"Kamu baik-baik aja?" tanya Kevin saat di dalam lift. "Maaf, kamu jadi harus buang-buang tenaga," sambungnya ketika tidak kunjung mendapatkan respons dari Tiffany. Tiffany terus menggenggam pergelangan tangan Kevin. Namun, ia sama sekali tidak berbicara ataupun menoleh pada lelaki itu. Sementara itu, Kevin tak mengalihkan perhatiannya dari Tiffany. Ia begitu cemas kalau Tiffany benar-benar tidak ingin berbicara dengannya. "Fan, kamu marah ya sama aku?" tanya Kevin dengan harap-harap cemas. Namun, lagi-lagi Tiffany hanya diam. Lantas, wanita itu mulai melangkahkan kakinya keluar ketika pintu lift terbuka. Wanita itu pun segera berjalan sambil mendorong tiang infus. Kevin ikut berjalan dengan keadaan tangannya yang masih berada dalam genggaman Tiffany. Mata Kevin begitu sayu saat melirik tautan antara tangannya dengan tangan Tiffany. Ia benar-benar tidak mengerti dengan apa yang saat ini tengah menduduki pikiran Tiffany. Yang jelas, Kevin sangat takut jika wanita yang dicintainya
"Jun, sebenernya hubungan mereka tuh apa, sih?" tanya Lauren setengah berbisik.Juna mengedikkan bahu. "Nggak tau.""Apa mereka pacaran ya, Jun?" tanya Lauren. "Soalnya si Satria sampai ngamuk-ngamuk kayak tadi.""Nggak tau, deh, gue."Lauren menoleh ke samping kanannya. "Dim. Jangan ngelamun!" ujarnya sambil menepuk paha Dimas.Dimas mengangkat kedua alisnya. Sorot matanya sama sekali tak bergairah. "Apa?""Jangan ngelamun gitu! Ntar kesambet!"Dimas tak menghiraukan. Ia memalingkan wajah dan mengusap wajahnya dengan kasar."Han, kamu mau balik ke kamar?" tanya Lauren pada Hani yang duduk di seberangnya."Nggak tau, Mbak. Saya bingung. Soalnya tadi Mbak Fany kan nyuruh kita pulang aja," balas Hani.Lauren mengangguk. "Iya juga, sih."Tiba-tiba Satria kembali datang ke lobi bersama Joan."Eh, dia malah balik lagi!" gumam Lauren dengan kesal.Wajah Satria tampak begitu merah. Raut wajahnya masih belum berubah. Ia terlihat begitu nanar dilahap emosi.Satria duduk terpaut dua bangku di s
[Flashback] "Jangan kelamaan sedihnya," ujar Satria setelah menghentikan motor bebek jadulnya tepat di depan rumah Tiffany. Tiffany pun lekas turun dari motor Satria. Lantas, ia sedikit melirik pada wajah kakak kelasnya itu. "Kamu berhak bahagia. Nggak perlu nangisin orang itu," tandas lelaki blasteran Italia. Ucapan yang keluar dari mulut Satria sontak membuat Tiffany sedikit tertegun. Ia merasa tidak nyaman untuk kembali membicarakan soal pertemuannya dengan Kevin sore tadi di mal. Gadis itu pun agak menaikkan kedua alisnya dengan mata yang terus terpaku pada Satria. Ia menatap aneh kakak kelasnya itu. "Saya memang nggak kenal sama dia. Saya juga nggak tau gimana sebenernya hubungan kalian," ujar Satria sambil membantu Tiffany melepaskan helmnya. Perlakuan manisnya itu spontan membuat wajah Tiffany merona dengan ekspresi yang canggung. "Tapi dengan ngeliat sikap dia barusan, saya nggak ragu untuk bilang kalau itu memang buru
"Sat! Sadar, woi!" gerutu Joan dengan setengah berbisik. Ia sekuat tenaga berusaha menyusul langkah Satria yang begitu lebar dan cepat di lorong rumah sakit. "Tahan emosi lo!" "Satria!" "Lo bisa urusin dulu masalah yang lain!" Joan terus berusaha mengejar Satria yang sudah menggila. Pria blasteran itu benar-benar tengah dimakan emosi. Dadanya megap-megap diburu napas. Setiap orang yang melihat wajahnya pun bisa-bisa dibuat langsung ciut seketika. Kemarahan Satria kali ini bermula setelah ia mendengar obrolan Lauren dan Joan yang membicarakan Juna. Mereka curiga bahwa Juna pun ikut ke dalam kamar inap Tiffany karena manajer itu tidak kunjung kembali dari toilet setelah hampir satu jam setengah berlalu. "Aduuuh, angkat dong, Jun!" rutuk Lauren dalam batin. Wanita itu turut mengikuti langkah Joan dan Satria dari kejauhan. "Kampret emang si Juna!" sungut Joan. Ia pasrah mengejar Satria. Pria itu memutuskan untuk dudu
[Flashback]Satria mengangguk sambil membuka bungkusan roti. "Ternyata gini rasanya dicuekin," gumamnya.Sementara itu, Tiffany yang tengah duduk di sampingnya masih saja terdiam dan melamun. Matanya sembap dengan bibir yang pucat. Gadis itu terus menatap kosong rerumputan taman di belakang sekolah."Nih," ujar Satria sambil menyodorkan roti yang baru saja ia buka kemasannya.Tiffany melirik roti itu dengan ekor matanya. Lantas, ia menoleh pada Satria tanpa sedikit pun berbicara."Saya tau, kamu belum makan apa-apa dari istirahat pertama." Satria makin menyodorkan rotinya. "Jangan-jangan kamu belum sarapan," sambungnya.Tiffany bergeming. Ia hanya menatap roti itu dengan kelopak mata yang sayu."Waktu saya sakit, kamu berkali-kali ngomelin saya untuk jangan ninggalin sarapan," ujar Satria."Nih ..." Satria mengangkat rotinya tepat di depan mata Tiffany. Namun, Wanita itu masih saja diam dan menatap mata Satria.
