"Ada apa kau memanggilku, Dad?"
Sosok pria tua yang usianya hampir berkepala enam berbalik. Ia menatap datar sang putra semata wayangnya, berjalan mendekat dengan gaya penuh wibawa.
"Satu bulan lagi kau sudah menginjak usia ke dua puluh tujuh tahun!"
"Lalu?" tanya Peter menatap ayahnya tidak kalah datar. Pembicaraan tentang hal ini lah yang membuat ia benci.
George, ayah dari Peter melipatkan kedua tangannya di depan dada. "Apa kau lupa atau pura-pura lupa?"
Peter tidak menjawab, ia masih menatap George datar. Membiarkan George untuk berbicara lebih lanjut, meski ia sudah tahu apa yang akan pria tua itu bicarakan.
Peter benar-benar sudah enggan untuk bersikap santun pada sang ayah. Ia sudah besar layaknya macan, tidak seharusnya George mengatur dirinya bagaikan kucing kecil yang masih penurut.
"Seharusnya kau sudah mempunyai calon istri sejak satu tahun yang lalu! Atau bahkan sekarang seharusnya kau sudah menikah!" jelas George terkesan menyentak.
Tanpa sadar kedua telapak tangan Peter terkepal kuat hingga membuat urat-urat kecil tercetak jelas. "Kenapa daddy selalu menuntutku? Mau menikah ataupun tidak itu urusanku!" jawabnya menatap George nyalang.
"Peter, mohon mengertilah! Ini demi warisan dari kakekmu." Suara George sedikit melunak. Ia sadar, jika marah dibalas oleh kemarahan mungkin akan membuat seluruh isi ruangan ini hancur.
"Terus saja tentang warisan," gumam Peter mendesis kecil, sama sekali tidak akan dapat didengar oleh George.
"Aku memberimu toleransi, jika dalam waktu dua Minggu kau belum menemukan calon istri, maka aku yang akan memilihkan calon istri untukmu!"
"Tap-"
"Tidak ada bantahan!" sanggah George cepat. Ia langsung melenggang pergi ke luar ruangan sebelum Peter melayangkan protes dan marah-marah tidak jelas.
Selama satu tahun ini ia sudah sabar menunggu Peter memiliki calon istri dan membawanya ke rumah. Namun, Peter sering kali membawa pria ke dalam rumah untuk dijadikan sebagai pengawal pribadi untuk menjaganya selama 24 jam atau sering disebut pengawal tidak tetap. Bukankah itu sangat aneh?
Brak!
"Aarrgghh, dasar pria tua bangka!" umpat Peter menggebrak meja yang berada di sampingnya. Ia mulai meluapkan emosi yang sudah meletup di atas ubun-ubun.
Bagaimana bisa ia harus mendapatkan seorang wanita yang benar-benar ia cintai dalam waktu dua Minggu!?
Memang, jika ia mengumumkan perihal ini di kalangan rakyat jelata pasti akan banyak wanita yang berbondong-bondong untuk melamar menjadi calon istrinya, bahkan wanita di kalangan atas pun akan melamarnya dengan suka rela sekalipun tubuh polos yang menjadi sasarannya.
Akh, tapi ia sama sekali tidak berminat sama wanita itu semua. Hatinya seakan sudah mati rasa, sulit menerima wanita untuk masuk ke dalam relung hatinya.
Peter mengacak rambutnya kasar, mendongak menatap langit-langit yang berwarna putih tapi tidak seputih takdir hidupnya.
Tok tok tok
Suara ketukan pintu berhasil membuat Peter tersentak. Perhatiannya ia alihkan pada pintu yang menjulang tinggi berwarna cokelat gelap yang tertutup.
Ia merapikan jasnya, mendatarkan ekspresi, menenggelamkan sedalam-dalamnya rasa amarah yang baru saja memuncak, yang kemudian ia berkata, "Masuk!"
Pintu itu terbuka menampilkan sosok pengawal yang bertubuh jangkung, melangkah mendekati sang tuan dan badan yang sedikit dibungkukkan sebagai penghormatan.
"Selamat malam, Tuan. Makan malam sudah siap disajikan," ucap Philip dengan begitu santun.
