“Mommy!”Begitu mendengar suara manis yang ruang itu memanggilnya, ekspresi Rania yang tadinya gusar berubah menjadi berseri-seri dengan senyuman lebar menghiasi wajah. Dia bahkan lupa akan bingkisan beserta tas belanjaan yang menjadi sumber amarah. “Hai Baby!”Segera Rania angkat tubuh mungil yang berlari-lari kecil ke arah pelukannya itu. Dan seketika suara tawa anak batita itu pun pecah, hingga mengisi ruangan toko yang mulai sepi. “Mom, mom! Mrs. Mallory bilang aku tambah besar! Lihat! Aku sangat tinggi Mommy!” celoteh batita itu dengan bahasa yang berlepotan, namun jernih terdengar di telinga Rania. Melihat tingkah menggemaskan putranya, Rania pun mencium gemas pipi gempal batita itu. Dan lagi-lagi tawanya yang renyah menggema hingga memenuhi langit-langit toko roti. “Benarkah? Mrs. Mallory bilang begitu? Coba ibu periksa,” ucap Rania, berpura-pura membuka baju putranya itu. “Oh Tuhan, kau benar-benar semakin besar!”Pujian yang Rania lontarkan semakin membuat batita i
“Rania, apa ini?” Jennie memandang penasaran pada bingkisan dan tas belanja yang tergeletak di atas sofa. “Apa kau baru saja berbelanja?” Dengan penuh rasa ingin tahu, Jennie pun berjalan cepat menuju kumpulan benda-benda yang tergeletak sembarangan tersebut. Melihat segel yang masih terpasang, firasatnya sedikit janggal. Dia merasa familiar dengan lambang di bingkisan yang terbungkus rapi. Mendengar pertanyaan dari sahabatnya, Rania yang baru saja menidurkan Oliver di kamar pun bergegas untuk melihat benda yang Jennie pertanyakan. Begitu tersadar kemana arah pertanyaan tersebut, langkah Rania pun semakin cepat dan secara tiba-tiba dia menarik bingkisan yang hendak Jennie pegang. Hal itu membuat Jennie melemparkan tatapan aneh padanya.Sedikit gugup, Rania pun berusaha mengangkut seluruh pemberian Zack ke dalam kamarnya sendiri.“Ini bukan apa-apa,” jawab Rania, dimana suaranya terdengar bergetar sementara napasnya nyaris tersengal. “Hanya titipan dari Mrs. Mallory.”Kebohongan
“Bagaimana?” Tidak sekalipun Zack mengangkat kepalanya dari tumpukan dokumen yang sedang dirinya pelajari. Pertanyaan yang baru saja ia lontarkan pada sekretarisnya itu bahkan terdengar seperti angin lalu.Sementara itu, Cintya yang sejak setengah jam lalu berdiri diam di dekat pintu memberikan jawaban seadanya. Diikuti oleh senyum tipis, wanita itu melirik jam yang melingkar di lengan.“Seperti yang anda katakana, Sir. Nona Camerry menolak keras bingkisan-bingkisan tersebut.”Cukup lama Cintya memandangi jarum jam yang berputar. Sikapnya yang tidak biasa itu mengundang perhatian Zack yang sejak tadi berfokus pada lembaran-lembaran file di meja.Sebelah alis pria itu naik mendekati dahi, dan bibirnya membentuk garis tipis dengan tatapan sedikit penasaran.“Katakan apa yang ada dalam pikiranmu saat ini.”Mendengar perintah tersebut, Cintya mengangkat sedikit kepala dan seketika pandangannya pun bertabrakan dengan manik sebiru Samudra yang kini berfokus hanya padanya. Sangat l
