Sean bersandar di kursi putar, menekuk kedua tangannya di depan dengan menyatukannya di bawah dagu. Matanya menatap serius seseorang yang baru saja pulang dari luar negeri karena mengusut masalah ekstern perusahaan.Dialah Abust Harris, pria berusia dua puluh delapan tahun yang merupakan kaki tangan Sean Arthur. Selain Leon, Abust juga memiliki andil besar dalam perputaran roda uang di perusahaan.Sikapnya yang tegas dan sedikit tempramen, membuat Sean meletakkan Abust di bagian penagihan. Perusahaan-perusahaan yang terlibat utang piutang juga pemacetan siklus pembagian deviden merupakan tanggung jawab Abust. Selain pandai melobi, lelaki itu juga disegani karena kepribadiannya yang tegas dan berwibawa. Namun, setegas-tegasnya Abust, dia tidak akan berkutik jika berada di hadapan Sean Arthur."Perusahaan Yang Group mulai meresahkan. Mereka bermain saham secara licik. Mereka mencuri rahasia perusahaan pesaing dengan mengancam para pegawainya. Aku merasa beberapa orang yang telah kaupeca
Sean masih mempertahankan posisinya, membiarkan Salwa memeluknya dengan tangan dan kaki berada di atas tubuhnya. Dia mendesis di saat perempuan itu semakin berulah padahal matanya sedang terpejam rapat.Salwa dengan tanpa dosa menyelusupkan wajahnya di ceruk leher Sean, memeluk rapat tubuh kekar itu layaknya guling yang menghangatkan.Sialan kau Salwa!Detik jam terus berputar, menyintas waktu yang terasa begitu lama dari biasanya. Sean masih terbaring kaku dengan Salwa tak mengubah posisinya. Dia mengeram, merasa tidak sabar lagi dengan ulah perempuan itu. Bagaimana bisa dia yang harus mengalah? Di sini dia adalah tuannya, bukan Salwa.Sejenak lelaki itu berpikir, apakah ia harus membangunkan Salwa dan menagih janji perempuan itu. Bukankah dia sudah berbaik hati dengan membiarkan perempuan itu untuk tertidur selama tiga puluh menit. Harusnya waktu tiga puluh menit sudah lebih dari cukup untuk melepaskan penat yang sejak seharian Salwa pikul.Sean menghela napas panjang, lalu mengembu
Sebuah pusat perbelanjaan menjadi tujuan Sean kali ini. Sejak keluar dari mobil, lelaki itu tak sekali pun melepaskan genggamannya dari tangan Salwa. Entah mengapa jiwa posesifnya kian menjadi-jadi meski tanpa ia sadari. Berjalan bergandengan, tetapi raut wajahnya tetap dingin dengan sorot mata yang menatap lurus ke depan.Apakah pasangan itu tampak romantis?Tentu saja tidak. Salwa merasa seperti sedang diseret-seret oleh Sean. Langkah lebar dan cepat lelaki itu sama sekali tak selaras dengan langkah kecil Salwa sehingga perempuan itu tampak kesulitan mengimbangi langkah lebar Sean yang sedari tadi menggandeng tangannya."Tuan, bisakah Tuan memelankan jalannya? Apakah kita sedang dikejar-kejar penagih hutang?" Salwa bertanya dengan napas memburu dan sedikit ngos-ngosan, mencoba menyadarkan Sean bahwa dirinya kewalahan mengimbangi langkah lelaki itu yang seperti sedang dikejar hantu."Kau terlalu lamban." Helaan napas terdengar dari bibir lelaki itu, menatap kesal ke arah Salwa. "Ayo,