"Aku tidak ingin makan!" tolak Peter mentah-mentah. Lidah sudah tidak berselera, dengan ucapan George tadi saja sudah membuat perutnya penuh dan hampir saja muntah akibat terlalu banyak ucapan yang masuk.
"Tapi Tuan. Anda harus segera makan dan dilanjut dengan minum obat, ini merupakan perintah dari Tuan George serta Nyonya Wallis," rayunya lagi, sangat berharap Peter menurut dengan perintahnya.
Peter mengusap wajahnya kasar ditambah tangan kiri yang berkacak pinggang
"Baiklah, setelah ini antar aku untuk mencari angin malam!" putus Peter. Tanpa menunggu jawaban, ia melangkah ke luar terlebih dahulu melewati Philip dengan begitu saja.
****
Sekarang waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam, dimana Metha harus berada di pusat toko bunga. Ia harus menyetorkan hasil dagangan pada bosnya dan mengambil bunga yang baru untuk dijual besok hari.
Ya, Metha bukanlah seorang pedagang asli dari diri sendiri melainkan seorang pemburuh yang membantu menjualkan dagangan milik orang lain. Namun, Metha sudah sangat bersyukur mendapatkan pekerjaan yang seperti ini, sebab setiap ia melamar pekerjaan pada toko-toko yang lain selalu saja ditolak mentah-mentah dengan alasan penampilan dirinya yang sangat buruk.
Baiklah, Metha harus menegaskan lagi bahwa ia sudah terbiasa diperlakukan seperti ini oleh orang lain.
Kini Metha sedang membantu pekerjaan yang lain, yaitu merapihkan bunga-bunga yang tampak acak-acakan, memilah bunga yang sudah mulai layu dan memasukkannya pada keranjang untuk di rawat kembali sebelum benar-benar layu dan tidak layak untuk di jual.
"Metha, tolong antarkan bunga ini pada Tuan Robert!"
Metha menghentikan kegiatan merapikan bunganya. Ia menoleh ke kiri, mendapati Luxe—pemilik toko ini—yang sedang membawa bucket bunga mawar merah berukuran besar.
Namun, Metha bukan terfokus pada bunga itu. Akan tetapi, ia terfokus pada satu nama yang disebutkan tadi.
"Robert?" gumamnya dengan jantung yang mulai berdetak kencang. Apakah ia harus bertemu dengan pria itu lagi? Kenapa dunia ini seakan mempermainkan dirinya?
"Ya, sekarang kau antarkan ini. Dia sudah menunggunya di rumah." Luxe memberikan bucket bunga itu pada Metha, "Ingat! Tidak boleh ada yang rusak ataupun patah! Saya sudah membuatnya dengan penuh hati-hati."
Metha menatap bosnya tidak percaya. "Tapi, aku mengantarkannya dengan sepeda. Besar kemungkinan akan membuat bucket bunga ini agak sedikit kusut."
Jika bucket bunganya berukuran kecil sangat tidak masalah bagi dirinya. Tapi, ini malah sebaliknya, bucket ini sangatlah besar dan ia yakinkan tidak akan muat di keranjang dagangannya. Lalu, Luxe memerintahkan agar tidak ada yang lecet sedikit pun, bukankah itu sangat mustahil?
"Saya tidak mau tahu. Kau bisa mengantarkannya memakai kendaraan umum dan jagalah dengan hati-hati jangan sampai kesenggol oleh orang lain baik disengaja ataupun tidak!"
"Eum, tap-"
"Cepatlah pergi! Jangan terus protes jika kau masih ingin bekerja di sini!" ancam Luxe dengan oktaf suara yang dinaikkan.
Metha memejamkan matanya sejenak, kedua sudut bibirnya ia paksaan untuk tersenyum. "Baiklah,aku akan mengantarkan sekarang." Mulai melangkahkan kakinya dengan perasaan hati yang tidak enak. Entahlah, setiap bersangkutan dengan Robert perasaannya selalu seperti ini.
Metha berdiri di sisi jalan. Ia celingukan mencari angkutan umum yang akan membawa dirinya ke tempat tujuan.
"Kiri!" teriaknya dengan melambaikan tangan ke depan saat sebuah angkutan umum akan melaju melewati dirinya. Hingga angkutan umum itu berhenti di depannya.
