Langkah Metha langsung terhenti kala mendengar perintah yang dilontarkan Peter. Ia hanya menghentikan langkahnya saja. Namun, tidak dengan membalikan badannya, seakan menunggu Peter untuk melanjutkan ucapannya.
"Ganti pakaianmu terlebih dahulu!" Peter berucap dengan nada begitu datarnya.
Metha memutar kedua bola matanya malas. Tadi saja Peter mengolok-olok dirinya dan sekarang ... dia malah menyuruh dirinya untuk berganti baju seperti apa yang ditawarkan Philip tadi.
Metha kembali membalikan badannya. Menatap Peter yang ternyata sedang menatap dirinya juga, ia memberikan tatapan tak kalah datar. "Tidak sudi!" balasnya terkesan sangat sarkas. Biar saja, Metha sudah sangat kesal dengan sikap Peter terhadap dirinya.
"Nunduk ke bawah!" titah Peter tegas.
Metha mengernyit. Awalnya ia tidak mau, apa-apaan menuruti perintah tak berguna dari Peter itu. Namun, entah dorongan dari mana ia malah menundukan kepalanya. Tiba-tiba kedua mata yang semula dibiarkan datar kini melotot dengan begitu lebarnya, dirinya benar-benar sangat kaget melihat pemandangan yang seharusnya tidak ia tontonkan kepada siapa pun, termasuk Peter dan Philip.
Dengan perasaan kalang kabut Metha langsung menutupi bagian dadanya yang bertembus pandang sehingga memperlihatkan pakaian dalamnya.
Metha langsung menatap Peter nyalang. "Kenapa kamu malah terus melihatku? Seharusnya kamu ...."
"Apa?" sanggah Peter langsung memotong ucapan Metha yang tampak gelagapan. Ia terkekeh sinis, menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Begitu terlihat sangat jumawa.
Metha meneguk ludahnya kasar. Ia masih mempertahankan tatapan nyalangnya untuk Peter. "Seharusnya kamu ... pergi dari sini!" Entahlah, ia barusan berucap apa. Sungguh, dirinya merasa campur aduk. Antara kesal, ingin marah dan yang paling menonjol adalah rasa malu. Ia benar-benar malu saat Peter melihat pakaian dalamnya.
Ahk, kenapa Metha seperti ini? Seharusnya ia menyalahkan Peter. Ya, tentu saja, karena dia telah menyipratkan air dari lubang jalan itu ke arahnya sehingga membuat pakaiannya basah dan berakhir tembus pandang. Jika tidak bisa marah kepada Peter, Metha rasanya ingin mempunyai kekuatan hilang diri di hadapan Peter sekarang juga hanya dalam waktu setara dengan kedipan mata. Namun, ... itu hanyalah sebuah keinginan. Hanya keajaiban saja yang dapat mengabulkannya.
"Haha ... lucu sekali si pahlawan kesiangan ini. Seharusnya, mengucapkan kata terima kasih karena aku memberi tahumu akan hal itu. Jika tidak sudah pasti pemandangan itu ditatap oleh orang lain selama perjalanan," jelas Peter malah semakin memojokan Metha.
"Eum ...." Aarrgghh sial! Kenapa Metha jadi linglung seperti ini? Jika dipikir-pikir ada benarnya juga apa yang dikatakan Peter barusan.
"Silahkan Nona, segera masuk ke dalam mobil. Malam semakin larut, saya tidak mau Nona kedinginan terus seperti itu," jelas Philip tiba-tiba berujar yang berhasil mengalihkan perhatian Peter dan Metha. Bukannya apa-apa ia menyuruh Metha agar segera masuk ke dalam mobil. Sebab, dirinya tidak mau perdebatan dua orang itu terus berlanjut di bawah langit yang gelap itu. Beruntung jika di dalam rumah, ini malah di sisi jalan.
Dalam diam Peter menatap Philip tajam. Ia tidak suka saat Philip mengatakan jika dia tidak ingin Metha terus kedinginan. Kenapa dia harus seperhatian itu?
Sebenarnya Philip menyadari akan tatapan tajam dari sang tuan yang ditujukan untuk diri nya. Namun, ia pura-pura tidak tahu saja.
