Jika Angga menyangka sang paman akan menerima usulannya untuk tidak lagi membuat masalah dengan kompensasi uang untuk melunasi utangnya yang bertumpuk, Angga tentu saja salah perhitungan, bahkan sampai batas waktu yang dia tentukan sang paman bahkan tak menampakkan batang hidungnya ataupun berkirim pesan menyampaikan kabar keputusannya.
Bahkan saat Angga meminta Hendra menanyakan sang paman ke kantornya, sekretarisnya tidak bisa menjawab, karena laki-laki itu tidak masuk sejak dua hari yang lalu tanpa pemberitahuan yang jelas, bahkan ponselnya pun mati tak bisa dihubungi sejak kemarin.“Sudah bagus aku menawarkan solusi untuk masalahnya, kenapa dia malah acuh,” dumel Angga kesal.Masalah pribadinya sendiri ditambah dengan masalah perusahaan sudah cukup banyak, jika pamannya tidak mau menerima kebaikannya tentu itu bukan salahnya yang akan membekukan beberapa aset yang menjadi bagian pamannya, agar aman tersimpan, sebagai bekalnya nanti di hari tua, setidaknAngga keluar ruangan Dina dengan diiringi senyum manis istrinya itu, membuat hatinya yang semua tak tentu arah kembali bisa tenang, mungkin memang nasib pernikahan mereka belum bisa ditentukan tapi perhatian sang istri dan juga dukungannya membuat Angga sedikit tenang. Saat ini memang dia benar-benar membutuhkan hal itu, berbagai masalah yang menumpuk dalam kehidupannya akhir-akhir ini membuat dia gila rasanya. Apalagi hari ini adalah salah satu hari yang berhasil menghancurkan moodnya, salah satunya sang paman yang tak bisa dihubungi sampai sekarang. Angga segera menuju ruang rapat dilantai lima. Sejenak dia memandang pada orang-orang yang akan membantunya dalam proses ini, mereka orang-orang pilihan yang sangat ahli dibidangnya. Dan Angga membayar mahal jasa mereka, dia berharap mereka memang seprofesional yang mereka gembar gemborkan, ta ada penyelewengan yang akan mereka lakukan. Rapat kali ini sangat rentan, mereka akan membahas masalah strategi ke
Angga masih mengamati mereka bergantian dengan bingung. Bara bukannya membantu Angga laki-laki itu malah dengan cueknya bermain ponselnya. Membuat Angga kesal."Maaf, aku ada janji dengan istriku," jawab Angga. Tak ingin semakin memperuncing suasana.Mungkin bagi sebagian orang memang bukan hal yang berlebihan Mungkin bagi sebagian orang memang buka hal yang berlebihan makan siang dengan teman kantor, tapi masalahnya adalah masa lalu mereka yang suram dan terlanjur mendapatkan noda hitam. Angga yang dulu pasti tidak akan berpikir dua kali untuk mengiyakan. Tapi sekarang banyak pertimbangan yang harus dia pikirkan. “Kamu berubah, Mas,” kata Vanya dengan kecewa dan sakit hati yang tidak dia tutupi. Syukurlah mereka berdiri di lorong yang sepi, jadi tidak ada orang lain yang akan ikut menyaksikan drama ini. Angga menoleh pada Bara, sikap Vanya yang begini membuatnya tak enak hati pada laki-laki itu, bagaimanapun, saat
Perut yang sudah terasa keroncongan, dan juga dukungan mood yang berantakan membuat Dina yang biasanya selalu menebarkan senyum pada semua orang kita malah berwajah masam, suasana hatinya benar-benar hancur berantakan. Dan itu disadari betul oleh Angga.Angga menggandeng tangan wanita itu dan membimbingnya ke ruangan khusus yang tadi sudah dipesan Bara. Kalau saja suasana hatinya sedang baik Dina akan dengan senang hati menikmati interior ruang yang sangat nyaman ini, sebuah ruangan dengan cat dinding berwarna kuning lembut menyapanya. Meja panjang yang di kelilingi sofa yang nyaman membuat siapapun pasti betah di sini, tidak heran memang ini restoran pilihan Vanya. Wanita itu tak akan main-main dalam memilih meski hanya tempat makan siang yang terbilang sangat santai. Dina bahkan berani bertaruh wanita itu pasti belum pernah makan di warung tenda pinggir jalan. Pikiran itu sedikit membuat senyum kecil muncul di sudut bibir Dina, tak bisa dipun