Hendak akan melangkah masuk tiba-tiba sebuah teriakan dari arah belakang menghentikannya.
"Metha, tunggu!"
"Sagara?" panggil Metha dengan mengerutkan keningnya heran. Ia menarik kembali kakinya yang sudah berpijak pada tangga untuk masuk ke dalam mobil. Seorang pria yang dipanggil Sagara mendekat ke arah Metha dengan senyuman lebar yang tercetak jelas di wajah manisnya. "Apakah kau mau mengantarkan pesanan?" tanya Sagara setelah berdiri di hadapan Metha. Metha tersenyum canggung. "Iya," jawabnya singkat. Ia tidak tahu harus berkata apa lagi. Sagara merupakan salah satu rekan kerjanya di toko bunga. Badannya tidak terlalu tinggi, rambut yang bergelombang dan kulit yang berwarna sawo matang. Ia selalu saja berusaha mendekati Metha, meski Metha membalasnya dengan singkat atau bahkan tidak merespon. Bukannya Metha sok jual mahal tidak ingin didekati oleh pria berambut gelombang itu. Namun, wajahnya yang terlihat licik membuat ia harus waspada. "Kebetulan banget aku juga ingin mengantarkan pesanan, bagaimana jika kita bareng-bareng?" ajak Sagara
"Hey! Sstt, diam!""Tidak. Mohon lepaskan aku, aku ingin pulang!"Metha terus memberontak. Kedua pundaknya dicekal kuat oleh Robert dan diseret untuk masuk ke dalam rumah."Kenapa kau memaksaku!" teriak Metha menatap Robert yang berada di dekatnya dengan nyalang."Saya tidak akan memaksamu jika kau menurut!"Bruk!"Aws," Metha meringis mengusap pinggangnya yang terasa sakit akibat Robert mendorong tubuhnya pada kursi dengan kasar."Dasar gadis pembangkang!" desis Robert. Ia menatap Metha dengan senyuman miringnya.Metha menggelengkan kepalanya kuat saat tangan kekar Robert akan menyentuh dagunya. Ia berusaha berdiri dari duduknya. Namun, sangat susah. Robert kembali menekan pundaknya."Lepaskan aku! Dasar pria tua!" bentak Metha. Ia terus mencoba untuk berdiri."Ouh, ternyata kau sudah mulai berani membentakku, gadis kecil!" Robert memperlihatkan wajah kagumnya. Ia tidak percaya jika Metha si gadis pol
Langkah Metha langsung terhenti kala mendengar perintah yang dilontarkan Peter. Ia hanya menghentikan langkahnya saja. Namun, tidak dengan membalikan badannya, seakan menunggu Peter untuk melanjutkan ucapannya."Ganti pakaianmu terlebih dahulu!" Peter berucap dengan nada begitu datarnya.Metha memutar kedua bola matanya malas. Tadi saja Peter mengolok-olok dirinya dan sekarang ... dia malah menyuruh dirinya untuk berganti baju seperti apa yang ditawarkan Philip tadi.Metha kembali membalikan badannya. Menatap Peter yang ternyata sedang menatap dirinya juga, ia memberikan tatapan tak kalah datar. "Tidak sudi!" balasnya terkesan sangat sarkas. Biar saja, Metha sudah sangat kesal dengan sikap Peter terhadap dirinya."Nunduk ke bawah!" titah Peter tegas.Metha mengernyit. Awalnya ia tidak mau, apa-apaan menuruti perintah tak berguna dari Peter itu. Namun, entah dorongan dari mana ia malah menundukan kepalanya. Tiba-tiba kedua mata yang semula dib
“Terima kasih, Bu. Semoga suka sama bunganya,” ucap Metha dengan penuh ceria. Ya, meski ucapan tanda terima kasihnya tidak pernah dibalas oleh para pembeli. Namun, itu semua tidak membuat semangatnya runtuh, ia sudah terbiasa seperti ini.Ibu yang disebut sebagai pembeli tadi sudah melenggang pergi dari hadapan Metha dengan raut wajah yang seperti tidak puas dengan barangnya. Bukannya apa, ia membeli bunga pada Metha karena toko langganannya sedang tutup. Sehingga ia terpaksa beralih pada si anak lusuh penjual bunga keliling.Senyuman tipis masih terukir di bibir pucat Metha, ia membereskan barang dagangannya yang sempat berantakan akibat pembeli tadi mengacaknya untuk memilih bunga yang diinginkan. Setelah selesai, kaki kanannya mulai merangkak naik pada kayuhan sepeda yang separuh penginjakannya sudah patah.“Hiks … hiks, ibu!”Metha langsung menghentikan pergerakan kakinya. Ia terdiam, menajamkan kedua telinganya un