Berbeda dengan Metha, ia malah menatap Philip ragu. Apakah ia harus masuk ke dalam mobil yang pintunya sudah dibukakan oleh Philip atau justru ... menolak saja? Akan tetapi, tadi dia sudah menolak namun Peter malah menghentikan langkah dirinya. Jadi ... ahk, lebih baik ia masuk saja ke dalam mobil.
Metha melewati Peter dengan gaya sok angkuhnya. Memasuki mobil dan duduk di jok belakang sama sekali tidak menghiraukan Peter. Masa bodo jika mobil ini memang milik Peter. Ia hanya tidak ingin berdebat. Benar kata Philip tadi, jika malam sudah semakin larut ia tidak mau jika sang ibu terus menunggu akan kepulangan dirinya di rumah.
Brak!
"Tidak tahu diri!"
Peter mendesis tajam setelah menutup pintu mobil dengan begitu kasarnya. Ia duduk di jok depan sebelah Philip. Sudah tentu ia tidak terima dengan sikap Metha yang tidak tahu diri. Sudah lusuh, basah, kucel, bau dan sekarang duduk di mobil mewah milik dirinya. Sungguh, perbandingan antara mobil dan Metha adalah sembilan berbanding satu. Ahk ralat, mungkin sembilan berbanding nol.
Metha tidak menggubris desisan Peter. Ia hanya menatap ke luar jendela. Pemandangan di luar jauh lebih indah di banding menatap punggung tegap Peter.
Philip hanya bisa tersenyum, sangat tipis bahkan tidak dapat terlihat. Ia ikut masuk ke dalam mobil, lebih tepatnya sebagai supir. Dan menjalankannya menuju salon dua puluh empat jam.
****
"Turun! Mau sampai kapan kamu duduk di mobil mewahku!" titah Peter setelah mereka sampai di sebuah salon yang cukup terkenal di kota Jakarta.
Metha tersentak dalam tidurnya. Ia gelagapan, menatap Peter dengan kedua mata yang masih sepetnya. Ya, ia ketiduran di dalam mobil. Benar-benar sangat memalukan.
"Apakah kita sudah sampai?" tanya Metha terdengar sangat ambigu. Ia masih belum beranjak dari duduknya. Entahlah ... mungkin ia sedang mengumpulkan nyawanya.
"Belum," jawab Peter datar.
"Oo-"
"Aku menyuruhmu untuk turun dan itu tandanya kita sudah sampai!" jelas Peter lagi sebelum Metha beroh ria. Ingin rasanya ia menggigit Metha sekarang juga, dirinya benar-benar geram.
Metha menanggapinya hanya dengan anggukan kepala. Ia mengucek-ngucek kedua matanya yang terasa masih berat sebelum akhirnya membuka pintu mobil.
"Minggir!" titah Metha sarkas karena Peter malah berdiri angkuh di dekat pintunya.
Peter menurut, ia sedikit menjauhkan badannya dari pintu mobil.
Metha menatap ke sekelilingnya. Kemudian, ia membulatkan mulutnya. "Wow ...." Ia mendecak kagum. Jujur saja, ia baru pertama kali ke tempat mewah yang seperti ini. Dan itu benar-benar membuat dirinya terpukau.
"Dih, dasar miskin," gumam Peter sinis melihat tingkah Metha yang begitu kuno. Ia berjalan masuk terlebih dahulu yang diikuti oleh Philip.
Awalnya Philip ingin mengajak Metha untuk segera masuk. Namun, sebelum berucap Peter langsung menyuruh dirinya untuk segera masuk saja meninggalkan Metha yang masih mendecak kagum.
"Apakah aku akan menjadi Cinderella di sini?" tanya Metha pada diri sendiri. Membayangkannya saja sudah membuat hati dirinya berbunga-bunga. Jika memang dirinya akan menjadi Cinderella, lalu siapa yang akan menjadi Pangeran nya? Apakah Peter?
Ahk, tidak. Metha tidak ingin Peter yang menjadi Pangerannya.
Metha menatap ke depan. Ia mengerutkan keningnya heran. Ke manakah dua pria itu pergi? Apakah mereka sudah masuk ke dalam?
Metha melangkahkan kakinya dengan sedikit cepat. Takut-takut dirinya ke sasar di sini karena ditinggalkan oleh Peter.
