Dadaku terasa sesak, nafas serasa berhenti bersama saraf otak yang tak lagi bisa berpikir normal. “Tidak usah menangis, aku merangkai kata menjadi lagu bersama Ana, dan sekarang kamu merusaknya, apa kamu puas?” ucapnya lagi, kali ini ia menatapku begitu dekat, bahkan kami nyaris tak berjarak. Kami saling pandang, sesaat kemudian ia berbalik membelakangiku melepas pecinya dan melemparkan kasar, “Arh!” Ia memukul dinding, tangan putihnya terlihat merah dan tergores.“Ngapunten Gus, Halwa memang salah, tetapi ndak sepantasnya Gus Agam mengatakan itu, jika memang bukan Halwa yang Gus Agam inginkan... njenengan bisa kembalikan Halwa dengan baik-baik.” Aku menyeka air mata yang semakin deras mengalir. “Halwa masih punya Abi dan Ami, kalapun bagi njenengan Halwa ndak berarti… Halwa bisa pulang ke rumah mereka,” ucapku lirih.Aku mengambil tote bag yang ada di ranjang, ponsel sengaja kutinggal. Aku akan pergi karena aku tak berarti untuknya. Aku tahu dan paham wanita haram meninggalkan rumah
“Kita akan kemana Mbak?” tanya Pak Ahmad.Aku tak menjawabnya dan masih terus memandang tepi jalan. Pohon besar yang berdiri kokoh di pinggir jalan, melambai pelan tertiup angin.“Mbak kita sudah jalan dua jam, tanpa tujuan cuma muter-muter. Kita mau pergi kemana?” tanya Pak Ahmad lagi. “Antar halwa ke Masjid Agung saja Pak,” jawabku.Pak Ahmad hanya mengangguk, kemudian mengantar menuju Masjid Agung. Aku bisa istirahat sejenak dan sembahyang Zuhur sebelum kembali berpikir akan kemana. Sampai di Masjid Agung aku meminta Pak Ahmad untuk pulang lebih dulu. Dia menolak, tetapi aku tetap memaksa. Akhirnya Pak Ahmad meninggalkanku sendiri di depan Masjid Agung Lamongan.Masjid yang menjadi ikon kota Lamongan, kota tempat aku tinggal, kota penuh dengan kesan religi dan julukan sebagai kota pesantren. Aku menatap masjid besar yang berdiri dengan kokoh itu, Masjid Agung Lamongan punya cerita sejarah yang tak kalah menarik dengan makam peninggalan tokoh-tokoh Islam terdahulu. Masjid yang bera
Hari semakin petang, tetapi aku masih setia duduk di depan Masjid Agung Lamongan menatap dua gentong yang berdampingan. Pikiran mulai kembali teringat Mbak Hasna, ia sedang apa? Apa dia baik-baik saja? Perasaan khawatir mulai menyelimuti, tetapi saat kembali mengingat ucapan Agam, hatiku sakit, sakit sekali. Aku tidak ingin kembali.Ponsel tak kubawa, lalu bagaimana aku akan memesan grab atau taksi online? Aku terlalu gegabah, meninggalkan benda itu tanpa pikir panjang, rutukku dalam hati.“Loh Nduk Halwa.” Aku menoleh melihat sumber suara.“Kang Hanan? Nggih Kang,” jawabku ramah.Kang Hanan santri kesayangan abi, ia seniorku. Selalu mengajari aku dan Mbak Hasna saat kami belajar di rumah, perangainya seperti kakak bagi kami. Sudah lama kami tidak bertemu saat beliau memilih mengajar di pesantren milik keluarganya di daerah Gresik, dekat dengan rumah Mbah Putri.“Nduk Halwa ngapain di sini? Kok sendirian?”“Emm… anu Kang, sedang pengen keluar saja?” jawabku sedikit ragu.Melihat dari
Selama perjalan aku hanya diam membisu, menyandarkan kepala di jok mobil, menutup wajah dengan bantal yang memang tersedia di mobil. Menyembunyikan tangisku dari lelaki yang sama sekali tak memiliki rasa bersalah meski sudah menusuk hati dengan pisau beracun, membuat detak cinta ini berubah kekecewaan, cinta yang baru saja tumbuh seperti layu karena tercabut paksa.Kami sampai di rumah, umik berada di gazebo depan bersama Mbak Hasna menungguku, di susul abah dan Gus Azam yang berjalan beriringan menyambut kami.“Ya Allah Nduk, dari mana kamu?” Umik meraih tubuhku dalam pelukannya.“Ngapunten Umik, sampun buat cemas, Halwa cuma jalan-jalan sebentar,” kilahku.“Kenapa ndak bilang, Umik tak nelpon Amimu dulu, ini mesti Amimu marah sama Umik, kalian ini dibawa kesini kok malah Umik nelpon sana kamu ndak ada,”“Agam, ikut Abah,” ucap abah kepada Agam dan berlalu pergi diikuti Agam.“Nduk kalau ada masalah bilang,jangan pergi sendiri,” sambung umik.“Umik ini ngomong apa, wong Halwa cuma ke
