Home / Romansa / Wanita Penjual Bunga / Pulang Lebih Awal

Share

Pulang Lebih Awal

Author: Ariyatna_R
last update Last Updated: 2022-01-06 15:11:11

Philip meneguk ludahnya kasar. Baru saja ia memotong perkataan Peter tanpa sengaja, ini benar-benar terasa spontan.

Peter melirik Philip yang berada di samping kanan sedikit ke belakang dengan tatapan nyalang.

Philip yang menyadari tatapan itu langsung membungkukkan badannya. "Mohon maaf tuan muda. Saya benar-benar tidak sengaja memotong ucapan Anda," jelasnya berusaha menutupi rasa takut terhadap tuannya.

Peter sama sekali tidak menjawab, tatapannya kini kembali tertuju pada si wanita sok pahlawan yang masih menantang angkuh di depannya.

Kedua mata hazel itu menelisik beberapa kali pada ujung kaki sampai ujung rambut Metha yang sama sekali tidak ada bagusnya. Semuanya terlihat menjijikkan dalam pandangannya.

"Ini yang dinamakan pahlawan kesiangan?" tanya Peter pada diri sendiri. Namun, suaranya terdengar oleh yang lain. Bahkan, dari nadanya pun terdengar sangat meremehkan.

Dagu yang semula di angkat tinggi-tinggi itu kini terjatuh tanpa di minta dan kedua mata langsung memerah bagaikan banteng yang sedang marah. Metha benar-benar geram saat mendengar pernyataan yang barusan Peter lontarkan.

Metha melangkah mendekati Peter, kedua kakinya ia jinjitkan supaya wajahnya sejajar dengan wajah angkuh Peter, jari telunjuknya ia tuduhkan dengan tegas. "Apa kau menghinaku? Hah?" teriaknya tidak terima.

Peter hanya diam menatap Metha datar.

"Nona, saya mohon! Berhentilah bersikap seperti itu!" ucap Philip menghentikan aksi Metha, karena entah apa yang akan gadis itu lakukan selanjutnya. Semoga saja tidak memukul Peter. Jika memang itu terjadi, akan tamatlah riwayat Metha sebagai manusia.

Metha menarik jari telunjuknya dengan kasar. Ia mundur dan kembali berdiri pada tempat yang semula.

"Hari kesialan, kenapa aku harus dipertemukan dengan pria angkuh dan sok berkuasa seperti dia! Memangnya dia siapa?" gerutu Metha dalam hati.

"Pahlawan itu tubuhnya tinggi, kuat, bersih, rapi dan memiliki pesona yang dapat memikat hati. Lalu, bagaimana dengan kau? Sepertinya kau sangat pantas menjadi pahlawan pemungut sampah di jalanan, hahaha." Peter terus saja mengeluarkan kata-kata pedas dari bibir tipisnya. Sangat tidak peduli dengan emosi Metha yang sudah berada di ujung tanduk.

Metha mengepalkan kedua tangannya. Ia ingin marah dan membalas ucapan Peter dengan caci maki. Namun, ia sadar apa yang diucapkan Peter ada benarnya. 

Ia mengaku, ia bukanlah sosok pahlawan. Hanya saja ia berusaha membantu anak kecil yang sedang bersedih itu. 

Ia juga mengakui jika penampilannya sangat layak disebut seperti pemungut sampah di jalanan yang lusuh, kotor dengan kaos kebesaran. Namun, ia sudah berusaha meyakinkan diri bahwa ia merupakan wanita yang penuh semangat dengan segala kesederhanaan yang ia punya.

"Aku salut terhadapmu!"

Prok prok prok

Peter menepuk tangannya sebanyak tiga kali setelah mengeluarkan kalimat yang masih saja terdengar merendahkan. Tanpa berkata apa pun lagi, ia berbalik dan melenggang pergi menuju mobil mewahnya berada dengan gaya angkuh seperti tidak memiliki kesalahan sama sekali. Kepergiannya diikuti oleh dua pengawal selain Philip.

