Bersama mereka menuruni anak tangga dalam diam. Sesekali Bar melirik wajah Dina, wajahnya yang sembab terlihat dingin, Bara belum pernah menikah dia tak tahu bagaimana rasanya dikhianati oleh pasangan yang sudah berbagi suka dan duka. Tapi Bara selalu percaya Dina dapat menghadapi semuanya.
"Mbak akan ke mana setelah ini?" tanya Bara pelan sebelum mereka membuka pintu tangga darurat. "Maksudku, jika Mbak Dina pisah dari Mas Angga, tidak mungkin Mbak akan tetap tinggal di sini?"Bara benar dia tidak mau lagi tinggal di rumah itu, rumah itu dibangun untuk Laras, mantan istri Angga bukan untuk dirinya jadi sepantasnya dia harus pergi, tapi ke mana? Dia tak mungkin membawa anak-anak ke tempat yang tidak layak."Aku tidak punya siapa-siapa, tentu Bu Rahmi adalah tujuanku, aku bisa sambil membantu beliau di sana." Dina tersenyum meyakinkan Bara bahwa semuanya baik-baik saja.Bara memang baik, tapi tidak sepantasnya dia menjadi beban untuk laInilah akhirnya, Angga memejamkan matanya berharap tadi Dina hanya salah bicara, atau dia sedang bermimpi saja, tapi sekian detik mereka ada di sana duduk berdua dalam ruang kerja yang terasa dingin mencekam, Dina tak hendak meralat ucapannya atau tidak juga menggoyangkan lengannya seperti saat dia bermimpi buruk. Ini nyata, perkataan Dina tadi juga nyata tak ada yang bisa di sangkal lagi. “Kenapa kamu memilih hal itu? apa kamu sudah menyerah dengan rumah tangga kita, bukankah kamu pernah bilang akan mempertahankan pernikahan kita.” “Untuk apa dipertahankan jika kamu tidak mau untuk bertahan, rumah tangga itu dijalankan oleh dua orang buka salah satu saja, jika kamu memilih ingin menjalankan rumah tangga dengan wanita lain, tentu aku harus rela mundur.” Angga menggeleng. “Kamu salah, jika aku ingin membangun rumah tangga itu hanya denganmu, mungkin memang salahku telah menghadirkan Keira, tapi kamu tahu benar alasannya, pernikahan kami hanya s
Bara menyadari ada orang lain di ruangan ini, dia tadi tak tega melihat Dina menangis tergugu dan tanpa sadar memeluknya. Dan Angga berdiri di pintu masuk dengan wajah tak berdaya. Segera dilepaskannya pelukannya pada Dina dan menepuk bahu wanita itu lembut. “Apa kalian akan benar-benar berpisah?” Bara mendekati Angga yang masih berdiri mematung. “Itu permintaan Dina.” “Aku permisi dulu, aku harap itu jalan yang terbaik untuk kalian berdua.” Angga tak tahu apa dia masih berhak untuk cemburu, mendapati Dina lebih nyaman menangis di pelukan laki-laki lain daripada dirinya yang masih berstatus suami sahnya. Apa kesalahannya begitu fatal?Dina mengangkat kepalanya, memandang Angga tajam, meski wajahnya sudah sangat sembab dia tak akan sudi menunjukkan kelemahannya pada Angga. “Maaf,” kata Angga sambil mengulurkan tisu yang ada di meja kerja Dina. Ingin sekali dia memeluk wanita itu dan mengusap air matanya, tapi dia sadar dirinyalah alasa
Dina tak menyangka Bibi akan begitu keras kepala, ingin ikut bersamanya, bahkan saat Dina berkata mungkin saja jika dia berpisah dengan Angga tak akan bisa memberinya gaji seperti saat ini. Tapi wanita itu tetap kukuh dengan pendiriannya. “Kalau begitu Bibi bisa bilang langsung pada Mas Angga, bagaimanapun dialah yang menggaji Bibi selama ini,” kata Dina akhirnya. “Tentu, Nyonya, saya akan bilang pada Tuan,” jawab Bibi yakin. Dina memadang bibi sekilas, mulutnya sudah gatal ingin bertanya alasan Bibi yang begitu membenci Vanya, tapi kalimatnya selalu tertahan di ujung lidah. Bibi sudah lama ikut keluarga ini tentu saja dia tahu persis bagaimana kelakuan Vanya, bahkan bukannya tidak mungkin Bibi juga menyaksikan secara langsung apa yang dilakukan Vanya pada Laras dan Aksa. Tak ingin berpikir terlalu berat Dina hanya menyimpan saja pertanyaannya, dalam diam mereka membereskan barang-barang yang akan mereka bawa. Dina sendiri tak b
Dina menutup pintu depan, dan bersandar lemas pada dinding. Hatinya tidak baik-baik saja remuk redam rasanya, bukan perpisahan yang dia inginkan sesungguhnya, lima tahun sudah dia bertahan dalam ketidakpastian, tapi sebuah rumah tangga tidak hanya tentang satu orang. Sebaik apapun dia bertahan tapi bila hanya dia yang berusaha tentu akan pincang, dan lama-lama akan ambruk juga. Itulah yang terjadi dalam rumah tangganya kali ini, nekad memang, dia bahkan tak tahu hidupnya setelah ini apakah akan baik-baik saja, apalagi dengan adanya Anak-anak yang selamanya akan membentuk ikatan tersendiri antara mereka. Dina memejamkan mata merasakan sesak di dada, saat selintas bayangan Angga yang akan bahagia dengan wanita pilihannya, dan pastinya itu bukan dirinya. Dina begitu cemburu, pada bayangan masa depan yang akan terjadi pada hidupnya."Tuan sangat mengkhawatirkan Nyonya dan anak-anak." Dina membuka matanya menyeka air matanya deng