Philip meneguk ludahnya kasar. Baru saja ia memotong perkataan Peter tanpa sengaja, ini benar-benar terasa spontan.Peter melirik Philip yang berada di samping kanan sedikit ke belakang dengan tatapan nyalang.Philip yang menyadari tatapan itu langsung membungkukkan badannya. "Mohon maaf tuan muda. Saya benar-benar tidak sengaja memotong ucapan Anda," jelasnya berusaha menutupi rasa takut terhadap tuannya.Peter sama sekali tidak menjawab, tatapannya kini kembali tertuju pada si wanita sok pahlawan yang masih menantang angkuh di depannya.Kedua mata hazel itu menelisik beberapa kali pada ujung kaki sampai ujung rambut Metha yang sama sekali tidak ada bagusnya. Semuanya terlihat menjijikkan dalam pandangannya."Ini yang dinamakan pahlawan kesiangan?" tanya Peter pada diri sendiri. Namun, suaranya terdengar oleh yang lain. Bahkan, dari nadanya pun terdengar sangat meremehkan.Dagu yang semula di angkat tinggi-tinggi itu kini terjatuh tanpa di
Langkah Metha langsung terhenti kala mendengar perintah yang dilontarkan Peter. Ia hanya menghentikan langkahnya saja. Namun, tidak dengan membalikan badannya, seakan menunggu Peter untuk melanjutkan ucapannya."Ganti pakaianmu terlebih dahulu!" Peter berucap dengan nada begitu datarnya.Metha memutar kedua bola matanya malas. Tadi saja Peter mengolok-olok dirinya dan sekarang ... dia malah menyuruh dirinya untuk berganti baju seperti apa yang ditawarkan Philip tadi.Metha kembali membalikan badannya. Menatap Peter yang ternyata sedang menatap dirinya juga, ia memberikan tatapan tak kalah datar. "Tidak sudi!" balasnya terkesan sangat sarkas. Biar saja, Metha sudah sangat kesal dengan sikap Peter terhadap dirinya."Nunduk ke bawah!" titah Peter tegas.Metha mengernyit. Awalnya ia tidak mau, apa-apaan menuruti perintah tak berguna dari Peter itu. Namun, entah dorongan dari mana ia malah menundukan kepalanya. Tiba-tiba kedua mata yang semula dib
"Hey! Sstt, diam!""Tidak. Mohon lepaskan aku, aku ingin pulang!"Metha terus memberontak. Kedua pundaknya dicekal kuat oleh Robert dan diseret untuk masuk ke dalam rumah."Kenapa kau memaksaku!" teriak Metha menatap Robert yang berada di dekatnya dengan nyalang."Saya tidak akan memaksamu jika kau menurut!"Bruk!"Aws," Metha meringis mengusap pinggangnya yang terasa sakit akibat Robert mendorong tubuhnya pada kursi dengan kasar."Dasar gadis pembangkang!" desis Robert. Ia menatap Metha dengan senyuman miringnya.Metha menggelengkan kepalanya kuat saat tangan kekar Robert akan menyentuh dagunya. Ia berusaha berdiri dari duduknya. Namun, sangat susah. Robert kembali menekan pundaknya."Lepaskan aku! Dasar pria tua!" bentak Metha. Ia terus mencoba untuk berdiri."Ouh, ternyata kau sudah mulai berani membentakku, gadis kecil!" Robert memperlihatkan wajah kagumnya. Ia tidak percaya jika Metha si gadis pol