Metha menatap kepergian Peter dengan napas memburu. "Awas saja! Jika kita bertemu lagi akan aku pastikan tulangmu patah saat itu juga!" ucapnya dalam hati, meyakinkan dirinya bahwa ia bukan wanita lemah.

"Eum, Nona," panggil Philip terkesan gugup. "Mohon maaf dengan sikap tuan saya. Dia memang seperti itu, tapi percayalah jika kau sudah mengenalnya lebih jauh maka kau akan tahu bahwa tuan saya merupakan pria yang baik hati," jelasnya berharap dapat memendamkan amarah yang terkobar pada diri Metha.

Metha sempat tercengang dengan apa yang dijelaskan Philip barusan. Bagaimana sosok Peter akan menjadi baik hati? Angkuh tetaplah angkuh. Ia tidak akan percaya itu.

"Sekali lagi maafkan kami. Untuk permasalahan bunga yang tadi kau bisa menghubungiku kapan saja untuk meminta pertanggungjawaban." Philip mengeluarkan sebuah kartu nama dari dompetnya yang berada di dalam jas.

Ia menyodorkan kartu nama tersebut pada Metha, sangat berharap Metha dapat menerima tawarannya.

Metha menatap Philip sekilas yang kemudian beralih pada kartu nama tersebut. Ia menerimanya dengan separuh hati.

Philip tersenyum kecil. "Terima kasih, Nona. Saya pamit dahulu menyusul mereka yang pasti sudah menunggu di dalam mobil." Ia berpamitan pada Metha.

Metha mengangguk kecil sebagai jawaban. Membiarkan Philip melangkah jauh meninggalkan dirinya.

Ia menyimpan kartu nama itu pada saku celananya yang kebesaran. Sangat beruntung, Peter yang angkuh mendapatkan pengawal yang baik hati seperti Philip. Jika tidak, mungkin Peter sudah dicap buruk oleh orang-orang yang menjadi korban keangkuhan Peter.

Ia menghela napas. Cukup lelah melewati kesialan ini. Ia berjalan menuju sepedanya  berada seraya kembali membangkitkan semangat yang harus tumbuh di dadanya.

Langit sudah menunjukkan sore hari saatnya Metha pulang ke rumah menemui ibu tercintanya, Helena. Ia hanya hidup berdua dengan ibunya di sebuah rumah yang sederhana. Ibunya merupakan seorang pembantu di rumah elit yang jaraknya cukup jauh dari sini.

Helena sudah melarang keras agar anaknya tidak berjualan bunga. Bukannya tanpa alasan, ia hanya khawatir Metha dipandang sebelah mata dari orang-orang sekitar, meski memang itu kenyataannya. Lagi pula gaji dari seorang pembantu masih cukup hanya sekadar untuk makan sehari-hari meski menu makanannya tidak mewah nan banyak. 

Akan tetapi, Metha tetaplah Metha, apa yang dia inginkan harus dilaksanakan dan diperjuangkan. Helena hanya bisa berpasrah menyetujuinya.

"Selamat sore, Ibu!"  ucap Metha kala ia memasuki halaman rumahnya. Terlihat ibunya sedang menyapu halaman rumah.

Helena menghentikan kegiatannya, menatap sang putri dengan senyuman hangat. Ia menyimpan sapu lalu merentangkan kedua tangannya untuk menyambut putri kesayangannya.

Metha menyimpan sepeda itu di dekat tanaman bunga. Ia berjalan cepet dan menghambur ke pelukan hangat sang ibu.

"Kenapa ibu sudah pulang?" tanya Metha setelah melepaskan pelukannya.

Helena masih tetap tersenyum hangat, mengusap buliran keringat yang membasahi kening serta leher keriputnya. "Ibu izin pulang cepat," jawabnya lembut.

