"Menurutmu?"
Suara dingin Raymond membuat Rara semakin yakin jika yang kini ada di atasnya adalah Raymond bukan halusinasi belaka.Tak lama dari kalimat itu, tubuh Raymond mengguling ke samping Rara. Peluh di tubuh, juga napas yang memburu menjadi saksi bagaimana pria itu mendapatkan kepuasan, meski si gadis kecil tidak melakukan apa pun. Apa Raymond sudah gila? Atau kecanduan dengan tubuh Rara yang terus membuatnya jatuh kepayang tanpa usaha?Saat Raymond mulai memasuki alam mimpi, Rara yang tidur di sebelah pria itu justru terjaga. Keningnya mengerut dalam. Sebersit rasa kecewa tiba-tiba muncul di hatinya. 'Kenapa sudah pulang? Bukankah pelayan bilang jika dia meeting diluar negeri?'Rara memandangi wajah Raymond yang terlihat lelah kemudian dia meringkuk membelakangi sang Tuan. Air matanya merembes keluar membasahi pipi. Gadis itu menangis dalam diam, hingga tertidur karena kelelahan. Meski sudah berkali-kali disetubuhi Raymond, hati Rara rasanya masih saja sakit. Padahal dia sudah memutuskan untuk berdamai dengan semua, menerima semua takdirnya tapi entah mengapa dia masih sulit menerima nasibnya yang 'kotor' karena jamahan pria matang itu di sekujur tubuh.Pagi harinya, Raymond menjadi orang pertama yang lebih dulu membuka mata. Dia tersentak kaget mendapati hari sudah siang, ditambah posisi tidurnya yang tidak biasa. "Bagaimana bisa aku memeluk wanita ini?" gumamnya dengan heran. Tangannya yang semula membelit posesif pinggang Rara, kini dia tarik secara perlahan.Merasakan pergerakan yang mengganggu, Rara pun turut membuka mata. Tubuhnya ikut tersentak ketika melihat jam. Dia pasti akan kena marah oleh Raymond, pikirnya."Maaf Tuan, saya bangun kesiangan."Raymond tidak mengacuhkan permohonan maaf Rara. Dia justru melenggang tanpa suara ke arah kamar mandi. Sementara Rara langsung membersihkan tempat tidur mereka. Tak lupa dia mengganti seprei karena begitulah titah Raymond sebelumnya, mengganti seprei setiap hari.Beberapa saat kemudian, Raymond keluar kamar mandi hanya dengan handuk kecil yang melilit di pinggangnya. Terlihat jelas bentuk perut Raymond yang seperti roti sobek, ditambah rambut basah juga air yang menetes, semakin membuat Rara melongo menatap sang Tuan."Siapkan pakaianku." Suara bariton Raymond membuyarkan lamunan Rara."Sa-saya?" Dia menunjuk dirinya memastikan ulang perintah Raymond siapa tau bukan dirinya yang dimaksud.Raymond berdeham, sambil menatap Rara yang masih berdiri di tempat. Tatapan ringan namun penuh penekanan, membuat orang yang ditatap ketakutan setengah mati.Segera, Rara masuk ke area wardrobe. Dia mengambil setelan jas warna hitam lalu membawanya keluar."Ini Tuan." Dia menyodorkan setelan jas kepada Raymond.Raymond yang tidak protes membuat Rara berpikir pilihannya cukup sesuai dengan selera pria itu. Terpujilah matanya yang sempat memperhatikan bagaimana pria itu berpakaian jika hendak bekerja. Bagai personal assistant, Rara diminta mengatur semua benda yang akan dipakai Raymond hari itu. Jam, dasi, sepatu ... Bahkan yang membuat Rara tercengang adalah, pria itu tidak ragu mengganti baju di hadapannya."Kenapa memutar badan?" Raymond bertanya ketika melihat Rara yang langsung memutar tubuh membelakanginya, saat dia melepaskan belitan handuk di pinggul. "Bukankah kamu sudah familiar?" Pertanyaan Raymond membuat Rara memejamkan mata.Raymond berjalan mendekati Rara dan membuat tubuh gadis itu kembali menghadapnya. "Atau ... Kamu takut tergoda?"
