Tiga pesan yang masuk secara bersamaan itu membuat Rania membeku. Matanya memindai huruf demi huruf yang tertera di layar. Tangan Rania yang memegang ponsel itu pun gemetar dengan hebatnya sedangkan napasnya tercekat di tenggorokan dan dadanya terasa sesak.
Kembali dia membaca pesan itu dan tidak ada yang berubah. Tulisannya masih sama.Apa yang terjadi? Mengapa Zack mengatakan itu?Rasa pusing mendera kepalanya dan Rania merasa sulit bernapas. Jari-jarinya yang bergetar pun bergerak cepat di atas keyboard ponsel, memanggil nomor Zack.Tidak aktif.Rania men-dial nomor pria itu sekali lagi, tapi suara operator di seberang panggilan terus mengulang kalimat yang sama. Hingga akhirnya Rania pun beralih menghubungi Huges.Cukup lama telepon itu baru tersambung.“Halo, Mr. Andreas. Apa Zack ada bersamamu?” sapa Rania buru-buru. Dia tidak ingin membuang waktu. Dirinya harus memastikan sendiri apakah Zack betul-betul mengatakan pesan semenyakitkan itu padanya. “Aku tidak bisa menghubungi Zack. Apa kau tahu dia ada di mana?”“Tentu saja. Mr. Lawson sedang berdiskusi dengan kolega dari Dubai. Sebaiknya Anda tidak mengganggu Mr. Lawson saat ini, Nona Camerry.”Dada Rania naik turun. Matanya pun mulai berkabut. “Aku hanya ingin memastikan mengenai pesan yang kau sampaikan. Apa Zack benar-benar mengatakan itu?”“Tentu saja. Saya adalah sekretaris pribadi beliau. Tugas saya menyampaikan apa yang Mr. Lawson katakana, dan beliau mengatakan tidak ada waktu untuk mengurusi kehamilan Anda. Kuharap Anda mengerti, Nona Camerry.”Jantung Rania seperti berhenti berdetak. Seolah ada ribuan jarum panas yang tiba-tiba merajam tubuhnya tanpa henti. Dia tidak pernah membayangkan Zack akan mengatakan hal seperti itu.“Berikan ponselmu padanya. Aku harus bicara dengan Zack!”“Nona Camerry.” Suara Huges berkali-kali lipat lebih dingin dari biasanya, membuat Rania terdiam seketika. “Saya sudah bilang, Mr. Lawson tidak ingin diganggu. Dia menyampaikannya sendiri. Jika Anda masih ingin menjadi wanita simpanannya, gugurkan janin itu dan bersikaplah seperti tidak pernah terjadi apa pun.”Perkataan Huges bagaikan tamparan yang menyakitkan bagi Rania, membuatnya mematung hingga telepon itu pada akhirnya ditutup secara sepihak dari seberang sambungan. Mata gadis itu hanya bisa menatap kosong pada dinding polos di hadapan. Sungguh, dia tidak mampu mencerna apa yang baru saja Huges sampaikan.Bagaimana bisa lelaki yang memeluknya sepanjang malam mengatakan hal sekejam itu? Ini darah dagingnya sendiri. Anak dari hasil percintaan mereka selama ini.“Tidak. Kau tidak bisa menyuruhku mengugurkannya, Zack. Ini anak kita. Kau tidak boleh melakukannya!”…….Rania duduk semalaman di sofa menunggu Zack pulang. Tatapan matanya kosong pada layar televisi yang menyala di hadapan.Sampai pagi menjelang, Zack tidak juga pulang. Berkali-kali Rania memandang nanar pintu apartemen yang tidak dibuka sejak semalam. Perasaannya kacau. Pikirannya terus berperang, mengulang-ulang semua perkataan Huges di telepon.“CEO Moon Light Hotel, Zack Lawson akan melangsungkan pertunangan dengan Amanda Harlot, seorang influencer ternama. Dikabarkan mereka sudah menjalin hubungan selama setahun dan berencana akan menikah pada awal musim semi tahun ini.”Suara dari seorang penyiar memutus lamunan Rania. Dengan cepat kepalanya berpaling ke arah televisi yang menampilkan potret Zack tengah memeluk pinggang seorang wanita cantik di sebuah pesta.