Bara berlari menyusul Dina yang berlari keluar dari ruangan Angga, sepanjang matanya memandang seluruh lantai ini, tak ditemukannya sosok Dina.
"Cepat sekali larinya," gumam Bara pelan.Laki-laki itu segera memasuki lift sejenak dia ragu untuk memilih ke atas atau ke bawah."Coba di atas dulu."Lift khusus petinggi perusahaan selalu sepi, Bara menyandarkan tubuhnya di dinding, ada rasa marah, kasihan dan juga... Lega yang berkumpul jadi satu dalam dadanya.Bara tak tahu apa yang akan terjadi nanti, tapi satu yang pasti dia tidak akan membiarkan Dina terluka lagi.Bara langsung menuju lantai teratas gedung ini, dia yakin Dina tidak mungkin mampir ke lantai lain, Dina orang baru di sini dan belum mempunyai teman akrab. Suatu pikiran ajaib terlintas di otaknya, bagaimana kalau Dina ke atap gedung dan berniat bunuh diri.Dina sangat mencintai suaminya, bukannya tidak mungkin dia putus asa, dan berniat bunuh diri melompat daBersama mereka menuruni anak tangga dalam diam. Sesekali Bar melirik wajah Dina, wajahnya yang sembab terlihat dingin, Bara belum pernah menikah dia tak tahu bagaimana rasanya dikhianati oleh pasangan yang sudah berbagi suka dan duka. Tapi Bara selalu percaya Dina dapat menghadapi semuanya. "Mbak akan ke mana setelah ini?" tanya Bara pelan sebelum mereka membuka pintu tangga darurat. "Maksudku, jika Mbak Dina pisah dari Mas Angga, tidak mungkin Mbak akan tetap tinggal di sini?" Bara benar dia tidak mau lagi tinggal di rumah itu, rumah itu dibangun untuk Laras, mantan istri Angga bukan untuk dirinya jadi sepantasnya dia harus pergi, tapi ke mana? Dia tak mungkin membawa anak-anak ke tempat yang tidak layak."Aku tidak punya siapa-siapa, tentu Bu Rahmi adalah tujuanku, aku bisa sambil membantu beliau di sana." Dina tersenyum meyakinkan Bara bahwa semuanya baik-baik saja.Bara memang baik, tapi tidak sepantasnya dia menjadi beban untuk la
Inilah akhirnya, Angga memejamkan matanya berharap tadi Dina hanya salah bicara, atau dia sedang bermimpi saja, tapi sekian detik mereka ada di sana duduk berdua dalam ruang kerja yang terasa dingin mencekam, Dina tak hendak meralat ucapannya atau tidak juga menggoyangkan lengannya seperti saat dia bermimpi buruk. Ini nyata, perkataan Dina tadi juga nyata tak ada yang bisa di sangkal lagi. “Kenapa kamu memilih hal itu? apa kamu sudah menyerah dengan rumah tangga kita, bukankah kamu pernah bilang akan mempertahankan pernikahan kita.” “Untuk apa dipertahankan jika kamu tidak mau untuk bertahan, rumah tangga itu dijalankan oleh dua orang buka salah satu saja, jika kamu memilih ingin menjalankan rumah tangga dengan wanita lain, tentu aku harus rela mundur.” Angga menggeleng. “Kamu salah, jika aku ingin membangun rumah tangga itu hanya denganmu, mungkin memang salahku telah menghadirkan Keira, tapi kamu tahu benar alasannya, pernikahan kami hanya s
Bara menyadari ada orang lain di ruangan ini, dia tadi tak tega melihat Dina menangis tergugu dan tanpa sadar memeluknya. Dan Angga berdiri di pintu masuk dengan wajah tak berdaya. Segera dilepaskannya pelukannya pada Dina dan menepuk bahu wanita itu lembut. “Apa kalian akan benar-benar berpisah?” Bara mendekati Angga yang masih berdiri mematung. “Itu permintaan Dina.” “Aku permisi dulu, aku harap itu jalan yang terbaik untuk kalian berdua.” Angga tak tahu apa dia masih berhak untuk cemburu, mendapati Dina lebih nyaman menangis di pelukan laki-laki lain daripada dirinya yang masih berstatus suami sahnya. Apa kesalahannya begitu fatal?Dina mengangkat kepalanya, memandang Angga tajam, meski wajahnya sudah sangat sembab dia tak akan sudi menunjukkan kelemahannya pada Angga. “Maaf,” kata Angga sambil mengulurkan tisu yang ada di meja kerja Dina. Ingin sekali dia memeluk wanita itu dan mengusap air matanya, tapi dia sadar dirinyalah alasa