Hari ini Angga boleh bergembira, apa yang dia usahakan telah menampakkan hasil yang nyata, saham perusahaannya bisa melenggang ke lantai bursa. Dan keputusan para pemegang saham menetapkan dialah yang menjadi Ceo nya. Bukan tanpa masalah proses akusisi ini berjalan, ancaman yang ditujukan padanya ataupun pada keluaganya mulai berkurang. Dia bisa bernapas lega meski begitu Angga belum bisa mengendurkan kewaspadaannya. Bisa saja mereka memang menunggu saat dia lengah untuk kembali menyerangnya. Tapi masalah yang menurutnya sangat krusial belum juga menemukan titik terang, rumah tangganya dengan Dina , masih menggantung bak jemuran, istrinya itu sekarang lebih memilih diam jika bersamanya, bahkan sang istri juga kembali selalu memunggunginya saat tidur. Angga hanya diam, setidaknya dia ingin memberi sedikit ruang untuk Dina menenangkan diri. Angga mungkin manusia yang egois yang dengan kukuh ingin mempertahankan istrinya meskipun ada sisi hatinya yang masih unt
Dina mengerutkan kening tak mengerti, dia memandang Hendra yang terlihat tak nyaman duduk di kursinya antara takut tapi juga penuh harap. Laki-laki yang biasanya menampilkan wajah dingin tak terbaca itu untuk pertama kalinya kehilangan kendali dirinya. “Pak Angga di dalam?” tanya Dina. “Bu Dina… itu---itu, Bu,” jawabnya terbata dan salah tingkah Bara yang berdiri di belakang Dina ikut menatap laki-laki itu dengan heran, tidak biasanya laki-laki ini gugup padahal tadi jelas-jelas Hendra meneleponnya, memintanya segera ke sini untuk membantu Angga yang kerepotan memeriksa berkas pengalihan saham. Apa Angga berpesan untuk tidak boleh diganggu? Dan kehadiran Dina yang tiba-tiba membuat laki-laki itu tak enak hati mengatakannya, bagaimanapun Dina istri Angga, tapi tumben sekali Angga keberatan dengan kedatangan Dina. “Bicara yang jelas, sejak kapan kamu suka gagu,” Dina menatap tajam Hendra. “Apa aku akan menganggu Mas Angga jika masuk sekarang?” tiba-t
Bara berlari menyusul Dina yang berlari keluar dari ruangan Angga, sepanjang matanya memandang seluruh lantai ini, tak ditemukannya sosok Dina."Cepat sekali larinya," gumam Bara pelan. Laki-laki itu segera memasuki lift sejenak dia ragu untuk memilih ke atas atau ke bawah. "Coba di atas dulu." Lift khusus petinggi perusahaan selalu sepi, Bara menyandarkan tubuhnya di dinding, ada rasa marah, kasihan dan juga... Lega yang berkumpul jadi satu dalam dadanya. Bara tak tahu apa yang akan terjadi nanti, tapi satu yang pasti dia tidak akan membiarkan Dina terluka lagi. Bara langsung menuju lantai teratas gedung ini, dia yakin Dina tidak mungkin mampir ke lantai lain, Dina orang baru di sini dan belum mempunyai teman akrab. Suatu pikiran ajaib terlintas di otaknya, bagaimana kalau Dina ke atap gedung dan berniat bunuh diri. Dina sangat mencintai suaminya, bukannya tidak mungkin dia putus asa, dan berniat bunuh diri melompat da