Bruugh! "Mas, kamu udah pulang?" ujar Rina sambil menghampiri Satria yang baru saja masuk ke dalam rumahnya dengan membanting pintu. Satria berjalan dengan tegap dan arogan. Tatapannya begitu dingin dan sama sekali tidak melirik Rina. Ia bahkan sampai menyenggol bahu Rina hingga wanita itu hampir kehilangan keseimbangannya. Namun, pria itu tak menghiraukannya. Satria terus berjalan ke arah kamar Rina—mereka memang tidak memiliki kamar bersama. "Mas? Kamu lagi nyari apa, sih?" tanya Rina. Wanita itu begitu penasaran dengan apa yang akan dilakukan oleh Satria. Sebab, pria itu tidak pernah sekali pun masuk ke dalam kamarnya. Bahkan, satu-satunya momen berhubungan badan keduanya pun dilakukan dengan tanpa sengaja. Saat itu Rina mencoba menerobos masuk ke dalam kamar Satria yang tengah mabuk berat. Alhasil, Satria melakukan malam pertamanya dengan Rina tanpa kesadaran. Rina mencoba menguatkan dirinya untuk berjalan mngikuti Satria. "Mas, aku udah buatin kamu sup jagung." Rina mencoba m
[Flashback] "Pokoknya awas aja kalau lo sampai cerai sama Mbak Rina!" ancam Tiffany setelah Satria menghentikan mobilnya di tepi jalan. Keduanya terlibat adu mulut di perjalanan menuju studio Bumantara Band, usai Satria menyatakan bahwa dirinya ingin segera menyudahi status pernikahannya dengan Rina. Hal itu sontak memancing kemarahan Tiffany. Wanita itu bersikeras menentang keinginan Satria hingga membuat pria itu merasa penat untuk menghadapinya. "Pokoknya kalau lo sampai cerai sama dia, gue nggak bakalan segan-segan buat ninggalin lo!" Tiffany mengangkat telunjuknya ke arah Satria. Satria menarik napasnya dalam-dalam dengan mata yang terpejam. Ia menyandarkan kepalanya pada jok mobil dengan raut wajah yang begitu lelah. "Gue bakalan ninggalin elo, ninggalin Bumantara, ningga—" "Berhenti!" sentak Satria dengan mata yang merah menyala. Tiffany terpegun dan seketika dibuat bungkam. Jantungnya berhenti sepersekian detik
[Flashback] "Fany! Sayang!" panggil Satria setelah membuka pintu rumah Tiffany. Pria itu berjalan dengan gontai. Kepalanya terasa begitu pusing, seperti ada gempa bumi yang mengguncangkannya. Beberapa kali tangannya pun mendarat di kening untuk memijiti kepalanya yang begitu sakit. "Fan! Lu di mana?" seru Satria dengan suara yang lebih kencang. Ia lantas berhenti di depan pintu kamar Tiffany. Pria itu tengah kehilangan kesadarannya. Ia mengalami halusinasi sejak mengonsumsi narkoba sekitar enam jam yang lalu. Hal bodoh itu dilakukannya karena ia merasa depresi setelah bertengkar hebat dengan Tiffany usai mengetahui bahwa wanita itu baru pulang dari rumah ibunya Dimas di Bandung. Satria tidak suka kalau Tiffany masih berhubungan dengan Dimas. Yang Satria tahu, Dimas hanyalah pelarian bagi Tiffany untuk mengecoh Rina, Carina, dan Lia atas hubungan terlarang yang masih dijalani Tiffany dengan dirinya. Namun, Satria tidak mengetahui bahwa sebenarnya itu hanyalah akal-akalan Tiffany s