Senyum tipis di bibir Raymond benar-benar membuat semu di wajah Rara semakin kentara. Pria itu ... Apakah terbiasa menghadapi wanita, membuat dia tidak lagi punya rasa malu saat berkata sevulgar itu? Rara tidak menjawab, tentu saja. Namun, raut wajah Raymond justru terlihat terhibur dengan kediaman dan sikap malu-malu gadisnya."Setelah ini, temani aku sarapan."
Rara kembali heran. Ada apa dengan sang tuan hari ini? Kelihatannya hari ini Raymond agak berbeda. Tidak ada omelan dari pria itu, dia meminta disiapkan pakaian, dan saat ini malah mengajaknya makan bersama. Namun, meski bingung melihat perubahan Raymond, Rara memilih menurut saja karena ya memang itu opsi yang dimiliki.Begitu Raymond turun dari kamarnya, semua pelayan dan juga koki pribadinya berdiri di sekitar meja makan, mereka bersiap melayani Tuannya."Tetap di tempat, jangan ada yang melayani aku pagi ini." Suara bariton Raymond membuat semua pelayan maupun koki mengangguk pelan. Semuanya menurut, mereka tidak berpindah dari tempat sedikit pun. Tangannya menunjuk Rara yang berdiri tepat di sampingnya. "Kamu, layani aku."Kata layani begitu mudah Raymond katakan, apa selama hidupnya dia harus dilayani? tidak bisakah Raymond melakukan sesuatu sendiri tanpa harus dilayani? apakah semua orang berkuasa seperti itu? ataukah hanya Raymond saja?
"David, siapkan mobil." Kini tatapannya beralih ke Rara "Kamu, kembalilah ke kamar."
Sebelum Raymond bangkit dari kursi, Rara sudah melenggang pergi kembali ke kamar.
**
"Bersiaplah, kita akan keluar negeri."Titah dingin dan mendadak membuat Rara terus menatap Raymond dengan ekspresi yang sulit diartikan. Usai sarapan tadi, tuannya itu sudah akan berangkat ke kantor. Namun, Rara tak tahu kenapa sekarang pria itu justru kembali lagi ke kamar? ada apa? Dan, apa katanya tadi ... 'Keluar negeri?' Rara keheranan. "Maksudnya, Tuan?""Aku ada business trip keluar negeri, dan aku ingin kamu ikut denganku."Mata Rara sontak membulat. Setelah kemarin pulang lebih cepat dan tiba-tiba, sekarang, mengapa sang Tuan mengajaknya turut serta dalam perjalanan bisnis?"Tapi, saya tidak memiliki dokumen-dokumen sebagai syarat masuk negara orang, Tuan."Raymond berdecak, kesal. Dia sama sekali tidak kepikiran, bagaimana seseorang yang tinggal di kota besar tidak memiliki paspor? Seketika Raymond memijat pelipisnya. "Sebenarnya, seberapa miskin dirimu?!" Ungkapan mengejek keluar begitu saja dari mulut Raymond.Rara memercing kesal ketika bibir Raymond mengejeknya, memang dia sangat miskin tapi bukan bearti Raymond bisa mengejeknya dengan ucapan yang menusuk hati.