Dina tak menyangka Bibi akan begitu keras kepala, ingin ikut bersamanya, bahkan saat Dina berkata mungkin saja jika dia berpisah dengan Angga tak akan bisa memberinya gaji seperti saat ini. Tapi wanita itu tetap kukuh dengan pendiriannya. “Kalau begitu Bibi bisa bilang langsung pada Mas Angga, bagaimanapun dialah yang menggaji Bibi selama ini,” kata Dina akhirnya. “Tentu, Nyonya, saya akan bilang pada Tuan,” jawab Bibi yakin. Dina memadang bibi sekilas, mulutnya sudah gatal ingin bertanya alasan Bibi yang begitu membenci Vanya, tapi kalimatnya selalu tertahan di ujung lidah. Bibi sudah lama ikut keluarga ini tentu saja dia tahu persis bagaimana kelakuan Vanya, bahkan bukannya tidak mungkin Bibi juga menyaksikan secara langsung apa yang dilakukan Vanya pada Laras dan Aksa. Tak ingin berpikir terlalu berat Dina hanya menyimpan saja pertanyaannya, dalam diam mereka membereskan barang-barang yang akan mereka bawa. Dina sendiri tak b
Dina menutup pintu depan, dan bersandar lemas pada dinding. Hatinya tidak baik-baik saja remuk redam rasanya, bukan perpisahan yang dia inginkan sesungguhnya, lima tahun sudah dia bertahan dalam ketidakpastian, tapi sebuah rumah tangga tidak hanya tentang satu orang. Sebaik apapun dia bertahan tapi bila hanya dia yang berusaha tentu akan pincang, dan lama-lama akan ambruk juga. Itulah yang terjadi dalam rumah tangganya kali ini, nekad memang, dia bahkan tak tahu hidupnya setelah ini apakah akan baik-baik saja, apalagi dengan adanya Anak-anak yang selamanya akan membentuk ikatan tersendiri antara mereka. Dina memejamkan mata merasakan sesak di dada, saat selintas bayangan Angga yang akan bahagia dengan wanita pilihannya, dan pastinya itu bukan dirinya. Dina begitu cemburu, pada bayangan masa depan yang akan terjadi pada hidupnya."Tuan sangat mengkhawatirkan Nyonya dan anak-anak." Dina membuka matanya menyeka air matanya deng
"Karena kalau Tuan nekad menikahi Non Vanya, Non Vanya akan masuk penjara."Kalimat Bibi kemarin kembali terngiang di telinganya, bagai kaset rusak yang dimainkan berkali-kali.Dina tak tahu apa yang dilakukan keluarga Aryobimo, sampai janji yang dibuat antara Angga dan Laras bisa berdampak begitu, meski Laras sendiri sudah lama tiada.Tidak ada gunanya mengintrogasi bibi lebih jauh lagi, karena sepertinya wanita itu juga tak tahu alasannya, dia hanya tak sengaja mendengar percakapan Angga saja. Dina tersadar dari lamunannya saat ponselnya berbunyi pelan menandakan sebuah pesan masuk. Diambilnya benda itu ternyata dari Angga, yang hanya mengucapkan selamat pagi. Hari ini hari pertama Dina kembali lagi ke kantor lamanya. Dan juga pagi pertama hidupnya tanpa Angga di sisinya.Tak bisa dipungkiri, bagaimanapun Angga menyakiti hatinya Dina tak dapat menghentikan pikiran, bagaimana laki-laki itu tanpa dirinya, pagi tadi dia sudah me