Suasana berubah tegang, tatapan semua orang tak beralih dari insiden itu. Salwa terlihat pucat pasi, melihat bagaimana seorang Sean Arthur ternyata mampu dan tega memukul seorang wanita. Dia menelan ludah, tubuhnya gemetar.Apakah jika dirinya melakukan kesalahan, lelaki itu akan memukulnya juga?Salwa mendadak takut dengan suaminya. Rasa takutnya melebihi wanita yang mendapat tamparan keras dari lelaki itu. Sekelebat bayangan lelaki yang pernah dihajar oleh Sean saat itu terbayang kembali di kepalanya, membuat ia merasa sedang dalam bahaya hingga memundurkan langkahnya dua kali. Peluh tiba-tiba membanjiri pelipis Salwa, tubuhnya benar-benar bergetar karena takut.Sangat berbeda dengan kondisi Salwa, wanita yang kini sedang mengusap pipinya yang memanas tersebut justru berusaha mendekati Sean. Ia menangis tersedu, menatap Sean penuh permohonan, berharap belas kasihan dari lelaki itu."Tuan, kenapa Tuan memukul saya? Saya korbannya di sini. Dan wanita itu ... dialah yang harus disalahk
Hening seakan tercipta dengan sendirinya ketika Sean dan Salwa sedang berada di dalam mobil yang sama. Perkataan Salwa saat berada di ruang perawatan masih terngiang di kepala lelaki itu. Apakah dia akan menceriakan Salwa? Apakah dia akan menikah lagi dan memutuskan Salwa untuk tetap menjadi pelayannya?Sean tidak mengerti akan apa yang harus ia lakukan ke depannya. Dia hanya menjalani apa yang ada di depan mata. Apalagi bersama Salwa masih sangat menyenangkan baginya.Sean belum merasa bosan meski setiap hari bertemu dengan Salwa. Apalagi bercinta dengan perempuan itu tentu masih sangat menyenangkan. Dia belum berniat mencari partner lain karena masih menginginkan wanita itu. Aroma alami tubuh Salwa terasa mampu memikatnya hingga ia tak pernah bisa jauh dari perempuan itu, mendekapnya erat ketika tidur.Apalagi semenjak Salwa berada dalam kehidupannya, Sean sudah tidak memusingkan lagi mencari wanita untuk melepaskan hasrat. Dia menyadari jika tawaran menikah dan tinggal dalam satu a
Malam itu suasana terlihat gaduh. Suara sirene mobil polisi juga pemadam kebakaran terdengar mendominasi. Pun dengan suara kenalpot kendaraan bermotor menambah kebisingan di area itu. Debu-debu berterbangan, kepulan asap dari ledakan mobil yang terbakar menambah perih mata memandang, pun dengan napas yang akan sesak karena terpaksa menghirup karbon monoksida dari bekas kebakaran itu.Dersik angin malam yang menggoyangkan dedaunan di ranting-ranting pohon, menggugurkan beberapa di antaranya, lantas menari seirama dengan gerakan angin itu membawanya ke mana. Mereka berterbangan di atas dua tubuh yang tergeletak di sana.Salwa tak sadarkan diri dengan tubuh memeluk Sean Arthur. Matanya sempat berkunang-kunang karena kepalanya juga telah terbentur aspal. Napasnya kian sesak setelah tanpa sengaja menghirup udara bekas asap ledakan. Dia memejamkan mata setelah merasakan sesak di dada dengan air mata berderai membasahi wajah.***Seorang pria berwajah oriental tampak sedang duduk di kursi ber
"Siramkan air ke wajahnya!"Abust memerintahkan anak buahnya dengan wajah dingin serta aura gelap yang menyelimuti. Lelaki itu tengah duduk di kursi dengan menyilangkan kaki, sementara di depannya Salwa yang belum sadarkan diri didudukkan di lantai begitu saja dengan punggung disandarkan ke dinding.Salwa diletakkan di sebuah penjara bawah tanah yang berada di bangunan markas rahasia yang keberadaannya hanya diketahui oleh Leon dan Abust. Sebuah ruangan berukuran dua kali dua meter menjadi tempat tinggal perempuan itu saat ini.Pagi mulai menjelang. Semburat cahaya yang tampak di kaki langit memberikan jalan bagi matahari untuk naik ke peraduannya guna mempersiapkan tugasnya untuk menerangi bumi yang sebelumnya telah diselimuti gelapnya malam.Rasa penasaran dengan sosok Salwa membuat Abust tak sabar menunggu perempuan itu sadar. Lelaki itu ingin segera mengetahui dari mulut wanita itu, menginterogasinya dengan jelas, siapa sebenarnya dia. Karena sangat tidak mungkin jika seorang Sean