Metha mengerutkan keningnya heran. "Apa karena penyakit ibu kambuh lagi?" tanyanya yang mulai menunjukkan rasa khawatir. Tidak biasa ibunya izin pulang cepat seperti ini, kecuali jika memang penyakitnya kambuh.

Perempuan paruh baya itu menggelengkan kepalanya. "Tidak, Nak. Ibu baik-baik saja," jawabnya berusaha menenangkan Metha dari rasa khawatirnya.

"Lalu, kenapa ibu izin pulang?" tanya Metha tidak puas dengan jawaban sang ibu. Ia tetap khawatir, menatap ibunya dengan tatapan sendu.

Mendapatkan pandangan seperti itu membuat ibunya terkekeh geli. Ia mengusap pundak Metha dengan penuh kasih sayang. "Ibu hanya ingin cepat-cepat bertemu denganmu, ibu sangat rindu padamu."

Memang itu  kenyataannya, ibu sering kali pulang larut malam dan Metha sudah tertidur pulas di kamarnya membuat ia kesulitan mengambil waktu untuk bersama dengan sang putri tercinta dan kali ini ia sengaja meluangkan waktu untuk Metha.

"Apakah ibu yakin?" Lagi-lagi Metha belum puas dengan jawaban sang ibu.

"Iya, Nak." Tangan keriputnya mengenggam tangan Metha dengan hangat. "Ayo! Ibu sudah memasakan makanan kesukaanmu."

Kedua mata Metha berbinar, ia terlihat begitu senang. "Wah, terima kasih banyak, Bu!"

Helena tersenyum kecil menanggapinya. Namun, ia menghentikan langkahan kakinya secara mendadak sehingga langkah Metha ikut berhenti.

"Kenapa, Bu?" tanya Metha heran.

Helena menghela napas, ia membalikan badannya menatap Metha dengan pandangan yang sulit diartikan. "Tadi siang Robert kembali datang ke sini."

"Apa?"

Related chapters

  • Wanita Penjual Bunga   Mengantarkan Pesanan

    "Ada apa kau memanggilku, Dad?"Sosok pria tua yang usianya hampir berkepala enam berbalik. Ia menatap datar sang putra semata wayangnya, berjalan mendekat dengan gaya penuh wibawa."Satu bulan lagi kau sudah menginjak usia ke dua puluh tujuh tahun!""Lalu?" tanya Peter menatap ayahnya tidak kalah datar. Pembicaraan tentang hal ini lah yang membuat ia benci.George, ayah dari Peter melipatkan kedua tangannya di depan dada. "Apa kau lupa atau pura-pura lupa?"Peter tidak menjawab, ia masih menatap George datar. Membiarkan George untuk berbicara lebih lanjut, meski ia sudah tahu apa yang akan pria tua itu bicarakan.Peter benar-benar sudah enggan untuk bersikap santun pada sang ayah. Ia sudah besar layaknya macan, tidak seharusnya George mengatur dirinya bagaikan kucing kecil yang masih penurut."Seharusnya kau sudah mempunyai calon istri sejak satu tahun yang lalu! Atau bahkan sekarang seharusnya kau sudah menikah!" jelas George terkes

    Last Updated : 2022-01-06
  • Wanita Penjual Bunga   Hampir Dilecehkan

    "Sagara?" panggil Metha dengan mengerutkan keningnya heran. Ia menarik kembali kakinya yang sudah berpijak pada tangga untuk masuk ke dalam mobil. Seorang pria yang dipanggil Sagara mendekat ke arah Metha dengan senyuman lebar yang tercetak jelas di wajah manisnya. "Apakah kau mau mengantarkan pesanan?" tanya Sagara setelah berdiri di hadapan Metha. Metha tersenyum canggung. "Iya," jawabnya singkat. Ia tidak tahu harus berkata apa lagi. Sagara merupakan salah satu rekan kerjanya di toko bunga. Badannya tidak terlalu tinggi, rambut yang bergelombang dan kulit yang berwarna sawo matang. Ia selalu saja berusaha mendekati Metha, meski Metha membalasnya dengan singkat atau bahkan tidak merespon. Bukannya Metha sok jual mahal tidak ingin didekati oleh pria berambut gelombang itu. Namun, wajahnya yang terlihat licik membuat ia harus waspada. "Kebetulan banget aku juga ingin mengantarkan pesanan, bagaimana jika kita bareng-bareng?" ajak Sagara

