"Ini rumah siapa ini, Bi?"
Kedua netra Rara memutar, menikmati keindahan rumah megah yang ada di depannya. Seumur hidup, baru kali ini dia melihat rumah megah bak istana raja.
"Nggak usah banyak tanya, ayo masuk!"
Tanpa curiga, Rara mengikuti langkah bibinya yang terus menyeretnya semakin masuk ke bagian dalam rumah. Dia makin terkejut, saat melihat beberapa orang dengan pakaian rapi mengawal mereka.
Di depan sebuah ruang, tangan Rara dilepaskan, sementara bibinya nampak berbicara dengan salah seorang dari mereka. Entah apa yang mereka bicarakan, Rara tidak bisa mendengar karena mereka berbisik-bisik.
Namun, sesaat setelah berbicara, Bibi Rara kembali menghampirinya dan memberikan perintah mengejutkan. "Bibi mau ke toilet, kamu ikuti perintah Tuan ini ya!"
"Kenapa aku harus ikut dengannya Bi?” Rara bingung. Dia pun mulai ketakutan. “Aku akan menunggu Bibi di sini saja." Rara memegang tangan bibinya, memohon dengan pandangan memelas.
Dia tidak mengenal orang-orang itu. Dia juga merasa asing berada di rumah mewah ini.
Sayang, wanita itu menghempas tangan Rara kuat-kuat. "Tinggal menurut saja apa susahnya, sih!" Setelahnya, dia pergi meninggalkan keponakannya bersama seorang pria.
Pria tersebut meminta Rara untuk mengikuti langkahnya. Meski takut tetapi Rara tidak memiliki pilihan lain selain mengikuti ucapan pria tersebut. Dia takut akan celaka kalau sampai melawan perintah.
"Silakan masuk Nona," pinta pria tersebut sembari membuka sebuah pintu kamar.
Sebenarnya, Rara ragu untuk masuk ke dalam kamar. Namun pria tersebut meyakinkan kalau semua akan baik-baik saja.
Sejenak, Rara kembali dibuat terpukau oleh dekorasi kamar yang tak kalah mewah. Kamar yang dimasukinya benar-benar seperti kamar hotel bintang lima Namun, perasaan itu tak berlangsung lama, sebab suara pintu yang dibuka dan ditutup secara kencang mengejutkannya.
“Siapa itu?!” Rara memutar badan, memasang gestur waspada.
“Sudah datang, rupanya.”
Tampak seorang pria yang hanya menggunakan handuk kimono berjalan mendekati Rara. Rambutnya basah, wangi segar tercium semerbak seketika. Kelihatannya, pria tersebut baru saja selesai mandi.
Pria tersebut adalah Raymond Corner, seorang CEO di perusahaan property dan penerbangan yang bonafid, yang terus berkembang dari waktu ke waktu.
“Ka-kamu siapa?” Rara bergerak mundur hingga kakinya menabrak ranjang yang berada di belakangnya.
Pria tersebut tersenyum tipis. Dia tidak menjawab pertanyaan Rara, dan malah menyeringai. "Bersiaplah dan layani aku sekarang."
Suaranya yang dingin dan tatapannya yang terlihat lapar membuat Rara meremang. Dia juga merasakan ada makna tersembunyi dari kata ‘layani’ yang pria itu katakan.
Tidak paham, Rara pun mencoba bertanya. "Melayani bagaimana Tuan?"
Dia pikir, mungkin bibinya membawa dia ke sini untuk dipekerjakan sebagai pembantu. Namun, yang membuat nyali Rara menciut dan takut saat ini adalah … layanan apa yang bisa diberikannya pada seorang pria matang, tampan, juga kaya di dalam kamar mewah yang telah dikunci ini? Ditambah lagi, kondisi pria itu yang dia yakini tidak memakai apa pun lagi dibalik handuk yang dikenakannya.
"Jangan bermain-main denganku!" Mata pria itu memicing menatap Rara. Dia kira, wanita itu sedang mencoba memainkan peran untuk membangunkan hasratnya.