Kendati kesal karena rencananya harus molor karena Rara tidak memiliki passport, Raymond tetap mengusahakan sang gadis bisa pergi bersamanya. Dia menekan angka dan menghubungi David lagi. "Urus paspor gadis itu. Aku hanya akan berangkat jika dia ikut bersamaku."David yang menerima titah tersebut mulai curiga, apakah Rara alasan berubahnya sikap sang Tuan belakangan ini?Entahlah tapi yang jelas lagi-lagi David dibuat kelabakan dengan titah Raymond, membuat paspor jelas memerlukan waktu, sedangkan mereka harus berangkat siang ini.Ilmu uang dan kekuasaan lah kini yang bekerja. Sehingga kurang dari dua jam paspor Rara sudah dicetak dan siap digunakan."Tuan semua sudah beres, saatnya kita berangkat."Di hadapannya, Rara mengerjap. Raymond benar-benar berkuasa. Kekuatan uang dan juga jabatan Keluarga Corner memang benar-benar tidak terbendung. Terbukti, kurang dari 2 jam, persyaratan Rara untuk mengikuti Raymond perjalanan bisnis telah rampung."Bersiaplah, ayo kita berangkat."
Titah Raymond benar-benar seperti titah raja, tidak ada yang mampu menghentikannya, bahkan keadaan bisa dimanipulasi sedemikian rupa agar keinginannya terwujud.
Singkat cerita mereka telah berada di kabin pesawat jet pribadi milik pria dingin itu tapi Rara mematung di samping pintu."Pesawat ini tidak akan lepas landas kalau kamu masih berdiri terus disana."Raymond menatap kesal pada Rara yang masih mematung di dekat pintu pesawat. Binar kekaguman di mata gadis itu begitu kentara.Namun, Raymond tidak tahu kalau di balik tatapan kekaguman akan kekayaan Raymond yang memiliki pesawat pribadi, tubuh Rara bergetar hebat. Degup jantung wanita itu terus memacu, membuat keringat dingin mulai mengucur deras dari sela pori-pori.Dengan pelan Rara berjalan dan duduk di samping Raymond, melihat luar jendela semakin membuatnya tak karuan, matanya mulai terpejam, wajahnya yang semula masih ada semburat merah kini memucat.
Raymond yang duduk di samping Rara mengerutkan dahi, heran melihat sikap Rara yang tidak biasa. "Kamu kenapa? Apa kamu sakit? Apa yang kamu rasakan?" Dia membombardir Rara dengan banyak pertanyaan.
Tangan Rara yang mengepal kuat sembari menggenggam sabuk pengaman diraih oleh Raymond. Dingin, sangat kontras dengan kulit pria itu yang begitu hangat. "Sa-saya takut, Tuan."Meski suara Rara terdengar nyaris seperti bisikan, Raymond bisa menangkap ketakutan gadisnya. Segera, pria itu mendekatkan diri pada Rara, dan merengkuh gadis itu ke dalam pelukannya."Tenanglah. Kamu akan aman jika bersamaku."Dari kursi yang tak jauh dari mereka, sepasang mata terus menatap dengan tatapan menyelidik. Kerutan demi kerutan bermunculan di dahinya, merasa bingung dan heran akan sikap sang Tuan yang menurutnya jauh berbeda."Sejak kapan Tuan Raymond bisa bersikap hangat pada wanita seperti ini?"Dalam pelukan Sang Tuan katakutannya berkurang hingga Rara merasakan sebuah kenyamanan, rasa nyaman yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya saat bersama Raymond. "Apa yang kamu rasakan kini?" pertanyaan nan lembut membuat Rara enggan melepaskan pelukan sang Tuan, dia ingin terus seperti itu. "Hey." Raymond menggoyang tubuh Rara, dia memastikan jika gadisnya tidak kenapa-kenapa. "Apa yang kamu rasakan?" Kembali Raymond bertanya dengan nada khawatir. "Saya baik-baik saja Tuan." Terdengar sahutan lirih dari Rara. Perlahan Raymond mengendurkan pelukannya, dia membawa tubuh Rara bersandar di kursi tak lupa dia mengatur kursi agar Rara bisa bersandar dengan nyaman. "Tenanglah kamu akan baik-baik saja." Beberapa saat setelah menyandarkan kepalanya, tiba-tiba perut Rara bergejolak, rasa mual kini menguasai tubuhnya membuat Rara yang belum sempat bilang ingin ke toilet harus muntah di tempat. Huek, huek Rara muntah tepat di tangan Raymond yang membuat pria dingin ini seketika membulatka