“Jadi sekarang suami Mbak Dina tinggal dengan istri mudanya?” Tanya Siska. Gadis itu mengatakannya dengan tak terima, sungguh dia tak tahu bagaimana car kerja otak suami Dina, yang menyia-nyiakan wanita sebaik ini. Sejak tahu Angga menikahi Keira memang Siska sudah kehilangan respek padanya, bahkan tak segan gadis itu menggoda Dina agar mau melepaskan Angga dan memilih Brian, yang menurutnya menyimpan rasa pada Dina. “Tidak Keira tinggal bersama mama mertua, sejak dia mengumbar kehidupan kami di medsos.” “Jadi dia tinggal tanpa salah satu istrinya?” tanya Siska dengan tak sabar.“Iya.” “Pasti dia berpikir untuk menikah dengan orang lain lagi, dasar buaya,” umpat Siska dengan sadis, yang membuat Dina meringis. Andai saja mereka tahu, kalau sekarang Angga malah dekat dengan wanita yang dicintainya tentu mereka akan semakin marah dan menghujatnya, tapi Dina tidak ingin mengatakannya, bukan karena dia ingin membela Angga, tapi D
Dina memandang anak-anak yang sedang bermain di halaman belakang rumah ini, mereka terlihat ceria seperti biasa. Syukurlah. Padahal Dina sempat khawatir mereka tidak akan nyaman tinggal di sini. Mereka sudah terbiasa hidup nyaman dengan fasilitas mewah, tentu sulit jika harus tinggal di rumah yang bisa dibilang sederhana untuk ukuran mereka."Anak-anak sudah makan siang semua, Mbak?" tanya Dina pada pengasuh yang sedang mengawasi anak-anak bermain.Pengasuh itu menoleh kaget tapi lalu tersenyum dan mengangguk. "Sudah Nyonya, mereka makan seperti biasa." Dina menyapa anak-anaknya sebentar lalu berpamitan untuk membersihkan diri badannya terasa lengket dan tidak nyaman, dia juga merasa sangat lapar. “Bisa minta tolong pada Bibi siapkan makan untukku juga, Mbak,” pinta Dina. “Eh, Nyonya belum makan siang?” tanya Mbak pengasuh sedikit terkejut, padahal jam di dinding sudah menunjukkaan empat sore. “Sudah, tadi tapi lapar lagi, tolong ya, Mbak.” Si Mbak mengangguk lalu mencari bibi d
"Bu Dina dilarikan ke rumah sakit."Pesan salah satu anak buahnya, membuat Angga langsung meninggalkan semua pekerjaannya.Dia melangkah terburu-buru, ingin rasanya dia terbang supaya cepat sampai, dia merutuki dirinya sendiri kenapa harus ada masalah di kantor saat seperti ini, padahal dia sudah berusaha membereskan pekerjaannya dan menemani Dina yang sedang hamil tua. Syukurlah Bara sangat bisa diandalkan di saat seperti ini, dia juga meminjamkan sang istri, Hera untuk menjaga Dina."Bagaimana keadaan Dina?" tanya Angga tak sabar saat melihat Hera terduduk di kursi tunggu."Masih ditangani dokter."Tanpa membuang waktu Angga menuju ruangan yang ditunjuk Hera."Eh pak kita tunggu di sini saja nggak boleh masuk!" Tapi Angga tampaknya tak peduli."Sus, dimana istri saya?" tanyanya pada seorang perawat."Istri Bapak siapa?" tanya sang perawat bingung."Dina, Sus, istri saya yang akan melahirkan."Untunglah sang perawat punya kesabaran lebih
“Ciee mbak Dina... sebentar lagi akan jadi mertuanya Pak Brian.” Dina bahkan baru saja menginjakkan kakinya di lobi kantor, terdengar suara membahana Siska yang membuatnya melongo tak mengerti. Dia akan jadi mertuanya Pak Brian, seingatnya dia memang punya dua orang putri cantik Arsyi dan Ara dan usia keduanyapun masih anak-anak. Tak mungkinkan Brian mau menikahi salah satu dari dua bocilnya itu. Jadi anak yang mana yang dimaksud Siska?“Kamu belum sarapan ya, Sis, sana ke kantin dulu atau ke cafe depan, biar kamu lebih fokus ngomongnya,” kata dina sedikit jengkel. “Gratis, Mbak?” “Apanya?’ “Makannyalah katanya tadi suruh makan.” “Makannya gratis, tapi setelah itu kamu harus cuci piring.” “Mbak Dina kayak ibu tiri saja. kejam.” “Bahkan anak tiriku bilang aku baik hati.” “Ups aku lupa kalau memang mbak Dina ibu tiri.” Dina segera meneruskan langkahnya , ngobrol dengan Siska tak akan ada habisnya. “Eh, Mbak tunggu, tapi aku serius soal Pak Brian yang akan menikah dan jadi m