“Saya benar-benar tidak tahu, Tuan. Sa-Saya—” Tiba-tiba, dia terjerembab, karena Raymond menarik tangannya, membuat mereka berdua kini duduk di atas ranjang.
“Aku tidak punya banyak waktu meladeni sandiwaramu. Cepat layani aku sesuai tugasmu.”
Seolah mengerti apa yang dimaksud Raymond, Rara berdiri, marah. Dia menolak Raymond yang mulai mendekatkan wajahnya ke arah Rara. “Apa yang kamu lakukan?!”
Rara kembali berdiri dan mencoba membuka pintu kamar. Dia menggedor-gedor pintu itu, berharap seseorang mendengar dan membebaskannya. Namun, seberapa keras pun Rara mencoba … orang-orang di rumah itu seolah tuli. Bibinya yang berpamitan ingin ke toilet bahkan sudah pergi entah ke mana.
"Apa yang kamu lakukan?" Raymond hanya melihat Rara dari tempatnya dengan tatapan yang kesal. Baru kali ini ada wanita yang berusaha kabur dari dirinya. Padahal, biasanya para wanita sendirilah yang menyerahkan diri suka rela. “Apa kamu masih belum tau, untuk apa kamu di sini?”
“Maaf, Tuan. Tapi, saya ke sini bersama Bibi. Saya tidak tau. Saya tidak mau—"
“Bibimu itu sudah menjualmu padaku.” Raymond beranjak dari tempat tidur lalu berjalan mendekati Rara. Kesabarannya sudah habis. Tanpa rasa iba, dia mencengkeram lengan kecil Rara, lalu menyeretnya dan melemparnya ke atas tidur. “Kamu milikku sekarang. Jadi, turuti ucapanku. Puaskan aku.”
Tatapan Raymond yang tajam, dengan bola mata hitamnya benar-benar membuat Rara ketakutan. Ini juga kali pertama dia berada begitu dekat dengan seorang pria, terlebih pria itu adalah orang yang sama sekali asing baginya.
Rara mencoba memberontak saat Raymon mengungkung tubuhnya. “Pasti ada kekeliruan di sini, Tuan.”
"Tidak ada yang keliru.” Suara bariton itu menyambar dingin.
Hati Rara hancur mendengar kebenarannya. Dia jauh-jauh datang ke kota untuk melanjutkan sekolah, tapi mengapa bibinya tega menjualnya pada seorang pria berumur seperti Raymond? Apa salahnya?
Rara mulai menangis. Dia benar-benar ketakutan. Sebagai seorang gadis, dia mempersiapkan kehormatan ini untuk suaminya kelak. "Tuan, saya mohon. Saya bersedia bekerja apa saja, asal Tuan mau melepaskan saya.”
Senyum miring kembali tersungging di bibir Raymond. Dia sama sekali tidak terpengaruh pada tangisan Rara. “Aku tidak sedang bernegosiasi, Nona.”
Tak ingin berlama-lama lagi, Raymond menindih tubuh Rara. Tubuh Raymond yang kekar, membuat tubuh Rara terlihat begitu kecil dan ringkih di bawahnya.
Pria itu mulai menyentuhnya inci demi inci. Meski tangisan terus turun, pria itu tidak berhenti. Penyatuan tubuh mereka tetap berlangsung, meski tubuh Rara tak kunjung bisa beradaptasi dengan kehadiran Raymond.
“Aku yang pertama untukmu?”
Raymond membulatkan matanya, sedikit tidak percaya pada fakta yang dia temukan. Dia tidak menyangka jika gadis kecil yang berada di bawahnya adalah perawan. Dia mengira, Rara sama seperti wanita penghibur yang lain.
Samar-samar, Rara mengangguk. “Sakit,” katanya lirih.
Meski sudah tahu kalau ini kali pertama untuk Rara, Raymond tetap melanjutkan pergerakannya. Dia bahkan terus bergerak, hingga erangan kepuasan keluar dari bibir tipisnya.
Bahkan, saking puasnya, pria itu menggaulinya berkali-kali.
“Tuan, bisakah Anda berhenti? Aku rasa, aku sudah tidak kuat lagi.”