Pergumulan terjadi, keduanya hanyut dalam surga dunia yang memabukkan, tak hanya tubuhnya yang berkhianat, hati dan pikirannya juga sudah mulai tak sinkron, yang awalnya tidak menyukai pemaksaan Raymond kali ini seakan mengijinkan sang Tuan menjamah tubuhnya, bahkan tangannya mengalung sempurna di jenjang leher pemiliknya. Sama-sama mendapatkan kenikmatan yang tiada tara, keduanya terkulai lemah dengan nafas yang memburu Raymond yang lelah memejamkan matanya sedangkan Rara masih terjaga sembari memikirkan kembali apa yang telah terjadi. Samar-samar terdengar suara ketukan dari luar, Rara segera beranjak untuk membukakan pintu, di depan pintu sudah ada pelayan hotel yang membawa makanan untuk mereka. "Biar saya saja yang membawanya masuk." Tangan Rara menahan meja troli yang akan dibawa pelayan masuk. "Baik Nona," sahut pelayan. Segera Rara membawa meja troli masuk, dia meletakkan semua makanan di meja kemudian mengembalikan lagi meja troli pada pelayan. "Terima kasih." Masuk kemb
David benar-benar tidak mengerti dengan Raymond yang semakin bersikap aneh, di rumah jelas banyak koki profesional lantas untuk apa meminta Rara yang notabenenya hanyalah gadis kecil tanpa memiliki kemampuan seperti koki, memasak? "Tapi Tuan....Saya takut jika Nona Rara yang memasak makanannya tidak sesuai standar anda." Raymond menggeleng, dia tidak perduli masakan Rara nanti sesuai standar atau tidak yang jelas dia ingin gadis kecil itu memasak untuknya. "Baiklah Tuan."David menurut saja, karena begitulah sang Tuan jika menginginkan sesuatu tidak ada yang bisa mencegahnya.Sekali pencet nomor David sudah terhubung dengan kepala pelayan di rumah, dia mengutarakan kemauan sang Tuan, sama seperti David kepala pelayan juga tidak mempercayakan hal tersebut pada Rara tapi mereka tidak bisa membantah apa yang dititahkan oleh Tuannya. "Baiklah Tuan David." "Tuan sekali lagi apa anda yakin dengan masakan Nona Rara?" Tatapan Raymond begitu tajam membuat bulu kuduk David berdiri dan seketik
Rara tersenyum ketir mendengar hinaan Raymond, yang namanya sambal memang seperti itu apalagi tadi saat masak dia menambahkan terasi yang cukup banyak mungkin inilah yang membuat Raymond mencium bau yang tidak enak dari sambalnya. "Jika menjijikkan jangan dimakan Tuan." Buru-buru Rara mengambil sambalnya. "Siapa yang menyuruhmu mengambil sambal itu!" Segera Rara mengembalikan sambalnya lagi, dia benar-benar dibuat bingung oleh Raymond yang menurutnya plin plan. Tak ingin mendebat Raymond Rara mengambil piring dan bersiap melayani sang Tuan. Siapa sangka Raymond mengambil sambal buatannya dan dengan lahap memakannya. Baik Rara, pelayan maupun David dibuat terheran-heran dengan sikap Raymond, bahkan dalam waktu yang tidak lama nasi yang diambilkan Rara tandas begitun pula dengan sambal yang ada di piringnya. Butiran keringat membanjiri kening Raymond karena rasa pedas dari sambal, "Makanan ini benar-benar tidak enak." Ucapan raymond barusan tentu menyulut emosi Rara, bagaimana tidak