“A-apa ini?” bisik Rania tidak percaya.Matanya membulat begitu dia mengingat kapan Zack memakai stelan jas yang berada di potret. Jelas sekali, foto tersebut diambil sekitar empat hari yang lalu. Sebuah pesta jamuan di mana seorang Rania Camerry tidak akan bisa masuk tanpa Zack, dan sayangnya Zack bahkan tidak mengajaknya ke pesta ekslusive tersebut.“Ini sebabnya kau tidak membawaku?” gumam Rania dengan suara bergetar dan pandangan kabur.Lagi-lagi gadis malang itu tampak tercekat. Tarikan napasnya berubah cepat dan sekujur tubuhnya gemetar.“Apa karena ini kau menyuruhku menggugurkan kandungan?” Seketika tangan Rania pun memegangi perutnya yang masih terlihat rata. “Kenapa kau lakukan ini, Zack? Kenapa?”Mata yang sejak tadi memerah itu akhirnya menumpahkan tangis. Rasa terhina menyerang dada Rania.Perkataan Huges yang menyebutnya ‘wanita simpanan’ semakin terngiang-ngiang. Hingga tanpa sadar, Rania pun menjerit keras sembari melempar bantal sofa ke arah televisi yang menayangkan potret kebersamaan Zack bersama seorang wanita bernama Amanda.Selama ini dia sudah menuruti semua kemauan lelaki itu untuk merahasiakan hubungan mereka dari publik, tapi mengapa Zack malah membeberkan pertunangannya dengan perempuan lain.Omong kosong macam apa ini!Rania kembali menelepon Zack dan lagi-lagi ponselnya tidak aktif. Dia mengulang panggilan itu puluhan kali, tapi tidak ada hasil.“Kau menyuruhku menggugurkan anak kita untuk bertunangan dengan perempuan lain?” Pekik Rania, mencengkeram erat ponselnya diikuti air mata yang meleleh di pipi dan kernyitan kemarahan di dahi.Dia harus bicara dengan Zack!Rania kembali ke kamar. Mengganti pakaian dan bersiap ke kantor. Wajah mungil itu masih sembab dan pucat. Hari masih pagi dan kantor masih sangat sepi, tapi Zack biasanya sudah ada di ruangannya di jam segini.Tanpa peduli jika kepalanya terasa berat karena tidak tidur semalaman, Rania pun bergegas keluar dari apartemen mewah yang Zack berikan.…..Seperti yang Rania duga, hotel itu masih sangat sepi ketika dirinya datang. Para staf yang tinggal di paviliun belakang hotel masih berkeliaran untuk sekadar menghirup udara pagi atau berolahraga.Dengan langkah cepat, Rania menuju ruangan CEO yang ada di lantai dua puluh dua. Kedatangannya disambut oleh pandangan datar Huges di meja sekretaris yang terletak tepat di depan ruangan Zack. Rania lekas melangkah hendak masuk ke ruangan, namun dengan cepat Huges menghadang di depan pintu.“Anda tidak bisa masuk, Nona Camerry.”Rania membalas tatapan pria itu dengan tajam. “Aku yakin belum ada klien sepagi ini, Tuan Andreas. Kumohon menyingkirlah, aku ingin bicara dengan Zack sekarang juga.”Dagu tajam Huges terangkat sedikit. “Saya sudah bilang berulang kali. Mr. Lawson tidak ingin diganggu. Dia tidak ada waktu membicarakan kehami⸺ ““Tidak ada waktu untuk kehamilanku, tapi punya banyak waktu untuk membeberkan pertunangannya dengan wanita lain?!” Rania yakin Zack bisa mendengar suaranya di dalam sana.Huges tidak menyanggah wanita di hadapan. Raut wajah pria itu masih begitu kaku, seolah banyak hal yang harus dia sembunyikan.Huges maju dua langkah, lalu membungkuk untuk menatap kedua mata Rania.“Anda tahu bahwa dia tidak menginginkan bayi sejak awal. Jadi, percuma saja Anda menuntut. Anda hanya akan terluka.” Ia kembali mundur lalu menatap pintu besar di hadapannya. “Silahkan masuk, Nona Camerry. Kuharap Anda mendapatkan apa yang Anda inginkan.”Kedua kaki Rania gemetar saat Huges membukakan pintu dan pemandangan ruangan Zack menyerbu matanya seketika.Dia melangkah dengan tatapan nanar dan suara yang tercekat. Dadanya berdenyut perih seperti ditusuk ribuan belati saat matanya mendapati Zack ada di sana. Duduk di meja kebesarannya sambil fokus pada layar laptop. Kedua siku maskulin lelaki itu bertumpu di atas meja dengan tangan menyatu di depan dada.Zack hanya melirik Rania sekilas, lalu kembali pada pekerjaannya. Seolah menegaskan bahwa keberadaan wanita itu tidaklah penting untuknya.