Metha mencari letak pintu. Ia bingung kenapa salon ini tidak memiliki pintu? Ahk, ia terus saja berjalan cepat.
"Awas, mbak!"
Bruk!
"Aws ...!"
“Terima kasih, Bu. Semoga suka sama bunganya,” ucap Metha dengan penuh ceria. Ya, meski ucapan tanda terima kasihnya tidak pernah dibalas oleh para pembeli. Namun, itu semua tidak membuat semangatnya runtuh, ia sudah terbiasa seperti ini.Ibu yang disebut sebagai pembeli tadi sudah melenggang pergi dari hadapan Metha dengan raut wajah yang seperti tidak puas dengan barangnya. Bukannya apa, ia membeli bunga pada Metha karena toko langganannya sedang tutup. Sehingga ia terpaksa beralih pada si anak lusuh penjual bunga keliling.Senyuman tipis masih terukir di bibir pucat Metha, ia membereskan barang dagangannya yang sempat berantakan akibat pembeli tadi mengacaknya untuk memilih bunga yang diinginkan. Setelah selesai, kaki kanannya mulai merangkak naik pada kayuhan sepeda yang separuh penginjakannya sudah patah.“Hiks … hiks, ibu!”Metha langsung menghentikan pergerakan kakinya. Ia terdiam, menajamkan kedua telinganya un
Philip meneguk ludahnya kasar. Baru saja ia memotong perkataan Peter tanpa sengaja, ini benar-benar terasa spontan.Peter melirik Philip yang berada di samping kanan sedikit ke belakang dengan tatapan nyalang.Philip yang menyadari tatapan itu langsung membungkukkan badannya. "Mohon maaf tuan muda. Saya benar-benar tidak sengaja memotong ucapan Anda," jelasnya berusaha menutupi rasa takut terhadap tuannya.Peter sama sekali tidak menjawab, tatapannya kini kembali tertuju pada si wanita sok pahlawan yang masih menantang angkuh di depannya.Kedua mata hazel itu menelisik beberapa kali pada ujung kaki sampai ujung rambut Metha yang sama sekali tidak ada bagusnya. Semuanya terlihat menjijikkan dalam pandangannya."Ini yang dinamakan pahlawan kesiangan?" tanya Peter pada diri sendiri. Namun, suaranya terdengar oleh yang lain. Bahkan, dari nadanya pun terdengar sangat meremehkan.Dagu yang semula di angkat tinggi-tinggi itu kini terjatuh tanpa di
"Ada apa kau memanggilku, Dad?"Sosok pria tua yang usianya hampir berkepala enam berbalik. Ia menatap datar sang putra semata wayangnya, berjalan mendekat dengan gaya penuh wibawa."Satu bulan lagi kau sudah menginjak usia ke dua puluh tujuh tahun!""Lalu?" tanya Peter menatap ayahnya tidak kalah datar. Pembicaraan tentang hal ini lah yang membuat ia benci.George, ayah dari Peter melipatkan kedua tangannya di depan dada. "Apa kau lupa atau pura-pura lupa?"Peter tidak menjawab, ia masih menatap George datar. Membiarkan George untuk berbicara lebih lanjut, meski ia sudah tahu apa yang akan pria tua itu bicarakan.Peter benar-benar sudah enggan untuk bersikap santun pada sang ayah. Ia sudah besar layaknya macan, tidak seharusnya George mengatur dirinya bagaikan kucing kecil yang masih penurut."Seharusnya kau sudah mempunyai calon istri sejak satu tahun yang lalu! Atau bahkan sekarang seharusnya kau sudah menikah!" jelas George terkes
"Sagara?" panggil Metha dengan mengerutkan keningnya heran. Ia menarik kembali kakinya yang sudah berpijak pada tangga untuk masuk ke dalam mobil. Seorang pria yang dipanggil Sagara mendekat ke arah Metha dengan senyuman lebar yang tercetak jelas di wajah manisnya. "Apakah kau mau mengantarkan pesanan?" tanya Sagara setelah berdiri di hadapan Metha. Metha tersenyum canggung. "Iya," jawabnya singkat. Ia tidak tahu harus berkata apa lagi. Sagara merupakan salah satu rekan kerjanya di toko bunga. Badannya tidak terlalu tinggi, rambut yang bergelombang dan kulit yang berwarna sawo matang. Ia selalu saja berusaha mendekati Metha, meski Metha membalasnya dengan singkat atau bahkan tidak merespon. Bukannya Metha sok jual mahal tidak ingin didekati oleh pria berambut gelombang itu. Namun, wajahnya yang terlihat licik membuat ia harus waspada. "Kebetulan banget aku juga ingin mengantarkan pesanan, bagaimana jika kita bareng-bareng?" ajak Sagara
