"Menurutmu dia akan berbaik hati?" tanya Gabriel. "Setelah bingkisan yang kita kirimkan? Kurasa dia akan memikirkannya, Pa." Mike menyeringai. Gabriel melirik, "Maka dari itu kau harus menemuinya terlebih dulu untuk menjelaskan selusin lingerie yang kau kirimkan." "Papa tahu? Astaga, kupikir aku sudah cukup hati-hati menyembunyikan jejak pemakaian kartu kredit!" Mike tertawa. "Masih bisa tertawa?" Gabriel menekan pelipis. "Oke, oke, aku akan ke sana! Tenang saja, oke? Akan kupastikan dia mau bicara denganmu!" Mike mengangkat kedua tangan sebelum sang ayah melemparnya dengan sandal. "Pastikan kau membuat janji dulu dengannya!" seru Gabriel sebelum Mike menghilang di balik pintu. Sementara itu di gedung Wayne Group ... Suasana damai di ruangan Presiden Direktur terusik karena Angeline baru saja bersin tiga kali berturut-turut. Nathan yang sedang melakukan video call dengan entah siapa sedikit tercengang. Dia segera mengakhiri percakapan jarak jauh ter
Sejenak Nathan menatap meja Angeline. Berminggu-minggu terbiasa melihat permukaan meja yang rapi membuatnya mudah menangkap bahwa ada hal yang berbeda di sana. Karena penasaran dia berjalan ke meja tersebut, mumpung pemiliknya sedang tidak berada di tempat. Nathan mengambil sebuah bingkai foto kecil yang diletakkan di sisi kanan meja. Foto mereka berdua? Nathan mengernyit. Dia tidak ingat kapan foto ini diambil. Pose mereka menunjukkan bahwa hanya Angeline yang sadar kamera, sedangkan dirinya sedang menatap ke arah lain. Hal lain yang menarik adalah mereka terlihat bahagia. Nathan tersenyum. "Kamu tidak akan percaya apa yang harus kamu lakukan hari ini! Meeting lagi!" Angeline masuk ke ruangan dengan sebuah tablet di tangan. "Oh ya? Itu makananku setiap hari." Nathan melirik sekilas kemudian kembali memperhatikan meja, siapa tahu menemukan hal tidak biasa lainnya. Angeline terkesiap. Dia berlari mendekat dan berusaha mengambil bingkai foto dari tangan Nathan, tapi
"Sayang? Jeremy? Di mana kamu simpan kalung berlian pink itu? Aku membutuhkannya untuk arisan besok siang," tanya Lily yang sedang membongkar kotak penyimpanan perhiasan di kamar Jeremy. Jeremy yang sedang berselonjor di tempat tidur tidak menanggapi. Matanya asyik melihat entah apa di handphone. "Sayang? Kenapa banyak perhiasan yang hilang? Pelayan-pelayan kita tidak mencurinya, kan?" Lily mengernyit. Secara mental dia mengingat beberapa titik kosong dalam kotak penyimpanan. "Jangan asal tuduh! Mereka pelayan setia yang sudah bekerja belasan bahkan puluhan tahun. Tidak mungkin mencuri," ketus Jeremy. Lily melirik sebal. Lelaki yang dulu gagah dan tampan ini sekarang sudah jadi lelaki tua menyebalkan. Hanya satu yang tidak berubah, yaitu kesukaannya bermain wanita. Meskipun muak, Lily terus berusaha bersikap manis. Entah berapa lama lagi dia harus bertahan sampai seluruh harta warisan jatuh ke tangannya dan Rico. "Oh, begitu. Benar juga ya? Lalu kamu simpan di