“Aku ingin bicara.” Amarah dan kekecewaan menyatu di hati Rania. Dia ingin berteriak, namun tidak mampu menahan air mata yang mendesak ke pelupuk.Zack mengangkat wajah, lalu menatap Rania tajam. “Bukankah sudah kuberikan pesan kemarin malam? Apa Huges kurang jelas memberitahukannya padamu?”Sejak dulu suara Zack memang selalu tajam dan dingin, tapi baru kali ini Rania mendengar nada yang seperti itu. Seolah lelaki itu sedang menegaskan bahwa Rania dan kehamilannya hanyalah seperti serangga pengganggu yang akan menghadang langkahnya.Rania merekam ekspresi serta sorot mata tajam lelaki itu di kepala. Betapa pun dadanya terasa sangat sesak seperti ditimpa batu ratusan ton, dia tetap memberanikan diri. Dia menarik napas untuk menegarkan bahu. Biar bagaimana pun, anak yang sedang dia kandung adalah anak Zack.“Aku hamil.” Dilemparkannya fakta itu meskipun Zack sudah mendengarnya dari mulut Huges.“Lalu?” Satu alis Zack terangkat tidak peduli.“Dan kau bertunangan dengan perempuan lain.” Remuk redam hati Rania mendapati ekspresi dingin di wajah rupawan dari lelaki yang sangat dia sayangi di hadapan.“Katakan dengan singkat dan padat, Rania. Kau tahu aku sangat sibuk,” tekan Zack, acuh.“Kau pasti tahu kaitan kedua berita itu!” jawab Rania, kesulitan menelan saliva akiba
“Lalu apa yang akan kau lakukan? Mau menuntutku? Kenapa tidak kau gugurkan kandungan itu?”“Aku membelikan pil pencegah hamil, apa yang kau lakukan dengan obat-obat itu sampai hamil? Ini salahmu, Rania. Jangan datang tanpa rasa malu ke sini dan menuntut apa pun padaku. Aku tidak suka wanita yang serakah.”“Jangan salah paham, Rania. Kau bukan kekasihku, kau hanya simpanan yang kupelihara sampai aku bosan.”Rania terbangun. Dengan dada yang naik turun dan napas tidak beraturan, dia mencoba duduk, berharap segala ketakutan itu bisa enyah dari pikiran. Peluh menetes deras dari wajah hingga ke lehernya, membuat Rania sesak dan gelisah.Ini adalah mimpi ke tujuh sejak ia memutuskan untuk meninggalkan Zack. Perlakuan kejam yang Zack lakukan padanya tujuh hari yang lalu selalu saja terbayang dalam mimpi dan membuatnya tak mampu tertidur nyenyak. Bahkan, Rania tidak sanggup saat mendengar suara khas pria itu walau lewat mimpi. Tatapan tajam dan ucapannya yang dingin begitu sulit untuk
Betapa mudahnya Rania mengenali sosok yang berada di hadapan. Pada Tubuh jangkung dan tegap yang berdiri di celah antrean itu, hingga kemeja pas badan yang mencetak jelas otot-otot liat di baliknya, serta rambut blonde yang ditata rapi dan juga garis-garis wajah yang maskulin itu. Sungguh, Rania mengenal Zack dengan sangat baik.Laki-laki yang hanya memakai kemeja hitam tersebut masih berdiri memesan sesuatu, sedangkan wanita yang bersamanya adalah perempuan yang dikabarkan bertunangan dengannya. Wanita itu sungguh cantik dengan kaki jenjang dan penampilan layaknya seorang putri konglomerat. Keduanya benar-benar sangat serasi.Bagaimana mungkin Rania dapat bersaing dengan wanita seperti itu. Dirinya bahkan tidak mungkin bisa memasuki pergaulan elit yang wanita itu miliki.Rasa rindu teramat sangat pun menyeruak dengan hebatnya. Dia benar-benar merindukan dekapan laki-laki itu. Bibir Rania bergetar menahan diri agar tidak bersuara. Entah bagaimana membendung serbuan emosi yang d