"Hey! Sstt, diam!""Tidak. Mohon lepaskan aku, aku ingin pulang!"Metha terus memberontak. Kedua pundaknya dicekal kuat oleh Robert dan diseret untuk masuk ke dalam rumah."Kenapa kau memaksaku!" teriak Metha menatap Robert yang berada di dekatnya dengan nyalang."Saya tidak akan memaksamu jika kau menurut!"Bruk!"Aws," Metha meringis mengusap pinggangnya yang terasa sakit akibat Robert mendorong tubuhnya pada kursi dengan kasar."Dasar gadis pembangkang!" desis Robert. Ia menatap Metha dengan senyuman miringnya.Metha menggelengkan kepalanya kuat saat tangan kekar Robert akan menyentuh dagunya. Ia berusaha berdiri dari duduknya. Namun, sangat susah. Robert kembali menekan pundaknya."Lepaskan aku! Dasar pria tua!" bentak Metha. Ia terus mencoba untuk berdiri."Ouh, ternyata kau sudah mulai berani membentakku, gadis kecil!" Robert memperlihatkan wajah kagumnya. Ia tidak percaya jika Metha si gadis pol
Langkah Metha langsung terhenti kala mendengar perintah yang dilontarkan Peter. Ia hanya menghentikan langkahnya saja. Namun, tidak dengan membalikan badannya, seakan menunggu Peter untuk melanjutkan ucapannya."Ganti pakaianmu terlebih dahulu!" Peter berucap dengan nada begitu datarnya.Metha memutar kedua bola matanya malas. Tadi saja Peter mengolok-olok dirinya dan sekarang ... dia malah menyuruh dirinya untuk berganti baju seperti apa yang ditawarkan Philip tadi.Metha kembali membalikan badannya. Menatap Peter yang ternyata sedang menatap dirinya juga, ia memberikan tatapan tak kalah datar. "Tidak sudi!" balasnya terkesan sangat sarkas. Biar saja, Metha sudah sangat kesal dengan sikap Peter terhadap dirinya."Nunduk ke bawah!" titah Peter tegas.Metha mengernyit. Awalnya ia tidak mau, apa-apaan menuruti perintah tak berguna dari Peter itu. Namun, entah dorongan dari mana ia malah menundukan kepalanya. Tiba-tiba kedua mata yang semula dib
"Hey! Sstt, diam!""Tidak. Mohon lepaskan aku, aku ingin pulang!"Metha terus memberontak. Kedua pundaknya dicekal kuat oleh Robert dan diseret untuk masuk ke dalam rumah."Kenapa kau memaksaku!" teriak Metha menatap Robert yang berada di dekatnya dengan nyalang."Saya tidak akan memaksamu jika kau menurut!"Bruk!"Aws," Metha meringis mengusap pinggangnya yang terasa sakit akibat Robert mendorong tubuhnya pada kursi dengan kasar."Dasar gadis pembangkang!" desis Robert. Ia menatap Metha dengan senyuman miringnya.Metha menggelengkan kepalanya kuat saat tangan kekar Robert akan menyentuh dagunya. Ia berusaha berdiri dari duduknya. Namun, sangat susah. Robert kembali menekan pundaknya."Lepaskan aku! Dasar pria tua!" bentak Metha. Ia terus mencoba untuk berdiri."Ouh, ternyata kau sudah mulai berani membentakku, gadis kecil!" Robert memperlihatkan wajah kagumnya. Ia tidak percaya jika Metha si gadis pol