"Karena kalau Tuan nekad menikahi Non Vanya, Non Vanya akan masuk penjara."Kalimat Bibi kemarin kembali terngiang di telinganya, bagai kaset rusak yang dimainkan berkali-kali.Dina tak tahu apa yang dilakukan keluarga Aryobimo, sampai janji yang dibuat antara Angga dan Laras bisa berdampak begitu, meski Laras sendiri sudah lama tiada.Tidak ada gunanya mengintrogasi bibi lebih jauh lagi, karena sepertinya wanita itu juga tak tahu alasannya, dia hanya tak sengaja mendengar percakapan Angga saja. Dina tersadar dari lamunannya saat ponselnya berbunyi pelan menandakan sebuah pesan masuk. Diambilnya benda itu ternyata dari Angga, yang hanya mengucapkan selamat pagi. Hari ini hari pertama Dina kembali lagi ke kantor lamanya. Dan juga pagi pertama hidupnya tanpa Angga di sisinya.Tak bisa dipungkiri, bagaimanapun Angga menyakiti hatinya Dina tak dapat menghentikan pikiran, bagaimana laki-laki itu tanpa dirinya, pagi tadi dia sudah me
“Jadi sekarang suami Mbak Dina tinggal dengan istri mudanya?” Tanya Siska. Gadis itu mengatakannya dengan tak terima, sungguh dia tak tahu bagaimana car kerja otak suami Dina, yang menyia-nyiakan wanita sebaik ini. Sejak tahu Angga menikahi Keira memang Siska sudah kehilangan respek padanya, bahkan tak segan gadis itu menggoda Dina agar mau melepaskan Angga dan memilih Brian, yang menurutnya menyimpan rasa pada Dina. “Tidak Keira tinggal bersama mama mertua, sejak dia mengumbar kehidupan kami di medsos.” “Jadi dia tinggal tanpa salah satu istrinya?” tanya Siska dengan tak sabar.“Iya.” “Pasti dia berpikir untuk menikah dengan orang lain lagi, dasar buaya,” umpat Siska dengan sadis, yang membuat Dina meringis. Andai saja mereka tahu, kalau sekarang Angga malah dekat dengan wanita yang dicintainya tentu mereka akan semakin marah dan menghujatnya, tapi Dina tidak ingin mengatakannya, bukan karena dia ingin membela Angga, tapi D
Dina memandang anak-anak yang sedang bermain di halaman belakang rumah ini, mereka terlihat ceria seperti biasa. Syukurlah. Padahal Dina sempat khawatir mereka tidak akan nyaman tinggal di sini. Mereka sudah terbiasa hidup nyaman dengan fasilitas mewah, tentu sulit jika harus tinggal di rumah yang bisa dibilang sederhana untuk ukuran mereka."Anak-anak sudah makan siang semua, Mbak?" tanya Dina pada pengasuh yang sedang mengawasi anak-anak bermain.Pengasuh itu menoleh kaget tapi lalu tersenyum dan mengangguk. "Sudah Nyonya, mereka makan seperti biasa." Dina menyapa anak-anaknya sebentar lalu berpamitan untuk membersihkan diri badannya terasa lengket dan tidak nyaman, dia juga merasa sangat lapar. “Bisa minta tolong pada Bibi siapkan makan untukku juga, Mbak,” pinta Dina. “Eh, Nyonya belum makan siang?” tanya Mbak pengasuh sedikit terkejut, padahal jam di dinding sudah menunjukkaan empat sore. “Sudah, tadi tapi lapar lagi, tolong ya, Mbak.” Si Mbak mengangguk lalu mencari bibi d
Bu Rahmi mendongak dan mendapati Dina yang berdiri di sana dengan mata berkaca-kaca. “Ada apa, Din apa suamimu menyakitimu lagi? kenapa menangis?”Bu Rahmi hanya dapat mengelus punggung anak asuhnya ini dengan lembut, dia biarkan Dina menumpahkan tangisnya, tak terasa air mata Bu Rahmi juga menetes mendengar tangis putus asa Dina. Jujur saja BU Rahmi merasa sangat bersalah pada Dina, dia dulu yang menjodohkan Dina dengan Angga, meski dia mereka tidak saling cinta, dia pikir rasa itu bisa tumbuh seiring waktu berjalan, tapi ternyata sampai lima tahun pernikahan malah perpisahan yang terjadi. “Maafin Ibu, Din jika keputusan ibu menjodohkanmu dulu membuatmu sedih,” kata Bu Rahmi lirih masih dengan memeluk Dina. Dina yang sadar, tangisnya hanya akan membebani Bu Rahmi saja segera melepaskan pelukannya, dengan mata yang masih basah, Dina menatap wanita yang sudah membesarkannya itu. “Ini bukan salah, ibu, aku yakin ibu juga tak mau ini terjadi padaku.” Senyum