“Kenapa kau malah repot-repot mau menyingkirkan berita pertunangan itu?” Amanda duduk menyilangkan kaki pada sofa di ruangan kerja Zack. Sorot matanya diam-diam menggoda Zack yang saat itu tengah sibuk di meja kerja, memandangi kertas berisikan projek baru. Nadanya terdengar datar saat menjawab. “Karena itu berita palsu.”Dahi Amanda mengernyit seketika. Dia menggigit bibir bawahnya tanpa sadar, seolah terusik akan jawaban yang baru saja Zack berikan.“Berita palsu yang memberimu keuntungan,” balas Amanda, diiringi sedikit deheman. “Akui saja. Dengan adanya berita itu, banyak perempuan yang mundur mendekatimu karena merasa takut padaku. Karena, hanya aku yang sepadan denganmu.” Amanda sengaja bersolek habis-habisan demi menemui Zack. Berharap kali ini, pria itu melihatnya dengan cara yang berbeda. Lagipula, lelaki itu sendiri yang mengundangnya untuk bertemu dan membahas masalah ini. Tanpa disuruh pun, Amanda rela datang walau hanya dengan merangkak ke pangkuan pria itu.
Dua minggu berlalu sejak Rania keluar dari rumah sakit. Ia hanya berdiam diri di rumah Jennie. Tak pernah punya niat melakukan apa pun. Namun, ada hal yang terus mendesak di hatinya. Dorongan untuk mengabarkan semua ini kepada Zack, mulai dari rasa sakit kejadian waktu lalu, dan keadaan bayi mereka yang sangat lemah. Semuanya. Dia ingin bercerita pada pria yang perlahan membuat rindu akan sosoknya.Rania menggigit bibir, lalu berlari secepat kilat untuk mengambil ponsel di kamar. Dia mencoba untuk menghubungi Zack dan lagi-lagi teleponnya tidak tersambung. Seolah ada tembok penghalang yang tak mampu Rania tembus. Sembari berdiri gelisah, dia pun beralih menelepon Huges. Saat suara dingin Huges menjawab dari seberang, Rania pun berusaha bersikap tenang. “Di mana Zack?” Rania tidak repot-repot berbasa-basi.“Kenapa Anda mencari Mr. Lawson Kembali? Bukankah semua sudah sangat jelas, Nona Camerry”“Saya ingin bertemu Zack.”“Untuk apa?”“Ini maslaah pribadi kami, Mr. Andreas. Per
Tiga tahun kemudian. Blue Island, pulau kecil di pesisir Amerika.Angin membawa wangi khas roti yang manis di sepanjang jalan pada pusat wisata Pantai Blue Island. Di sebuah toko roti dengan bangunan bercat cokelat tua, terlihat pengunjung berdatangan setiap sepuluh menit sekali. Meja-meja minimalis dengan desain yang manis itu pun tampak penuh. Berbagai jenis roti berjejeran di etalase. Di Tengah-tengah keriuhan pengunjung yang memadati toko roti, Jennie masuk sedikit tergesa dengan peluh bercucuran. Kedua tangan wanita itu tampak penuh dengan berbagai buku dalam dekapan. Napasnya berembus lelah ketika dia menyerobot antrean di meja pemesanan, membuat beberapa orang mengernyit dan melirik gusar.“Oh, maaf. Aku bukan pelanggan di sini.” Ia meletakkan buku di atas meja tinggi di samping meja pemesanan. “Jangan khawatir, pesananku sudah selesai sebelum aku tiba.”Dia memberi senyuman lebar pada orang-orang yang mengernyitkan dahi akibat aksi barusan.Perhatian Jennie pun beralih k