Jika bisa bicara, cermin tinggi yang berdiri angkuh itu pasti akan menguap bosan karena melihat Angeline terus berganti pakaian. Apa penyebabnya? Dari sekian banyak pakaian yang ada di lemari, tidak ada satu pun yang dirasa cocok untuk makan malam dengan Gabriel. "Pilihlah sesuatu, Baby Girl. Kalau tidak malam akan segera berlalu," goda Nathan. "Entahlah. Sulit sekali menemukan yang bagus, tapi tidak terlalu bagus!" Angeline mendengkus frustasi. Dia memutar tubuh melihat bayangan dirinya yang memakai kaos rajut turtle neck hitam dan rok jeans selutut. "Itu cukup baik," ujar Nathan. "Tidak terlalu manis?" Angeline mengernyit. "Apa pun yang kamu pakai terlihat manis bagiku. Membuatku ingin melepasnya satu persatu dan—" "Nathan!" "Cepatlah tentukan pilihan sebelum aku benar-benar melakukannya," ancam Nathan. "Kamu nih. Ya sudah, ini saja deh." "Akhirnya." Angeline melontarkan tatapan sebal. "Santai, Baby Girl. Kamu tidak akan bertengkar den
"Aneh ya? Satu minggu menjelang pesta pernikahan kita malah terjadi hal-hal aneh. Untung kita sudah lebih dulu meresmikan hubungan." Angeline menelusuri tato di dada Nathan dengan jarinya. "Hmm ...." Lelaki itu menikmati rasa yang timbul akibat sentuhan Angeline. "Untung ayahmu tidak apa-apa." "Dia punya sembilan nyawa," cetus Nathan. "Memangnya kucing? Berarti kamu apa? Anak kucing?" Angeline tertawa. "Anak kucing? Manis sekali?" Angeline tersenyum geli, "Sebenarnya kamu manis kok, cuma sering berlagak jadi penjahat saja." Nathan tertawa kecil. Belum pernah ada orang yang mengatakan dirinya manis, kecuali sang ibunda. Hatinya terasa hangat. Heran karena mendadak hening, Angeline mendongak untuk melihat apa yang terjadi. Dilihatnya Nathan bersandar dengan mata terpejam. "Nath?" Tanpa kata terucap lelaki itu menyurukkan wajah ke ceruk leher Angeline, bersandar sepenuhnya pada si wanita. Lengan Nathan memeluk erat tubuh mungil itu, berhati-hat
Rumah besar terasa kosong dengan kepergian Lily dan Rico. Para pelayan yang dikumpulkan di dapur tidak berani bergerak sebelum ada perintah. Suasana yang hening mencekam membuat suara langkah kaki Nathan terdengar jelas. Kedengarannya lelaki itu sedang mengamati seisi rumah. Nathan masih hafal setiap sudut rumah yang ditinggali sejak lahir ini. Dia masih ingat jelas ibunya selalu meletakkan vas berisi bunga segar di setiap ruangan, khususnya di kamar utama. Sayang sekali segala usaha tersebut tidak mampu menyingkirkan kebiasaan buruk Jeremy terhadap wanita. Nada dering handphone memecah keheningan. Nathan bisa menebak pasti Angeline yang menelepon. Dia segera menjawab panggilan tersebut. "Hai, sudah pulang?" tanya Nathan. "Belum. Aku masih di rumah sakit, baru mau pergi. Kamu masih di rumah Jeremy?" Suara Angeline terdengar ceria. "Ya, aku baru membereskan sesuatu. Gabriel masih bersamamu?" Jeda sesaat sebelum Angeline menjawab, "Emm ... ya." "Kalau beg
Pagi hari terasa sejuk karena rimbunnya pepohonan di komplek perumahan. Kesejukan tersebut sangat kontras dengan aktivitas panas yang baru berakhir di dalam rumah bercat oranye. Lily bersandar nyaman di dada Anton. Wanita yang mendekati usia paruh baya itu tampak bahagia meskipun baru diusir dari rumah mewah Jeremy. "Kamu harus melakukan sesuatu, Sayang. Aku kehilangan semua, itu berarti aku tidak dapat lagi mendukungmu secara finansial," ucap Lily dengan nada teramat sedih. Anton memandang langit-langit kamar. Memang, selama sepuluh tahun menjadi lelaki simpanan Lily hidupnya sangat nyaman. Tinggal di rumah bagus, setiap bulan mendapat uang dalam jumlah besar, hingga terakhir diberi modal untuk membuka bisnis sendiri. Dia hanya perlu menjadi pacar yang pandai merayu dan memanjakan. "Bagaimana Rico? Dia tidak dapat melakukan sesuatu? Dia anak kandung Jeremy, bukan? Seharusnya dia bisa membujuk ayahnya?" tanya Anton. "Rico sulit bergerak, Sayang. Sejak awal aku mema