Sunyi yang sebelumnya tercipta berubah dipenuhi teror dan ketegangan. Salwa semakin mencengkeram selimutnya, membalut tubuh polos tak berpenghalang itu agar tak terlihat oleh lelaki di depannya tersebut. Matanya menilik ke arah samping di mana pakaian yang disiapkan Yin berada. Ada rasa sesal menyelimuti karena ia tak terlalu fokus dengan perkataan Yin. Dia hanya sibuk dengan pikirannya sendiri, tak menghiraukan kondisi sekitar.Abust melangkah mendekat, tak beralih sedikit pun dari tubuh Salwa yang terduduk di tepian ranjang. Langkahnya berhenti tepat di sisi kiri ranjang Salwa, tubuhnya membungkuk dengan tangan kanan bertumpu pada kepala ranjang."Jangan mendekat!"Salwa tak bisa berbuat banyak. Dirinya hanya beringsut sejauh yang ia bisa. Namun, semuanya tampak sia-sia belaka di saat punggungnya terentak ke dinding sebagai batas terakhir pertahanannya.Abust hanya terkekeh, melihat Salwa yang tak bisa berkutik lagi. Dia menaikkan satu kakinya dengan lutut bertumpu di atas ranjang,
Alan kembali tertawa. Tawa renyah tanpa takut Sean akan menghajarnya setelah itu."Tentu saja tidak. Kau sangat menggemaskan, Tuan Arthur.""Kau!"Sean beranjak berdiri, ingin mencekik Alan yang kembali mentertawainya. Namun, Alan segera menghindar, ikut berdiri dengan menghadapkan ke depan kedua telapak tangannya yang terbuka lebar."Ayolah, Sean. Aku hanya bercanda.""Bercandamu tidak lucu. Pulang saja ke negaramu!" ucap Sean menahan kesal kepada sahabatnya itu.***Malam ini adalah minggu ke dua setelah tragedi mualnya Salwa yang anti didekati oleh Sean. Sean terpaksa menahan diri agar tidak menyentuh Salwa, padahal dia termasuk lelaki yang tidak sanggup menahan kebutuhan hasrat biologisnya dalam waktu lama.Dia terpaksa tidur di ruang kerja yang berada tepat di samping kamar tidur utama. Dia berusaha memejamkan mata, mengatasi rasa menggigil ingin dihangatkan oleh tubuh wanita yang dicintainya.Suara derit pintu terdengar lirih, dengan langkah kaki yang menapak lantai marmer di ru
Jelas perhatian semua tamu undangan kini beralih pada sosok tegap yang wajahnya terlihat meradang. Lelaki tinggi dengan berbalut tuxedo mahal berjalan di atas karpet merah menuju panggung di mana Salwa dan Angela berdiri di sana.Langkah kakinya terdengar tegas begitu berada di atas panggung. Tangannya mengambil paksa microphone di tangan Angela, lalu mengeluarkan sapu tangan dari saku celana untuk digunakan mengelap kepala serta gagang microphone tersebut. Hal itu sengaja ia pertontonkan di hadapan Angela, menunjukkkan bahwa perempuan itu lebih menjijikkan dari dugaannya.Sementara sebelah tangan Sean memeluk pinggang Salwa, menarik perempuan itu agar lebih mendekat ke arahnya. Tatapannya tertuju pada semua tamu undangan yang sebelumnya tampak riuh karena ulah Angela, kini tiba-tiba hening dan senyap."Dia memang pernah menjadi pelayanku. Dia juga pernah mengandung anakku." Air mata Salwa seketika menetes mendengar perkataan Sean. Ada apa ini? Apakah ia datang ke sini hanya untuk dip