Rara tidak menjawab apa-apa dia hanya diam sembari terus menatap wanita tersebut, dari cara wanita itu bermanja-manja dengan Raymond sudah dapat dipastikan jika mereka pasti memiliki sebuah hubungan, ataukah wanita itu adalah wanita Raymond juga? belum sempat melanjutkan asumsinya, lamunan Rara sudah dibuyarkan ucapan sang Tuan."Pergilah Lalita!" Terpancar rasa tidak senang akan kehadiran Lalita."Enggak mau Tuan, saya ingin merawat anda." Dia bersikeras ingin merawat sang Tuan. Keadaan Raymond yang masih lemah membuatnya malas mendebat Lalita, lagipula hanya merawat saja apa salahnya, toh mungkin selesai merawat wanita itu akan pulang."Apa Tuan Raymond sudah makan?" Tatapan Lalita mengarah pada Rara yang sibuk dengan obat-obatan sang Tuan."Belum Nona," jawab Rara tanpa menatap Lalita."Bagaimana sih kok belum dikasih makan!" Seolah perhatian, Lalita mencaci Rara yang justru dari sinilah dia malu sendiri karena beberapa saat kemudian petugas rumah sakit masuk membawa sarapan."Ini
"Aku bilang pergi." Suara lirih namun penuh penekanan membuat Lalita diam dan segera memakai pakaiannya kembali. Sebelum dia pergi, satu kecupan mendarat di pipi Raymond yang tanpa Raymond sadari lipstik tebal Lalita menempel. Di dalam kamarnya, Rara duduk dengan raut wajah yang kesal, kehadiran Lalita mengganggu pikirannya. "Apa yang kamu pikirkan." Suara bariton Raymond membuyarkan lamunan Rara. "Siapa lagi kalau bukan wanita itu," celetuknya, Rara yang sadar jika suara itu adalah milik Raymond segera menutup mulutnya. "Apa kamu cemburu?" Matanya menyelidik sambil tersenyum tipis. Dengan segera Rara menggelengkan kepala, dia menepis tuduhan sang Tuan terhadapnya. "Mana mungkin saya cemburu Tuan, dari segi apapun saya kalah dengan Nona tadi." Raut wajah Raymond kini berubah, entah mengapa ada rasa sakit tersendiri ketika Rara menepis jika ada rasa cemburu. "Oh." Respon singkat penuh rasa kecewa. Sehari sudah cukup untuk pura-pura sakit karena bagaimana pun juga pekerjaan di k
Tubuh Rara bergetar hebat, dia tidak menyangka jika Raymond akan mengecek ponselnya. Tak tahu harus menjawab apa Rara menunduk sambil menetralisir rasa takutnya. "Kenapa!" Suara dingin penuh penekanan dan amarah. "Ma-maafkan saya Tuan." Lagi-lagi kata maaf yang keluar dari mulut Rara. "Aku tak butuh kata maafmu, sekarang bilang kenapa kamu begitu berani meramaiku dengan nama seperti ini?" Tatapannya begitu tajam, membuat tubuh Rara seketika melemas. "Ampuni saya Tuan, saya akan menggantinya. "Dia berusaha mengiba pada Raymond. Melihat Rara yang mengiba membuat amarah Raymond meluruh, lalu dia memberikan ponsel tersebut pada Rara. "Cepat ganti!" Dengan cepat Rara mengganti nama Raymond di ponselnya. 'Tuan Tampan' Rara rasa itulah nama yang pantas untuk Raymond karena memang Raymond sangat tampan. "Kamu namai siapa?" "Tuan Tampan," jawab Rara lirih. "Kurang lengkap," protesnya. Tak tahu harus menambah apa lagi akhirnya Rara bertanya pada Raymond, "Tambah apa lagi Tuan?" "Asta
Pelan-pelan Raymond menutup pintu, dia tidak ingin gadisnya terganggu dengan kedatangannya. Dia duduk sejenak di sofa sambil meregangkan otot-ototnya tak lupa menyulut rokok untuk menghilangkan penat. Sembari merokok, kedua netranya menatap gadis yang tidur terlelap di atas ranjangnya kemudian dia buru-buru mematikan rokoknya yang baru dinikmati separuh Tidur dengan memeluk Rara sudah menjadi kebiasaan bagi Raymond, dia tidak bisa tidur tanpa guling hidupnya tersebut. Keesokan paginya, keduanya sama-sama membuka mata, tau dirinya dipeluk, Rara dengan lembut meminta Raymond untuk menyingkirkan tangannya. Tak ingin harga dirinya jatuh, Raymond segera menyingkirkan tangannya, dia juga membuat statemen yang menunjukkan kebalikannya dengan mengatakan jika Rara yang menggodanya semalam. "Kamu yang memintaku untuk mendekat dan memelukmu." Seketika Raymond gugup. Tuduhan keji Raymond membuat Rara kesal, tidak mungkin jika dia yang meminta hal tersebut, karena setiap malam dia tidur hamp