Bersama mereka menuruni anak tangga dalam diam. Sesekali Bar melirik wajah Dina, wajahnya yang sembab terlihat dingin, Bara belum pernah menikah dia tak tahu bagaimana rasanya dikhianati oleh pasangan yang sudah berbagi suka dan duka. Tapi Bara selalu percaya Dina dapat menghadapi semuanya. "Mbak akan ke mana setelah ini?" tanya Bara pelan sebelum mereka membuka pintu tangga darurat. "Maksudku, jika Mbak Dina pisah dari Mas Angga, tidak mungkin Mbak akan tetap tinggal di sini?" Bara benar dia tidak mau lagi tinggal di rumah itu, rumah itu dibangun untuk Laras, mantan istri Angga bukan untuk dirinya jadi sepantasnya dia harus pergi, tapi ke mana? Dia tak mungkin membawa anak-anak ke tempat yang tidak layak."Aku tidak punya siapa-siapa, tentu Bu Rahmi adalah tujuanku, aku bisa sambil membantu beliau di sana." Dina tersenyum meyakinkan Bara bahwa semuanya baik-baik saja.Bara memang baik, tapi tidak sepantasnya dia menjadi beban untuk la
Inilah akhirnya, Angga memejamkan matanya berharap tadi Dina hanya salah bicara, atau dia sedang bermimpi saja, tapi sekian detik mereka ada di sana duduk berdua dalam ruang kerja yang terasa dingin mencekam, Dina tak hendak meralat ucapannya atau tidak juga menggoyangkan lengannya seperti saat dia bermimpi buruk. Ini nyata, perkataan Dina tadi juga nyata tak ada yang bisa di sangkal lagi. “Kenapa kamu memilih hal itu? apa kamu sudah menyerah dengan rumah tangga kita, bukankah kamu pernah bilang akan mempertahankan pernikahan kita.” “Untuk apa dipertahankan jika kamu tidak mau untuk bertahan, rumah tangga itu dijalankan oleh dua orang buka salah satu saja, jika kamu memilih ingin menjalankan rumah tangga dengan wanita lain, tentu aku harus rela mundur.” Angga menggeleng. “Kamu salah, jika aku ingin membangun rumah tangga itu hanya denganmu, mungkin memang salahku telah menghadirkan Keira, tapi kamu tahu benar alasannya, pernikahan kami hanya s
"Bu Dina dilarikan ke rumah sakit."Pesan salah satu anak buahnya, membuat Angga langsung meninggalkan semua pekerjaannya.Dia melangkah terburu-buru, ingin rasanya dia terbang supaya cepat sampai, dia merutuki dirinya sendiri kenapa harus ada masalah di kantor saat seperti ini, padahal dia sudah berusaha membereskan pekerjaannya dan menemani Dina yang sedang hamil tua. Syukurlah Bara sangat bisa diandalkan di saat seperti ini, dia juga meminjamkan sang istri, Hera untuk menjaga Dina."Bagaimana keadaan Dina?" tanya Angga tak sabar saat melihat Hera terduduk di kursi tunggu."Masih ditangani dokter."Tanpa membuang waktu Angga menuju ruangan yang ditunjuk Hera."Eh pak kita tunggu di sini saja nggak boleh masuk!" Tapi Angga tampaknya tak peduli."Sus, dimana istri saya?" tanyanya pada seorang perawat."Istri Bapak siapa?" tanya sang perawat bingung."Dina, Sus, istri saya yang akan melahirkan."Untunglah sang perawat punya kesabaran lebih
“Ciee mbak Dina... sebentar lagi akan jadi mertuanya Pak Brian.” Dina bahkan baru saja menginjakkan kakinya di lobi kantor, terdengar suara membahana Siska yang membuatnya melongo tak mengerti. Dia akan jadi mertuanya Pak Brian, seingatnya dia memang punya dua orang putri cantik Arsyi dan Ara dan usia keduanyapun masih anak-anak. Tak mungkinkan Brian mau menikahi salah satu dari dua bocilnya itu. Jadi anak yang mana yang dimaksud Siska?“Kamu belum sarapan ya, Sis, sana ke kantin dulu atau ke cafe depan, biar kamu lebih fokus ngomongnya,” kata dina sedikit jengkel. “Gratis, Mbak?” “Apanya?’ “Makannyalah katanya tadi suruh makan.” “Makannya gratis, tapi setelah itu kamu harus cuci piring.” “Mbak Dina kayak ibu tiri saja. kejam.” “Bahkan anak tiriku bilang aku baik hati.” “Ups aku lupa kalau memang mbak Dina ibu tiri.” Dina segera meneruskan langkahnya , ngobrol dengan Siska tak akan ada habisnya. “Eh, Mbak tunggu, tapi aku serius soal Pak Brian yang akan menikah dan jadi m