Hari-hari terasa berlalu sangat lambat di Blue Island, membuat Rania selalu dilanda kecemasan. Pikirannya seakan berkelana kemana-mana. Para pegawai yang bekerja dengannya pun teramat sering mendapati dirinya melamun dengan tatapan kosong menghadap ke pintu atau jalanan. Seolah-olah, wanita itu menunggu antisipasi akan kedatangan seseorang.“Tidak terasa ya perayaan Tora Flora akan segera tiba.”Suara lembut Sofia yang datang dari arah belakang, mengejutkan Rania seketika. Dengan memegangi dada, Rania pun berpaling kea rah bawahannya tersebut.“Aku sampai lupa dengan perayaan itu. Astaga, rasanya kepalaku sangat penuh,” ringis Rania yang kembali berbalik menatap pintu seperti sedia kala.Sofia hanya bisa menggeleng pelan. Dia yakin, kedatangan pria asing beserta keberadaan hotel baru di depan mereka adalah sumber dari berisiknya kepala Rania.“Sayang sekali, Miss Kendrick tidak bisa melihat perayaan Tora Flora tahun ini,” desah Sofia, mencoba membawa topik pembicaraan untuk men
“Ada apa, Rania?” Gadis itu memuntahkan semua makan malamnya di wastafel. Tanpa Rania sangka, Zack memeluk perutnya dari arah belakang sembari memberikan tatapan menilai. Lelaki itu memperhatikan wajah Rania yang pucat lewat cermin wastafel dengan sangat lekat.Kepala Rania terangkat sedikit. Sembari membalas tatapan Zack lewat cermin, dia tidak menemukan kekhawatiran di mata pria itu, yang ada hanya pertanyaan basa-basi pada partner yang kebetulan sedang sakit. Sekadar formalitas, mengingat sikap Zack selama ini.“Hanya mual. Sepertinya aku salah makan hari ini,” jawabnya dengan suara serak dan lemah.Mata pria itu sedikit mengeras, dan dia pun memberikan tatapan yang begitu intens padanya.“Seharusnya kau memperhatikan makananmu, Rania. Makanlah makanan yang sehat.”Rania mengangguk sembari menahan diri agar tidak meringis, akan tetapi Zack belum juga melepaskan pelukan di perutnya. Lelaki itu malah semakin merapatkan dadanya yang bidang dan hangat itu ke punggung Rania. Dan
Tiga pesan yang masuk secara bersamaan itu membuat Rania membeku. Matanya memindai huruf demi huruf yang tertera di layar. Tangan Rania yang memegang ponsel itu pun gemetar dengan hebatnya sedangkan napasnya tercekat di tenggorokan dan dadanya terasa sesak.Kembali dia membaca pesan itu dan tidak ada yang berubah. Tulisannya masih sama. Apa yang terjadi? Mengapa Zack mengatakan itu?Rasa pusing mendera kepalanya dan Rania merasa sulit bernapas. Jari-jarinya yang bergetar pun bergerak cepat di atas keyboard ponsel, memanggil nomor Zack.Tidak aktif. Rania men-dial nomor pria itu sekali lagi, tapi suara operator di seberang panggilan terus mengulang kalimat yang sama. Hingga akhirnya Rania pun beralih menghubungi Huges. Cukup lama telepon itu baru tersambung.“Halo, Mr. Andreas. Apa Zack ada bersamamu?” sapa Rania buru-buru. Dia tidak ingin membuang waktu. Dirinya harus memastikan sendiri apakah Zack betul-betul mengatakan pesan semenyakitkan itu padanya. “Aku tidak bisa mengh
Sejak dulu suara Zack memang selalu tajam dan dingin, tapi baru kali ini Rania mendengar nada yang seperti itu. Seolah lelaki itu sedang menegaskan bahwa Rania dan kehamilannya hanyalah seperti serangga pengganggu yang akan menghadang langkahnya.Rania merekam ekspresi serta sorot mata tajam lelaki itu di kepala. Betapa pun dadanya terasa sangat sesak seperti ditimpa batu ratusan ton, dia tetap memberanikan diri. Dia menarik napas untuk menegarkan bahu. Biar bagaimana pun, anak yang sedang dia kandung adalah anak Zack.“Aku hamil.” Dilemparkannya fakta itu meskipun Zack sudah mendengarnya dari mulut Huges.“Lalu?” Satu alis Zack terangkat tidak peduli.“Dan kau bertunangan dengan perempuan lain.” Remuk redam hati Rania mendapati ekspresi dingin di wajah rupawan dari lelaki yang sangat dia sayangi di hadapan.“Katakan dengan singkat dan padat, Rania. Kau tahu aku sangat sibuk,” tekan Zack, acuh.“Kau pasti tahu kaitan kedua berita itu!” jawab Rania, kesulitan menelan saliva akiba