Pernikahan Reyhan dan Tessa sudah ditentukan, mereka rencananya akan menggelar pernikahan mereka di salah Hotel milik Raymond. Awalnya mereka akan menggelar pernikahan di salah satu tempat ibadah tapi Rara mendesak mereka untuk menggelar pernikahan di hotel suaminya. "Semua gratis Pak Rey, aku yang akan mengatur semuanya." "Bukan masalah gratis apa nggak Ra, tapi aku tidak mau merepotkan kamu dan Tuan Raymond." Rara tetap bersikeras dengan keputusannya, semua dia lakukan itung-itung balas budi atas pengorbanan Reyhan dulu, itu pun tidak sebanding dengan pengorbanan Reyhan terhadapnya. "Baiklah Ra, tapi hanya hotelnya saja untuk biaya lainnya biar aku yang menanganinya." Rara menggeleng keras, dia hanya ingin Reyhan dan Tessa terima beres. Dokter itu hanya bisa pasrah menerima keputusan dari mantan juniornya meski dia sangat tidak enak. Rara sangat bahagia melihat Reyhan dan Tessa akan menikah, oleh karenanya dia ingin turut andil mengurus pernikahan pria itu, dia melakukan in
Melihat Rara yang bisa tersenyum kembali membuatnya Nyonya Richard bahagia, dia berharap rumah tangga anaknya tidak lagi diterpa masalah, seorang ibu mana yang tega melihat anaknya menitikkan air mata."Aku titipkan anakku kepadamu bukan untuk disakiti Raymond tapi untuk dibahagiakan."Ucapan Nyonya Richard membuat Raymond mengangguk, dia paham jika kesalahannya begitu besar."Semampu dan sebisaku aku akan membahagiakan Rara, Ma," sahutnya.Tak terasa seminggu sudah berlalu, Raymond tetap tinggal di negara Jerman sedangkan David sudah harus kembali terlebih dahulu mengingat perusahaan tidak ada yang menghindle.Berbicara lah Raymond kepada Rara terkait keinginannya untuk segera kembali ke tanah air dia tidak bisa terlalu lama meninggalkan perusahaannya."Sayang bolehkah aku kembali ke tanah air? perusahaan sudah lama terlalu lama aku tinggal." Raymond sedikit takut meminta hal itu kepada sang istri, dia takut jika Rara marah.Bukannya marah Rara malah tersenyum sembari menatap suaminy
"Ma malam ini kami tidur bersama mama dan Papa ya."Permintaan bocah kecil itu membuat Rara sedikit terkejut, mengingat dirinya dan Raymond untuk sementara waktu tidur di kamar yang terpisah.Shane juga ikut-ikutan sama seperti Kania, dia merengek supaya mamanya mengijinkan mereka untuk tidur bersama."Baiklah." Rara pun pasrah.Raymond tersenyum setidaknya malam ini dia bisa tidur satu kamar dengan sang istri.Semalaman Raymond dibuat sibuk oleh kedua buah hatinya kedua anak itu terus ingin ditemenin Raymond bermain.Mereka main tebak-tebakan nama buah dan juga nama hewan, Shane yang masih belum paham tentang nama-nama binatang dan buah sedikit membuatnya selalu kalah dan sebagai hukumannya dia harus mencium Kakak dan Papanya.Melihat keseruan suami dan anaknya Rara hanya bisa menggelengkan kepala, sebenarnya dia juga ingin turut bergabung namun egonya masih tinggi.Setelah bermain kedua bocah kecil itu terkapar tak berdaya, Rara yang sudah mengantuk segera menyusul ke tempat tidur.