Dua hari yang lalu, Di Manhattan, Moon Light Hotel.“Tidak ada untungnya kau ikut.”Amanda tampak bergerak gelisah mengikuti tiap Langkah Zack yang berpindah dari lemari ke tempat tidur. Pria itu sibuk menyusun kemeja-kemejanya ke dalam sebuah koper hitam besar.Dengan sedikit acuh dan tangan yang penuh, jelas sekali mood Zack tidak dalam keadaan yang baik.Mendengar perkataan Zack yang dingin, tentu saja Amanda sedikit tidak terima. “Memangnya kenapa? Sekarang aku adalah tunanganmu.” Zack mengernyit ketika lagi-lagi Amanda bergelayut di lengannya. Hal yang paling tidak disukai Zack. Terutama pada wanita yang manja dan sedikit memaksa.“Aku tidak ke sana untuk berlibur. Ini soal pekerjaan.” Dengan sedikit mendorong tubuh Amanda untuk memberi jarak, Zack pun menepis wanita yang bergelayut manja di lengannya.Tanpa peduli akan gestur penolakan dari Zack, Amanda terus saja menempelkan diri. “Aku tidak ingin kita berpisah terlalu lama. Akan banyak gossip yang beredar di luar sana
Suara dering ponsel yang berada di atas kasur menarik Zack dari lamunan. Sejak tadi dia tanpa sadar diam mematung di depan cermin. Dasi yang setengah rapi di lehernya menandakan dirinya tengah melamun terlalu lama.Laki-laki itu menarik napas dalam-dalam dengan mata terpejam sesaat.“Well, Damn!” desisnya diikuti geraman pelan. Tangannya menarik dasi yang masih setengah jadi itu, dan dengan perasaan kesal melemparkan benda bermotif garis-garis biru tersebut ke lantai.Setelah menghembuskan napas, Zack berjalan cepat dan mengambil ponselnya dari Kasur.Tanpa melihat siapa yang menghubungi, dia mengangkat panggilan itu begitu saja. “Hallo, Honey. Aku―”Begitu mendengar suara feminim di ujung sambungan, rasa marah yang tadinya reda pun seolah hendak menyeruak kembali.“Aku tidak ada waktu untuk sekedar basa-basi!” Seketika saja Zack memutus sambungan tersebut.Dia tidak peduli dengan pembicaraan selanjutnya. Jemari Zack bergerak cepat mencari nama asistennya yang baru, Cinty
Hari-hari terasa berlalu sangat lambat di Blue Island, membuat Rania selalu dilanda kecemasan. Pikirannya seakan berkelana kemana-mana. Para pegawai yang bekerja dengannya pun teramat sering mendapati dirinya melamun dengan tatapan kosong menghadap ke pintu atau jalanan. Seolah-olah, wanita itu menunggu antisipasi akan kedatangan seseorang.“Tidak terasa ya perayaan Tora Flora akan segera tiba.”Suara lembut Sofia yang datang dari arah belakang, mengejutkan Rania seketika. Dengan memegangi dada, Rania pun berpaling kea rah bawahannya tersebut.“Aku sampai lupa dengan perayaan itu. Astaga, rasanya kepalaku sangat penuh,” ringis Rania yang kembali berbalik menatap pintu seperti sedia kala.Sofia hanya bisa menggeleng pelan. Dia yakin, kedatangan pria asing beserta keberadaan hotel baru di depan mereka adalah sumber dari berisiknya kepala Rania.“Sayang sekali, Miss Kendrick tidak bisa melihat perayaan Tora Flora tahun ini,” desah Sofia, mencoba membawa topik pembicaraan untuk men
“Bagaimana?” Tidak sekalipun Zack mengangkat kepalanya dari tumpukan dokumen yang sedang dirinya pelajari. Pertanyaan yang baru saja ia lontarkan pada sekretarisnya itu bahkan terdengar seperti angin lalu.Sementara itu, Cintya yang sejak setengah jam lalu berdiri diam di dekat pintu memberikan jawaban seadanya. Diikuti oleh senyum tipis, wanita itu melirik jam yang melingkar di lengan.“Seperti yang anda katakana, Sir. Nona Camerry menolak keras bingkisan-bingkisan tersebut.”Cukup lama Cintya memandangi jarum jam yang berputar. Sikapnya yang tidak biasa itu mengundang perhatian Zack yang sejak tadi berfokus pada lembaran-lembaran file di meja.Sebelah alis pria itu naik mendekati dahi, dan bibirnya membentuk garis tipis dengan tatapan sedikit penasaran.“Katakan apa yang ada dalam pikiranmu saat ini.”Mendengar perintah tersebut, Cintya mengangkat sedikit kepala dan seketika pandangannya pun bertabrakan dengan manik sebiru Samudra yang kini berfokus hanya padanya. Sangat l