"Kenapa terkejut?" Nathan tersenyum geli. "Soalnya aku tidak menyangka, wanita itu kan sudah tidak muda? Pacarnya seperti apa?" Angeline berdiri di depan jendela. "Lelaki yang berusia jauh lebih muda." "Oh ya? Kok mau?" "Hubungan seperti itu berlandaskan uang, Baby Girl. Tidak akan ada lelaki muda yang mau membuang waktu dengan wanita tua kecuali ada keuntungan besar yang didapat," ujar Nathan. "Ehm ... by the way, pergerakan apa yang kamu maksud tadi? Lily masih merencanakan sesuatu?" tanya Angeline. Nathan berpikir sejenak sebelum menjawab, "Orang-orangku sedang menyelidikinya." Angeline mendongak menatap Nathan, "Itu saja? Kupikir kamu sudah tahu?" "Hei, semua butuh proses, Baby Girl. Seperti hubungan kita." "Lalu, seperti apa lelaki yang jadi pacar Lily? Kamu juga sudah tahu?" Angeline semakin penasaran. "Waktu mengobrol sudah selesai, Sayang. Sekarang saatnya bekerja. Kamu mau ikut meeting?" Nathan mengalihkan pembicaraan. "Kamu tid
"Bagaimana keadaan sekarang? Semuanya beres?" Angeline rebah di tempat tidur sambil bertelepon dengan Nathan. Sekarang waktunya santai karena anak-anak sudah tidur. "Tentu saja beres, Baby Girl. Tidak ada yang bisa lolos dalam pengawasanku. Kamu sedang apa sekarang? Dua hari di sini aku sangat merindukanmu." Ada nada menggoda dalam suara Nathan. Angeline tertawa kecil, "Dasar kamu. Besok 'kan ketemu? Aku baru selesai mandi nih. Siap-siap mau tidur." "Apa yang kamu pakai sekarang?" lirih Nathan. "Kaosmu, Sayang," kata Angeline dengan nada menggoda. Nathan mengerang, "Aku akan terbang pulang sekarang juga." "Serius kamu? Tidak bisa tunggu besok pagi?" "Aku selalu serius kalau menyangkut istriku." "Memang sudah tidak ada urusan yang tertinggal? Bagaimana dengan Mike? Dia yang menemani kamu loh, bukan sebaliknya." "Akan kubawa dia pulang." "Astaga, Nathan. Kamu benaran sudah tidak tahan ya?" "You know me, Baby Girl. See you in two hours."
Suasana hening nan syahdu menggantung di udara, khususnya di depan sebuah makam batu besar dengan patung malaikat di atasnya. Pada nisan yang terbuat dari marmer hitam terukir nama Cornelia Wayne. Sebuah foto berbentuk oval yang sudah memudar tertempel di bagian atas nama tersebut. Tidak ada seorang pun bersuara. Bahkan Rafael dan Olivia pun sangat tenang seolah memahami kekhidmatan yang sedang terjadi di antara orang dewasa. "Baiklah. Kita kembali." Suara Jeremy memecah keheningan. Ruby menatap heran, "Sudah?" Jeremy membalas tatapan itu, "Iya. Sudah. Aku tidak pernah berlama-lama di sini. Lagipula dia juga tidak menuntutku untuk tetap tinggal." "Heiiiii, apa yang kamu katakan? Memangnya boleh bicara seperti itu? Memangnya kamu bisa dengar bisikan darinya?" Ruby mengibaskan tangan di udara seperti mengusir lalat. Lelaki yang rambutnya telah memutih itu tertawa, "Tentu saja tidak. Maksudku, aku tidak akan menahanmu berlama-lama di sini. Cornelia telah damai