    Last Updated : 2022-01-06
  • Wanita Penjual Bunga   Dipertemukan Lagi

    "Hey! Sstt, diam!""Tidak. Mohon lepaskan aku, aku ingin pulang!"Metha terus memberontak. Kedua pundaknya dicekal kuat oleh Robert dan diseret untuk masuk ke dalam rumah."Kenapa kau memaksaku!" teriak Metha menatap Robert yang berada di dekatnya dengan nyalang."Saya tidak akan memaksamu jika kau menurut!"Bruk!"Aws," Metha meringis mengusap pinggangnya yang terasa sakit akibat Robert mendorong tubuhnya pada kursi dengan kasar."Dasar gadis pembangkang!" desis Robert. Ia menatap Metha dengan senyuman miringnya.Metha menggelengkan kepalanya kuat saat tangan kekar Robert akan menyentuh dagunya. Ia berusaha berdiri dari duduknya. Namun, sangat susah. Robert kembali menekan pundaknya."Lepaskan aku! Dasar pria tua!" bentak Metha. Ia terus mencoba untuk berdiri."Ouh, ternyata kau sudah mulai berani membentakku, gadis kecil!" Robert memperlihatkan wajah kagumnya. Ia tidak percaya jika Metha si gadis pol

    Last Updated : 2022-01-06
  • Wanita Penjual Bunga   Salon

    Langkah Metha langsung terhenti kala mendengar perintah yang dilontarkan Peter. Ia hanya menghentikan langkahnya saja. Namun, tidak dengan membalikan badannya, seakan menunggu Peter untuk melanjutkan ucapannya."Ganti pakaianmu terlebih dahulu!" Peter berucap dengan nada begitu datarnya.Metha memutar kedua bola matanya malas. Tadi saja Peter mengolok-olok dirinya dan sekarang ... dia malah menyuruh dirinya untuk berganti baju seperti apa yang ditawarkan Philip tadi.Metha kembali membalikan badannya. Menatap Peter yang ternyata sedang menatap dirinya juga, ia memberikan tatapan tak kalah datar. "Tidak sudi!" balasnya terkesan sangat sarkas. Biar saja, Metha sudah sangat kesal dengan sikap Peter terhadap dirinya."Nunduk ke bawah!" titah Peter tegas.Metha mengernyit. Awalnya ia tidak mau, apa-apaan menuruti perintah tak berguna dari Peter itu. Namun, entah dorongan dari mana ia malah menundukan kepalanya. Tiba-tiba kedua mata yang semula dib

    Last Updated : 2022-02-13
  • Wanita Penjual Bunga   Pria Angkuh

    “Terima kasih, Bu. Semoga suka sama bunganya,” ucap Metha dengan penuh ceria. Ya, meski ucapan tanda terima kasihnya tidak pernah dibalas oleh para pembeli. Namun, itu semua tidak membuat semangatnya runtuh, ia sudah terbiasa seperti ini.Ibu yang disebut sebagai pembeli tadi sudah melenggang pergi dari hadapan Metha dengan raut wajah yang seperti tidak puas dengan barangnya. Bukannya apa, ia membeli bunga pada Metha karena toko langganannya sedang tutup. Sehingga ia terpaksa beralih pada si anak lusuh penjual bunga keliling.Senyuman tipis masih terukir di bibir pucat Metha, ia membereskan barang dagangannya yang sempat berantakan akibat pembeli tadi mengacaknya untuk memilih bunga yang diinginkan. Setelah selesai, kaki kanannya mulai merangkak naik pada kayuhan sepeda yang separuh penginjakannya sudah patah.“Hiks … hiks, ibu!”Metha langsung menghentikan pergerakan kakinya. Ia terdiam, menajamkan kedua telinganya un