“Lalu apa yang akan kau lakukan? Mau menuntutku? Kenapa tidak kau gugurkan kandungan itu?”“Aku membelikan pil pencegah hamil, apa yang kau lakukan dengan obat-obat itu sampai hamil? Ini salahmu, Rania. Jangan datang tanpa rasa malu ke sini dan menuntut apa pun padaku. Aku tidak suka wanita yang serakah.”“Jangan salah paham, Rania. Kau bukan kekasihku, kau hanya simpanan yang kupelihara sampai aku bosan.”Rania terbangun. Dengan dada yang naik turun dan napas tidak beraturan, dia mencoba duduk, berharap segala ketakutan itu bisa enyah dari pikiran. Peluh menetes deras dari wajah hingga ke lehernya, membuat Rania sesak dan gelisah.Ini adalah mimpi ke tujuh sejak ia memutuskan untuk meninggalkan Zack. Perlakuan kejam yang Zack lakukan padanya tujuh hari yang lalu selalu saja terbayang dalam mimpi dan membuatnya tak mampu tertidur nyenyak. Bahkan, Rania tidak sanggup saat mendengar suara khas pria itu walau lewat mimpi. Tatapan tajam dan ucapannya yang dingin begitu sulit untuk
Hari-hari terasa berlalu sangat lambat di Blue Island, membuat Rania selalu dilanda kecemasan. Pikirannya seakan berkelana kemana-mana. Para pegawai yang bekerja dengannya pun teramat sering mendapati dirinya melamun dengan tatapan kosong menghadap ke pintu atau jalanan. Seolah-olah, wanita itu menunggu antisipasi akan kedatangan seseorang.“Tidak terasa ya perayaan Tora Flora akan segera tiba.”Suara lembut Sofia yang datang dari arah belakang, mengejutkan Rania seketika. Dengan memegangi dada, Rania pun berpaling kea rah bawahannya tersebut.“Aku sampai lupa dengan perayaan itu. Astaga, rasanya kepalaku sangat penuh,” ringis Rania yang kembali berbalik menatap pintu seperti sedia kala.Sofia hanya bisa menggeleng pelan. Dia yakin, kedatangan pria asing beserta keberadaan hotel baru di depan mereka adalah sumber dari berisiknya kepala Rania.“Sayang sekali, Miss Kendrick tidak bisa melihat perayaan Tora Flora tahun ini,” desah Sofia, mencoba membawa topik pembicaraan untuk men
“Bagaimana?” Tidak sekalipun Zack mengangkat kepalanya dari tumpukan dokumen yang sedang dirinya pelajari. Pertanyaan yang baru saja ia lontarkan pada sekretarisnya itu bahkan terdengar seperti angin lalu.Sementara itu, Cintya yang sejak setengah jam lalu berdiri diam di dekat pintu memberikan jawaban seadanya. Diikuti oleh senyum tipis, wanita itu melirik jam yang melingkar di lengan.“Seperti yang anda katakana, Sir. Nona Camerry menolak keras bingkisan-bingkisan tersebut.”Cukup lama Cintya memandangi jarum jam yang berputar. Sikapnya yang tidak biasa itu mengundang perhatian Zack yang sejak tadi berfokus pada lembaran-lembaran file di meja.Sebelah alis pria itu naik mendekati dahi, dan bibirnya membentuk garis tipis dengan tatapan sedikit penasaran.“Katakan apa yang ada dalam pikiranmu saat ini.”Mendengar perintah tersebut, Cintya mengangkat sedikit kepala dan seketika pandangannya pun bertabrakan dengan manik sebiru Samudra yang kini berfokus hanya padanya. Sangat l
