Entah mengapa dada Yuri bergemuruh melihat Helen menangis dipelukan Leon, harusnya ia tidak boleh cemburu, berulang kali ia juga mengingatkan dirinya akan hal itu. Yuri sendiri tidak mengerti mengapa ia begini? Setelah menghela napas dan menenangkan dirinya, pria itu menghampiri kedua kakak beradik itu. "Ehem ... apa terjadi sesuatu yang buruk?" tanya Yuri menyadarkan keduanya.Helen pun kemudian melepaskan diri dari pelukan Leon, dan menghapus air matanya sambil memalingksn wajah dari Yuri, karrna ia tidak mau dianggap wanita yang lemah dan cengeng oleh Yuri. "Tidak ... Helen hanya bersedih mengingat mendiang ayah kami." Leon menjawab pertanyaan Yuri dengan tenang."Sudahlah kalian tidur, esok akad pernikahan kalian akan dilakukan jam 10 pagi bukan?" "Baiklah, Kak. Aku permisi dulu kalau begitu, selamat beristirahat." ucap wanita itu kemudian ia meninggalkan Yuri dan Leon yang masih berdiri berhadapan.Leon hendak masuk kedalam kamarnya, tapi kemudian Yuri memanggilnya."Leon, set
Yuri terkejut melihat sosok bertopeng dibelakangnya roboh, lalu Vladimir muncul sambil meniup kepulan asap dipistol miliknya yang baru saja ia gunakan untuk melumpuhkan musuh mereka."Kau berhutang nyawa padaku, Tuan Yuri yang terhormat." cibir pria itu sambil menyeringai, terlihat memyebalkan dimata Yuri. "Kemana Jacob dan Damian? Apa mereka tidak menjaga gerbang?" "Aku akan memberi pelajaran pada mereka nanti.""Aku akan keluar memeriksa mereka." seru Vladimir lalu ia keluar untuk melihat keadaan para penjaga. Baru saja Yuri ingin keluar mengikuti Vladimir, ia mendengar suara tembakan dari lantai dua. Sontak saja pria itu langsung bergegas berlari menghampiri suara itu, mengingat Helen dan Putrinya yang sedang bersembunyi dikamar. "Sial! Mereka menjebakku!" maki pria itu sambil berlari.Yuri menuju kamar Helen, keadaannya sangat berantakan tapi tidak ada Helen dan putri mereka disana. "Yuuu ...ri!" Leon menyebut namanya dengan pelan sambil memegangi perutnya yang berdarah karena
Helen merasakan pening dikepalanya, pandangan yang buram semakin lama semakin jelas. Ia terkejut saat sebuah tangan dingin mengelus kulit wajahnya. Seakan baru saja tersadar dengan apa yang sedang ia alami saat ini, Helen memalingkan wajahnya menghindari sentuhan dari laki-laki yang sedang tersenyum dengan kurang ajarnya, dengan jarak yang sangat dekat. Seketika alarm waspada berbunyi, ia berpikiri untuk segera melakukan sesuatu? Ayo ... Berpikirlah Helen!, batin wanita itu mencoba mencari jalan keluar ditengah keterdesakannya. "Hei ... Jangan takut! Aku tidak akan menyakitimu, Cantik!" Yuri berucap sambil menatap Helen dengan mata berkabut gairah.Helen mundur perlahan lahan mencoba menjauhi Yuri, seketika ia mengingat sesuatu, ya ... ia terpaksa akan menggunankannya jika pria dihadapannya ini berani menyentuhnya. "Mengapa kamu mau menikahi pria seperti Yuri? Aku bisa memberikan lebih dari apa yang ia telah berikan padamu." ucap pria tampan itu, ya ... Hugo memang tidak kalah tampa
Saat ini Helen dan Yuri sudah berada didalam mobil, pulang menuju kediaman laki-laki itu. Tubuhnya masih gemetar, walaupun hijabnya sudah terpasang lagi tapi tetap kejadi beberapa menit yang lalu membuatnya ketakutan, pipinya masih basah oleh jejak air mata. Dia pikir dia akan berakhir menyedihkan, dia pikir dia tidak akan selamat dari cengkraman Hugo, tapi ia beruntung Tuhan masih melindunginya. Yuri datang menolongnya walaupun sedikit terlambat, tapi laki-laki itu terlihat begitu mengkhawatirkan dirinya. Keadaannya yang kacau dengan rambut yang berantakan, membuat Yuri sangat bersalah. Dibopongnya tubuh Helen yang tak berdaya itu, jangankan untuk berjalan, untuk berdiri saja wanita itu kesulitan. Lututnya rasa lemas sama sekali, tenaganya habis ia gunakan untuk melawan Hugo, biar bagaimanpun Helen hanyalah wanita biasa, pasalnya hal ini bukan kali pertama ia rasakan, sebelumnya ia juga pernah diculik dan hampir dinodai saat di Giethroon dulu."Hei tenanglah! kamu sudah aman bersama