    Last Updated : 2022-01-06

Latest chapter

  • Wanita Penjual Bunga   Salon

    Langkah Metha langsung terhenti kala mendengar perintah yang dilontarkan Peter. Ia hanya menghentikan langkahnya saja. Namun, tidak dengan membalikan badannya, seakan menunggu Peter untuk melanjutkan ucapannya."Ganti pakaianmu terlebih dahulu!" Peter berucap dengan nada begitu datarnya.Metha memutar kedua bola matanya malas. Tadi saja Peter mengolok-olok dirinya dan sekarang ... dia malah menyuruh dirinya untuk berganti baju seperti apa yang ditawarkan Philip tadi.Metha kembali membalikan badannya. Menatap Peter yang ternyata sedang menatap dirinya juga, ia memberikan tatapan tak kalah datar. "Tidak sudi!" balasnya terkesan sangat sarkas. Biar saja, Metha sudah sangat kesal dengan sikap Peter terhadap dirinya."Nunduk ke bawah!" titah Peter tegas.Metha mengernyit. Awalnya ia tidak mau, apa-apaan menuruti perintah tak berguna dari Peter itu. Namun, entah dorongan dari mana ia malah menundukan kepalanya. Tiba-tiba kedua mata yang semula dib

  • Wanita Penjual Bunga   Dipertemukan Lagi

    "Hey! Sstt, diam!""Tidak. Mohon lepaskan aku, aku ingin pulang!"Metha terus memberontak. Kedua pundaknya dicekal kuat oleh Robert dan diseret untuk masuk ke dalam rumah."Kenapa kau memaksaku!" teriak Metha menatap Robert yang berada di dekatnya dengan nyalang."Saya tidak akan memaksamu jika kau menurut!"Bruk!"Aws," Metha meringis mengusap pinggangnya yang terasa sakit akibat Robert mendorong tubuhnya pada kursi dengan kasar."Dasar gadis pembangkang!" desis Robert. Ia menatap Metha dengan senyuman miringnya.Metha menggelengkan kepalanya kuat saat tangan kekar Robert akan menyentuh dagunya. Ia berusaha berdiri dari duduknya. Namun, sangat susah. Robert kembali menekan pundaknya."Lepaskan aku! Dasar pria tua!" bentak Metha. Ia terus mencoba untuk berdiri."Ouh, ternyata kau sudah mulai berani membentakku, gadis kecil!" Robert memperlihatkan wajah kagumnya. Ia tidak percaya jika Metha si gadis pol

  • Wanita Penjual Bunga   Hampir Dilecehkan

    "Sagara?" panggil Metha dengan mengerutkan keningnya heran. Ia menarik kembali kakinya yang sudah berpijak pada tangga untuk masuk ke dalam mobil. Seorang pria yang dipanggil Sagara mendekat ke arah Metha dengan senyuman lebar yang tercetak jelas di wajah manisnya. "Apakah kau mau mengantarkan pesanan?" tanya Sagara setelah berdiri di hadapan Metha. Metha tersenyum canggung. "Iya," jawabnya singkat. Ia tidak tahu harus berkata apa lagi. Sagara merupakan salah satu rekan kerjanya di toko bunga. Badannya tidak terlalu tinggi, rambut yang bergelombang dan kulit yang berwarna sawo matang. Ia selalu saja berusaha mendekati Metha, meski Metha membalasnya dengan singkat atau bahkan tidak merespon. Bukannya Metha sok jual mahal tidak ingin didekati oleh pria berambut gelombang itu. Namun, wajahnya yang terlihat licik membuat ia harus waspada. "Kebetulan banget aku juga ingin mengantarkan pesanan, bagaimana jika kita bareng-bareng?" ajak Sagara