Brian memasuki kamarnya dengan hati bercabang, dia sebenarnya juga terkejut dengan keputusannya sendiri yang mengatakan kalau Sinta adalah calon istrinya. Dan lebih buruknya lagi dia mengatakannya di depan sang mama, wanita yang sangat dia sayangi dan tidak ingin dia kecewakan. Sekarang apa yang akan dia lakukan? Tetap menikahi Sinta seperti perkataannya tadi atau menjelaskan semuanya dengan resiko membuat mamanya kecewa. “Apa kamu yakin mau menjadikannya istri dan atas dasar apa keinginanmu itu?”Pertanyaan sang mama seolah terus terngiang di dalam otaknya membuatnya pusing luar biasa, dia bahkan tak bisa menjawab pertanyaan itu dan dengan pengecut, dia malah mengalihkan pembicaraan pada hal lain. Syukurlah sang mama cukup bijak untuk tak terus mendesaknya dan memberikan waktu untuknya menelaah rasa yang ada di hati.Tapi sekarang dia bingung sendiri apa yang harus dia katakan pada Sinta, gadis itu pasti juga membuatuhkan penjelasan darinya. Mulutnya kadang-
Mobil yang dikendarai Brian tiba di halaman rumah yang ditunjukkan Sinta. Dengan senyum terima kasih atas semua kebaikan Brian, gadis itu mengangguk dan turun dari dalam mobil.“Sin, tunggu.” Gadis itu menoleh dan terlihat Brian sudah turun dari mobil mewahnya. “Telepon aku jika kamu butuh tumpangan untuk pulang.” Sinta sudah akan membuka mulutnya menjawab tawaran Brian, tapi tubuhnya langsung tersentak saat sebuah gagang sapu memukul punggungnya dengan keras, sakit sekali. “Dasar anak tak tahu diuntung, sudah numpang bikin malu saja, berikan gajimu padaku.”Rasa sakit di punggungnya bahkan jadi tak terasa saat dia bersitatap dengan mata Brian yang memandang semua ini dengan tatapan tak percaya. “Iya, Bi, kita masuk dulu.... terima kasih sudah mengantar saya, Pak.” Sang Bibi memandang Brian dari atas sampai bawah, penampilan Brian yang sangat tampan dan juga semua benda yang melekat dalam tubuhnya meneriakkan kata mahal... dan jangan lupakan mobil me
Dalam kegelapan, Brian terduduk diam dalam mobilnya yang sewarna malam, matanya begitu tajam mengawasi seorang gadis yang terlihat tersenyum bersama teman-temannya di seberang sana. Sampai satu persatu gadis-gadis itu pergi dari sana, tinggallah Sinta, gadis mungil dengan kuncir ekor kuda yang sesekali melihat arloji di pergelangan tangannya. Brian terus mengamati dalam diam, bahkan sampai setengah jam, yang ditunggu gadis itu tak juga datang, tapi gadis itu tetap menunggu di sana. Malam yang kian beranjak membuat suasana menjadi sepi, bahkan semua toko yang tadi masih ramai dengan pembeli sudah membenahi barang dagangannya. “Apa dia tak takut semakam ini pulang sendiri,” gumam Brian tak senang. Dia sudah akan membuka pintu mobilnya, saat sebuah motor menghampirinya dan terlihat gadis itu menerima uluran helm dari si pengendara dan bergegas naik keboncengannya. Brian cepat-cepat menstater mobilnya untuk mengikuti motor itu sambil terus menjaga jarak ama