“Aww!”Rara membuka matanya di pagi hari. Dia mengerang kesakitan saat berusaha bangun dari tidur. Semalam, Raymond benar-benar menghajarnya habis-habisan. Melihat pria yang kini masih tertidur di ranjang dengan wajah tenang, air mata Rara kembali mencuat. Perasaannya berkecamuk tak karuan.Dia merasa tubuhnya kotor dan tidak lagi berdaya. Satu-satunya harta yang seharusnya dia jaga telah direnggut Raymond dengan paksa tanpa rasa simpati.Dengan tertatih, Rara memaksakan diri menuju kamar mandi. Dia ingin membersihkan diri dari bau percintaan paksa semalam. Dia menggosok tubuhnya dengan kasar di bawah guyuran air, dan tangisnya yang tidak kunjung reda. Jejak-jejak kemerahan di tubuhnya, tanda yang diberikan Raymond benar-benar menyeramkan dan benar-benar membuatnya jijik.Usai kembali segar, meski masih merasa marah dan sedih, Rara kembali memasuki kamar dengan kimono handuk yang disediakan di kamar mandi. Betapa terkejutnya dia, mendengar Raymond berujar dingin."Siapa yang menyuruhm
"Lepas! Saya tidak mau!”Rara terus meronta karena ajudan-ajudan suruhan Tuan Corner yang tiba-tiba datang dan menjemputnya. Sayang, tenaganya yang kecil itu bukan lawan seimbang bagi pria-pria itu. Begitu pula dengan bibinya yang hanya terdiam menyaksikannya dibawa pulang paksa, membuat Rara tidak lagi punya harapan hanya tangis dan mengiba yang bisa dia lakukan berharap para ajudan Raymond berbaik hati dan melepaskannya meski itu tidak mungkin.Sementara itu, di ruang kerjanya, Raymond menunggu dengan amarah yang meluap. Baru kali ini ada orang yang membangkang terhadapnya. Terlebih dia adalah seorang gadis kecil.Pria dominan itu bahkan sudah menyiapkan hukuman yang pantas Rara terima. Tak berapa lama, samar-samar Raymond mendengar suara seorang wanita yang tengah memberontak.“Saya takut, Tuan. Tolong, lepaskan saya.”Itu adalah suara Rara yang masih mencoba meloloskan diri. Sayangnya, asisten Raymond tidak mungkin membantah perintah atasan. Pria itu terus membawa Rara menuju ruan
“Ke mana Tuan Raymond?”Pagi-pagi sekali, Rara sudah tidak menemukan Raymond di ranjang kamar mereka. Yang dia temukan justru beberapa paper bag yang berisi barang- barang mewah untuknya.Karena penasaran, dia pun bertanya pada salah satu pelayang yang menjaga di pintu kamarnya. Jawaban pria itu membuat Rara sedikit bersorak girang.“Beberapa hari ke depan, Tuan Raymond tidak akan pulang. Beliau ada meeting di luar negeri.”Menjadi budak Raymond menjadikan Rara bak seekor burung yang hidup di dalam sangkar, terbelenggu dan tidak bebas.Sikap dingin dan tak peduli Raymond membuatnya bak di dalam neraka yang membuat jiwanya menjerit, pergi tak bisa bertahan tak sanggup.Bebas lepas, itulah yang Rara rasakan hari ini dia yang bergembira berguling-guling di atas tempat tidur sambil meluapkan semua apa yang dia rasakan."Terima kasih, Tuhan karena membuat si iblis itu keluar negeri. Bila perlu, tolong jangan dipulangkan, Tuhan." Doa kecil yang dia minta pada Tuhannya.Hal yang berbeda jus
"Menurutmu?" Suara dingin Raymond membuat Rara semakin yakin jika yang kini ada di atasnya adalah Raymond bukan halusinasi belaka.Tak lama dari kalimat itu, tubuh Raymond mengguling ke samping Rara. Peluh di tubuh, juga napas yang memburu menjadi saksi bagaimana pria itu mendapatkan kepuasan, meski si gadis kecil tidak melakukan apa pun. Apa Raymond sudah gila? Atau kecanduan dengan tubuh Rara yang terus membuatnya jatuh kepayang tanpa usaha?Saat Raymond mulai memasuki alam mimpi, Rara yang tidur di sebelah pria itu justru terjaga. Keningnya mengerut dalam. Sebersit rasa kecewa tiba-tiba muncul di hatinya. 'Kenapa sudah pulang? Bukankah pelayan bilang jika dia meeting diluar negeri?'Rara memandangi wajah Raymond yang terlihat lelah kemudian dia meringkuk membelakangi sang Tuan. Air matanya merembes keluar membasahi pipi. Gadis itu menangis dalam diam, hingga tertidur karena kelelahan. Meski sudah berkali-kali disetubuhi Raymond, hati Rara rasanya masih saja sakit. Padahal dia s