  • Wanita Penjual Bunga   Mengantarkan Pesanan

    "Ada apa kau memanggilku, Dad?"Sosok pria tua yang usianya hampir berkepala enam berbalik. Ia menatap datar sang putra semata wayangnya, berjalan mendekat dengan gaya penuh wibawa."Satu bulan lagi kau sudah menginjak usia ke dua puluh tujuh tahun!""Lalu?" tanya Peter menatap ayahnya tidak kalah datar. Pembicaraan tentang hal ini lah yang membuat ia benci.George, ayah dari Peter melipatkan kedua tangannya di depan dada. "Apa kau lupa atau pura-pura lupa?"Peter tidak menjawab, ia masih menatap George datar. Membiarkan George untuk berbicara lebih lanjut, meski ia sudah tahu apa yang akan pria tua itu bicarakan.Peter benar-benar sudah enggan untuk bersikap santun pada sang ayah. Ia sudah besar layaknya macan, tidak seharusnya George mengatur dirinya bagaikan kucing kecil yang masih penurut."Seharusnya kau sudah mempunyai calon istri sejak satu tahun yang lalu! Atau bahkan sekarang seharusnya kau sudah menikah!" jelas George terkes

  • Wanita Penjual Bunga   Pulang Lebih Awal

    Philip meneguk ludahnya kasar. Baru saja ia memotong perkataan Peter tanpa sengaja, ini benar-benar terasa spontan.Peter melirik Philip yang berada di samping kanan sedikit ke belakang dengan tatapan nyalang.Philip yang menyadari tatapan itu langsung membungkukkan badannya. "Mohon maaf tuan muda. Saya benar-benar tidak sengaja memotong ucapan Anda," jelasnya berusaha menutupi rasa takut terhadap tuannya.Peter sama sekali tidak menjawab, tatapannya kini kembali tertuju pada si wanita sok pahlawan yang masih menantang angkuh di depannya.Kedua mata hazel itu menelisik beberapa kali pada ujung kaki sampai ujung rambut Metha yang sama sekali tidak ada bagusnya. Semuanya terlihat menjijikkan dalam pandangannya."Ini yang dinamakan pahlawan kesiangan?" tanya Peter pada diri sendiri. Namun, suaranya terdengar oleh yang lain. Bahkan, dari nadanya pun terdengar sangat meremehkan.Dagu yang semula di angkat tinggi-tinggi itu kini terjatuh tanpa di

  • Wanita Penjual Bunga   Pria Angkuh

    “Terima kasih, Bu. Semoga suka sama bunganya,” ucap Metha dengan penuh ceria. Ya, meski ucapan tanda terima kasihnya tidak pernah dibalas oleh para pembeli. Namun, itu semua tidak membuat semangatnya runtuh, ia sudah terbiasa seperti ini.Ibu yang disebut sebagai pembeli tadi sudah melenggang pergi dari hadapan Metha dengan raut wajah yang seperti tidak puas dengan barangnya. Bukannya apa, ia membeli bunga pada Metha karena toko langganannya sedang tutup. Sehingga ia terpaksa beralih pada si anak lusuh penjual bunga keliling.Senyuman tipis masih terukir di bibir pucat Metha, ia membereskan barang dagangannya yang sempat berantakan akibat pembeli tadi mengacaknya untuk memilih bunga yang diinginkan. Setelah selesai, kaki kanannya mulai merangkak naik pada kayuhan sepeda yang separuh penginjakannya sudah patah.“Hiks … hiks, ibu!”Metha langsung menghentikan pergerakan kakinya. Ia terdiam, menajamkan kedua telinganya un

DMCA.com Protection Status