“Rania, apa ini?” Jennie memandang penasaran pada bingkisan dan tas belanja yang tergeletak di atas sofa. “Apa kau baru saja berbelanja?” Dengan penuh rasa ingin tahu, Jennie pun berjalan cepat menuju kumpulan benda-benda yang tergeletak sembarangan tersebut. Melihat segel yang masih terpasang, firasatnya sedikit janggal. Dia merasa familiar dengan lambang di bingkisan yang terbungkus rapi. Mendengar pertanyaan dari sahabatnya, Rania yang baru saja menidurkan Oliver di kamar pun bergegas untuk melihat benda yang Jennie pertanyakan. Begitu tersadar kemana arah pertanyaan tersebut, langkah Rania pun semakin cepat dan secara tiba-tiba dia menarik bingkisan yang hendak Jennie pegang. Hal itu membuat Jennie melemparkan tatapan aneh padanya.Sedikit gugup, Rania pun berusaha mengangkut seluruh pemberian Zack ke dalam kamarnya sendiri.“Ini bukan apa-apa,” jawab Rania, dimana suaranya terdengar bergetar sementara napasnya nyaris tersengal. “Hanya titipan dari Mrs. Mallory.”Kebohongan
“Mommy!”Begitu mendengar suara manis yang ruang itu memanggilnya, ekspresi Rania yang tadinya gusar berubah menjadi berseri-seri dengan senyuman lebar menghiasi wajah. Dia bahkan lupa akan bingkisan beserta tas belanjaan yang menjadi sumber amarah. “Hai Baby!”Segera Rania angkat tubuh mungil yang berlari-lari kecil ke arah pelukannya itu. Dan seketika suara tawa anak batita itu pun pecah, hingga mengisi ruangan toko yang mulai sepi. “Mom, mom! Mrs. Mallory bilang aku tambah besar! Lihat! Aku sangat tinggi Mommy!” celoteh batita itu dengan bahasa yang berlepotan, namun jernih terdengar di telinga Rania. Melihat tingkah menggemaskan putranya, Rania pun mencium gemas pipi gempal batita itu. Dan lagi-lagi tawanya yang renyah menggema hingga memenuhi langit-langit toko roti. “Benarkah? Mrs. Mallory bilang begitu? Coba ibu periksa,” ucap Rania, berpura-pura membuka baju putranya itu. “Oh Tuhan, kau benar-benar semakin besar!”Pujian yang Rania lontarkan semakin membuat batita i
Wajah Rania begitu pucat saat dia memasuki toko, dan hal ini menarik perhatian Sofia. Namun, pegawai wanitanya itu hanya diam tanpa banyak bertanya. “Miss Kendrick baru saja kembali ke hotel. Dia bilang akan kembali lagi besok.”Rania yang sejak tadi hening hanya menjawab dengan anggukan pelan. Jelas sekali, wanita itu tampak lebih murung dari biasanya. Sofia yang tidak tahu cara menghibur orang lain hanya bisa membiarkan Rania sendirian. “Aku ada di section depan jika kau butuh bantuanku,” ucap Sofia, pamit ke tempatnya semula. Tanpa melihat sekitar, Rania pun bergegas ke balik konter dan melayani para pelanggan dengan memasang senyum palsu. “Selamat siang, selamat datang di Toko Kami,” ujarnya ramah sembari menyodorkan menu pada pelanggan baru. Sebisa mungkin dia melupakan kejadian sebelum ini, dan bersikap seolah-olah semua baik-baik saja. ***Dua jam setelah pertemuan, satu per satu pelanggan pun mulai meninggalkan toko. Jam-jam sibuk di toko itu pun mulai sepi, dan
“Selamat Da … tang,” sambut Rania terbata.Mata Rania membulat seketika, dan pelipisnya basah akan cucuran keringat yang muncul tiba-tiba. Raut wajahnya yang tadi tenang berubah menjadi sedikit gusar.“Kami tidak menerima tamu seperti anda, Tuan. Pergilah ke tempat lain yang menyambutmu dengan ramah,” tutur Rania dengan nada sedikit tajam.Penolakan itu sangat jelas terlihat, terutama ketika matanya menyipit tajam dengan bibir berubah menjadi segaris tipis. Tidak ada keramahan maupun senyuman.Pria yang berdiri di hadapannya hanya memandang datar sembari mengedarkan pandangan ke segala arah. Begitu mata pria itu mendapati Jennie yang berjalan dengan senampan penuh roti menuju ruangan belakang toko, raut datarnya berubah sinis. Kini, mata itu berbalik menghunus ke arah Rania yang berupaya menyembunyikan kegelisahan dari tempatnya berdiri.“Aku tidak datang sebagai pelanggan, tetapi aku datang hanya ingin menyampaikan sesuatu.” Dia sengaja memandang wajah Rania terang-terangan, mem