Setelah dengan penuh perjuangan mengantar Winda ke rumahnya, akhirnya Brian bisa bernapas lega dia bisa terbebas dari wanita itu, dia bahkan tak habis pikir bagaimana mamanya yang biasanya sangat kalem dan anggun itu bisa menyukai wanita agresif seperti itu untuk dikenalkan padanya. Apa dia terlihat setak laku itu, usianya baru tiga puluh dua tahun, usia yang belum terlalu tua untuk laki-laki sepertinya. Dan yang lebih menyebalkan lagi, wanita itu dengan tak tahu malunya mengambil hadiah yang akan dia berikan pada Sinta. Brian menghela napas dalam berusaha menetralkan perasaannya, dia ingin menemui Sinta, tapi tentu saja tidak dengan tangan kosong. “Ah! Dasar sialan,” maki Brian kesal. Dia harus memikirkan hadiah apa yang bisa dia bawa untuk Sinta, memang bukan keharusan, Sinta juga tidak sedang berulang tahun, tapi tetap saja, Brian merasa tak nyaman.Dengan tergesa dia meminggirkan mobilnya, sejenak dia menimbang apakah akan menghubungi Dina atau S
Brian menatap pita rambut itu dengan senyum terselit di bibirnya, dia bisa membayangkan Sinta pasti akan terlihat sangat manis mengenakan ini. Satu minggu sudah Brian ada di Bali, berlibur sekaligus bekerja, karena meski dia mengajukan cuti kerja, nyatanya pikirannya malah melayang kemana-mana. Bahkan saat mengikuti Arga melakukan pemotretan ke berbagai tempat dan melihat pemandangan yang sangat indah termasuk wanita-wanita cantik yang bertebaran tak membuatnya bisa melupakan bayangan wajah belia yang selalu menghantui pikirannya. Jadi dia memutuskan tetap bekerja di hari kedua cutinya, yang membuat sang paman yang menerima laporan entah dari siapa menghubunginya hanya untuk menertawakan keputusan anehnya. “Kamu memang tak pantas untuk cuti, sudahlah bekerja saja, sedekahkan cutimu untuk yang membutuhkan.”Brian hanya bisa tersenyum kecut, meski pamannya di seberang sana pasti tak bisa melihatnya, mau apalagi, tidak mungkinkan dia mengomel pada pamannya yang
Sebuah proyek pembangunan sekolah luar biasa di Bali. Brian memandang informasi yang baru saja masuk ke ponselnya dengan penuh pertimbangan. Ini memang bukan tugasnya untuk meninjau secara langsung, tapi dia bisa mengajukan diri untuk ikut meninjau ke sana, memastikan sarana dan prasarana apa yang dibutuhkan di sana. “Saya akan ikut ke sana.” Brian mengirimkan pesan balasan pada direktur utama yayasan tempatnya bekerja, yang tak lain adalah pamannya sendiri. “Kamu yakin, kamu sebenarnya hanya perlu mengirim salah seorang staffmu, lagipula pembangunan di sana juga belum selesai.” Sebuah pesan balasan masuk tak lama kemudian. “Aku sedang ada urusan di Bali jadi sekalian saja.” “Baiklah, lusa mereka akan berangkat, persiapkan dirimu.” Brian masih memandang ponselnya. Meski tak ada lagi pesan yang masuk. Tangannya tergoda untuk mengirim pesan pada Sinta, tapi dia kembali ragu, Kemarin setelah dia datang ke cafe Dina dan menemui Sinta di sana sikap
Bahkan saat bekerjapun bayangan Sinta memenuhi kepalanya. Membuatnya sulit untuk berkonsentrasi. “Kenapa kopi buatanmu rasanya jadi tidak karuan seperti ini, Sa?” gerutu Brian.Bahkan kopi yang biasa dibuatkan oleh Sasa, sekretarisnya terasa aneh dan tidak seperti biasanya. Suasana hati Brian benar-benar mengerikan sepagi ini bahkan sudah ada dua anak buahnya yang kena semprot. “Tapi saya buat dengan takaran yang biasa pak, satu sendok makan kopi hitam dan satu sendok teh gula, bapak biasanya tidak suka kopi manis jadi saya hanya memberi sedikit gula,” Sasa tentu saja tak terima dengan tuduhan Brian orang dia membuat kopi seperti biasa tak ada yang dikurangi ataupun ditambah. “Airnya belum matang mungkin atau ini bukan bubuk kopi yang biasanya.” Sasa membelalak tak percaya. “Saya merebusnya langsung di atas kompor bapak kan tidak mau air dispenser, dan saya sudah lebih dari tiga puluh tahun berpengalaman untuk masak air, dan tahu benar bagaimana air yang suda