“Rania, apa ini?” Jennie memandang penasaran pada bingkisan dan tas belanja yang tergeletak di atas sofa. “Apa kau baru saja berbelanja?” Dengan penuh rasa ingin tahu, Jennie pun berjalan cepat menuju kumpulan benda-benda yang tergeletak sembarangan tersebut. Melihat segel yang masih terpasang, firasatnya sedikit janggal. Dia merasa familiar dengan lambang di bingkisan yang terbungkus rapi. Mendengar pertanyaan dari sahabatnya, Rania yang baru saja menidurkan Oliver di kamar pun bergegas untuk melihat benda yang Jennie pertanyakan. Begitu tersadar kemana arah pertanyaan tersebut, langkah Rania pun semakin cepat dan secara tiba-tiba dia menarik bingkisan yang hendak Jennie pegang. Hal itu membuat Jennie melemparkan tatapan aneh padanya.Sedikit gugup, Rania pun berusaha mengangkut seluruh pemberian Zack ke dalam kamarnya sendiri.“Ini bukan apa-apa,” jawab Rania, dimana suaranya terdengar bergetar sementara napasnya nyaris tersengal. “Hanya titipan dari Mrs. Mallory.”Kebohongan
“Mommy!”Begitu mendengar suara manis yang ruang itu memanggilnya, ekspresi Rania yang tadinya gusar berubah menjadi berseri-seri dengan senyuman lebar menghiasi wajah. Dia bahkan lupa akan bingkisan beserta tas belanjaan yang menjadi sumber amarah. “Hai Baby!”Segera Rania angkat tubuh mungil yang berlari-lari kecil ke arah pelukannya itu. Dan seketika suara tawa anak batita itu pun pecah, hingga mengisi ruangan toko yang mulai sepi. “Mom, mom! Mrs. Mallory bilang aku tambah besar! Lihat! Aku sangat tinggi Mommy!” celoteh batita itu dengan bahasa yang berlepotan, namun jernih terdengar di telinga Rania. Melihat tingkah menggemaskan putranya, Rania pun mencium gemas pipi gempal batita itu. Dan lagi-lagi tawanya yang renyah menggema hingga memenuhi langit-langit toko roti. “Benarkah? Mrs. Mallory bilang begitu? Coba ibu periksa,” ucap Rania, berpura-pura membuka baju putranya itu. “Oh Tuhan, kau benar-benar semakin besar!”Pujian yang Rania lontarkan semakin membuat batita i
Wajah Rania begitu pucat saat dia memasuki toko, dan hal ini menarik perhatian Sofia. Namun, pegawai wanitanya itu hanya diam tanpa banyak bertanya. “Miss Kendrick baru saja kembali ke hotel. Dia bilang akan kembali lagi besok.”Rania yang sejak tadi hening hanya menjawab dengan anggukan pelan. Jelas sekali, wanita itu tampak lebih murung dari biasanya. Sofia yang tidak tahu cara menghibur orang lain hanya bisa membiarkan Rania sendirian. “Aku ada di section depan jika kau butuh bantuanku,” ucap Sofia, pamit ke tempatnya semula. Tanpa melihat sekitar, Rania pun bergegas ke balik konter dan melayani para pelanggan dengan memasang senyum palsu. “Selamat siang, selamat datang di Toko Kami,” ujarnya ramah sembari menyodorkan menu pada pelanggan baru. Sebisa mungkin dia melupakan kejadian sebelum ini, dan bersikap seolah-olah semua baik-baik saja. ***Dua jam setelah pertemuan, satu per satu pelanggan pun mulai meninggalkan toko. Jam-jam sibuk di toko itu pun mulai sepi, dan
