan besar yang didapat," ujar Nathan. "Ehm ... by the way, pergerakan apa yang kamu maksud tadi? Lily masih merencanakan sesuatu?" tanya Angeline. Nathan berpikir sejenak sebelum menjawab, "Orang-orangku sedang menyelidikinya." Angeline mendongak menatap Nathan, "Itu saja? Kupikir kamu sudah tahu?" "Hei, semua butuh proses, Baby Girl. Seperti hubungan kita." "Lalu, seperti apa lelaki yang jadi pacar Lily? Kamu juga sudah tahu?" Angeline semakin penasaran. "Waktu mengobrol sudah selesai, Sayang. Sekarang saatnya bekerja. Kamu mau ikut meeting?" Nathan mengalihkan pembicaraan. "Kamu tid
Gabriel mengusap air mata di wajah Angeline. Dipandanginya lekat-lekat wajah yang begitu mirip dengan kekasih pertamanya, Miriam. Wanita muda yang keras kepala ini akhirnya menyerah juga. "Jangan menangis lagi, Angel. Bisa-bisa orang mengira aku berbuat jahat kepadamu," ucap Gabriel. "Memang," cetus Angeline. Hatinya terasa lega setelah menumpahkan perasaan. Tanpa sadar tangannya masih memegangi kerah jas Gabriel. Cepat-cepat dia melepasnya. "Kalau kamu belum menikah, aku pasti membawamu kembali ke Macau." Gabriel tersenyum melihat sikap Angeline. Wanita itu membalas tatapan sang ayah, "Aku selalu bisa berkunjung bersama Nathan." "Putriku." Gabriel membelai rambut Angeline yang kusut. "Uhm ... Aku belum bisa ...." "Belum bisa?" "Memanggilmu ... itu, aku harus membiasakan diri dulu." "Oh, aku mengerti." Ragu sejenak, Angeline kemudian kembali bersandar pada Gabriel yang masih berlutut di sebelahnya. Lelaki itu pun kembali memeluknya dengan e
Nathan berkacak pinggang melihat dua boneka kucing yang mengambil jatah tempat tidurnya. Mumpung Angeline masih di kamar mandi dia memindahkan kedua boneka itu ke kursi. Puas, Nathan merebahkan diri di kasur. Sebentar lagi istri cantiknya akan keluar dari kamar mandi dan mereka bisa bercinta. Sesuai dugaan Nathan, tidak terlalu lama Angeline keluar dengan memakai jubah mandi. Wanita itu tertegun melihat bonekanya ditumpuk di kursi. "Kok dipindahkan? Tempat tidur kita cukup besar, kan?" Angeline mengambil kaos Nathan yang biasa dia pakai untuk tidur. "Tidak cukup besar untuk beraktivitas, Baby Girl. Kemari." Nathan suka melihat Angeline memakai kaosnya yang kebesaran. Mengetahui tidak ada apa pun di balik kaos itu membuatnya bersemangat. "Hmm ... Aktivitas apa sih yang kamu maksud?" Angeline memanjat naik ke tempat tidur dan duduk di pangkuan Nathan. Tangannya bertumpu di dada lelaki itu. "Berbagi kasih sayang." Nathan menyeringai. "Aku mau istirahat lebih c