Tidak ada kata terlambat untuk menciptakan kehidupan yang diinginkan. Semua akan berjalan sesuai dengan apa yang sedang kita perjuangkan.Pria bermata biru mengusap kepala sang istri yang baru saja tersadar setelah pemeriksaan dokter dilewati beberapa menit yang lalu. Bibirnya menyunggingkan senyum ketika memandang bulu mata lentik mengerjap ringan. Mata bulat itu memandang dengan sayu, buliran air pun menggenang di pelupuk mata, lantas menetes dengan aliran ringan membasahi pipi."Syukurlah kau sudah sadar." Sean menyeka air mata di pipi Salwa dengan ibu jari kanannya secara bergantian. Pria itu tak menanyakan hal yang sesungguhnya ingin sekali ia tanyai, terkait apa saja yang sudah Salwa lakukan dengan Ramunsen di kamar mereka."Mas, ...." Suara Salwa terdengar serak, mungkin karena terlalu banyak menangis. Menyadari hal itu, Sean mengambilkan minum untuknya, membantu Salwa duduk dari pembaringan.Sedikit demi sedikit air di dalam gelas itu berpindah ke mulut Salwa, membasahi tenggo
Mobil sport yang memiliki kecepatan lintasan di atas rata-rata digunakan Sean untuk mengejar Edward dan Salwa. Zoe bertugas mengendarai, sementara Sean duduk di sampingnya sembari berpikir dan mendengar segala laporan anak buahnya yang telah memata-matai Ramunsen dari atas ketinggian.Mobil mewah berwarna metalic itu menerobos apa saja yang ada di depan mata, memacu secepat yang ia bisa di tengah keramaian. Kepiawaian Zoe dalam mengendarai mobil tersebut sudah tidak diragukan lagi. Lelaki itu mengernyit ketika titik koordinat yang akan mereka lewati menuju daerah dataran tinggi."Tuan, mobil mereka ...."Sean hanya diam, meski Zoe tidak melanjutkan kalimatnya. Lelaki itu terlihat berpikir serius, tentang apa yang dilakukan Ramunsen di tempat seperti itu. Benar-benar tidak masuk akal.Sekelebat bayangan seorang wanita hamil dari kejauhan tampak tertatih-tatih dalam menahan kesakitan dan di sebelahnya dirangkul oleh seorang laki-laki yang kemungkinan besar adalah suaminya, menjadi perh
Salwa bernapas lega melihat siapa yang datang. Air mata yang sejak tadi mengalir terus saja berlinang tiada henti. Dia terisak, tetapi tetap membungkam mulutnya.Pria itu adalah Sean Arthur bersama Zoe sang asisten yang berdiri di belakangnya. Rasa lega bukan hanya karena Salwa merasa aman sebab ada yang menyelamatkannya, tetapi juga melihat sang suami masih hidup dan dalam keadaan sehat. Padahal sebelumnya ia sudah sangat putus asa karena informasi akan keadaan Sean yang sedang bertaruh nyawa dengan bahan peledak, tetapi ternyata Tuhan memberinya secercah harapan."Jangan bergerak! Tetap di tempat." Ramunsen membuang gelas tersebut hingga pecah dan membasahi karpet bulu yang membentang di hampir seluruh permukaan lantai. Tangannya merogoh sesuatu di balik saku celana, lalu menunjukkan benda itu kepada semua orang. Sebuah suntikan berukuran mikro kini berada dalam genggaman lelaki itu."Ini adalah zat afrodisiak. Aku sudah memasukkan afrodisiak ini dalam konsentrasi tinggi. Bayangkan,
Lima jam berlalu setelah melakukan penerbangan kembali ke Indonesia. Baru saja Sean menyalakan mode data smarphone, sebuah email masuk dari Zoe sang asisten mengharuskan Sean menatap layar digital tipis miliknya untuk memeriksa. Di sana, Zoe mengirimkan file attachment di mana berisi foto-foto dan potongan berita khusus yang membuat Sean tercengang. Segera ia hubungi lelaki itu untuk mengetahui kejelasan lebih dalam dari email yang baru saja dikirimkan kepadanya."Tuan Arthur," ucap Zoe begitu menghormati Sean sesaat lelaki itu menjawab panggilan."Katakan, apa maksud semua ini? Mayat siapa itu?" Sean tak kuasa menahan diri. Semua yang terpampang di depan mata seperti sebuah teka-teki.Namun, Zoe di seberang sana terdengar menghela napas panjang sebelum pada akhirnya menjawab, "Polisi telah menemukan jenazah hancur kepalanya sekitar tiga bulan yang lalu. Jika dilihat dari kondisi jenazah itu, kemungkinan besar dia adalah korban pembunuhan sadis dan kejam. Dia ditemukan di sebuah alir