"Hei, hati-hati Rafa. Adikmu masih terlalu kecil." Jeremy mengingatkan karena cemas melihat kedua cucunya berlarian dengan kecepatan tinggi. "Okay, Opa!" Rafael berhenti berlari. "Aaaahhh! Ayo, Kakak, run!" rajuk Olivia. "Oliv, duduk dulu sini. Kamu sudah lari-larian dari tadi!" Angeline buka suara. Sambil merengut anak perempuan kecil itu berjalan ke sofa. Wajah mungilnya terlihat menggemaskan dengan pipi menggembung, membuat Ruby—yang duduk di sebelah Angeline—tidak tahan untuk menariknya duduk di pangkuan. "Gemas sekali sih? Anak siapa sih ini?" Angeline meringis melihat Ruby mencubit gemas pipi putrinya. "Omaaa, tidak mau! Sakit!" protes Olivia. "Oh, sakit ya? Sorry, habisnya kamu lucu sih. Sorry ya anak manis. Oliv mau apa? Oma punya home made ice cream. Coba tanya Mama, Oliv boleh makan ice cream, tidak?" Ruby melirik Angeline. Mendengar itu Olivia langsung menoleh dan memberikan tatapan penuh harap pada sang ibu, "Mama, can I eat ice crea
Tercipta keheningan yang membuat semua orang tidak nyaman, khususnya Cedrick. Kali ini dia terperangkap oleh kata-katanya sendiri. Maksud hati mau menggertak, tapi orang-orang ini ternyata tidak mempan gertakan. Bagaimana mungkin seorang General Manager bisa begitu saja menelepon pemilik hotel secara pribadi? Bertemu saja tidak pernah! "Bagaimana? Tidak bisa? Bukankah hubungan kalian sangat baik?" sinis Angeline. "Ah, Nyonya. Mungkin Anda kurang paham, tapi secara struktur organisasi jalur komunikasi tidak semudah itu. Kami memang dapat berbicara langsung dengan beliau, setelah melalui perjanjian di sela jadwal beliau yang sangat padat." Cedrick tersenyum. Nathan menahan tawa. Seandainya lelaki paruh baya ini tahu siapa yang sedang dia hadapi. "Baiklah. Kalau Anda tidak mau biar saya saja." Angeline menoleh, "Nath, tolong." "My pleasure." Nathan mengambil handphone. Ketegangan menggantung di udara. Cedrick menyembunyikan kegelisahannya dengan sangat baik di
Kekhawatiran Nathan tidak beralasan. Ternyata Angeline bisa menerima kenyataan bahwa hotel di bawah naungan Golden Yue Group ini adalah miliknya. Namun, Nathan merasa ada tujuan lain di balik ketenangan sang istri. "Apa sih?" cetus Angeline yang merasa gerah karena selama satu jam terakhir Nathan menempel padanya seperti lintah. "Aku hanya penasaran kenapa kamu tidak bereaksi negatif lagi. Bukankah kamu tidak ingin memiliki bagian apa pun dari Golden Yue?" Nathan mengungkung Angeline yang sedang berdiri di counter. "Cuma satu hotel, 'kan? Lagipula bukan aku yang menanganinya, melainkan kamu." Jemari lentik wanita itu menyusuri garis rahang suaminya. Nathan tersenyum, "Memang benar. Aku telah bekerja di balik layar sejak beberapa bulan terakhir. Kuakui dunia perhotelan ternyata rumit." "Oh ya? Apakah Anda kesulitan menghadapinya, Tuan Wayne?" Jemari Angeline bergerak turun ke dada bidang Nathan. "Tidak sesulit menebak pikiranmu, Baby Girl." Angeline ters
Aroma percintaan yang masih tersisa di ruang tamu suite tersingkir oleh aroma penyegar ruangan yang disemprotkan Angeline. Dia menatap puas ke sekeliling ruangan. Jangan sampai Rafael atau Olivia curiga ada sesuatu yang terjadi di sini. "Hei, Baby Girl," sapa Nathan yang baru selesai mandi dan berpakaian santai. Rambut berpotongan rapi itu masih terlihat basah dan seksi. "Hei juga." Angeline bergidik saat sepasang lengan lelaki itu memeluknya dari belakang. "Kamu tidak lelah? Tidurlah sebentar." Nathan menciumi leher sang istri. "Iya, mau tidur. Ini tanganmu ya, tolong dikendalikan. Tidak cukup semalam suntuk bercinta?" Angeline pura-pura mengomel. Nathan terkekeh tanpa terburu-buru memindahkan tangan yang sedang menikmati kelembutan tubuh wanitanya, "Ini namanya gerak refleks, Baby Girl. Lagipula sesuatu yang indah tidak boleh disia-siakan." "Ya sudah, tidur deh sebelum kamu terinspirasi untuk berbuat lagi. Semalam habis berapa bungkus pengaman tuh? Dasar