Beberapa episode terakhirRaymond mengirimkan laporan pembatalan kerja sama dengan Fera kepada Rara, dia ingin istrinya percaya kalau dia dan Fera benar-benar tidak ada hubungan apa-apa.Setelah foto bukti pembatalan itu dikirim Rara tak kunjung melihat pesan yang dia kirim, hal ini membuat Raymond nampak gusar dia ingin menghubungi istrinya tapi takut jika sang istri marah.Pria itu hanya bisa mengusap rambutnya dengan kasar tak tahu harus bagaimana lagi untuk merayu sang istri.Di sisi lain Rara sudah melihat foto itu, dia pun tersenyum tapi dia masih belum mau memaafkan suaminya, hal yang dilakukan Raymond kali ini masih belum cukup untuk menebus kesalahannya selama ini."Sayang kenapa tidak dibalas?" Akhirnya Raymond mengirim pesan lagi kepada sang istri.Kali ini Rara hanya membaca pesannya tanpa mau menjawab pesan yang dia kirim."Masih belum bisakah kamu memaafkanku aku sayang?" Raymond mengirim pesan kembali.Rara hanya menulis satu kata yaitu belum hal ini membuat Raymond ke
Nyonya Richard terus memantau Fera, dia sangat murka setelah tahu Fera merencanakan hal buruk kepada Raymond.Menantunya yang saat ini tidak tenang karena masalahnya dengan Rara jadi kurang fokus. Dia tidak menyadari jika Fera tengah merencanakan hal untuk menjebak Raymond."Kelihatannya dia cukup meresahkan." Nyonya Richard ingin anak buahnya segera bertindak."Kita jebak balik saja Nyonya," sahut asistennya.Senyuman tersungging di bibir wanita itu, wanita yang ingin menghancurkan anaknya harus mendapatkan balasan yang setimpal.Fera malam itu meminta Raymond untuk bertemu di rumahnya, dia berbohong jika dirinya kurang enak badan.Awalnya Raymond enggan tapi Fera bilang jika urusan dengan mantan kliennya harus segera diselesaikan agar dia bisa mendapatkan klien yang lain.Fera meminta pelayan untuk menyiapkan minuman, di dalam minuman itu dia memasukkan obat tidur."Malam ini kamu akan menjadi milikku Ray, dan foto-foto kamu bersamaku akan aku kirim pada istri kamu yang bodoh itu!"