Pertemuannya dengan Jennie membuat Zack sedikit marah. Dia tidak mengira Rania akan sepengecut itu untuk menyuruh temannya untuk menemui dirinya. Benar kata Huges, Rania adalah wanita oportunis yang suka memanfaatkan orang lain demi kepentingannya. “Dasar wanita licik,” desis Zack yang berjalan cepat menuju ruang kerja.Tidak lagi dia pedulikan orang-orang di sekitar. Pandangannya gelap akan kejadian barusan. Dan rasa kesal bercampur amarah masih menyelimuti.“Sir?” Suara Cintya yang mengejar dengan sepatu heels-nya tidak membuat Zack sadar.Pria itu semakin berjalan cepat, membuat siapapun yang menghalangi jalan pun menyingkir seketika.“Sir!” Panggil Cintya kembali, kali ini dengan nada lebih tinggi dan mendesak, membuat Zack akhirnya mendengar nada panik yang tersembunyi di baliknya.“Ada apa?”Saat Zack berbalik, tubuhnya seketika menjadi kaku. Matanya fokus menatap pada sosok laki-laki yang berjalan di samping Cintya.Seketika Zack melemparkan pandangan masam pada Cintya
Bagi seorang Zack Lawson, Moon Light Hotel adalah segalanya. Laki-laki itu ikut membangun hotel ini dengan susah payah. Dari sebuah hotel kecil di tengah-tengah persaingan Kota Manhattan, menjadi sebuah jaringan hotel raksasa dengan ribuan cabang yang tersebar di penjuru dunia.Dia tidak menampik, berkat koneksi dan kekayaan keluarganyalah Moon Light Hotel bisa sampai sejauh ini. Dan posisinya sebagai CEO Moon Light Hotel diberikan padanya sebagai pemegang jabatan sementara. Keluarganya masih memegang kendali atas hotel ini. Itu sebabnya dia masih tidak bisa berbuat bebas dalam mengelola Moon Light Hotel.“Hhhh … benar-benar hari yang melelahkan,” gumam Zack sembari menyugar rambut.Wajahnya tampak sedikit letih. Dia hendak berdiri dari kursi untuk menyeduh kopi yang baru, saat tiba-tiba pintu ruang kerjanya diketuk pelan.“Ada apa?” ucap Zack dengan nada acuh.Dia hendak menyuruh siapapun yang berada di luar sana untuk meninggalkannya sendiri. Namun, suara feminim Cintya men
Tangan Jennie gemetar menahan amarah, hingga tanpa sadar surat dalam genggamannya pun berkerut membentuk buntelan bola kertas.“Bajingan! Berani-beraninya dia mengajak Rania ke hotel? Apa dia mengira semua wanita itu murahan?”Tanpa bisa menahan emosi, Jennie berjalan cepat menuruni tangga hingga tiba ke lantai dasar. Namun, melihat pelanggan yang masih memenuhi toko, dia pun merubah wajahnya seketika.“Arrgh … pria itu membuatku sakit kepala,” desisnya sembari mengurut pelipis.Jennie melewati beberapa meja dan tidak lupa dia memasang senyuman ramah saat menyapa pelanggan tetap di sana. Begitu melewati pintu keluar, pandangan mata Jennie langsung menyipit tajam pada bangunan menjulang belasan lantai di seberang.***“Anda tidak perlu terlibat dengan kejadian barusan, Mr. Lawson. Aku bisa mengatasi masalah ini.”Seorang pria pertengahan tiga puluhan mengikuti Zack dengan Langkah terburu-buru. Sejak di depan tadi, dia sengaja mengejar atasannya tersebut sembari meminta maaf berk