Anin terbangun dari tidurnya dengan bersimbah keringat, napasnya tersengal, seketika ia meludah ke arah kiri sambil membaca ta'awudz. Suara tangisan Shafiyyah menyadarkannya dari mimpi buruk yang baru saja ia alami. Digendongnya bayi itu, kemudian ia susui, tak lama tangis Shafiyyah pun mereda. Jantung Anin masih berdetak kencang, berulang kali ia mengucap istighfar agar hatinya tenang.Pikiran dan perasaannya sekarang tertuju pada Leon. Ia bermimpi buruk tentang suaminya itu, dilihatnya sekarang masih pukul tiga dini hari. Ia akan menghubungi Leon setelah menidurkan Shafiyyah kembali. Baru saja Anin memegang ponselnya, Noah ikut terbangun, bocah berusia 6tahun itu pun mengucek matanya yang baru saja terbuka."Bun, Noah mau pipis?" ucapnya sambil mengerjapkan mata."Ya sudah, perlu bunda antar?" tawar Anin sambil tersenyum."Gak perlu Bun, Noah kan dah besal sekalang, Noah berani sendiri kok ke kamar mandi." Oceh pria kecil bermata biru itu."Maa syaa Allah, anak bunda hebat dah beran
Helen tidak mengetahui bahwa Yuri memperhatikannya sejak ia berdiri didapur itu, ia pun berbalik hendak kembali menuju ke kamarnya, tapi dikejutkan oleh kehadiran Yuri yang sudah berada dibelakangnya menghalangi jalannya. "Ada apa lagi?" sahut wanita itu ketus."Aku ... aku ... belum sarapan." ucap pria itu dengan wajah dibuat setenang mungkin."Lalu, apa urusannya denganku?" balas Helen sambil melipat kedua tangannya didepan dada."Kau tadi sudah kusuapi, sekarang gantian kau menyuapiku." titah Yuri sambil melipat kedua tangannya juga, mereka kini saling berhadapan dan bertatapn satu sama lainnya. "Aku tidak memintamu menyuapiku," "Tapi ... Aku ... ehem ... calon suamimu." kekeh Yuri tak mau kalah, dia lupa padahal baru semalam ia berjanji pada dirinya tidak akan memaksa Helen lagi untuk apapun, tapi nyatanya gara-gara cemburu pada Leon, sikap pemaksanya kembali lagi."Baiklah." Helen pun menghela napasnya panjang, ia tidak mau lama-lama berdebat dengan pria pemaksa didepannya ini
Yuri menuju Rumah sakit tempat Hugo dirawat, ia melihat sang ayah sedang duduk menunggu didepan ruang operasi. "Dad!" sapa pria berambut ikal berwarna coklat itu sambil menepuk bahu sang ayah. Ditangannya sudah ada coffe dan sekotak donat yang ia beli tadi di Cafetaria Rumah Sakit.Tuan Ivan pun memeluk Yuri, dengan wajah merah menahan tangis."Dad minta maaf padamu, Nak." ucap pria tua yang masih terlihat tampan itu, ia terlihat lelah dan sedih."Dad tidak tahu, Hugo membawa calon istrimu pada saat ia kerumah kemarin sore, aku pikir dia hanya ingin mengantarkan Isabel pada kami." jelas Tuan Ivan."Tidak apa-apa, aku tidak menyalahkan Dad dan Mom, aku juga ... Minta maaf, karena hampir membunuhnya." ucap Yuri merasa tak enak hati."Dad mengerti, jika Dad dalam posisimu, mungkin juga akan melakukan hal yang sama."Mereka berdua duduk sambil menikmati kopi yang Yuri bawa. "Mom dan Isabel kukira ikut." "Mom mu akan menyusul setelah aku mendengar kabar selanjutnya dari dokter." "Kau t
Pagi ini jantung Helen berdegub kencang, walaupun ini adalah pernikahan keduanya tapi tetap saja hatinya sejak tadi merasa gundaj gulana. Tapi ia mencoba terlihat setenang mungkin, saat ini wajahnya sedang dirias. Ia melihat wajahnya yang sedikiy tirus dibagian pipi, ia hampir tidak pernah memperhatikannya. Wanita itu berharap semoga akad nikah kali ino berjalan lancar tanpa ada gangguan lagi. Kejadi seminggu yang lalu memang masih membekas dikepalanya, tapi berkat Leon yang selalu menenangkan dan meyakinkan untuk segera melaksanakan pernikahan ini. Akhirnya Helen pun berani mengungkapkan pada Yuri untuk mempercepat pernikahan mereka pada malam itu. Lelaki itu awalnya hanya terperangah ketika ia menyatakan hal tersebut, tapi sesaat kemudian malah ia tersenyum yang membuatnya terlihat semakin tampan ... bahkan sangat tampan dimata Helen. Tok ... Tok ... Tok ..."Masuk!" ucap Helen, seketika lamunan tentang malam itu pun buyar oleh ketukan didepan pintu."Sudah siap, Dik?" Leon masuk