"Aku pulang sayang." Raymond berpamitan pada Rara.Melihat suaminya hendak kembali ke tanah air membuat Rara sedih tapi dia tidak ingin terlihat lemah di hadapan Raymond.Melihat ekspresi Rara yang nampak biasa membuat Raymond sedih. "Sayang apa kamu masih marah?"Rara tidak menjawab pertanyaan sang suami, tatapan yang tajam membuat Raymond yakin jika istrinya masih belum mau memaafkannya."Sayang aku mohon." Pria itu terus memohon."Aku ingin melihat kesungguhan kamu Mas! karena jika aku dengan mudah memaafkan kamu maka kamu akan mengulanginya lagi."Pria yang biasanya berkuasa kini menunduk lemah di hadapan istrinya. "Baiklah Sayang." Dia pasrah.Ketika semua berkumpul untuk mengantar kepulangan Raymond dan David di depan, Rara berpura-pura jika tidak ada apa-apa, dia senyum semanis mungkin bahkan dia mencium tangan sang suami."Hati-hati ya Mas, cepat kesini lagi," katanya.Raymond melongo menatap sang istri, andai ini tidak sandiwara pasti dia akan senang."Tuan David titip Mas Ra
Beberapa saat kemudian Raymond datang dengan David, Nyonya Richard yang kebetulan di ruang depan pergi menyambut sang menantu."Rara mana Ma?" Dia begitu cemas takut jika sang Mama melarangnya untuk bertemu sang istri."Berani sekali kamu membiarkan anakku ke sini sendiri!" Sang Mama protes karena menantunya membiarkan sang anak datang ke Jerman sendirian."Saya mau minta maaf Ma, saya tidak bermaksud membiarkan Rara datang ke Jerman sendirian." "Aneh!" kerutan mulai bermunculan.Karena belum tahu masalah anaknya Nyonya Richard menyuruh Raymond untuk pergi ke kamar. "Pergilah ke kamar mungkin dia tengah istirahat."Dengan buru-buru Raymond pergi ke kamar dan meninggalkan David di ruang tamu bersama Nyonya Richard.Begitu melihat Rara, Raymond segera memeluk istrinya, dia meminta penjelasan kenapa tiba-tiba pulang ke Jerman."Apa salahku sayang, kenapa kamu tiba-tiba pulang ke Jerman sendirian?" Rara menatap suaminya dengan tatapan tajam, "Pura-pura nggak tahu kamu Mas." Katanya deng
Raymond menggeleng sekali lagi dia menjelaskan jika dia dan fera tidak ada hubungan apa-apa, memang dia mengakui satu kamar dengan fera tapi mereka tidak melakukan apa-apa.Tujuannya ke Pulau Bali karena ingin membuka Resort di sana, kebetulan fera memiliki tanah yang sangat luas di wilayah yang strategis oleh karena itu Raymond pun diajak kerjasama untuk membangun Resort tersebut."Itulah alasan kenapa aku akhir-akhir ini pulang malam dan pergi ke Pulau dewata." "Kamu juga tidak mengejarku Mas!" Alasannya dia tidak segera mengejar karena dia ingin Rara tenang, terlebih dahulu, berbicara ketika emosi akan semakin membuat sakit hati.Rara terdiam mendengar penjelasan dari Raymond, hatinya sulit percaya dengan ucapan sang suami. Sikap Raymond selama ini sudah cukup menyakiti hatinya dan ditambah kejadian kemarin dirinya benar-benar kecewa dan sakit hati.Pria itu berbeda dengan sebelumnya, raut wajahnya begitu sedih, bahkan dia meminta Rara agar tidak meninggalkannya.Begitulah pria,
Raymond sangat shock melihat Rara yang menjadi pelayan, wajahnya memucat ketika Rara menatapnya tajam dengan air mata yang terus mengalir."Jadi ini mas tujuan kamu datang ke pulau ini." meski menangis tapi Rara mencoba untuk tersenyum.Sangat terlihat hati wanita itu begitu terluka melihat suaminya satu kamar dengan wanita lain."Kamu mengikuti aku!""Kalau tidak begini mana mungkin aku tau kecurangan kamu Mas," jawab Rara.Wanita itu menangis sambil terisak, dulu dia telah memberi kesempatan kedua dan berharap Raymond tidak akan menyakitinya, namun untuk sekian kalinya sang suami terus menyakitinya."Yang telah aku lakukan selama ini apa sedikit saja tidak bearti bagimu Mas!"Rara menatap Fera yang terdiam, dia memarahi Fera yang tega menggoda suaminya."Aku tidak menggodanya." Tentu Rara tidak percaya, bahkan saat makan Fera telah berani menyuapi sang suami.Tak ingin berdebat, Rara memutuskan keluar. Perasaannya tak menentu, hatinya benar-benar hancur karena sang suami.Raymond