Dalam pelukan Sang Tuan katakutannya berkurang hingga Rara merasakan sebuah kenyamanan, rasa nyaman yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya saat bersama Raymond. "Apa yang kamu rasakan kini?" pertanyaan nan lembut membuat Rara enggan melepaskan pelukan sang Tuan, dia ingin terus seperti itu. "Hey." Raymond menggoyang tubuh Rara, dia memastikan jika gadisnya tidak kenapa-kenapa. "Apa yang kamu rasakan?" Kembali Raymond bertanya dengan nada khawatir. "Saya baik-baik saja Tuan." Terdengar sahutan lirih dari Rara. Perlahan Raymond mengendurkan pelukannya, dia membawa tubuh Rara bersandar di kursi tak lupa dia mengatur kursi agar Rara bisa bersandar dengan nyaman. "Tenanglah kamu akan baik-baik saja." Beberapa saat setelah menyandarkan kepalanya, tiba-tiba perut Rara bergejolak, rasa mual kini menguasai tubuhnya membuat Rara yang belum sempat bilang ingin ke toilet harus muntah di tempat. Huek, huek Rara muntah tepat di tangan Raymond yang membuat pria dingin ini seketika membulatka
Pergumulan terjadi, keduanya hanyut dalam surga dunia yang memabukkan, tak hanya tubuhnya yang berkhianat, hati dan pikirannya juga sudah mulai tak sinkron, yang awalnya tidak menyukai pemaksaan Raymond kali ini seakan mengijinkan sang Tuan menjamah tubuhnya, bahkan tangannya mengalung sempurna di jenjang leher pemiliknya. Sama-sama mendapatkan kenikmatan yang tiada tara, keduanya terkulai lemah dengan nafas yang memburu Raymond yang lelah memejamkan matanya sedangkan Rara masih terjaga sembari memikirkan kembali apa yang telah terjadi. Samar-samar terdengar suara ketukan dari luar, Rara segera beranjak untuk membukakan pintu, di depan pintu sudah ada pelayan hotel yang membawa makanan untuk mereka. "Biar saya saja yang membawanya masuk." Tangan Rara menahan meja troli yang akan dibawa pelayan masuk. "Baik Nona," sahut pelayan. Segera Rara membawa meja troli masuk, dia meletakkan semua makanan di meja kemudian mengembalikan lagi meja troli pada pelayan. "Terima kasih." Masuk kemb
David benar-benar tidak mengerti dengan Raymond yang semakin bersikap aneh, di rumah jelas banyak koki profesional lantas untuk apa meminta Rara yang notabenenya hanyalah gadis kecil tanpa memiliki kemampuan seperti koki, memasak? "Tapi Tuan....Saya takut jika Nona Rara yang memasak makanannya tidak sesuai standar anda." Raymond menggeleng, dia tidak perduli masakan Rara nanti sesuai standar atau tidak yang jelas dia ingin gadis kecil itu memasak untuknya. "Baiklah Tuan."David menurut saja, karena begitulah sang Tuan jika menginginkan sesuatu tidak ada yang bisa mencegahnya.Sekali pencet nomor David sudah terhubung dengan kepala pelayan di rumah, dia mengutarakan kemauan sang Tuan, sama seperti David kepala pelayan juga tidak mempercayakan hal tersebut pada Rara tapi mereka tidak bisa membantah apa yang dititahkan oleh Tuannya. "Baiklah Tuan David." "Tuan sekali lagi apa anda yakin dengan masakan Nona Rara?" Tatapan Raymond begitu tajam membuat bulu kuduk David berdiri dan seketik