Brian memasuki kamarnya dengan hati bercabang, dia sebenarnya juga terkejut dengan keputusannya sendiri yang mengatakan kalau Sinta adalah calon istrinya. Dan lebih buruknya lagi dia mengatakannya di depan sang mama, wanita yang sangat dia sayangi dan tidak ingin dia kecewakan. Sekarang apa yang akan dia lakukan? Tetap menikahi Sinta seperti perkataannya tadi atau menjelaskan semuanya dengan resiko membuat mamanya kecewa. “Apa kamu yakin mau menjadikannya istri dan atas dasar apa keinginanmu itu?”Pertanyaan sang mama seolah terus terngiang di dalam otaknya membuatnya pusing luar biasa, dia bahkan tak bisa menjawab pertanyaan itu dan dengan pengecut, dia malah mengalihkan pembicaraan pada hal lain. Syukurlah sang mama cukup bijak untuk tak terus mendesaknya dan memberikan waktu untuknya menelaah rasa yang ada di hati.Tapi sekarang dia bingung sendiri apa yang harus dia katakan pada Sinta, gadis itu pasti juga membuatuhkan penjelasan darinya. Mulutnya kadang-
Mobil yang dikendarai Brian tiba di halaman rumah yang ditunjukkan Sinta. Dengan senyum terima kasih atas semua kebaikan Brian, gadis itu mengangguk dan turun dari dalam mobil.“Sin, tunggu.” Gadis itu menoleh dan terlihat Brian sudah turun dari mobil mewahnya. “Telepon aku jika kamu butuh tumpangan untuk pulang.” Sinta sudah akan membuka mulutnya menjawab tawaran Brian, tapi tubuhnya langsung tersentak saat sebuah gagang sapu memukul punggungnya dengan keras, sakit sekali. “Dasar anak tak tahu diuntung, sudah numpang bikin malu saja, berikan gajimu padaku.”Rasa sakit di punggungnya bahkan jadi tak terasa saat dia bersitatap dengan mata Brian yang memandang semua ini dengan tatapan tak percaya. “Iya, Bi, kita masuk dulu.... terima kasih sudah mengantar saya, Pak.” Sang Bibi memandang Brian dari atas sampai bawah, penampilan Brian yang sangat tampan dan juga semua benda yang melekat dalam tubuhnya meneriakkan kata mahal... dan jangan lupakan mobil me
Dalam kegelapan, Brian terduduk diam dalam mobilnya yang sewarna malam, matanya begitu tajam mengawasi seorang gadis yang terlihat tersenyum bersama teman-temannya di seberang sana. Sampai satu persatu gadis-gadis itu pergi dari sana, tinggallah Sinta, gadis mungil dengan kuncir ekor kuda yang sesekali melihat arloji di pergelangan tangannya. Brian terus mengamati dalam diam, bahkan sampai setengah jam, yang ditunggu gadis itu tak juga datang, tapi gadis itu tetap menunggu di sana. Malam yang kian beranjak membuat suasana menjadi sepi, bahkan semua toko yang tadi masih ramai dengan pembeli sudah membenahi barang dagangannya. “Apa dia tak takut semakam ini pulang sendiri,” gumam Brian tak senang. Dia sudah akan membuka pintu mobilnya, saat sebuah motor menghampirinya dan terlihat gadis itu menerima uluran helm dari si pengendara dan bergegas naik keboncengannya. Brian cepat-cepat menstater mobilnya untuk mengikuti motor itu sambil terus menjaga jarak ama