"Sagara?" panggil Metha dengan mengerutkan keningnya heran. Ia menarik kembali kakinya yang sudah berpijak pada tangga untuk masuk ke dalam mobil. Seorang pria yang dipanggil Sagara mendekat ke arah Metha dengan senyuman lebar yang tercetak jelas di wajah manisnya. "Apakah kau mau mengantarkan pesanan?" tanya Sagara setelah berdiri di hadapan Metha. Metha tersenyum canggung. "Iya," jawabnya singkat. Ia tidak tahu harus berkata apa lagi. Sagara merupakan salah satu rekan kerjanya di toko bunga. Badannya tidak terlalu tinggi, rambut yang bergelombang dan kulit yang berwarna sawo matang. Ia selalu saja berusaha mendekati Metha, meski Metha membalasnya dengan singkat atau bahkan tidak merespon. Bukannya Metha sok jual mahal tidak ingin didekati oleh pria berambut gelombang itu. Namun, wajahnya yang terlihat licik membuat ia harus waspada. "Kebetulan banget aku juga ingin mengantarkan pesanan, bagaimana jika kita bareng-bareng?" ajak Sagara
"Ada apa kau memanggilku, Dad?"Sosok pria tua yang usianya hampir berkepala enam berbalik. Ia menatap datar sang putra semata wayangnya, berjalan mendekat dengan gaya penuh wibawa."Satu bulan lagi kau sudah menginjak usia ke dua puluh tujuh tahun!""Lalu?" tanya Peter menatap ayahnya tidak kalah datar. Pembicaraan tentang hal ini lah yang membuat ia benci.George, ayah dari Peter melipatkan kedua tangannya di depan dada. "Apa kau lupa atau pura-pura lupa?"Peter tidak menjawab, ia masih menatap George datar. Membiarkan George untuk berbicara lebih lanjut, meski ia sudah tahu apa yang akan pria tua itu bicarakan.Peter benar-benar sudah enggan untuk bersikap santun pada sang ayah. Ia sudah besar layaknya macan, tidak seharusnya George mengatur dirinya bagaikan kucing kecil yang masih penurut."Seharusnya kau sudah mempunyai calon istri sejak satu tahun yang lalu! Atau bahkan sekarang seharusnya kau sudah menikah!" jelas George terkes
Philip meneguk ludahnya kasar. Baru saja ia memotong perkataan Peter tanpa sengaja, ini benar-benar terasa spontan.Peter melirik Philip yang berada di samping kanan sedikit ke belakang dengan tatapan nyalang.Philip yang menyadari tatapan itu langsung membungkukkan badannya. "Mohon maaf tuan muda. Saya benar-benar tidak sengaja memotong ucapan Anda," jelasnya berusaha menutupi rasa takut terhadap tuannya.Peter sama sekali tidak menjawab, tatapannya kini kembali tertuju pada si wanita sok pahlawan yang masih menantang angkuh di depannya.Kedua mata hazel itu menelisik beberapa kali pada ujung kaki sampai ujung rambut Metha yang sama sekali tidak ada bagusnya. Semuanya terlihat menjijikkan dalam pandangannya."Ini yang dinamakan pahlawan kesiangan?" tanya Peter pada diri sendiri. Namun, suaranya terdengar oleh yang lain. Bahkan, dari nadanya pun terdengar sangat meremehkan.Dagu yang semula di angkat tinggi-tinggi itu kini terjatuh tanpa di
“Terima kasih, Bu. Semoga suka sama bunganya,” ucap Metha dengan penuh ceria. Ya, meski ucapan tanda terima kasihnya tidak pernah dibalas oleh para pembeli. Namun, itu semua tidak membuat semangatnya runtuh, ia sudah terbiasa seperti ini.Ibu yang disebut sebagai pembeli tadi sudah melenggang pergi dari hadapan Metha dengan raut wajah yang seperti tidak puas dengan barangnya. Bukannya apa, ia membeli bunga pada Metha karena toko langganannya sedang tutup. Sehingga ia terpaksa beralih pada si anak lusuh penjual bunga keliling.Senyuman tipis masih terukir di bibir pucat Metha, ia membereskan barang dagangannya yang sempat berantakan akibat pembeli tadi mengacaknya untuk memilih bunga yang diinginkan. Setelah selesai, kaki kanannya mulai merangkak naik pada kayuhan sepeda yang separuh penginjakannya sudah patah.“Hiks … hiks, ibu!”Metha langsung menghentikan pergerakan kakinya. Ia terdiam, menajamkan kedua telinganya un