Rara tersenyum ketir mendengar hinaan Raymond, yang namanya sambal memang seperti itu apalagi tadi saat masak dia menambahkan terasi yang cukup banyak mungkin inilah yang membuat Raymond mencium bau yang tidak enak dari sambalnya. "Jika menjijikkan jangan dimakan Tuan." Buru-buru Rara mengambil sambalnya. "Siapa yang menyuruhmu mengambil sambal itu!" Segera Rara mengembalikan sambalnya lagi, dia benar-benar dibuat bingung oleh Raymond yang menurutnya plin plan. Tak ingin mendebat Raymond Rara mengambil piring dan bersiap melayani sang Tuan. Siapa sangka Raymond mengambil sambal buatannya dan dengan lahap memakannya. Baik Rara, pelayan maupun David dibuat terheran-heran dengan sikap Raymond, bahkan dalam waktu yang tidak lama nasi yang diambilkan Rara tandas begitun pula dengan sambal yang ada di piringnya. Butiran keringat membanjiri kening Raymond karena rasa pedas dari sambal, "Makanan ini benar-benar tidak enak." Ucapan raymond barusan tentu menyulut emosi Rara, bagaimana tidak
Pernikahan Reyhan dan Tessa sudah ditentukan, mereka rencananya akan menggelar pernikahan mereka di salah Hotel milik Raymond. Awalnya mereka akan menggelar pernikahan di salah satu tempat ibadah tapi Rara mendesak mereka untuk menggelar pernikahan di hotel suaminya. "Semua gratis Pak Rey, aku yang akan mengatur semuanya." "Bukan masalah gratis apa nggak Ra, tapi aku tidak mau merepotkan kamu dan Tuan Raymond." Rara tetap bersikeras dengan keputusannya, semua dia lakukan itung-itung balas budi atas pengorbanan Reyhan dulu, itu pun tidak sebanding dengan pengorbanan Reyhan terhadapnya. "Baiklah Ra, tapi hanya hotelnya saja untuk biaya lainnya biar aku yang menanganinya." Rara menggeleng keras, dia hanya ingin Reyhan dan Tessa terima beres. Dokter itu hanya bisa pasrah menerima keputusan dari mantan juniornya meski dia sangat tidak enak. Rara sangat bahagia melihat Reyhan dan Tessa akan menikah, oleh karenanya dia ingin turut andil mengurus pernikahan pria itu, dia melakukan in
Melihat Rara yang bisa tersenyum kembali membuatnya Nyonya Richard bahagia, dia berharap rumah tangga anaknya tidak lagi diterpa masalah, seorang ibu mana yang tega melihat anaknya menitikkan air mata."Aku titipkan anakku kepadamu bukan untuk disakiti Raymond tapi untuk dibahagiakan."Ucapan Nyonya Richard membuat Raymond mengangguk, dia paham jika kesalahannya begitu besar."Semampu dan sebisaku aku akan membahagiakan Rara, Ma," sahutnya.Tak terasa seminggu sudah berlalu, Raymond tetap tinggal di negara Jerman sedangkan David sudah harus kembali terlebih dahulu mengingat perusahaan tidak ada yang menghindle.Berbicara lah Raymond kepada Rara terkait keinginannya untuk segera kembali ke tanah air dia tidak bisa terlalu lama meninggalkan perusahaannya."Sayang bolehkah aku kembali ke tanah air? perusahaan sudah lama terlalu lama aku tinggal." Raymond sedikit takut meminta hal itu kepada sang istri, dia takut jika Rara marah.Bukannya marah Rara malah tersenyum sembari menatap suaminy
"Ma malam ini kami tidur bersama mama dan Papa ya."Permintaan bocah kecil itu membuat Rara sedikit terkejut, mengingat dirinya dan Raymond untuk sementara waktu tidur di kamar yang terpisah.Shane juga ikut-ikutan sama seperti Kania, dia merengek supaya mamanya mengijinkan mereka untuk tidur bersama."Baiklah." Rara pun pasrah.Raymond tersenyum setidaknya malam ini dia bisa tidur satu kamar dengan sang istri.Semalaman Raymond dibuat sibuk oleh kedua buah hatinya kedua anak itu terus ingin ditemenin Raymond bermain.Mereka main tebak-tebakan nama buah dan juga nama hewan, Shane yang masih belum paham tentang nama-nama binatang dan buah sedikit membuatnya selalu kalah dan sebagai hukumannya dia harus mencium Kakak dan Papanya.Melihat keseruan suami dan anaknya Rara hanya bisa menggelengkan kepala, sebenarnya dia juga ingin turut bergabung namun egonya masih tinggi.Setelah bermain kedua bocah kecil itu terkapar tak berdaya, Rara yang sudah mengantuk segera menyusul ke tempat tidur.