"Sagara?" panggil Metha dengan mengerutkan keningnya heran. Ia menarik kembali kakinya yang sudah berpijak pada tangga untuk masuk ke dalam mobil. Seorang pria yang dipanggil Sagara mendekat ke arah Metha dengan senyuman lebar yang tercetak jelas di wajah manisnya. "Apakah kau mau mengantarkan pesanan?" tanya Sagara setelah berdiri di hadapan Metha. Metha tersenyum canggung. "Iya," jawabnya singkat. Ia tidak tahu harus berkata apa lagi. Sagara merupakan salah satu rekan kerjanya di toko bunga. Badannya tidak terlalu tinggi, rambut yang bergelombang dan kulit yang berwarna sawo matang. Ia selalu saja berusaha mendekati Metha, meski Metha membalasnya dengan singkat atau bahkan tidak merespon. Bukannya Metha sok jual mahal tidak ingin didekati oleh pria berambut gelombang itu. Namun, wajahnya yang terlihat licik membuat ia harus waspada. "Kebetulan banget aku juga ingin mengantarkan pesanan, bagaimana jika kita bareng-bareng?" ajak Sagara
"Ada apa kau memanggilku, Dad?"Sosok pria tua yang usianya hampir berkepala enam berbalik. Ia menatap datar sang putra semata wayangnya, berjalan mendekat dengan gaya penuh wibawa."Satu bulan lagi kau sudah menginjak usia ke dua puluh tujuh tahun!""Lalu?" tanya Peter menatap ayahnya tidak kalah datar. Pembicaraan tentang hal ini lah yang membuat ia benci.George, ayah dari Peter melipatkan kedua tangannya di depan dada. "Apa kau lupa atau pura-pura lupa?"Peter tidak menjawab, ia masih menatap George datar. Membiarkan George untuk berbicara lebih lanjut, meski ia sudah tahu apa yang akan pria tua itu bicarakan.Peter benar-benar sudah enggan untuk bersikap santun pada sang ayah. Ia sudah besar layaknya macan, tidak seharusnya George mengatur dirinya bagaikan kucing kecil yang masih penurut."Seharusnya kau sudah mempunyai calon istri sejak satu tahun yang lalu! Atau bahkan sekarang seharusnya kau sudah menikah!" jelas George terkes
Philip meneguk ludahnya kasar. Baru saja ia memotong perkataan Peter tanpa sengaja, ini benar-benar terasa spontan.Peter melirik Philip yang berada di samping kanan sedikit ke belakang dengan tatapan nyalang.Philip yang menyadari tatapan itu langsung membungkukkan badannya. "Mohon maaf tuan muda. Saya benar-benar tidak sengaja memotong ucapan Anda," jelasnya berusaha menutupi rasa takut terhadap tuannya.Peter sama sekali tidak menjawab, tatapannya kini kembali tertuju pada si wanita sok pahlawan yang masih menantang angkuh di depannya.Kedua mata hazel itu menelisik beberapa kali pada ujung kaki sampai ujung rambut Metha yang sama sekali tidak ada bagusnya. Semuanya terlihat menjijikkan dalam pandangannya."Ini yang dinamakan pahlawan kesiangan?" tanya Peter pada diri sendiri. Namun, suaranya terdengar oleh yang lain. Bahkan, dari nadanya pun terdengar sangat meremehkan.Dagu yang semula di angkat tinggi-tinggi itu kini terjatuh tanpa di
“Terima kasih, Bu. Semoga suka sama bunganya,” ucap Metha dengan penuh ceria. Ya, meski ucapan tanda terima kasihnya tidak pernah dibalas oleh para pembeli. Namun, itu semua tidak membuat semangatnya runtuh, ia sudah terbiasa seperti ini.Ibu yang disebut sebagai pembeli tadi sudah melenggang pergi dari hadapan Metha dengan raut wajah yang seperti tidak puas dengan barangnya. Bukannya apa, ia membeli bunga pada Metha karena toko langganannya sedang tutup. Sehingga ia terpaksa beralih pada si anak lusuh penjual bunga keliling.Senyuman tipis masih terukir di bibir pucat Metha, ia membereskan barang dagangannya yang sempat berantakan akibat pembeli tadi mengacaknya untuk memilih bunga yang diinginkan. Setelah selesai, kaki kanannya mulai merangkak naik pada kayuhan sepeda yang separuh penginjakannya sudah patah.“Hiks … hiks, ibu!”Metha langsung menghentikan pergerakan kakinya. Ia terdiam, menajamkan kedua telinganya un