Tak ada percakapan antara aku dan Agam meski kami duduk bersama, ia hanya mendengar aku mengulang hafalan hadis dan menyimak bacaan Qu'ranku. Setelah selesai kutinggalkan dia untuk menyiapkan baju gantinya, sementara ia bersiap ke pesantren seperti biasa.Kembali dengan aktivitas, aku membantu bibik untuk menyiapkan makanan, membuatkan jamu untuk umik dan abah. Selesai memasak kubersihkan kamar yang cukup berantakan, meja Agam yang tercecer buku-buku yang tidak ditutup sama sekali tak kusentuh lagi. Aku hanya membersihkan sofa tempat ia tidur, aroma parfumnya sejenak menghipnotis, aroma yang lembut. Andai tubuh itu bisa kupeluk, andai tubuh itu berbaring di sampingku pasti aku akan sangat bahagia. Dulu, aku sempat menolaknya, mungkin ini karma yang Allah berikan padaku karena aku sempat meremehkannya. Ah, sudahlah mau bagaimana lagi. Kubawa baju kotor Agam ke sudut kamar, pikirku akan mencuci sore nanti, hari ini aku harus gegas ke pesantren untuk memulai rapat perpisahan santri. Mem
Selesai acara sarapan bersama, kami pergi dengan aktivitas kami masing-masing. Hari masih pagi sebaiknya aku membeli semua keperluan untuk acara besok dan hadiah yang di pesan abah lebih dulu. Aku melambai kepada Ustazah Hafizah yang kebetulan lewat.“Kenapa Mbak Halwa?” tanya gadis cantik itu, tutur katanya begitu lembut, setiap berkata kepada orang yang ia hormati ia akan menunduk. Penghafal Al-Qur'an, sarjana tafsir Qur’an, MasyaAllah.“Ustazah sibuk mboten? Bisa temani saya?”“Kalau njenengan yang minta saya mana berani nolak,” ucapnya dengan senyum manis."Jangan begitu, ini Abah suruh beli beberapa keperluan, Gus Agam ndak bisa antar, Ustazah bantu saya, nggih.”“Nggih Mbak Halwa,” jawabnya dengan senyum.“Banyak barangnya Mbak?” tanyanya saat kami bersiap hendak berangkat.Aku membuka catatan yang diberikan abah. “Lumayan Ustazah,” jawabku.“Kita ndak minta bantuan santri Mbak?” “Ndak usah Ustazah, nanti ganggu mereka masih belajar.”Kami akan menuju toko buku lebih dulu, kare
Pagi tadi mendung menyelimuti fajar, tetapi siang ini begitu terik, awan hitam yang menyambut pagi pergi bersama angin yang berhembus perlahan. Kegiatan hari ini yang begitu menguras waktu membuatku tak sempat untuk santai di rumah. Aku harus bolak balik ke pesantren dan juga perpustakan untuk membantu umik mengatur kembali perpustakaan agar terlihat lebih rapi. Meski sudah ada beberapa Ustazah yang membantu rasanya aku tak tega melihat umik mengaturnya sendiri, sementara Mbak Hasna ia mengurus bagian rumah saat kami sedang sibuk di pesantren. “Nduk, Umik tak pulang dulu yo? Pinggang Umik pegel, pengen gletak sebentar, ndak papa to Umik nitip ini?” ucap umik sambil mengusap punggungnya.“Nggih Umik, ini sebentar lagi rampung,” jawabku.Aku kembali membantu menyusun buku, rencananya bagian tengah akan di taruh meja bundar besar jadi bagian rak buku akan mengelilinginya, tidak bersekat seperti sebelumnya. Kami bisa menggunakan untuk tempat rapat s
Diana, ia seperti teratai begitu indah tetapi terlindungi, mekar di atas air yang mekanismenya kita tidak tahu tempat seperti apa ia tumbuh, tetapi tetap memperlihatkan betapa cantiknya dirinya. Ana mungkin tak ada batasan untuk ia berteman dengan lawan jenis sepertiku, tetapi ia mampu menjaganya agar tak mudah dipegang sembarang orang. Ana, duh gusti aku melihatnya begitu gemetar, ia cantik jelita, tak ada bandingannya denganku yang hanya tahu dunia mengaji, dari cara bicaranya ia seperti berwawasan luas. Aku masih terus menangis dibawah guyuran air shower. Kenapa dada ini begitu sesak, pikiranku mengatakan aku tak mencintai Agam sejak kami bertemu, nyatanya saat ini hatiku sakit saat melihatnya tersenyum begitu lebar menyimak Ana bercerita, pertengkaran antara hati dan pikiran mungkin akan di menangkan oleh hati. Aku ingin protes tetapi tidak bisa, hatiku seperti telah terpaku oleh lelaki itu. Lelaki yang menyimak menghafal Al-Qur'anku setiap pagi dan mengimami setiap sh