Beberapa episode terakhirRaymond mengirimkan laporan pembatalan kerja sama dengan Fera kepada Rara, dia ingin istrinya percaya kalau dia dan Fera benar-benar tidak ada hubungan apa-apa.Setelah foto bukti pembatalan itu dikirim Rara tak kunjung melihat pesan yang dia kirim, hal ini membuat Raymond nampak gusar dia ingin menghubungi istrinya tapi takut jika sang istri marah.Pria itu hanya bisa mengusap rambutnya dengan kasar tak tahu harus bagaimana lagi untuk merayu sang istri.Di sisi lain Rara sudah melihat foto itu, dia pun tersenyum tapi dia masih belum mau memaafkan suaminya, hal yang dilakukan Raymond kali ini masih belum cukup untuk menebus kesalahannya selama ini."Sayang kenapa tidak dibalas?" Akhirnya Raymond mengirim pesan lagi kepada sang istri.Kali ini Rara hanya membaca pesannya tanpa mau menjawab pesan yang dia kirim."Masih belum bisakah kamu memaafkanku aku sayang?" Raymond mengirim pesan kembali.Rara hanya menulis satu kata yaitu belum hal ini membuat Raymond ke
Nyonya Richard terus memantau Fera, dia sangat murka setelah tahu Fera merencanakan hal buruk kepada Raymond.Menantunya yang saat ini tidak tenang karena masalahnya dengan Rara jadi kurang fokus. Dia tidak menyadari jika Fera tengah merencanakan hal untuk menjebak Raymond."Kelihatannya dia cukup meresahkan." Nyonya Richard ingin anak buahnya segera bertindak."Kita jebak balik saja Nyonya," sahut asistennya.Senyuman tersungging di bibir wanita itu, wanita yang ingin menghancurkan anaknya harus mendapatkan balasan yang setimpal.Fera malam itu meminta Raymond untuk bertemu di rumahnya, dia berbohong jika dirinya kurang enak badan.Awalnya Raymond enggan tapi Fera bilang jika urusan dengan mantan kliennya harus segera diselesaikan agar dia bisa mendapatkan klien yang lain.Fera meminta pelayan untuk menyiapkan minuman, di dalam minuman itu dia memasukkan obat tidur."Malam ini kamu akan menjadi milikku Ray, dan foto-foto kamu bersamaku akan aku kirim pada istri kamu yang bodoh itu!"