“Selamat Da … tang,” sambut Rania terbata.Mata Rania membulat seketika, dan pelipisnya basah akan cucuran keringat yang muncul tiba-tiba. Raut wajahnya yang tadi tenang berubah menjadi sedikit gusar.“Kami tidak menerima tamu seperti anda, Tuan. Pergilah ke tempat lain yang menyambutmu dengan ramah,” tutur Rania dengan nada sedikit tajam.Penolakan itu sangat jelas terlihat, terutama ketika matanya menyipit tajam dengan bibir berubah menjadi segaris tipis. Tidak ada keramahan maupun senyuman.Pria yang berdiri di hadapannya hanya memandang datar sembari mengedarkan pandangan ke segala arah. Begitu mata pria itu mendapati Jennie yang berjalan dengan senampan penuh roti menuju ruangan belakang toko, raut datarnya berubah sinis. Kini, mata itu berbalik menghunus ke arah Rania yang berupaya menyembunyikan kegelisahan dari tempatnya berdiri.“Aku tidak datang sebagai pelanggan, tetapi aku datang hanya ingin menyampaikan sesuatu.” Dia sengaja memandang wajah Rania terang-terangan, mem
Pertemuannya dengan Jennie membuat Zack sedikit marah. Dia tidak mengira Rania akan sepengecut itu untuk menyuruh temannya untuk menemui dirinya. Benar kata Huges, Rania adalah wanita oportunis yang suka memanfaatkan orang lain demi kepentingannya. “Dasar wanita licik,” desis Zack yang berjalan cepat menuju ruang kerja.Tidak lagi dia pedulikan orang-orang di sekitar. Pandangannya gelap akan kejadian barusan. Dan rasa kesal bercampur amarah masih menyelimuti.“Sir?” Suara Cintya yang mengejar dengan sepatu heels-nya tidak membuat Zack sadar.Pria itu semakin berjalan cepat, membuat siapapun yang menghalangi jalan pun menyingkir seketika.“Sir!” Panggil Cintya kembali, kali ini dengan nada lebih tinggi dan mendesak, membuat Zack akhirnya mendengar nada panik yang tersembunyi di baliknya.“Ada apa?”Saat Zack berbalik, tubuhnya seketika menjadi kaku. Matanya fokus menatap pada sosok laki-laki yang berjalan di samping Cintya.Seketika Zack melemparkan pandangan masam pada Cintya
Bagi seorang Zack Lawson, Moon Light Hotel adalah segalanya. Laki-laki itu ikut membangun hotel ini dengan susah payah. Dari sebuah hotel kecil di tengah-tengah persaingan Kota Manhattan, menjadi sebuah jaringan hotel raksasa dengan ribuan cabang yang tersebar di penjuru dunia.Dia tidak menampik, berkat koneksi dan kekayaan keluarganyalah Moon Light Hotel bisa sampai sejauh ini. Dan posisinya sebagai CEO Moon Light Hotel diberikan padanya sebagai pemegang jabatan sementara. Keluarganya masih memegang kendali atas hotel ini. Itu sebabnya dia masih tidak bisa berbuat bebas dalam mengelola Moon Light Hotel.“Hhhh … benar-benar hari yang melelahkan,” gumam Zack sembari menyugar rambut.Wajahnya tampak sedikit letih. Dia hendak berdiri dari kursi untuk menyeduh kopi yang baru, saat tiba-tiba pintu ruang kerjanya diketuk pelan.“Ada apa?” ucap Zack dengan nada acuh.Dia hendak menyuruh siapapun yang berada di luar sana untuk meninggalkannya sendiri. Namun, suara feminim Cintya men
Tangan Jennie gemetar menahan amarah, hingga tanpa sadar surat dalam genggamannya pun berkerut membentuk buntelan bola kertas.“Bajingan! Berani-beraninya dia mengajak Rania ke hotel? Apa dia mengira semua wanita itu murahan?”Tanpa bisa menahan emosi, Jennie berjalan cepat menuruni tangga hingga tiba ke lantai dasar. Namun, melihat pelanggan yang masih memenuhi toko, dia pun merubah wajahnya seketika.“Arrgh … pria itu membuatku sakit kepala,” desisnya sembari mengurut pelipis.Jennie melewati beberapa meja dan tidak lupa dia memasang senyuman ramah saat menyapa pelanggan tetap di sana. Begitu melewati pintu keluar, pandangan mata Jennie langsung menyipit tajam pada bangunan menjulang belasan lantai di seberang.***“Anda tidak perlu terlibat dengan kejadian barusan, Mr. Lawson. Aku bisa mengatasi masalah ini.”Seorang pria pertengahan tiga puluhan mengikuti Zack dengan Langkah terburu-buru. Sejak di depan tadi, dia sengaja mengejar atasannya tersebut sembari meminta maaf berk