Setelah dengan penuh perjuangan mengantar Winda ke rumahnya, akhirnya Brian bisa bernapas lega dia bisa terbebas dari wanita itu, dia bahkan tak habis pikir bagaimana mamanya yang biasanya sangat kalem dan anggun itu bisa menyukai wanita agresif seperti itu untuk dikenalkan padanya. Apa dia terlihat setak laku itu, usianya baru tiga puluh dua tahun, usia yang belum terlalu tua untuk laki-laki sepertinya. Dan yang lebih menyebalkan lagi, wanita itu dengan tak tahu malunya mengambil hadiah yang akan dia berikan pada Sinta. Brian menghela napas dalam berusaha menetralkan perasaannya, dia ingin menemui Sinta, tapi tentu saja tidak dengan tangan kosong. “Ah! Dasar sialan,” maki Brian kesal. Dia harus memikirkan hadiah apa yang bisa dia bawa untuk Sinta, memang bukan keharusan, Sinta juga tidak sedang berulang tahun, tapi tetap saja, Brian merasa tak nyaman.Dengan tergesa dia meminggirkan mobilnya, sejenak dia menimbang apakah akan menghubungi Dina atau S
Brian menatap pita rambut itu dengan senyum terselit di bibirnya, dia bisa membayangkan Sinta pasti akan terlihat sangat manis mengenakan ini. Satu minggu sudah Brian ada di Bali, berlibur sekaligus bekerja, karena meski dia mengajukan cuti kerja, nyatanya pikirannya malah melayang kemana-mana. Bahkan saat mengikuti Arga melakukan pemotretan ke berbagai tempat dan melihat pemandangan yang sangat indah termasuk wanita-wanita cantik yang bertebaran tak membuatnya bisa melupakan bayangan wajah belia yang selalu menghantui pikirannya. Jadi dia memutuskan tetap bekerja di hari kedua cutinya, yang membuat sang paman yang menerima laporan entah dari siapa menghubunginya hanya untuk menertawakan keputusan anehnya. “Kamu memang tak pantas untuk cuti, sudahlah bekerja saja, sedekahkan cutimu untuk yang membutuhkan.”Brian hanya bisa tersenyum kecut, meski pamannya di seberang sana pasti tak bisa melihatnya, mau apalagi, tidak mungkinkan dia mengomel pada pamannya yang
Sebuah proyek pembangunan sekolah luar biasa di Bali. Brian memandang informasi yang baru saja masuk ke ponselnya dengan penuh pertimbangan. Ini memang bukan tugasnya untuk meninjau secara langsung, tapi dia bisa mengajukan diri untuk ikut meninjau ke sana, memastikan sarana dan prasarana apa yang dibutuhkan di sana. “Saya akan ikut ke sana.” Brian mengirimkan pesan balasan pada direktur utama yayasan tempatnya bekerja, yang tak lain adalah pamannya sendiri. “Kamu yakin, kamu sebenarnya hanya perlu mengirim salah seorang staffmu, lagipula pembangunan di sana juga belum selesai.” Sebuah pesan balasan masuk tak lama kemudian. “Aku sedang ada urusan di Bali jadi sekalian saja.” “Baiklah, lusa mereka akan berangkat, persiapkan dirimu.” Brian masih memandang ponselnya. Meski tak ada lagi pesan yang masuk. Tangannya tergoda untuk mengirim pesan pada Sinta, tapi dia kembali ragu, Kemarin setelah dia datang ke cafe Dina dan menemui Sinta di sana sikap
Bahkan saat bekerjapun bayangan Sinta memenuhi kepalanya. Membuatnya sulit untuk berkonsentrasi. “Kenapa kopi buatanmu rasanya jadi tidak karuan seperti ini, Sa?” gerutu Brian.Bahkan kopi yang biasa dibuatkan oleh Sasa, sekretarisnya terasa aneh dan tidak seperti biasanya. Suasana hati Brian benar-benar mengerikan sepagi ini bahkan sudah ada dua anak buahnya yang kena semprot. “Tapi saya buat dengan takaran yang biasa pak, satu sendok makan kopi hitam dan satu sendok teh gula, bapak biasanya tidak suka kopi manis jadi saya hanya memberi sedikit gula,” Sasa tentu saja tak terima dengan tuduhan Brian orang dia membuat kopi seperti biasa tak ada yang dikurangi ataupun ditambah. “Airnya belum matang mungkin atau ini bukan bubuk kopi yang biasanya.” Sasa membelalak tak percaya. “Saya merebusnya langsung di atas kompor bapak kan tidak mau air dispenser, dan saya sudah lebih dari tiga puluh tahun berpengalaman untuk masak air, dan tahu benar bagaimana air yang suda