"Aku pulang sayang." Raymond berpamitan pada Rara.Melihat suaminya hendak kembali ke tanah air membuat Rara sedih tapi dia tidak ingin terlihat lemah di hadapan Raymond.Melihat ekspresi Rara yang nampak biasa membuat Raymond sedih. "Sayang apa kamu masih marah?"Rara tidak menjawab pertanyaan sang suami, tatapan yang tajam membuat Raymond yakin jika istrinya masih belum mau memaafkannya."Sayang aku mohon." Pria itu terus memohon."Aku ingin melihat kesungguhan kamu Mas! karena jika aku dengan mudah memaafkan kamu maka kamu akan mengulanginya lagi."Pria yang biasanya berkuasa kini menunduk lemah di hadapan istrinya. "Baiklah Sayang." Dia pasrah.Ketika semua berkumpul untuk mengantar kepulangan Raymond dan David di depan, Rara berpura-pura jika tidak ada apa-apa, dia senyum semanis mungkin bahkan dia mencium tangan sang suami."Hati-hati ya Mas, cepat kesini lagi," katanya.Raymond melongo menatap sang istri, andai ini tidak sandiwara pasti dia akan senang."Tuan David titip Mas Ra
Beberapa saat kemudian Raymond datang dengan David, Nyonya Richard yang kebetulan di ruang depan pergi menyambut sang menantu."Rara mana Ma?" Dia begitu cemas takut jika sang Mama melarangnya untuk bertemu sang istri."Berani sekali kamu membiarkan anakku ke sini sendiri!" Sang Mama protes karena menantunya membiarkan sang anak datang ke Jerman sendirian."Saya mau minta maaf Ma, saya tidak bermaksud membiarkan Rara datang ke Jerman sendirian." "Aneh!" kerutan mulai bermunculan.Karena belum tahu masalah anaknya Nyonya Richard menyuruh Raymond untuk pergi ke kamar. "Pergilah ke kamar mungkin dia tengah istirahat."Dengan buru-buru Raymond pergi ke kamar dan meninggalkan David di ruang tamu bersama Nyonya Richard.Begitu melihat Rara, Raymond segera memeluk istrinya, dia meminta penjelasan kenapa tiba-tiba pulang ke Jerman."Apa salahku sayang, kenapa kamu tiba-tiba pulang ke Jerman sendirian?" Rara menatap suaminya dengan tatapan tajam, "Pura-pura nggak tahu kamu Mas." Katanya deng
Raymond menggeleng sekali lagi dia menjelaskan jika dia dan fera tidak ada hubungan apa-apa, memang dia mengakui satu kamar dengan fera tapi mereka tidak melakukan apa-apa.Tujuannya ke Pulau Bali karena ingin membuka Resort di sana, kebetulan fera memiliki tanah yang sangat luas di wilayah yang strategis oleh karena itu Raymond pun diajak kerjasama untuk membangun Resort tersebut."Itulah alasan kenapa aku akhir-akhir ini pulang malam dan pergi ke Pulau dewata." "Kamu juga tidak mengejarku Mas!" Alasannya dia tidak segera mengejar karena dia ingin Rara tenang, terlebih dahulu, berbicara ketika emosi akan semakin membuat sakit hati.Rara terdiam mendengar penjelasan dari Raymond, hatinya sulit percaya dengan ucapan sang suami. Sikap Raymond selama ini sudah cukup menyakiti hatinya dan ditambah kejadian kemarin dirinya benar-benar kecewa dan sakit hati.Pria itu berbeda dengan sebelumnya, raut wajahnya begitu sedih, bahkan dia meminta Rara agar tidak meninggalkannya.Begitulah pria,
Raymond sangat shock melihat Rara yang menjadi pelayan, wajahnya memucat ketika Rara menatapnya tajam dengan air mata yang terus mengalir."Jadi ini mas tujuan kamu datang ke pulau ini." meski menangis tapi Rara mencoba untuk tersenyum.Sangat terlihat hati wanita itu begitu terluka melihat suaminya satu kamar dengan wanita lain."Kamu mengikuti aku!""Kalau tidak begini mana mungkin aku tau kecurangan kamu Mas," jawab Rara.Wanita itu menangis sambil terisak, dulu dia telah memberi kesempatan kedua dan berharap Raymond tidak akan menyakitinya, namun untuk sekian kalinya sang suami terus menyakitinya."Yang telah aku lakukan selama ini apa sedikit saja tidak bearti bagimu Mas!"Rara menatap Fera yang terdiam, dia memarahi Fera yang tega menggoda suaminya."Aku tidak menggodanya." Tentu Rara tidak percaya, bahkan saat makan Fera telah berani menyuapi sang suami.Tak ingin berdebat, Rara memutuskan keluar. Perasaannya tak menentu, hatinya benar-benar hancur karena sang suami.Raymond