"Serius? Satu minggu? Dua minggu?" Angeline melongo. "Tidak masalah, 'kan? Selama ada bos yang menanggung biaya menginap?" Nathan tersenyum miring. "Iya sih, tapi memangnya kita mau menyelidiki sedalam apa? Oke lah, mungkin ada masalah sedikit dengan stok bahan makanan di restoran dan sumber daya manusia. Tapi kurasa ...." Angeline terlihat ragu. "Baby Girl, kamu meragukan argumenmu sendiri." "Iya yah? Kamu sih." "Hmm? Sampai sekarang tetap salahku?" Nathan menahan senyum. "Iya dong. Masa aku mau menyalahkan waitress tadi?" Wanita itu mengerucutkan bibir. Nathan tertawa, "Masih keki? Sudah kubilang, mereka akan terkena serangan jantung kalau tahu siapa kamu sebenarnya." "Aku tidak mau, Nath. Hidupku cukup damai sebagai istrimu. Jangan ditambah lagi." "Baiklah. Lupakan dulu hal itu. Bagaimana kalau sekarang kita makan siang di luar sebelum anak-anak unjuk rasa? Rafa sudah diam tanda kelaparan," ujar Nathan. "Oke. Setuju." Maka sepanjan
Malam berlalu menuju subuh. Langit menjadi saksi akan sebuah pergumulan panas yang baru saja berakhir di kamar lantai dua. Sepasang pelaku pergumulan rebah tumpang tindih dengan nafas terengah. "Sial ... itu terakhir kalinya aku membiarkanmu berbuat sesuka hati," desis Angeline yang kehabisan tenaga. Nathan terkekeh, "You're welcome, Baby Girl." "Sana sedikit, aku tidak bisa bernafas." "Ya, sebentar." "Nathan ...." "What? Aku sedang menikmati kehangatan istriku tersayang." Detik berikutnya Nathan mengaduh kesakitan karena Angeline mencubitnya keras-keras. Mau tidak mau dia berguling ke samping. "Rasain." Angeline tertawa kecil. "Why? Kamu seperti ada dendam denganku." Nathan menggosok-gosok pinggangnya yang memerah. "Oh, sakit ya? Poor Nathan." Terdorong oleh sedikit rasa bersalah Angeline melihat keadaan suaminya. "Iya, sakit. Cubitanmu keras sekali," rajuk Nathan. "Sorry." "Aku butuh ciuman." Cubitan berikutnya membuat Nath
Makan siang tersaji di meja makan. Nathan sekeluarga duduk manis menyantap hasil masakan Johan yang sudah tidak diragukan rasanya. Rafael bahkan sampai menambah dua kali! Sementara Olivia yang sudah kenyang masih asyik menyeruput kaki kepiting. "By the way, Jonathan menghubungimu tidak? Aku penasaran bagaimana perkembangan mereka setelah enam bulan tidak bertemu," ujar Angeline. Sambil mengobrol tangannya sibuk membersihkan ceceran kulit kepiting di meja. "Baby Girl, kenapa kamu harus membicarakan orang itu sekarang? Dia hanya melenyapkan nafsu makanku." "Oh, sorry ... lupakan saja kalau begitu." Angeline meringis. Nathan tersenyum simpul, "Kudengar mereka berdua nyaman tinggal di Labuan Bajo." "Jadi dia menghubungimu?" "Kamu lupa aku punya mata dimana-mana?" Angeline menepuk jidat, "Astaga. Benar juga. Terlalu lama hidup berdua membuatmu terlihat normal." Nathan tertegun, "Apa? Selama ini aku tidak normal?" "Uhm ... Rafa, tolong sendoknya satu