Hingga beberapa waktu mereka menunggu, tiada sesuatu yang terjadi. Semua pasang mata terbuka hampir bersamaan. Ketakutan dan kepasrahan kini berubah menjadi rasa penasaran. Dilihatnya bom itu telah berhenti di angka 00.01 yang artinya, terlambat hanya dalam satu detik saja, mereka semua akan lenyap dari muka bumi.Terdengar helaan napas dari bibir semua orang. Rasa lega belum sepenuhnya terobati, Fang Yi melihat sinar merah di kepala Abust. Dia menyeret lelaki itu, tetapi dirinya justru terjatuh dengan tubuh Abust menimpa dirinya."Cih, minggir! Kau bau." Abust segera berguling ketika kedua tangan Fang Yi menolaknya. Sementara sinar itu tetap mengarah kepadanya."Kau sendiri yang menyeretku. Kalau suka bilang saja."Fang Yi melihat sosok dari balik pagar sedang bersiap menarik pelatuk, dia segera menarik kembali tubuh Abust, membiarkan pria itu menimpanya sekali lagi dan ....Suara lesatan peluru itu terdengar, menerbangkan debu-debu yang ada di puncak gedung rumah sakit itu. Semua or
Fang Yi menuruni anak tangga darurat sembari mengatur frekuensi di earpiece yang tersemat di telinganya. Ia lebih yakin untuk membuntuti empat pria bertubuh kekar dengan orang tua berwajah mencurigakan daripada langsung menuju ruang bawah tanah. Instingnya bekerja cepat, merasa ada hal tidak beres dengan sekelompok mereka tadi. Meskipun Abust tidak memercayai perkataannya, tetapi ia sangat yakin dengan keyakinannya.Dia kehilangan jejak mereka, tetapi terus saja melangkah karena merasa mendengar suara sayup-sayup di lorong tangga darurat. Suara itu menggema, mungkin karena tiada benda-benda yang memantulkan suara dengan sembarang arah, sehingga lebih terdengar jelas di indra pendengaran.Langkah kaki Fang Yi menapak hati-hati, mengurangi suara pantulan sepatu agar tidak membuat kecurigaan seseorang yang mungkin sedang bersembunyi tanpa sepengetahuannya.Tepat ketika kaki Fang Yi melangkah melewati kelokan, menuruni anak tangga berikutnya, sebuah tangan mendekap kepalanya.Dia berontak
Abust menoleh ke arah sumber suara, melihat sosok berpakaian putih dengan badan tegap membawa troli dengan kain-kain putih ternoda. Tampaknya lelaki itu adalah petugas rumah sakit.Merasa tidak ada waktu berbasa-basi, Abust segera menodongkan senjata ke dahi lelaki itu. Mata pria berpakaian putih membukat, tak menyangka akan mendapatkan serangan mendadak seperti itu. Kedua tangan ia angkat ke atas dengan telapak tangan membuka lebar."Jongkok!" perintah Abust.Pria itu mengangguk hati-hati, menurut dengan merendahkan diri sembari melipat kaki."Katakan! Di mana ruang rahasia itu?"Lelaki itu menggeleng. "Ruang rahasia apa? Aku hanya petugas pembersih.""Sudah berapa lama kau bekerja?""Empat tahun. Tolong, aku tidak tahu apa-apa. Biarkan aku bekerja dengan tenang."Abust tak menuruti. Dia masih meletakkan ujung senjata di dahi pria itu. Empat tahun lamanya menjadi petugas di ruangan itu, mana mungkin tidak menyadari sesuatu."Jika kau masih mencintai pekerjaanmu, kau harus menunjukkan